Sunday, October 11, 2009

PENGALIHAN TEKNOLOGI: PT IPTN SEBAGAI MODEL III



Perkembangan Pesat PT IPTN 

Semua itu telah dituangkan dalam suatu skenario dengan konsepsi yang jelas. Saya yakin bahwa semua tantangan dapat diatasi dan segala kemacetan dapat didobrak dalam pembangunan nasional. Konsepsi yang jelas itu dapat saya berikan contoh dengan rencana perkembangan PT IPTN. Dimulai dengan karyawan sebanyak 500 (lima ratus) orang, dan dalam kurun 17 tahun, jumlah karyawannya meningkat menjadi 16.000 orang, atau 32 kali lebih besar dari tahun pertama. Dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi tanggungjawab PT IPTN, Direktorat Teknologi badan usaha milik negara ini telah dapat mengembangkan sejumlah 1200 orang karyawan.
Begitu pun juga investasinya terus berkembang. Sarana produksinya secara bertahap telah juga diperluas sesuai dengan tuntutan masa depan. Ini merupakan pencerminan cepatnya laju pertumbuhan dalam kesempatan kerja yang dapat diperoleh di dalam lapangan usaha ini. Dan ini berarti bahwa PT IPTN nantinya akan lebih besar daripada pabrik pesawat terbang Fokker di Belanda.

Empat tahun setelah berdiri, tepatnya pada tanggal 21 Februari 1980 didirikan sebuah perusahaan patungan bernama AIRTEC, berkedudukan di Madrid, Spanyol dengan saham 50% dimiliki oleh PT IPTN dan 50% oleh CASA. Tujuan perusahaan ini adalah melakukan rancangan pesawat CN-235 dan melakukan pengembanggan lebih lanjut hingga pesawat tersebut memperoleh sertifikat internasi-onal dan dapat dipasarkan secara nasional dan internasional.

Melalui program-program kegiatan itulah putera-puteri Indonesia dalam kurun waktu kurang lebih 13 tahun (1986, red) telah membuktikan dirinya mampu mengalihkan, menyerap, dan mengembangkan teknologi-teknologi yang paling mutakhir; tidak saja di dalam industri pesawat terbang tetapi juga di dalam industri-industri pembuatan kompo- nen-komponen pesawat terbang; tidak saja teknologi di bidang rekayasa (engineering), tetapi juga di bidang manajemen, bidang pemasaran, bidang sistem, bidang komputer, dan sebagainya.

Dan semua teknologi ini diserap, dikembangkan, dan dikuasai secara serasi dan seimbang satu dengan lainnya sesuai dengan keperluan-keperluan nyata untuk mewujudkan suatu produk yang utuh dengan misi tertentu yang jelas dalam batas-batas waktu yang telah ditentukan.

Melalui Pameran Kedirgantaraan Indonesia 1986 yang telah diselenggarakan di Jakarta dan hasil-hasil karya lainnya, kemampuan produksi dan organisasi produksi PT IPTN dan perusahaan-perusahaan Indonesia lainnya dalam wahana industri penerbangan telah memperoleh pengakuan dunia internasional.

Pengakuan itu meliputi berbagai segi yaitu pertama, pengakuan kemampuan membuat atas dasar lisensi produk-produk teknologi canggih; kedua, pengakuan kemampuan merancang dan membuat pesawat-pesawat baru; dan ketiga, pengakuan kemampuan membuat bagian pesawat, baik dalam bentuk imbal-produksi (off-set) maupun untuk ekspor.
Dengan pengakuan itu maka ruang gerak Bangsa Indonesia di dalam pengadaan barang-barang hasil produksi teknologi tinggi semakin diperluas.

Kini, pilihan Indonesia tidak lagi hanya terbatas pada alternatif-alternatif yang menyangkut teknologi, harga, dan kemungkinan pembelanjaan.

Selama ini, kepada Bangsa Indonesia juga sudah dipercayakan oleh perusahaan terkemuka dari negara maju untuk menangani program produksi sebagian dan produksi atas dasar subkontrak, baik berupa imbal-produksi (offset) dalam menghasilkan produk-produk yang dibeli Bangsa Indonesia antara lain dengan perusahaan Amerika Serikat General Dynamics, dengan Messerschmitt Bolkow Blohm dari Jerman Barat dan perusahaan Inggris British Aerospace, maupun di dalam produksi barang-barang untuk dipasarkan di pasar luar negeri, sebagaimana sedang dirundingkan dengan perusahaan Amerika Serikat, Boeing.

