Monday, January 31, 2011

INDUSTRIALISASI DAN PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN II

Pendekatan dan Pengembangan Industri 
Mengingat peranannya yang besar itu, pantaslah jika GBHN 1993, menegaskan bahwa dalam kerangka pem-bangunan ekonomi sebagai penggerak utama pembangunan, sangat perlu dilakukan penataan industri nasional. Dalam kaitan ini, pembangunan industri diarahkan pada penguatan dan pendalaman struktur industri untuk terus meningkatkan efisiensi dan daya saing industri menuju kemandirian, serta menghasilkan barang yang makin bermutu yang dikaitkan dengan pengembangan sektor lainnya, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.

Bersamaan dengan itu perlu terus ditingkatkan kemampuan rancang bangun dan rekayasa industri dengan memanfaatkan kemampuan teknologi untuk dapat menghasilkan produk unggulan bernilai tambah yang tinggi dan padat keterampilan. Penyebaran lokasi industri keluar Jawa diarahkan untuk mendorong pusat-pusat pertumbuhan industri di daerah yang potensial untuk dikembangkan sebagai upaya pemerataan kesempatan dan lapangan kerja, kesempatan usaha, dan pemanfaatan sumberdaya setempat secara optimal dengan tetap memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Sejalan dengan itu, perlu dikembangkan kemampuan sumberdaya manusia, baik untuk perencanaan, pelaksanaan, dan penguasaan teknologi maupun tumbuhnya profesionalisme dan kewiraswastaan, menuju terwujudnya masyarakat industri Indonesia.
Dari orientasi dasar pengembangan industri di atas, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi.
Pertama, bahwa pengembangan industri nasional akan dilakukan seiring dengan pengembangan sumberdaya ma-nusia dan didukung oleh kemampuan teknologi yang semakin meningkat. Hal ini amat logis, karena seperti kita ketahui bersama bahwa Indonesia di mata dunia internasional dikenal sebagai negara dengan letak geografis yang strategis, dan memiliki aneka sumberdaya alam yang berlimpah, bahkan memiliki stabilitas politik yang relatif mantap.

Tetapi potensi yang amat besar itu tetap sekadar potensi, tempat tidur nyaman untuk bermimpi serta berangan-angan; tempat yang baik untuk menemukan seribu alasan untuk tidak bekerja. Selama kita tidak mampu mengubah potensi tersebut menjadi kekuatan nyata, selama itu pula potensi tadi hanya merupakan impian yang hampa. Untuk mengubah potensi tadi menjadi kenyataan diperlukan input teknologi, keterampilan teknis dan keterampilan manajemen, yang disertai kerja keras dan disiplin yang ketat.

Jelaslah di sini, bahwa problema pokok yang kita hadapi bersama adalah problema pengembangan manusia Indonesia menjadi suatu kekuatan pokok dalam pembangunan Indonesia, berupa suatu sumber daya terbarukan (renewable resource) yang bermutu tinggi dalam semangat serta keterampilan kerjanya, diukur dengan standar internasional.

Kedua, pengembangan industri nasional harus dikembangkan seiring dengan pola pengembangan potensi wilayah secara merata di seluruh tanah air.

Pertimbangan ini didasarkan pada kenyataan bahwa negara kepulauan Indonesia mempunyai lingkungan yang beraneka-ragam. Demikian pula penduduknya. Bhinneka Tunggal Ika; itulah letak kekuatan kita. Dan mempertimbangkan persoalan kebhinnekaan ini dalam kerangka industrialisasi adalah suatu pemikiran yang amat strategis.
Sepintas lalu, dengan relatif berkembangnya prasarana dan keterampilan tenaga kerja di pulau Jawa, konsep pengembangan industri di Jepang layak diterapkan di Indonesia; yaitu, dengan mendatangkan energi dan bahan baku dari luar Jawa untuk kemudian proses manufacturing-nya sendiri dilaksankan di pulau Jawa. Akan tetapi jika diingat bahwa pulau Jawa hanya merupakan 7% dari seluruh wilayah Indonesia, dan hanya 16% dari luas daratan Indonesia, maka baik secara ekonomis, secara sosial politis, secara teknis maupun ditinjau dari sudut kebudayaan, pemusatan industri di pulau Jawa bukanlah merupakan suatu strategi yang terbaik.

Dari sudut Wawasan Nusantara yang kita anut, akan lebih baik jika manusia Indonesia di daerah tertentu dibuat tergerak untuk datang ke daerah-daerah Indonesia lainnya, di mana terdapat sumber-sumber daya alam dan energi, melalui pendirian sentra-sentra industri dan inkubator-inkubator pengembangan nilai tambah di lokasi terdapatnya sumber daya alam dan energi tersebut. Jika hal ini dapat dikembangkan maka akan terjadi gerakan migrasi penduduk Indonesia yang mirip dengan gerakan migrasi yang terjadi di Amerika Serikat pada tahap-tahap permulaan industrialisasinya.

Atas dasar itu, perlu dikembangkan pemikiran mengenai kemungkinan pengembangan industri pada lokasi terdapatnya sumber daya energi: baik yang terbarukan seperti geothermal atau tenaga air, maupun yang tidak terbarukan seperti batubara, minyak dan gas bumi; serta di lokasi-lokasi terdapatnya bahan mentah, dengan mendatangkan tenaga kerja dari pulau Jawa ataupun daerah lain di Indonesia.

