Friday, December 21, 2012

Mencari Sosok Berintegritas

"Jika mencurigai seseorang berbohong, berpretensilah seakan-akan memercayainya; Kebohongan akan terungkap dengan sendirinya dan topeng akan terbuka."
~Arthur Schopenhauer (1788–1860)~



Kata-kata mutiara itu mengingatkan pada cara kerja berbagai panitia seleksi yang mencari sosok berintegritas untuk masuk komisi-komisi independen. Berbagai cara dilakukan untuk mencari, mengumpulkan, memeriksa, mengendus jejak, hingga mewawancarainya. Wawancaranya pun dilakukan secara terbuka sehingga catatan-catatan negatif setiap calon menjadi tontonan publik. Orang berintegritas tidak berbohong meski catatan negatifnya bukan masalah kecil. Apa yang diucapkan itu adalah yang dilakukan, begitu pula sebaliknya. Namun, selalu saja ada satu-dua yang berbohong.

Kebohongan ini sebenarnya bisa dibaca, tetapi tidak mudah menemukan bukti-bukti. Kalaupun ada, kita hanya menemukan "bukti katanya" dari orang yang mengaku pernah mendengar. Namun, bukti otentik biasanya jarang didapat. "Bukti-bukti katanya" menjadi masalah besar. Di satu sisi menimbulkan ketidakpercayaan, di sisi lain tidak semua anggota panitia seleksi (pansel) memercayai bukti itu. Itu karena selain bukti negatif, orang-orang itu juga punya catatan positif.

Namun, berpretensi baik, seperti kata Arthur Schopenhauer, bisa membuka topeng seseorang. Hanya saja, jarak waktunya tak dalam genggaman waktu yang dimiliki pansel. Semua bisa terjadi setelah mereka terpilih. Mitos orang baik Adakah orang yang kita inginkan benar-benar baik? Jika mencari yang berintegritas saja, kiranya kita semua mempunyai calon. Namun, kita tidak mencari orang yang hanya jujur, tetapi juga mempunyai keberanian, mau memberantas korupsi, dan cerdas.

Masalahnya, orang- orang cerdas belum tentu mau memberantas korupsi, juga sebaliknya. Bergulat dengan perubahan, bangsa ini membutuhkan pemimpin. Dia bukan sekadar manajer biasa yang bekerja dengan sistem dan memelihara keseimbangan. Yang dicari adalah orang yang berani membongkar belenggu dan menanamkan nilai-nilai baru.

Karena itu, Michael Angelo pernah mengatakan, "every act of creation must be started by the act of destuction". Orang seperti itu tentu bisa dibaca dari rekam jejaknya. Semakin banyak belenggu dan tradisi yang dibongkar, semakin tidak populer dan banyak musuhnya. Yang pernah belajar leadership tentu ingat kalimat Paul Newan, "If you don’t have enemy, you don’t have character". Seperti itu pula kita membaca surat-surat bernada amat negatif yang diajukan masyarakat terhadap nama-nama yang lolos uji integritas. Selalu ada orang yang gigih mengajukan bukti-bukti yang terkesan lengkap.

Setelah ditelusuri, ada bagian yang dapat diterima, tetapi tidak semuanya dapat dipertanggungjawabkan. Sebagian informasi justru bertentangan. Kiranya seperti itulah pemimpin perubahan, kian berani, kian banyak musuhnya. Prof. Komaruddin Hidayat mengatakan, "Hanya mobil yang tak pernah keluar garasilah yang tak ada cacatnya." Namun, pemrotes selalu berkilah, "Kalau sudah banyak yang tidak senang, perannya tidak efektif?" Ada semacam rasa tidak nyaman bagi sebagian orang saat nama-nama tertentu masuk dalam list. Pansel bisa saja salah memilih, tetapi tidak bisa bekerja dengan persepsi.

Jam terbang, pengalaman, dan ilmu pengetahuan berperan besar. Hanya karena kenal, atau mereka menjadi wistleblower, belum berati orang itu mampu menjadi sosok yang dicari. Pengalaman di dunia bisnis menunjukkan tidak mudah mencari "orang baik". Selalu ada paradoks, antara pemimpin "kuat" (tetapi menyakitkan) dan pemimpin "baik" (tetapi tidak menyumbang keuntungan). Hal ini juga terjadi dalam mencari pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mitos "orang baik" menjadi perdebatan panjang.

Seolah dengan membuang yang disangka jahat (koruptor), pasti didapat orang baik (antikorupsi). Sebenarnya orang baik dan orang jahat selalu ada di mana-mana. Manusia bisa menjadi baik dan jahat karena karakter dan lingkungannya. Namun, orang tidak otomatis menjadi sesuatu karena persepsi. Oleh karena itu, berhati-hatilah terhadap persepsi. Ini bukan sekadar komitmen ucapan (say believe), tetapi tindakan (do believe) yang hanya didapat dari ujian.

Dan suka atau tidak, ujian tidak ada di tempat bersih, tetapi di lembaga-lembaga kotor. Itulah sebabnya "orang baik" yang berasal dari lingkungan baik-baik hanya mitos. Seperti kata Plato, "hidup yang tidak teruji tidak bernilai." Maka, yang penting bukan hanya prosesnya, tetapi juga rekam jejak dan pelembagaannya. Rekam jejak Abraham Lincoln pernah mengatakan, "A man’s character is like a tree and his reputation like it’s shadow; The shadow is what we think of it; The tree is the real thing."

Rekam jejak membantu kita memahami the real thing, yaitu pohon atau jati diri seseorang yang terbentuk dari apa yang dilakukan bertahun-tahun. Sayang, rekam jejak di Indonesia belum sepenuhnya mencerminkan "pohon" seseorang. Penelusurannya belum dapat dilakukan secara terbuka dengan data-data akurat. Terlebih lagi, banyak data diperoleh melalui pihak ketiga dan laporan masyarakat yang bersifat undercover, confidential, dan tidak tertutup datang dari kalangan "sakit hati". Data itu perlu dibaca dengan penuh kehati-hatian.

Alih-alih mendapat pohon (karakter dan leadership), yang diperoleh hanya bayangan (reputasi), yang bentuknya bisa bermacam-macam. Apalagi seorang change maker, kesannya bisa seperti monster. Orang-orang yang terusik akan berupaya mati-matian menimbulkan impresi jahat. Pengalaman sejarah yang memalukan tidak boleh terulang dalam pemilihan sosok berintegritas. Dalam sejarah kemerdekaan, yang tidak suka dengan tetangganya melaporkan orang itu sebagai pejuang untuk ditahan dan disiksa kompeni (Belanda).

Dalam sejarah pembubaran PKI, lagi-lagi banyak fitnah "sakit hati" ditaburkan sehingga terlapor dibinasakan tentara. Kehati-hatian adalah wisdom, bukan "kurang berani". Untuk memilih pemberani, pansel harus punya nyali, termasuk saat diolok-olok. Oleh karena itu, pengecekan silang menjadi penting dan dilakukan berkali-kali. Pengalaman empiris menemukan, amat mungkin topeng integritas satu-dua orang baru terbuka setelah ia terpilih seperti kata Arthur Schopenhauer. Karena jarak antara cross-check dan pengumuman amat pendek, proses berikut di DPR menjadi amat penting. Meski DPR memakai lensa politik, integritas tidak dapat dijadikan alat tawar-menawar. DPR yang diawasi media tentu punya kemampuan menyaring yang lebih baik. Kalaupun tidak didapat, proses kelembagaan masih bisa menjadi tumpuan. Kelembagaan antikorupsi "Mitos orang baik" dalam proses seleksi bisa berakibat buruk jika amat dipercaya.

Dalam banyak kasus, mitos ini mengakibatkan manusia lupa membangun institusinya, berakibat "orang baik" menjadi "jahat" karena lembaganya lemah. Hampir semua komisi independen yang hanya mengandalkan pemimpin hasil seleksi, yang didukung jajaran birokrasi, mengalami guncangan integritas. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Yudisial (KY) hanya dua contoh. Komisi lainnya tidak berarti terbebas dari masalah.

Mereka menghadapi masalah administrasi perkantoran, laporan keuangan, pengawasan, perekrutan pegawai, pengadaan barang, kepemimpinan kolektif, tata nilai (corporate culture), dan sebagainya. Maka seleksinya tidak sekadar merekrut orang, tetapi membentuk tim yang mutlak harus ada perekat.

Dalam bahasa kepemimpinan, kombinasi reptilia (penyerang, penyidik) dengan mamalia (yang memelihara organisasi) perlu menjadi pertimbangan. Setelah terbentuk, agenda pertamanya bukan menangkap penjahat, tetapi membangun dan menata kembali organisasi. Agar tidak terperangkap, manajemen harus diserahkan kepada profesional. Jadikan komisioner sebagai pemimpin perubahan.