N-250: Kemandirian Pengembangan Teknologi 

Sekarang mari kita berbicara tentang N-250. Seperti kita ketahui, lama sekali kita mempersiapkan pesawat itu. N-250 tidak jadi dalam satu hari saja. Bahkan secara fisik tidak bisa dikatakan dipersiapkan baru dengan beridirinya IPTN. Pertama, berdasarkan keputusan Presiden Soekarno, atau pemerintahnya, banyak yang ditugaskan untuk belajar ilmu dirgantara serta ilmu maritim yang high-tech ke luar negeri pada tahun 1950an. Dan Mandataris MPR Presiden Soeharto yang mengamankan dan mengembangkannya.

Seperti halnya Bung Karno dan generasinya adalah penggali Pancasila. Setelah Pancasila mendapat gangguan berapa kali, yang mengamankannya kalau saya boleh katakan adalah Pak Harto. Pak Harto bukan saja mengamankan tetapi juga mengamalkan, memasyarakatkan dan menerapkan serta mengembangkan yang berarti juga menyempurnakannya. Saya jelaskan tentang Pancasila ini karena ada kesejajaran dengan teknologi.

Kita tahu bahwa dalam anatomi kebudayaan, teknologi itu adalah bagian terpadu dari budaya. Dalam hal ini, ma- nusia Indonesia juga mempunyai bibit-bibit unggul. Namun belum mempunyai kesempatan untuk mekar dan berkembang. Karena 350 tahun ada yang memanipulasinya untuk mekar. Dalam 350 tahun itu kita begitu dikocok dan begitu dihina secara langsung atau tidak langsung, sehingga kita sendiri dan orang tua kita hampir-hampir saja tidak percaya lagi bahwa kita ini sama dengan bangsa-bangsa lain.

Atas dasar pemikiran itulah maka pimpinan bangsa ini tahun 1950 langsung menugaskan putra-putri Indonesia untuk belajar di bidang dirgantara dan maritim. Saya bukan gelombang pertama, gelombang pertama dikirim tahun 1950, gelombang kedua tahun 1951, gelombang ketiga tahun 1952, gelombang keempat tahun 1954. Saya gelombang keempat.

Gelombang sebelum saya sudah berusaha mendirikan industri dirgantara Lembaga Industri Pesawat Terbang. Saya ditugaskan sepuluh tahun setelah perintisnya meninggal. Tetapi juga ada Komando Pelaksana Industri Pesawat Terbang.

Setelah lulus saya tidak boleh pulang dulu. Presiden Soeharto memerintahkan untuk tetap tinggal di Jerman. Tapi pada 1971 Presiden Soeharto mengingatkan agar saya siap-siap. Baru pada akhir Pelita I diperintahkan untuk pulang. Lalu mulai Repelita II April 1974 telah membantu Presiden dalam bidang yang saya tekuni. Dan dengan hal ini penting untuk melihat bahwa hasil karya ini bukan hasil tujuh tahun atau 19 tahun dengan adanya IPTN. Datangnya bukan mulai dari adanya Kepres sejak saya kembali, tapi mulai saat bangsa ini bisa berpikir di luar konteks sekadar memerdekakan bangsa.

Orang-orang dari luar negeri mengakui bahwa karya ini bukan hanya karya bangsa Indonesia melainkan karya umat manusia yang datang dari Indonesia. Ini sebabnya mengapa ketika kita hendak membuka perakitan di Amerika Serikat, 26 kota melamar untuk bisa dipilih menjadi tempat perakitan N-250. Mengapa? Karena mereka yakin pesawat tersebut pesawat unggul. Karena mereka berbicara produk unggul itu bukan produk satu bangsa tapi seluruh umat manusia.

N-250 ini hendaklah dilihat sebagai karya generasi penerus. Mereka merekayasa dan membuat N-250. Usia mereka rata-rata di bawah 40 tahun. Jika media massa menokohkan The Man of Indonesia Merdeka 50 Tahun, yang layak menerima penokohan itu adalah mereka yang membanggakan dan menjadi harapan bangsa.

Banyak di antara mereka tidak pandai berbicara, tapi otaknya dinamis. Misalnya yang ahli masalah fly-by-wire atau yang lainnya. Mereka bekerja sampai jam 2 malam, mereka tidur hanya 2 jam dalam 24 jam. Itu terjadi bukan hanya satu hari tapi berbulan-bulan. Karena itu saya makin yakin pada mereka. Bila perlu saya pasang badan saya untuk dijadikan perisai bagi pejuang-pejuang yang kita banggakan itu.