Lembaga yang kuat menyumbang lebih dari 75 persen keberhasilan sebuah misi. Pada lembaga yang kuat, orang-orang "jahat" dapat dibentuk menjadi baik. Sebaliknya, pada lembaga yang manajemennya lemah, orang-orang "baik" dapat berubah menjadi "jahat".

By: Prof.  Rhenald Kasali Salah Seorang Anggota Panitia Seleksi Pimpinan KPK, 2007.

Adalah dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Ketua Program Pascasarjana Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi universitas tersebut. Selain bergerak sebagai akademisi, pria bergelar Ph.D. dari University of Illinois ini juga produktif menulis. Buku-buku yang ditulisnya selalu menjadi perhatian kalangan bisnis dan hampir semua bukunya menjadi best seller di kalangan mahasiswa.

Tuesday, December 11, 2012

Sistem Pendidikan Indonesia Terendah di Dunia



Sistem pendidikan Indonesia menempati peringkat terendah di dunia. Berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson, sistem pendidikan Indonesia berada di posisi terbawah bersama Meksiko dan Brasil. Tempat pertama dan kedua ditempati Finlandia dan Korea Selatan, sementara Inggris menempati posisi keenam. 

Peringkat itu memadukan hasil tes internasional dan data, seperti tingkat kelulusan antara tahun 2006 dan 2010. Sir Michael Barber, penasihat pendidikan utama Pearson, mengatakan, peringkat disusun berdasarkan keberhasilan negara-negara memberikan status tinggi pada guru dan memiliki "budaya" pendidikan. Perbandingan internasional dalam dunia pendidikan telah menjadi semakin penting dan tabel liga terbaru ini berdasarkan pada serangkaian hasil tes global yang dikombinasikan dengan ukuran sistem pendidikan, seperti jumlah orang yang dapat mengenyam pendidikan tingkat universitas. 

Gambaran perpaduan itu meletakkan Inggris dalam posisi yang lebih kuat dibandingkan dengan tes Pisa dari Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), yang juga merupakan salah satu tes dalam proses penyusunan peringkat. Pertimbangan-pertimbangan dalam peringkat ini diproduksi untuk Pearson oleh Economist Intelligence Unit.

Kompetisi Global 

Dua kekuatan utama pendidikan adalah Finlandia dan Korea Selatan, lalu diikuti oleh tiga negara di Asia, yaitu Hongkong, Jepang, dan Singapura. Inggris yang dianggap sebagai sistem tunggal juga dinilai sebagai "di atas rata-rata", lebih baik daripada Belanda, Selandia Baru, Kanada, dan Irlandia. Keempat negara itu juga berada di atas kelompok peringkat menengah termasuk Amerika Serikat, Jerman, dan Perancis. 

Perbandingan ini diambil berdasarkan tes yang dilakukan setiap tiga atau empat tahun di berbagai bidang, termasuk matematika, sains, dan kesusasteraan serta memberikan sebuah gambaran yang semakin menurun dalam beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, tujuan utamanya adalah memberikan pandangan multidimensi dari pencapaian di dunia pendidikan dan menciptakan sebuah bank data yang akan diperbaharui dalam sebuah proyek Pearson bernama Learning Curve. 

Melihat dari sistem pendidikan yang berhasil, studi itu menyimpulkan bahwa mengeluarkan biaya adalah hal penting, tetapi tidak sepenting memiliki budaya yang mendukung pendidikan. Studi itu mengatakan, biaya adalah ukuran yang mudah, tetapi dampak yang lebih kompleks adalah perilaku masyarakat terhadap pendidikan, hal itu dapat membuat perbedaan besar.

Kesuksesan negara-negara Asia dalam peringkat ini merefleksikan nilai tinggi pendidikan dan pengharapan orangtua. Hal ini dapat menjadi faktor utama ketika keluarga bermigrasi ke negara lain, kata Pearson.

Ada banyak perbedaan di antara kedua negara teratas, yaitu Finlandia dan Korea Selatan, menurut laporan itu, tetapi faktor yang sama adalah keyakinan terhadap kepercayaan sosial atas pentingnya pendidikan dan "tujuan moral".

Kualitas Guru 

Laporan itu juga menekankan pentingnya guru berkualitas tinggi dan perlunya mencari cara untuk merekrut staf terbaik. 

Hal ini meliputi status dan rasa hormat serta besaran gaji. Peringkat itu menunjukkan bahwa tidak ada rantai penghubung jelas antara gaji tinggi dan performa yang lebih baik. Dan ada pula konsekuensi ekonomi langsung atas sistem pendidikan performa tinggi atau rendah, kata studi itu, terutama di ekonomi berbasis keterampilan dan global. 

Namun, tidak ada keterangan yang jelas mengenai pengaruh manajemen sekolah dengan peringkat pendidikan. Peringkat untuk tingkat sekolah menunjukkan bahwa Finlandia dan Korea Selatan memiliki pilihan tingkat sekolah terendah. Namun, Singapura yang merupakan negara dengan performa tinggi memiliki tingkat tertinggi.

Sumber: BBC Indonesia

Sunday, December 2, 2012

Sunday, November 11, 2012

A Global Solutions Network

By:  Jeffrey D. Sachs, 
Professor of Sustainable Development, Professor of Health Policy and Management, and Director of the Earth Institute at Columbia University, is also Special Adviser to the United Nations Secretary-General on the Millennium Development Goals. His books include The End of Poverty and Common Wealth.


Great social change occurs in several ways. A technological breakthrough – the steam engine, computers, the Internet – may play a leading role. Visionaries, such as Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr., and Nelson Mandela, may inspire a demand for justice. Political leaders may lead a broad reform movement, as with Franklin Roosevelt and the New Deal.

Our own generation urgently needs to spur another era of great social change. This time, we must act to save the planet from a human-induced environmental catastrophe. Each of us senses this challenge almost daily. Heat waves, droughts, floods, forest fires, retreating glaciers, polluted rivers, and extreme storms buffet the planet at a dramatically rising rate, owing to human activities. 

Our $70-trillion-per-year global economy is putting unprecedented pressures on the natural environment. We will need new technologies, behaviors, and ethics, supported by solid evidence, to reconcile further economic development with environmental sustainability.

Nations Secretary-General Ban Ki-moon is taking on this unprecedented challenge from his unique position at the crossroads of global politics and society. At the political level, the UN is the meeting place for 193 member states to negotiate and create international law, as in the important treaty on climate change adopted at the Rio Earth Summit in 1992. At the level of global society, the UN represents the world’s citizenry, “we the peoples,” as it says in the UN Charter. 

At the societal level, the UN is about the rights and responsibilities of all of us, including future generations. In the past two decades, governments have come up short on solutions to environmental threats. Politicians have failed to implement properly the treaties adopted at the 1992 Earth Summit. Ban knows that strong government action remains vital, but he also recognizes that civil society must also play a larger role, especially because too many governments and politicians are beholden to vested interests, and too few politicians think in time horizons that extend past the next election. 

To empower global society to act, Ban has launched a bold new global initiative, for which I am grateful to volunteer. The UN Sustainable Development Solutions Network is a powerful effort to mobilize global knowledge to save the planet. 

The idea is to use global networks of knowledge and action to identify and demonstrate new, cutting-edge approaches to sustainable development around the world. The network will work alongside and support governments, UN agencies, civil-society organizations, and the private sector.

Humanity needs to learn new ways to produce and use low-carbon energy, grow food sustainably, build livable cities, and manage the global commons of oceans, biodiversity, and the atmosphere. But time is running very short. Today’s mega-cities, for example, already have to confront dangerous heat waves, rising sea levels, more extreme storms, dire congestion, and air and water pollution. 

Agricultural regions already need to become more resilient in the face of increased climate volatility. And as one region in one part of the world designs a better way to manage its transport, energy needs, water supplies, or food supplies, those successes should quickly become part of the global knowledge base, enabling other regions to benefit rapidly as well. 

Universities have a special role to play in the new UN knowledge network. Exactly 150 years ago, in 1862, Abraham Lincoln created America’s “land-grant” universities to help local communities to improve farming and the quality of life through science. 

Today, we need universities in all parts of the world to help their societies face the challenges of poverty reduction, clean energy, sustainable food supplies, and the rest. By linking together, and putting their curricula online, the world’s universities can become even more effective in discovering and promoting science-based solutions to complex problems. The world’s corporate sector also has a significant role to play in sustainable development. Now the corporate sector has two faces. It is the repository of cutting-edge sustainable technologies, pioneering research and development, world-class management, and leadership in environmental sustainability. 

Yet at the same time, the corporate sector lobbies aggressively to gut environmental regulations, slash corporate-tax rates, and avoid their own responsibility for ecological destruction. Sometimes the same company operates on both sides of the divide. We urgently need far-sighted companies to join the Sustainable Development Solutions Network. These companies are uniquely placed to move new ideas and technologies into early-stage demonstration projects, thereby accelerating global learning cycles.

Equally important, we need a critical mass of respected corporate leaders to press their peers to cease the anti-environmental lobbying and campaign-finance practices that account for the inaction of governments. Sustainable development is a generational challenge, not a short-term task. The reinvention of energy, food, transport, and other systems will take decades, not years. But the long-term nature of this challenge must not lull us into inaction. 

We must start reinventing our productive systems now, precisely because the path of change will be so long and the environmental dangers are already so pressing. At the Rio+20 Summit this past June, the world’s governments agreed to adopt a new set of goals on sustainable development for the period after 2015, to build upon the Millennium Development Goals’ success in reducing poverty, hunger, and disease. 

In the post-2015 era, the fight against poverty and the fight to protect the environment will go hand in hand, reinforcing each other. Secretary-General Ban Ki-moon has already initiated several global processes to help establish the new post-2015 goals in an open, participatory, and knowledge-based way. The Secretary General’s launch of the Sustainable Development Solutions Network is therefore especially timely. Not only will the world adopt a new set of goals to achieve sustainable development, but it will also have a new global network of expertise to help achieve those vital objectives.

Source:
http://www.project-syndicate.org/commentary/a-global-solutions-network-by-jeffrey-d--sachs

Friday, November 2, 2012

Thursday, October 11, 2012

The Lost Generations

By: Jeffrey D. Sachs,

Professor of Sustainable Development, Professor of Health Policy and Management, and Director of the Earth Institute at Columbia University, is also Special Adviser to the United Nations Secretary-General on the Millennium Development Goals. His books include The End of Poverty and Common Wealth.

A country’s economic success depends on the education, skills, and health of its population. When its young people are healthy and well educated, they can find gainful employment, achieve dignity, and succeed in adjusting to the fluctuations of the global labor market. Businesses invest more, knowing that their workers will be productive. Yet many societies around the world do not meet the challenge of ensuring basic health and a decent education for each generation of children.

 Why is the challenge of education unmet in so many countries? Some are simply too poor to provide decent schools. Parents themselves may lack adequate education, leaving them unable to help their own children beyond the first year or two of school, so that illiteracy and innumeracy are transmitted from one generation to the next. The situation is most difficult in large families (say, six or seven children), because parents invest little in the health, nutrition, and education of each child.

Tuesday, October 2, 2012

A Global Agenda for Seven Billion

By: Dr. Ban Ki-moon,  

has been Secretary-General of the United Nations since 2007, prior to which he was South Korea’s foreign minister. A career diplomat, he previously served as Director of the UN’s International Organizations and Treaties Bureau, Vice Chairman of the South-North Joint Nuclear Control Commission, and South Korean National Security Adviser.


Late next month, a child will be born – the 7th billion citizen of planet Earth. We will never know the circumstances into which he or she was born. We do know that the baby will enter a world of vast and unpredictable change – environmental, economic, geopolitical, technological, and demographic. 

The world’s population has tripled since the United Nations was created in 1945. And our numbers keep growing, with corresponding pressures on land, energy, food, and water. The global economy is generating pressures as well: rising joblessness, widening social inequalities, and the emergence of new economic powers. These trends link the fate and future of today’s seven billion people as never before. 

No nation alone can solve the great global challenges of the twenty-first century. International cooperation is a universal need. The 66th session of the UN General Assembly is a renewed opportunity for the countries of the world to set aside narrow, short-term interests and commit to cooperative efforts to address humanity’s long-term imperatives. At a time when all nations are experiencing individual challenges, we need to forge a worldwide common agenda that can help to ensure that the seven billionth baby and future generations grow up in a world characterized by sustainable peace, prosperity, freedom, and justice. 

To help create this future, I am focusing my second term as Secretary-General on five global imperatives – five generational opportunities to shape the world of tomorrow by the decisions we make today. The first and greatest of these imperatives is sustainable development. We all must understand that saving our planet, lifting people out of poverty, and advancing economic growth are one and the same fight. We must connect the dots between climate change, water scarcity, energy shortages, global health, food security, and women’s empowerment. 

Solutions to one problem must be solutions for all. In the next five years, we need to create a new economic vision for sustainable development and forge global consensus on a binding climate change agreement. Fostering economic growth, realizing the Millennium Development Goals, and combating climate change will all depend on creating a new energy system for the twenty-first century and extending it to every person on the planet.

Prevention as a framework for international cooperation is a second opportunity. This year, the UN peacekeeping budget will total $8 billion. Think of what we could save by avoiding conflicts – by deploying political mediation missions, for example, rather than troops. 

We know how to do this. Our record proves it – in Guinea, Kenya, and Kyrgyzstan. A third imperative is building a safer and more secure world. In this effort, we must be courageous in standing up for democracy, human rights, and peace. This year was one of signature achievements in restoring and securing peace – in Côte d’Ivoire, Darfur, Egypt, and elsewhere. But hatred and bloodshed still stand in the way of our vision for peace.

In the Middle East, we must break the stalemate. Palestinians deserve a state. Israel needs security. Both want peace. A negotiated settlement can produce these outcomes, and the UN is a platform for forging such a peace. So, too, will we continue our efforts to foster democratic governance in Iraq, Afghanistan, the Democratic Republic of Congo, and Sierra Leone. 

And, in the name of all of humanity, we will continue to push forward on nuclear disarmament and non-proliferation, in service of realizing a world free of nuclear weapons. The fourth big opportunity is supporting countries in transition. This year’s dramatic events in North Africa and the Middle East inspired people around the globe. Let us help make the Arab Spring a true season of hope for all. 

In Libya, we are deploying a new UN support mission to assist the country’s transitional authorities in establishing a new government and legal order, consistent with the aspirations of the Libyan people. Syria is a special concern. For six months we have seen escalating violence and repression. The government has repeatedly pledged to undertake reforms and listen to its people. It has not done so. 

The moment to act is now. The violence must stop. Last but not least is the imperative of working with and for women and young people. Women hold up more than half the sky and represent much of the world’s unrealized potential. We need their full engagement – in government, business, and civil society. The UN has placed a high priority on promoting women at all levels of the Organization and this year, for the first time, UN Women is operating to promote the interests and rights of women all over the world. Seven billion people now look toward the United Nations for solutions to the world’s great global challenges. 

They hold different religions and backgrounds but common dreams and aspirations. Our global future depends on bringing these individual talents and universal rights together in common cause. Let our common agenda begin.

Source:
http://www.project-syndicate.org/commentary/a-global-agenda-for-seven-billion

Monday, September 3, 2012

Memahami Jenderal Besar Soeharto


Jend. Besar TNI Purn. Haji Muhammad Soeharto, (EREYD: Suharto) (lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul,Yogyakarta, 8 Juni 1921 – meninggal di Jakarta, 27 Januari 2008 pada umur 86 tahun) adalah Presiden Indonesia yang kedua (1967-1998), menggantikan Soekarno. Di dunia internasional, terutama di Dunia Barat, Soeharto sering dirujuk dengan sebutan populer "The Smiling General" (bahasa Indonesia: "Sang Jenderal yang Tersenyum") karena raut mukanya yang selalu tersenyum di muka pers dalam setiap acara resmi kenegaraan.





Mantan wakil presiden Try Sutrisno mengungkapkan, mantan presiden Soeharto sering diam-diam (incognito) berkeliling ke daerah-daerah untuk melihat hasil pembangunan yang ia canangkannya. "Saya masih ingat, Pak Harto selalu melakukan "incognito". Pesannya tidak boleh ada satu pun yang tahu kalau Pak Harto mau melakukan incognito," ujar Try yang juga mantan ajudan Soeharto dalam peluncuran buku "Pak Harto, The Untold Stories" di Museum Purnabhakti Pertiwi, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur.

Saat melakukan incognito, Soeharto selalu berpesan agar tidak ada seorang pun yang tahu, baik pejabat daerah maupun pejabat pusat. "Yang ikut biasanya hanya tiga mobil, dokter kepresidenan, pengawal, Pak Harto dan saya," kenang Try. 

Dia menuturkan, saat melakukan incognito, rombongan Soeharto membawa logistik sendiri yang telah disediakan oleh Ibu Tien Soeharto. "Biasanya membawa sambal teri bikinan Ibu Tien. Ketika waktu makan tiba, Soeharto pun tak segan-segan makan bersama anak buahnya," ujarnya. 

Menurut dia, perjalanan incognito yang dilakukan Soeharto selama berhari-hari tanpa protokoler, tanpa pengawalan formal dan makan dengan bekal seadanya serta menginap di rumah penduduk membulatkan pikiran dan tindakan Pak Harto dalam mengambil keputusan terbaik bagi kesejahteraan bangsanya.



Karier militer 

Pada 1 Juni 1940, ia diterima sebagai siswa di sekolah militer di Gombong, Jawa Tengah. Setelah enam bulan menjalani latihan dasar, ia tamat sekolah militer sebagai lulusan terbaik dan menerima pangkat kopral. Ia terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong serta resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945. Dia bergabung dengan pasukan kolonial Belanda, KNIL.