Biasanya penerbangan perdana merupakan rahasia per- usahaan. Tapi karena maknanya jauh lebih luas daripada persoalan teknis, maka kami buka untuk masyarakat. Ba-nyak anggota kabinet menyampaikan komentar spontan bahwa setelah N-250 berhasil terbang, mereka akan berdiri tegak ke manapun.

Banyak kalangan yang kurang percaya dengan N-250. Tapi dengan suksesnya penerbangan perdana, saya kira mereka akan berbondong-bondong kemari untuk mengeta- hui lebih jauh.

Kelahiran N-250 diwarnai kontroversi karena masyarakat kita sangat heterogen. Mereka yang mendapatkan kesempatan menikmati pendidikan tinggi terbatas. Saya kira hal itu juga disebabkan tidak diberinya kesempatan selama penjajahan 350 tahun. Kontroversi itu normal saja. Buat saya hal itu bukan ancaman tapi tantangan.
Masalah dana untuk pengembangan N-2130, berdasarkan perkiraan saat ini, total investasi untuk proyek N-2130 mencapai US$ 2 milyar. Pembiayaannya tidak berasal dari pemerintah. Kami mengandalkan penjualan saham perusahaan yang akan membuat pesawat N-2130 tersebut kepada orang Indonesia. Kalau misalnya harga persaham US$ 1.000, kami hanya perlu menjual dua juta saham. Harus diingat bahwa jumlah orang Indonesia yang termasuk kelas menengah ke atas makin banyak.

Kami berupaya untuk mendapatkan sertifikasi dari berbagai badan penerbangan, baik dalam negerimaupun inter- nasional. Diperkirakan Juni 1997 N-250 mendapatkan ser- tifikasi dari lembaga penerbangan dalam negeri dan akhir Desember 1997 memeperoleh sertifikasi FAA. Dengan demikian, diharapkan pada kuartal pertama 1998 sudah bisa dilaksanakan penyerahan pertama.

Produksi N-250 di AS tidak akan mendahului produksi di Bandung. Karena di AS hanya ada fasilitas perakitan. Karena itu, AMRAI sangat tergantung pada Bandung. Ka- mi akan memperluas fasilitas produksi dengan tambahan lahan 10 hektar.

Untuk AMRAI kami mendapatkan lahan 15 hektar di Alabama yang prasarananya seperti listrik, telepon dan sebagainya sudah disediakan. Bukan itu saja, di sana bahkan penghargaan diberikan kepada kami dengan memberi nama khusus sebuah tempat: Gatotkoco Drive. Dan kami hanya bayar sewa tanah US$1 permeter pertahun.

Tentang pemasaran pesawat ini persoalannya bukan terletak pada pesawatnya melainkan pada dukungan pembia- yaannya. Karena itu Departemen Keuangan, Bank Indone- sia, dan BPIS sedang merancang pembentukan sebuah per- usahaan leasing tidak hanya untuk penjualan pesawat tapi juga seluruh produk BUMNIS seperti Palindo Jaya atau Argo Bromo.

Yang perlu dimengerti adalah bahwa perusahaan leasing itu bukan institusi sosial. Perusahaan itu tidak mensubsidi industri pesawat terbang melainkan merupakan perusahaan pencari untung. Sebagai contoh, kami kini sedang berunding dengan Gulf Stream Airline dari AS yang ingin membeli 10 unit N-250. Persoalannya bukan pada pesawat tapi pada tidak adanya pembiayaan. Untuk mengekspor N-250 bantuan perusahaan leasing sangat penting.

Kembali pada rencana pembentukan perusahaan leasing, apakah nanti seluruh sahamnya dimiliki swasta, itu tergantung pada pemerintah. Buat kami yang terpenting bukan siapa yang memiliki saham melainkan kami bisa mendapatkan cash money. Kalau ditanya: mengapa Menteri Keuangan terlibat dalam proses itu, karena dia merupakan wakil pemerintah sebagai pemegang saham BUMNIS.