Saat Perang Dunia II berkecamuk pada 1942, ia dikirim ke Bandung untuk menjadi tentara cadangan di Markas Besar Angkatan Darat selama seminggu. Setelah berpangkat sersan tentara KNIL, dia kemudian menjadi komandan peleton, komandan kompi di dalam militer yang disponsori Jepang yang dikenal sebagai tentaraPETA, komandan resimen dengan pangkat mayor, dan komandan batalyon berpangkat letnan kolonel. Setelah Perang Kemerdekaan berakhir, ia tetap menjadi Komandan Brigade Garuda Mataram dengan pangkat letnan kolonel.

Ia memimpin Brigade Garuda Mataram dalam operasi penumpasan pemberontakan Andi Azis di Sulawesi. Kemudian, ia ditunjuk sebagai Komadan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) Sektor Kota Makassar yang bertugas mengamankan kota dari gangguan eks KNIL/KL. Pada 1 Maret 1949, ia ikut serta dalam serangan umum yangberhasil menduduki Kota Yogyakarta selama enam jam. Inisiatif itu muncul atas saran Sri Sultan Hamengkubuwono IX kepadaPanglima Besar Soedirman bahwa Brigade X pimpinan Letkol Soeharto segera melakukan serangan umum di Yogyakarta dan menduduki kota itu selama enam jam untuk membuktikan bahwa Republik Indonesia (RI) masih ada. Pada usia sekitar 32 tahun, tugasnya dipindahkan ke Markas Divisi dan diangkat menjadi Komandan Resimen Infenteri 15 dengan pangkat letnan kolonel (1 Maret 1953).

Pada 3 Juni 1956, ia diangkat menjadi Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro di Semarang. Dari Kepala Staf, ia diangkat sebagai pejabat Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro. Pada 1 Januari 1957, pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel. Lembaran hitam juga sempat mewarnai lembaran kemiliterannya. Ia dipecat oleh Jenderal Nasution sebagai Pangdam Diponegoro. Peristiwa pemecatan pada 17 Oktober 1959 tersebut akibat ulahnya yang diketahui menggunakan institusi militernya untuk meminta uang dari perusahaan-perusahan di Jawa Tengah. Kasusnya hampir dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani. Atas saran Jendral Gatot Subroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat.


Pada usia 38 tahun, ia mengikuti kursus C SSKAD (Sekolah Staf dan Komando AD) di Bandung dan pangkatnya dinaikkan menjadi brigadir jenderal pada 1 Januari 1960. Kemudian, dia diangkat sebagai Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat di usia 39 tahun. Pada 1 Oktober 1961, jabatan rangkap sebagai Panglima Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum AD) yang telah diembannya ketika berusia 40 tahun bertambah dengan jabatan barunya sebagai Panglima Kohanudad (Komando Pertahanan AD). Pada tahun 1961 tersebut, ia juga mendapatkan tugas sebagai Atase Militer Republik Indonesia di Beograd, Paris (Perancis), danBonn (Jerman). Di usia 41 tahun, pangkatnya dinaikkan menjadi mayor jenderal (1 Januari 1962) dan menjadi Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan merangkap sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur di Makassar.

Sekembalinya dari Indonesia Timur, Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun 1962, Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) hingga 1965. Sekitar setahun kemudian, tepatnya, 2 Januari 1962, Brigadir Jenderal Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Mayor Jenderal Soeharto dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat dan segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya.

Setelah diangkat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada 1 Mei 1963, ia membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) untuk mengimbangi G-30-S yang berkecamuk pada 1 Oktober 1965. Dua hari kemudian, tepatnya 3 Oktober 1965, Mayjen Soeharto diangkat sebagai Panglima Kopkamtib. Jabatan ini memberikan wewenang besar untuk melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai pelaku G-30-S/PKI. 

Sebagai presiden 




Roma, Italia, 14 November 1985. Musim dingin yang membekap Kota Roma ketika itu turut menggigit tubuh setiap peserta Konfrensi ke-23 Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). Tidak kurang dari 165 negara anggota mengirimkan wakilnya ke perhelatan yang membetot perhatian mata dunia terhadap Indonesia kala itu. Presiden Soeharto yang sukses mengantarkan Indonesia dari pengimpor besar terbesar di dunia menjadi swasembada didapuk maju ke podium untuk memberikan pidatonya. Dia menyerahkan bantuan satu juta ton padi kering (gabah) dari para petani untuk diberikan kepada rakyat Afrika yang mengalami kelaparan. “Jika pembangunan di bidang pangan ini dinilai berhasil, itu merupakan kerja raksasa dari seluruh bangsa Indonesia,” kata Presiden Soeharto dalam pidatonya.

 Karena itu, FAO mengganjar keberhasilan itu dengan penghargaan khusus berbentuk medali emas pada 21 Juli 1986. Prestasi Soeharto di bidang pertanian memang fantastik atau dahsyat. Indonesia mengecap swasembada besar mulai 1984. Produksi besar pada tahun itu mencapai 25,8 juta ton. Padahal, data 1969 beras yang dihasilkan Indonesia hanya 12,2 juta ton. Hasil itu memaksa Indonesia mengimpor beras minimal 2 juta ton. Sebab itu, pada 10 Maret 1988, Soeharto kembali terpilih sebagai presiden oleh MPR yang kelima kalinya. Posisi wakil presiden diserahkan kepada Sudharmono. Sekali lagi, mata dunia tertuju lagi kepada seorang Soeharto. Karena sukses dalam pelaksanaan program kependudukan dan keluarga berencana, Presiden Soeharto mendapat piagam penghargaan perorangan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York pada 8 Juni 1989. “Kenaikan produksi pangan tidak banyak berarti jika pertambahan jumlah penduduk tidak terkendali,” tandas Soeharto.

Dia dianugerahi UN Population Award, penghargaan tertinggi PBB di bidang kependudukan. Penghargaan itu disampaikan langsung oleh Sekretaris Jenderal PBB, Javier de Cueller di Markas Besar PBB, New York bertepatan dengan ulang tahun Soeharto yang ke-68 pada 8 Juni 1989. Soeharto makin dilirik ketika berhasil menegakkan harkat bangsa Indonesia di latar ekonomi Asia. Di ASEAN, dia dianggap berjasa ikut mengembangkan organisasi regional ini sehingga diperhitungkan di dunia. “Tanpa kebaikan dan kehadiran Soeharto, kami akan menghabiskan banyak jatah produk domestic bruto di bidang pertahanan,” ujar Perdana Menteri Australia Paul Keating ketika itu. Paul Keating menyebut Soeharto sebagai “ayah”.


Dalam bukunya, Soeharto; Political Biography, Robert Edward Elson menulis, “Soeharto adalah tokoh yang amat penting selama abad XX di Asia.” Dua Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon dan Ronald Reagan juga memuji gebrakan Soeharto. Tetapi, Soeharto mengklaim dirinya anak petani dengan nilai-nilai biasa yang tidak berambisi menguasai negeri Indonesia dan mendahului kepentingan bangsa. “Saya di rumah, di antara istri dan anak-anak merasa sebagai seorang biasa, hanya secara kebetulan diberi kepecayaan oleh rakyat untuk memimpin negara ini sebagai presiden,” tutur Soeharto dalam suatu temu wicara pada Peringatan Hari Ibu ke-67 di Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur pada 22 Desember 1989.

Sebab itu, pada 14 September 1991, Presiden Soeharto menolak permintaan Amerika Serikat untuk memperoleh pangkalan militer di Indonesia setelah pindah dari Filipina. Soeharto dipilih oleh MPR sebagai presiden untuk yang keenam kalinya pada 10 Maret 1993. Kali ini, Try Sutrisno sebagai wakil presiden. Setelah enam kali berturut-turut ditetapkan MPR sebagai presiden, Soeharto mulai menyatakan jika dirinya tidak berambisi menjadi presiden seumur hidup (12 Maret 1994). Pada kepemimpinannya periode ini, Presiden Soeharto memberhentikan Prof Dr Satrio Budiharjo Joedono selaku Menteri Perdagangan sebelum akhir masa jabatan (6 Desember 1995). Soeharto yang mengawali kekuasaannya sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 dan menjadi presiden pada 27 Maret 1968 terus menggenggam jabatan itu selama 31 tahun.

Semula ada yang memperkirakan bahwa Soeharto akan menolak pencalonannya kembali sebagai presiden untuk periode yang keenam pada tahun 1998 setelah istrinya meninggal dunia pada 28 April 1996. Perkiraan itu ternyata keliru. Ketika usianya mencapai 75 tahun, ia bukan saja bersedia untuk dicalonkan kembali tetapi menerima untuk diangkat kembali sebagai presiden untuk periode 1998-2003. Ia menerima penganugerahan Bintang Lima atau Pangkat Jenderal Besar saat berusia 76 tahun (39 September 1997).

Sunday, September 2, 2012

High Advance Technology II

 

6. Nanotechnology:

This track will cover the science, technology and potential future capabilities of nanotechnology, including:
(1) Fundamental scaling laws and their limits. 
(2) The nature of atomically precise structures and computational chemistry. 
(3) Current and proposed manufacturing technologies including: lithography, self assembly, DNA nanotechnology, positional assembly, Scanning Probe Microscopy, mechanosynthesis, molecular positional devices, self replicating systems, molecular nanotechnology (MNT) and nanofactories. 
(4) Molecular computing, molecular logic elements, carbon nanotube electronics and thermal limits in computing. 
(5) Medical nanorobotics and nanomedicine, life extension and cryonics. 
(6) the impact of nanotechnology on space, energy production and storage, national security, green manufacturing, environmental remediation and other areas.

TRACK CHAIRS & ADVISORY (Nanotechnology)
  • Co-Chair: Robert Freitas, Jr , Sr Research Fellow, Inst for Molecular Manufacturing
  • Co-Chair: Ralph Merkle, Sr Research Fellow, Inst for Molecular Manufacturing
  • Advisor: J Storrs Hall, Pres, Foresight Inst; Author, Beyond AI & Nanofuture
  • Advisor: Neil Jacobstein, CEO, Teknowledge; Media X Prog, Stanford Univ

7. Medicine, Neuroscience & Human Enhancement:

This track will explore the future of biomedicine, neuroscience, and human enhancement and its impacts on human health and performance in six areas: 
(1) Stem cells and regenerative medicine: the emerging ability to repair, replace and regenerate damaged, aged, or diseased tissues utilizing cell therapies, therapeutic cloning, pluripotent stem cells, tissue engineering, biomaterials and artificial organs. 
(2) Targeted therapies, including minimally invasive medical devices, designer drugs, identification and targeting of cancer stem cells. 
(3) Medical diagnostics and imaging: increasingly powerful and rapid imaging modalities, point-of-care medical diagnostics, and biomarker technology.
(4) Neuroscience: neuroprosthetics (artificial retina, cochlear implants, brain-computer interfaces, deep brain stimulation), neuroplasticity, and direct fMRI functional brain imaging/scanning. 
(5) Wellness: preventative drugs, supplements/antioxidants/diet, proactive regimens, Internet-based medical informatics, and telemedicine. 
(6) Human enhancement: exoskeletons, robotic limbs, neuroenhancing pharmacological agents, gene therapy, and anti-aging strategies.

TRACK CHAIRS & ADVISORY (Medicine, Neuroscience & Human Enhancement)

8. AI & Robotics:

This track focuses on intelligent machines. The main topics are: 
(1) Introduction to intelligent machines: perception, actions, representation, reasoning, learning, dealing with uncertainty. 
(2) AI technology: efficient exploration of state space, planning, logical inference, probabilistic inference, representation languages, machine learning, and language understanding. Alternative approaches for producing artificial general intelligence (AGI) or strong AI. 
(3) Robotics technology: hardware systems (sensors, manipulators), mobility, localization and mapping, human-robot interactions, multi-agent systems, autonomous vehicles, scaling to micro- and nano-machines. 
(4) Applications in home, transportation, medicine, security, internet, entertainment, space, and other areas. 
(5) Future directions: technology trends, solving the hard problems. AI ethics, potential for runaway AI, friendly vs. unfriendly AI. Uncertainties concerning when computers will match various capabilities of the human brain. 
Will computers become conscious?

TRACK CHAIRS & ADVISORY (AI & Robotics)
  • Co-Chair: Neil Jacobstein, CEO, Teknowledge; Media X Prog, Stanford Univ
  • Co-Chair: Raj Reddy, Prof of Computer Science & Robotics, Carnegie Mellon Univ
  • Advisor: Ben Goertzel, Founder, Novamente; Dir of Research, Singularity Inst
  • Advisor: Jason Lohn, Senior Research Scientist, Carnegie Mellon University
  • Advisor: Dharmendra Modha, Manager, Cognitive Computing, IBM Almaden
  • Advisor: Peter Norvig, Director of Research, Google Inc.
  • Advisor: Sebastian Thrun, Prof of Computer Science, Director AI Lab at Stanford

9. Energy & Ecological Systems:

This track will cover future breakthroughs in renewable energy production, including solar, wind, ocean, geothermal, biological, and nuclear; grid 2.0 & transmission systems; energy storage technology & systems, including fuel cells; efficient transportation systems; energy conservation & efficiency, energy for the developing world; the Earth as an environmental system, including climate models and strategies and geoengineering; and global catastrophe scenarios and existential extinction events (asteroids, biowarfare, gamma ray bursts, nuclear war, etc.) and survival, prevention, and mitigation strategies.

TRACK CHAIRS & ADVISORY (Energy & Ecological Systems)
  • Co-Chair: Sunil Paul, Founding Partner at Spring Ventures
  • Co-Chair: Michel Gelobter, Founder, Cooler Inc; former Pres, Redefining Progress
  • Co-Chair: Dan Whaley, Founder and CEO, Climos
  • Advisor: Dan Kammen, Co-director of the Berkeley Inst of the Environment
  • Advisor: Claire Tomkins, Project Manager: Gigaton Throwdown

10. Space & Physical Sciences:

Calling on the extensive research and instructional resources at NASA Ames, this track will explore:
(1) The future of space, including future launch and propulsion systems (lasers, space elevators, ion engines, solar sails, fusion drives); nanosatellites; orbital satellite systems for communications and Earth and remote sensing; energy sources such as Helium-3 from the lunar regolith, solar-powered satellites; asteroids and comets as sources of metals, minerals and fuel. 
(2) Cosmology (including dark matter and dark energy and fundamental structure of matter); astrobiology and the origin of life on Earth and elsewhere; SETI and communication with extraterrestrial life; computronium (converting matter to a computational resource); and spreading intelligence to the universe.
TRACK CHAIRS & ADVISORY (Space & Physical Sciences)

Team Design Project:

The Team Project for SU’s Graduate Studies Program (June 27th -Aug 29th 2009) is the centerpiece of the curriculum where students are given a challenging, interdisciplinary, and real world problem that exemplifies one of humanity’s grand challenges. 2009’s Team Project is called, 10^9+ (ten to the ninth, plus) where students will be asked how they can impact 1 Billion people, worldwide, in a positive way, in 10-years time leveraging accelerating technologies. 
At the end of the 9 week summer session, students will present their results before a panel of individuals composed of representatives from private and public industries. They will also launch a website and other deliverables to serve as a launchpad for practical solutions and continued international dialogue related to various aspects of the problem.
  • Co-Chair: Lauren Fletcher, Engineer, Astrobiology, NASA Ames Research Center
  • Co-Chair: Keith Kleiner, Associate Founder, Singularity University

Technology Advisory Board:

The purpose of Singularity University’s Technology Advisory Team is to provide the University with ideas and guidance for the support and implementation of software tools for education, outreach and social media. In essence, the team strives to keep Singularity University at the cutting-edge of computer-based information systems, particularly online social networking and media applications.

Media Advisory Board:

Singularity University Media is producing a feature documentary for theatrical and broadcast distribution, and a series of short documentaries for online distribution. We are also recording lectures and panel discussions for DVD and online release. SU Media is run by former Technology Producer and Web Strategist at Charlie Rose, Matt Rutherford.

Sumber:

Singularity University

Monday, August 20, 2012

Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie

Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie 
Pada Acara HARI KEBANGKITAN TEKNOLOGI NASIONAL 2012 
Bandung, 10 Agustus 2012



Reaktualisasi Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Membangun Kemandirian Bangsa

Ysh. Gubernur/Kepala Daerah Propinsi Jawa Barat,
Ysh. Para Pejabat Kementerian Riset Dan Teknologi,
Ysh. Muspida dan Pejabat tingkat Propinsi Jawa Barat,
Bapak‐bapak dan Ibu‐ibu para peneliti, penggiat dan pemerhati Iptek yang saya cintai,
Hadirin yang terhormat,

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,
Salam sejahtera untuk kita semua.

HAKTEKNAS DAN N‐250 Hari ini tanggal 10 Agustus 2012, 17 tahun lalu, tepatnya 10 Agustus 1995, dalam rangka peringatan 50 tahun kemerdekaan Indonesia, bangsa kita telah menggoreskan pena sejarahnya dengan terbang perdana pesawat terbang canggih N‐250. Pesawat turboprop tercanggih ‐‐ hasil disain dan rancang bangun putra‐putri bangsa sendiri ‐‐ mengudara di atas kota Bandung dalam cuaca yang amat cerah,seolah melambangkan cerahnya masa depan bangsa karena telah mampu menunjukkan kepada dunia kemampuannya dalam penguasaan sain dan teknologi secanggih apapun oleh generasi penerus bangsa. 