Perusahaan leasing ini didirikan untuk memberikan fasilitas kepada customer untuk membeli produk dari BPIS. Sebagai contoh, Mitsubishi Corporation yang punya bank untuk wadah dalam memberikan pelayanan kredit bagi holdingnya itu sendiri. Nama bank itu Mitsubishi Bank. Sedangkan Daimler Benz, walaupun tidak punya bank, tapi sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Deutsche Bank. Jadi, sama saja. Yang memberikan pelayanan kredit ke Daimler Benz adalah Deutzsche Bank.


Dalam kaitan ini, ada beberapa alternatif. Bisa saja nanti BPIS memiliki bank sendiri. Tapi persoalannya syarat untuk membuat bank itu macam-macam dan perlu proses panjang. Padahal, saya perlu cepat-cepat menjual produk BPIS. Ada cara lain, misalnya bank BUMN yang ada ikut dalam pembiayaan selaku leasing company. Kalau menjual produk dengan nilai kecil-kecil umpamanya pembelian satu pesawat terbang yang harganya cuma 15 juta dollar AS, ditangani oleh BPIS sendiri. Tapi kalau pembelian satu armada yang harganya 140 juta dollar AS, BPIS bisa membuat konsorsium dengan bank lain.

Inti persoalannya, bahwa tidak ada satu pun pembeli saat ini yang mau membeli suatu produk kalau itu harus dibayar tunai. Sekarang orang belanja di toko atau makan di restoran saja sudah pakai kartu kredit. Coba saja satu res- toran menulis di depannya "Harus Bayar Tunai", tak bakal laku. Tapi kalau restoran itu menerima pembayaran dengan kartu kredit, banyak yang mau makan di situ. Bayangkan beli makanan sekarang orang lebih suka pakai kartu kredit, apalagi beli pesawat terbang atau kapal laut. Sebab, orang belum tentu punya uang kontan. Mungkin orang hanya punya uang pas-pasan sehingga untuk memperoleh satu produk dia hanya bisa membayar dengan kredit bank. Masalah seperti ini yang menjadi kelemahan BPIS. Kita tidak punya bank yang mau memberi pelayanan jasa seperti itu.

Untuk mengatasi hal ini, sebenarnya saya sudah menulis surat kepada Menteri Keuangan. Sudah ada jawaban dan sudah mendapatkan izin. Tapi tidak bergulir, dalam arti, tidak ada inisiatif dari perbankan pemerintah atau swasta nasional untuk siap mendukung penjaulan produk BPIS dengan fasilitas kredit dari bank kita.

Kendati demikian, tidak berarti BUMNIS rugi terus karena kesulitan penjualan. Bukan rugi. Setiap pesawat terbang, kapal laut atau kereta api yang dibuat an sich pada dirinya untung. Cuma jumlah penjualannya tidak mencukupi. Karena konsumen tidak mau beli dengan bayar kontan. Konsumen mau beli dengan fasilitas kredit. Karena itu, kalau BPIS punya bank yang menjadi finance service sebenarnya kita tidak punya masalah. Apalagi, dilihat dari segi pasasar maupun teknologi, produk BPIS pasti unggul. Saya yakin banyak yang meminatinya tapi terbentur masalah dukungan bank. Dan saya sudah teriak-teriak tapi tidak ada yang tertarik. Itulah sebabnya mengapa kita membuat pab- rik perakitan di Amerika Serikat dan Jerman, sebab mereka membuat simbiose dengan perbankan di sana.

Selain itu, sekarang ini IPTN sedang bernegosiasi de- ngan Uni Emirat Arab untuk membuat joint venture. UEA yang pertama menawari. Semula UEA minta offset, tapi karena UEA tidak punya pabrik dan SDM yang memadai, akhirnya UEA tertarik untuk membentuk leasing company. Bahkan tadinya UEA minta supaya kita mau memberikan hak kepadanya untuk membiayai 100% seluruh produk yang dijual BPIS. Kita tengah bernegosiasi dalam hal ini.

Daripada saya sorak-sorak di sini tapi tidak ada tang- gapan, lebih baik saya membuat patungan dengan UEA. Karena tidak ada jalan lain, terpaksa saya mau patungan dengan UEA karena butuh uang cash untuk membuat dan menjual pesawat. Kalau jalan ini tidak ditempuh kita rugi. Selain itu, belum lama ini ada seorang teman Pak Bustanil Arifin dari Amerika Serikat yang dulu membantu finance beras, dia mau ikut berpartisipasi dalam joint venture dengan UEA. Bayangkan orang asing saja begitu. Tapi dari Indonesia tidak ada.


Bersambung

No comments:

Post a Comment