Bandung memang mempunyai arti dan peran yang khusus bagi bangsa Indonesia. Bukan saja sebagai kota pendidikan, kota pariwisata atau kota perjuangan, namun Bandung juga kota yang menampung dan membina pusat‐pusat keunggulan Iptek, sebagai penggerak utama proses nilai tambah industri yang memanfaatkan teknologi tinggi (high tech). 

Kita mengenang peristiwa terbang perdana pesawat N250 itu sebagai Hari Kebangkitan TeknologiNasional (HAKTEKNAS), yang dalam pandangan saya merupakan salah satu dari lima “Tonggak Sejarah”bangsa Indonesia, yaitu: 

Pertama : Berdirinya Budi Utomo, 20 Mei 1908 (Hari Kebangkitan Nasional – 20 Mei); 
Kedua : Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 (Hari Sumpah Pemuda – 28 Oktober); 
Ketiga : Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 
(Hari ProklamasiKemerdekaan ‐ 17 Agustus); 
Keempat : Terbang perdananya pesawat paling canggih Turboprop N250 
(Hari KebangkitanTeknologi Nasional – 10 Agustus); 
Kelima : Diperolehnya “Kebebasan”, dengan dimulainya kebangkitan demokrasi pada tanggal 21 Mei 1998. 

Pada tahun 1985, sepuluh tahun sebelum terbang perdananya, telah dimulai riset dan pengembanganpesawat N250. Semua hasil penelitian dari pusat‐pusat keunggulan penelitian di Eropa dan AmerikaUtara dalam bidang ilmu dirgantara, ilmu aerodinamik, ilmu aeroelastik, ilmu konstruksi ringan, ilmurekayasa, ilmu propulsi, ilmu elektronik, ilmu avionik, ilmu produksi, ilmu pengendalian mutu (qualitycontrol) dsb, telah dikembangkan dan diterapkan di industri IPTN, di Puspitek, di BPPT dan di ITB.Dengan terbangnya N250 pada kecepatan tinggi dalam daerah “subsonik” dan stabiltas terbangdikendalikan secara elektronik dengan memanfaatkan teknologi “fly by wire”, adalah prestasi nyatabangsa Indonesia dalam teknologi dirgantara. Dalam sejarah dunia penerbangan sipil, pesawat N250adalah pesawat turboprop yang pertama dikendalikan dengan teknologi fly by wire.

Dalam sejarah dunia dirgantara sipil, pesawat Jet AIRBUS A300 adalah yang pertama kali menggunakanteknologi fly by wire, namun AIRBUS 300 ini terbang dalam daerah “transsonic” dengan kecepatantinggi, sebagaimana kemudian juga Boeing‐777. Fakta sejarah mencatat bahwa urutan pesawat penumpang sipil yang menerapkan teknologi canggihuntuk pengendalian dan pengawasan terbang dengan “fly by wire” adalah sebagai berikut: 

1. A‐300 hasil rekayasa dan produksi Airbus Industri (Eropa) 

2. N‐250 hasil rekayasa dan produksi Industrie Pesawat Terbang Nusantara IPTN, sekarangbernama PT. Dirgantara Indonesia (Indonesia) 

3. BOEING 777 hasil rekayasa dan produksi BOEING (USA) 

Fakta sejarah dunia dirgantara juga mencatat bahwa 9 bulan sebelum N250 melaksanakan terbangperdananya, pada hari Rabu tanggal 7 December 1994 di Montreal Canada, kepada tokoh yang dianggappaling berjasa dalam industri dirgantara sipil dunia diberikan medali emas “Edward Warner Award ‐ 503Tahun ICAO”. Penghargaan tersebut diberikan dalam rangka memperingati 50 tahun berdirinya“International Civil Aviation Organisation atau ICAO”, yang didirikan pada hari Kamis tanggal 7 Desember 1944 di Chicago – USA oleh Edward Warner bersama beberapa tokoh industri dirgantara yang lain. 

ICAO didirikan dengan tujuan membina perkembangan Industri dirgantara sipil di dunia. Upacarapenghargaan tersebut dihadiri oleh para Menteri Perhubungan Negara yang anggota PerserikatanBangsa Bangsa.Dalam upacara yang sangat meriah, khidmat dan mengesankan tersebut, Sekretaris Jenderal ICAOPhilippe Rochat yang didampingi oleh Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros‐Ghali, menyerahkanmedali emas “Edward Warner Award 50 Tahun ICAO” oleh kepada putra indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie. 

Bukankah kedua Fakta Sejarah Dirgantara ini telah membuktikan bahwa kualitas SDM Indonesia sama dengan kualitas SDM di Amerika, Eropa, Jepang dan China? Dengan peristiwa tersebut kita dapat membuktikan kepada generasi penerus Indonesia serta masyarakat dunia, bahwa bangsa Indonesia memiliki kemampuan dan kualitas yang sama dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) secanggih apapun yang sekaligus dilengkapi dengan kokohnya iman dan taqwa (Imtaq). 

Peningkatan jumlah dan kualitas manusia Indonesia yang terdidik tersebut juga melahirkan kesadaran akan peran dan tanggung jawab mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di kalangan generasi muda.

Para hadirin yang berbahagia Bukan hanya Pesawat Terbang N250 yang dipersembahkan oleh Generasi Penerus sebagai hadiah Ulang Tahun Kemerdekaan ke‐50 kepada Bangsa Indonesia 17 tahun yang lalu, tetapi mereka juga menyerahkan Kapal untuk 500 Penumpang dan Kereta Api Cepat, yang semuanya dirancang bangun oleh Generasi Penerus. Hal yang sekarang patut kita tanyakan adalah: Hadiah HUT Kemerdekaan ke 67 apa yang dapat kita persembahkan pada Hari Kebangkitan Teknologi Nasional, 17 Tahun setelah prestasi yang membanggakan itu? 

Bagaimana keadaan Industri Strategis yang telah menghasilkan produk andalan yang membanggakan 17 Tahun yang lalu? 

Bagaimanakah keadaan industri Dirgantara dan Industri penunjangnya sekarang? 

Bagaimana perkembangan pusat keunggulan Ilmu Aerodinamik, Gadynamik, Getaran (LAGG), Ilmu Konstruksi Ringan (LUK), Elektronik (LEN) dsb. yang telah dimulai puluhan tahun yang lalu? 

Bagaimana keadaan pendidikan SDM yang mampu menguasai teknologi secanggihapapun? Masih banyak pertanyaan yang patut kita berikan dan jawab! 4 Pertanyaan tersebut di atas dapat dijawab dengan mengkaji fakta dan kecenderungan sebagai berikut: Produk pesawat terbang, produk kapal laut dan produk kerata api yang pernah kita rancangbangun‐‐ dalam “eufori reformasi” telah kita hentikan pembinaannya atau bahkan sedangdalam “proses penutupan”. Misalnya PT. DI yang dahulu memiliki sekitar 16.000 karyawan,sekarang tinggal kurang‐lebih 3.000 karyawan, yang dalam 3 sampai 4 tahun mendatangdipensiun karena tidak ada kaderisasi dalam segala tingkat. Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang mengkoordinir 10 Perusahaan yang pada tahun1998 memiliki kinerja turn‐over sekitar 10 Milliard US$ dengan 48.000 orang karyawan, kemudian dalam “eufori reformasi” dibubarkan! Pembinaan Industri Dirgantara, Industri Kapal,Industri Kereta Api, Industri Mesin, Industri Elektronik‐Komunikasi dan Industri Senjata, dsb.tidak lagi mendapat perhatian dan pembinaan! 

KEPPRES No. 1 tahun 1980 tentang ketentuan penggunaan produk pesawat buatan dalamnegeri dihapus dan PTDI tidak lagi didukung secara finansial maupun kebijakan industripendukung lain. PTDI berupaya untuk tetap bertahan hidup (survive) dengan berkonsentrasi kepada penjualanproduk yang ada a.l. CN235 dan pesawat lisensi NC212 dan helikopter. 

Di lain pihak, biaya pengembangan pesawat – termasuk pendidikan SDM terampil ‐‐ dianggaphutang kepada Pemerintah, yang mengakibatkan pembukuan PTDI buruk di mata perbankansehingga menyulitkan industri untuk dapat beroperasi dan tidak memungkinkan industriberinvestasi. PTDI melakukan diversifikasi usaha di berbagai bidang a.l., jasa aerostructure, engineeringservice dan maintenance‐repair‐overhaul dan tidak lagi menitikberatkan pada rancang bangundan produksi. 

Dengan terpuruknya program pengembangan dalam negeri, banyak design engineers yangmemilih pergi ke luar negeri (a.l. Amerika, Eropa) untuk bekerja di industri pesawat terbanglain. Sebagian besar dalam beberapa tahun pulang, setelah negara setempat mendahulukanpekerja lokal dibandingkan dengan pekerja asing (kasus: Embraer). Dengan berjalannya waktu, tanpa program pengembangan, PTDI tidak dapat melakukanpergantian/regenerasi karyawan engineering, yang pada gilirannya mengancam kapabilitasdan kompetensi PTDI sebagai produsen pesawat. 

Apa yang dialami oleh PT. Dirgantara, dialami pula oleh semua perusahaan yang dahuludikoordinir oleh Badan Pengelolah Industri Strategis, BPIS. Segala investasi yang dilaksanakan pada perkembangan dan pendidikan SDM yang trampil tanpakita sadari telah “dihancurkan” secara sistimatik dan statusnya kembali seperti kemampuanbangsa Indonesia 60 tahun yang lalu! Prasarana dan sarana pengembangan SDM di Industri, di PUSPITEK, di Perguruan Tinggi (ITB, ITS,UI, UGM, dsb.) serta di pusat‐pusat keunggulan yang dikoordinasikan oleh Menteri Riset danTeknologi dialihkan ke bidang lain atau dihentikan, sehingga teknologi ‐‐ untuk meningkatkan“nilai tambah” suatu produk secanggih apapun ‐‐ yang dibutuhkan oleh pasar domestikdikurangi dan bahkan dihentikan pembinaannya dan diserahkan kepada karya SDM bangsa laindengan membuka pintu selebar‐lebarnya untuk impor! Pasar Domestik yang begitu besar di bidang transportasi, komunikasi, kesehatan dsb.“diserahkan” kepada produk dimpor yang mengandung jutaan “jam kerja” untuk penelitian,pengembangan dan produksi produk yang kita butuhkan. Produk yang dibutuhkan itu harus kita biayai dengan pendapatan hasil ekspor sumber daya alamterbaharukan dan tidak terbaharukan, energi, agro industri, pariwisata, dsb. 

Ternyata potensiekspor kita ini tidak dapat menyediakan jam kerja yang dibutuhkan sehingga SDM di desa haruske kota untuk mencari lapangan kerja atau ke luar negeri sebagai TKI dan TKW. Akibatnya,proses pembudayaan dalam rumah tangga terganggu dsb. dsb. Proses pembudayaan(“Opvoeding, Erszeihung, Upbringing”) harus disempurnakan dengan proses pendidikan dansebaliknya, karena hanya dengan demikian sajalah produktivitas SDM dapat terus ditingkatkanmelalui pendidikan dan pembudayaan sesuai kebutuhan pasar. 

Pertumbuhan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi seharusnya dipelihara setinggimungkin untuk dapat meningkatan “pendapatan bruto masyarakat” atau peningkatan“kekayaan national” atau “national wealth”. Namun pemerataan pemberian kesempatanberkembang, pemerataan pendidikan‐pembudaaan dan pemerataan pendapatanlah yang padaakhirnya menentukan kualitas kehidupan, kualitas kesejahteraan dan kualitas ketentraman yangmenjadi sasaran tiap masyarakat. 

Bukankah jam kerja yang terselubung pada tiap produk yang kita beli itu pada akhirnyamenentukan tersedianya lapangan kerja atau mekanisme proses pemerataan dalam arti yangluas itu? Kita harus pandai memproduksi barang apa saja yang dibutuhkan di pasar nasional dan memberiinsentip kepada siapa saja, yang memproduksi di dalam negeri, menyediakan jam kerja danakhirnya lapangan kerja.

Potensi pasar nasional domestik kita sangat besar. Misalnya, pertumbuhan penumpang pesawatterbang sejak 10 tahun meningkat sangat tinggi, sekitar 10% ‐ 20% rata2 tiap tahun. Produksipesawat terbang turboprop N250 untuk 70 penumpang ‐‐ yang sesuai rencana pada tahun 2000sudah mendapat sertifikasi FAA ‐‐ dan Pesawat Jet N2130 untuk 130 penumpang – yang sesuairencana akan mendapat sertfikasi FAA pada tahun 2004 – adalah jawaban kita untuk memenuhikebutuhan pasar. Kedua produk yang dirancang bangun oleh putra‐putri generasi penerus iniyang mengandung jutaan jam kerja, bahkan harus dihentikan. 

MENGAPA? ? ? Demikian pula dengan produksi kapal Caraka Jaya, Palwobuwono dan kapal Container yangharus dihentikan. Produksi kerata api harus pula dihentikan. Walaupun pasar domestik nasional begitu besar, namun sepeda motor, telpon genggam dsb. ‐‐yang semuanya mengandung jam kerja yang sangat dibutuhkan ‐‐ nyatanya barang‐barangtersebut tidak diproduksi di dalam negeri. 

MENGAPA? MENGAPA? MENGAPA? 

Memang kesejahteraan meningkat, golongan menegah meningkat dan pertumbuhan meningkatpula, namun proses pemerataan belum berjalan sesuai kebutuhan dan kemampuan kita. Ini hanya mungkin jikalau jam kerja yang terkandung dalam semua produk yang dibutuhkanitu secara nyata diberikan kepada masyarakat madani Indonesia. 

Oleh karena itu padakesempatan untuk berbicara di hadapan para peserta Sidang Paripurna MPR tanggal 1 Juni 6 Tahun 2011, saya garis bawahi pentingnya kita menjadikan NERACA JAM KERJA sebagaiIndikator Makro Ekonomi disamping NERACA PERDAGANGAN dan NERACA PEMBAYARAN. 

Para hadirin yang berbahagia Pada peringatan HAKTEKNAS tahun 2012 saat ini, saya ingin menggarisbawahi apa yang sudah dikemukakan banyak kalangan yakni perlunya kita melakukan reaktualisasi peran Iptek dalam kehidupanberbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka meningkatkan daya saing dan produktivitas nasional,serta untuk menghadapi berbagai permasalahan bangsa masa kini dan masa datang. Problema kebangsaan yang kita hadapi semakin kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun global, dan hal tersebut akan mensyaratkan solusi yang tepat, terencana dan terarah.Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk. 

Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk‐produk ke Negara asal,sedemikian rupa sehingga rakyat harus "membeli jam kerja" bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo‐colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu "VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru". (Hal tersebut telah saya sampaikan pada Pidato Peringatan Kelahiran Pancasila di hadapan Sidang Pleno MPR RI tanggal 1 Juni 2011 yang lalu).

Dalam forum yang terhormat ini, saya mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya para tokoh dan cendekiawan di kampus‐kampus serta di lembaga‐lembaga kajian dan penelitian lain untuk secara serius merumuskan implementasi peran iptek dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dalam konteks masa kini dan masa depan.Terkait dengan hal tersebut, saya sangat menghargai upaya Pemerintah dalam membentuk Komite Inovasi Nasional (yang dikenal dengan KIN) dan Komite Ekonomi Nasional (yang dikenal dengan KEN)dengan tugas sebagai advisory council untuk mendorong inovasi di segala bidang dan mempercepat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Saya mengetahui bahwa KIN maupun KEN telah merumuskan berbagai strategi dan kebijakan dan agenda aksi, khususnya yang menyangkut perbaikan ekosistem inovasi dan pengembangan wahana transformasi industri. 

Apa yang ingin saya ingatkan ialah, jangan sampai berbagai konsep yang dirumuskan oleh KIN maupun KEN tersebut hanya berhenti ditingkat masukan kepada Presiden saja, atau pun di tingkat rencana pembangunan saja, namun perlu direalisasikan dalam kegiatan pembangunan nyata. 

Jangan kita merasa puas dengan wacana maupun berencana, namun ketahuilah bahwa rakyat menunggu aksi nyata dari kita semua, baik para penggiat teknologi, penggiat ekonomi,pemerintah maupun lembaga legislatif.Saya juga menyarankan agar Pemerintah maupun Legislatif perlu lebih proaktip peduli dan bersungguhsungguhdalam pemanfaatan produk dalam negeri dan “perebutan jam kerja”. 

Kerjasama Pemerintah Daerah dan Pusat bersama dengan wakil rakyat di lembaga Legeslatif Daerah dan Pusat perluditingkatkan konvergensinya ke arah lebih pro rakyat, lebih pro pertumbuhan dan lebih pro pemerataan.7Pada kesempatan ini, saya juga ingin menyampaikan pesan dan himbauan, hendaknya kita pandaipandaibelajar dari sejarah. 

Janganlah kita berpendapat bahwa tiap pergantian kepemimpinan harusdengan serta‐merta disertai pergantian kebijakan, khususnya yang terkait dengan program penguasaandan pernerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita mengetahui bahwa dalam penguasaan,pengembangan dan penerapan teknologi diperlukan keberlanjutan (continuity). 

Jangan sampaipengalaman pahit yang dialami industri dirgantara dan industri strategis pada umumnya ‐‐ sebagaimanasaya sampaikan di atas ‐‐ terulang lagi di masa depan! Jangan sampai karena eufori reformasi ataukarena pertimbangan politis sesaat kita tega “menghabisi” karya nyata anak bangsa yang dengan penuhketekunan dan semangat patriotisme tinggi yang didedikasikan bagi kejayaan masa depan Indonesia. Para hadirin yang berbahagia Kita dapat bersyukur bahwa bangsa Indonesia adalah suatu bangsa yang multi etnik dan sangat pekaterhadap keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Allah subhana wata’alla. 

Oleh karena itu PANCASILA adalah falsafah hidup nyata bangsa ini yang dari masa ke masa selalu disesuaikan dengan kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi dan peradaban yang dikembangkan dan diterapkan oleh kita bersama.Dapat kita catat, bahwa saat ini bangsa kita sudah keluar dari “euforia kebebasan” dan mulai kembali ke“kehidupan nyata” antara bangsa‐bangsa dalam era globalisasi. Persaingan menjadi lebih ketat dan berat. Peran SDM lebih menentukan dan informasi sangat cepat mengalir. Kita menyadari bahwa tidak semua informasi menguntungkan peningkatan produktivitas dan daya saing SDM Indonesia. 

Budaya masyarakat lain dapat memasuki ruang hidup keluarga. Kita harus meningkatkan “Ketahanan Budaya”sendiri untuk mengamankan kualitas iman dan taqwa (Imtak) yang melengkapi pemahaman ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang diberikan dalam sistem pendidikan dan pembudayaan kita, yang menentukan perilaku, produktivitas dan daya saing Generasi Penerus.Kita sudah Merdeka 67 Tahun, sudah Melek Teknologi 17 Tahun, sudah Bebas 14 Tahun.

Kita sadar akan keunggulan masyarakat madani yang pluralistik, sadar akan kekuatan lembaga penegak hukum(Yudikatif) dan informasi yang mengacu pada nilai‐nilai PANCASILA dan UUD‐45 yang terus disesuaikandengan perkembangan pembangunan nasional, regional dan global. Saya akhiri sambutan ini dengan ucapan: 

REBUT KEMBALI JAM KERJA! WUJUDKAN KEMBALI KARYA NYATA YANG PERNAH KITA MILIKI UNTUK PEMBANGUNAN PERADABAN INDONESIA! BANGKITLAH, SADARLAH ATAS KEMAMPUANMU! 

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh 

Bandung, 10 Augustus 2012 

Bacharuddin Jusuf Habibie

Saturday, August 18, 2012

High Advance Technology

 

 

1. Futures Studies & Forecasting:

Singularity University is a profoundly and uniquely futures-oriented institution. Its very purpose is to identify and use exponentially-accelerating technologies to create better conditions for everyone on Earth; to heal and nurture the planet itself; and to guide humanity as it reaches beyond the limits of Earth and of humanity’s historical evolution on Earth. It is the mission of the Futures Studies and Forecasting Track to help see that this positive futures-orientation is foremost in everything we do by presenting, discussing, critiquing, and infusing the theories and methods of futures studies throughout the curriculum and in all SU activities. Ray Kurzweil, Paul Saffo, James Canton, and Jim Dator–futurists who have had years of practical, applied, as well as academic experience in futures studies–serve as co-chairs of this track.

TRACK CHAIRS & ADVISORY (Futures Studies & Forecasting)
  • Co-Chair: Ray Kurzweil, Founder, Kurzweil Technologies, Inc.
  • Co-Chair: James Canton, CEO and Chairman of the Institute for Global Futures
  • Co-Chair: Jim Dator, Prof & Dir of the Hawaii Research Center for Futures Studies
  • Co-Chair: Paul Saffo, Visiting Scholar in the Stanford Media X research network
  • Advisor: Jerome Glenn, Director, The Millennium Project
  • Advisor: John Smart, Founder & President, Acceleration Studies Foundation
  • Advisor: Peter Bishop, Associate Professor, College of Technology, University of Houston
  • Advisor: Will Wright, Creator: SimCity, Spore; Founder, Maxis (Electronic Arts)

2. Policy, Law & Ethics:

This track will examine the role of government, law and ethics in dealing with the implications of the technologies covered in other tracks, including reinventing patent law, the patentability of concepts developed by AI, nanotechnology, and biotech/biomedical research; the future legal status of AIs, robots, cyborgs, and non-terrestrial resources and possible off-Earth civilizations; dealing with cybercrime and possible AI manipulation of financial markets; preventing risks from unfriendly AI, nanotech, and genetics; negative scenarios (surveillance, police states, etc.); the precautionary principle vs. the proactionary principle; policy and legal issues of environment crisis, and ethical issues around anticipated human manipulations, brain enhancements, AIs, self-replicating nanotech, brain uploads, cryogenics and re-animation. The track will also consider the promises in addition to the perils: what are the downside risks if we do not develop certain kinds of biotechnology, AI, or nanotech?

TRACK CHAIRS & ADVISORY (Policy, Law & Ethics)

3. Finance & Entrepreneurship

The exponential growth of technology, while most visible in the fields of computing and the sciences, has had an equally dramatic effect on every facet of the business world. From the long tail reverberations of virtual goods, through the outsourcing of every aspect of creation and production, to the explosive development of personal brands and the potentially culture-changing introduction of micro-finance, the approaching Singularity is revolutionizing our global economic system. 

This track will begin in the first trimester with a rapid trip through the dramatic changes in business already caused by accelerating technologies, include an introduction to business structures and principles, provide tools and insights for monetizing the new technologies, and culminate with cross-track workshops on both the Essence of Entrepreneurship and Presentation and Communications Skills. 

During the second trimesters, topics that will be covered in collaboration with other tracks include understanding the new workforce and personal branding, private financing of space travel, the economics of knowledge, green financing through carbon ‘cap & trade’, virtual market economics, microfinance and the concept of money as information. 

A field trip to the Google campus as well as special guest lectures and hands on case studies will help Fellows come to grips with the immediate, real-world effects of high velocity business in the age of the Singularity.

TRACK CHAIRS & ADVISORY (Finance & Entrepreneurship)

4. Networks & Computing Systems:

Calling on the rich resources of leading-edge companies and academics in Silicon Valley, this track covers the explosive growth of computer power and networks, focusing on three key revolutionary areas:

(1) Emerging and future computational and storage technologies, including 3D molecular computing, nanocomputing, DNA/RNA computing, plasmonics, spin storage, memristors, optical storage, photonics, quantum computing, pico- and femtotechnology, and autonomic computing, addressing important issues such as reversible computing, the limits of information representation, scalable computing systems, and future petascale and exascale supercomputers;

(2) Future user interfaces, such as augmented reality, virtual reality. virtual worlds, blended reality, virtual agents, bots, lifelogging, breakthroughs in computer graphics, holographic and 3D displays, teleimmersion, telepresence, haptic interfaces, personalized learning, and extracting knowledge from massive volumes of data via data analysis, data mining, and information visualization; and

(3) Intelligent networks, including nth-generation Internet, smart search engines, the semantic Web, smart grid, shared vs. dedicated Lightpath Internet, cyber-physical systems and sensor networks, security and privacy vs. transparency, mobile and location-based computing, cloud computing, Interplanetary Internet, ubiquitous wireless networks and ubiquitous computing, mesh networks, adaptive networks, embedded networks, and the global physics grid.

TRACK CHAIRS & ADVISORY (Networks & Computing Systems)
  • Co-Chair: Bob Metcalfe, General Partner, Polaris Venture Partners
  • Co-Chair: Kevin Fall, Principal Engineer at Intel Research Berkeley
  • Advisor: Vint Cerf, Vice President and Chief Internet Evangelist, Google Inc.
  • Advisor: Chris DiBona, Open Source Program Manager, Google Inc.
  • Advisor: Daniel Ford, Senior Mathematician, Google Inc.
  • Advisor: Larry Smarr, Dir, CA Institute for Telecommunications & Information Tech

5. Biotechnology & Bioinformatics:

This track covers the exponential growth in biotechnology and bioinformatics, focusing on four areas: 
(1) genome technologies (genomics and proteomics, ultra-rapid, low-cost gene sequencing, and statistical and computational extrapolations of large biological databases); 
(2) Personalized medicine (4P medicine: personalized, predictive, preventative, participatory; high-speed, full-genome, consumer-based sequencing; personal SNP analysis and ethics);

 (3) Intelligent design (ultra-rapid, low-cost DNA writing, selective gene manipulation/substitution, ethics of germline modification, RNA interference); and

 (4) Microfludics and single-molecule technologies.

TRACK CHAIRS & ADVISORY (Biotechnology & Bioinformatics)
  • Chair: Daniel Reda, Co-Founder, CureTogether
  • Advisor: Aubrey de Grey, Chairman & CSO, Methuselah Foundation
  • Advisor: David Haussler, Professor, Biomolecular Engineering, UC Santa Cruz
  • Advisor: Andrew Hessel, Founding Director, Pink Army Cooperative
  • Advisor: Stuart Kim, Professor, Developmental Biology, Stanford University

Sumber:

Singularity University