Jika kita bandingkan ke dua pola pengembangan industri tersebut, yang pertama pola Jepang dan yang ke dua pola Amerika Serikat, tampaknya pola Amerika Serikat yang lebih sesuai dengan pola penyebaran sumber daya energi, sumber daya alam serta sumber daya manusiawi Indonesia dipandang sebagai suatu kesatuan wilayah yang luas dan beraneka seperti Amerika Serikat.

Sebagai konsekuensi dari pola pengembangan yang berbeda dari Jepang dan serupa dengan Amerika Serikat tersebut adalah bahwa harus pula dibina serta dimantapkan pemikiran bahwa di Indonesia, sumber daya manusia dan teknologi merupakan faktor produksi yang dapat dan harus dipindah-pindahkan; sedangkan sumber daya energi dan sumber daya alam lainnya harus dikembangkan setempat sebagai landasan material pembangunan, baik ditinjau sebagai pembangunan wilayah maupun ditinjau sebagai pembangunan secara nasional.

Ini berarti bahwa pembangunan wilayah-wilayah di Indonesia, termasuk pembangunan wilayah Indonesia Timur, harus disesuaikan dengan potensi sumberdaya alam dan energinya baik sekarang maupun di masa mendatang tanpa mempersoalkan kelangkaan sumberdaya manusiawi serta teknologi, yang pada prinsipnya dapat didatangkan dari luar wilayah. Ini juga berarti bahwa secara nasional sumber daya manusia dan teknologi dapat disebarkan ke wilayah-wilayah yang memerlukannya, dan karena itu bukan merupakan faktor yang dominan.

Sebagai akibat dari pola pengembangan wilayah yang digambarkan di sini, kita harus mengubah pemikiran kita mengenai pola dan sifat transmigrasi yang, secara tidak sadar, di dalam pikiran kita selalu dikaitkan dengan bidang dan kegiatan-kegiatan di sektor pertanian. Pemikiran ini harus diubah menjadi pemikiran tentang transmigrasi yang dikaitkan dengan teknologi yang dibutuhkan dalam rangka pengembangan suatu wilayah. Ini tidak saja meliputi pengembangan sektor pertanian tetapi meliputi semua sektor ekonomi yang secara potensial dapat dikembangkan di suatu wilayah. Transmigrasi dalam konsep ini harus diberi arti yang lebih luas dan dipikirkan sebagai transmigrasi teknologi, di mana tenaga-tenaga ahli dan tenaga-tenaga terampil beserta peralatan dan sistem-sistemnya dialirkan ke wilayah-wilayah tertentu sesuai dengan kesempatan dan potensi pengembangan wilayah masing-masing.

Ketiga, cepat atau lambat struktur ekonomi Indonesia akan segera bergeser dari sektor agraris ke sektor industri. Hal itu mengandung ramifikasi yang luas sekali bagi perkembangan ekonomi masyakat. Di satu pihak ada ruang gerak yang lebih luas untuk mempercepat peningkatan pertumbuhan ekonomi dan untuk memperkuat kedudukan ne-raca pembayaran luar negeri. Dalam pada itu kita juga menghadapi dilema dari sudut pertambahan penduduk dan kesempatan kerja.

Karena perkembangan sektor industri manufaktur berdasarkan pola produksi yang padat modal dengan penggunaan teknologi maju, dalam jangka pendek, mungkin selama satu dasawarsa atau lebih, belum menciptakan kesempatan kerja secara berarti.

Untuk mengatasi hal ini, antara lain, perlu diupayakan agar bagian yang semakin besar dari hasil tambahan di sektor-sektor yang tumbuh dengan pesat dialihkan sebagai reinvestasi untuk meluaskan dasar kegiatan ekonomi masyarakat kita. Dengan perkataan lain perlu adanya diversifikasi horizontal dengan memperluas jenis dan ragam usaha produksi pertanian dengan mengutamakan produksi pertanian pangan, disertai diversifikasi vertikal dengan meningkatkan usaha pengolahan bahan dasar dan menggalakkan rantai usaha selanjutnya sehingga mendorong sektor produksi "manufacturing".

Keempat, dalam upaya mengolah dan meningkatkan nilai tambah sumberdaya alam yang kita miliki melalui proses industrialisasi, harus diperhatikan masalah-masalah keselarasan, kelestarian dan keterkaitannya secara luas, demi kesinambungan Pembangunan Nasional itu sendiri.

Juga hendaknya disadari benar bahwa masalah pengembangan sumber daya alam tidak dapat dilihat sebagai suatu yang berdiri sendiri, lepas dan tanpa kaitan dengan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan perkembangan dunia secara keseluruhan. Pernyataan ini akan saya beri ilustrasi sebagai berikut:

Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, terlihat suatu kesadaran pada umat manusia bahwa planet yang bernama bumi, yang dihuni umat manusia ini, mempunyai daya tampung yang terbatas; dan bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi sumber-sumber yang diperlukan bagi perkembangan dunia tidak lagi tersedia secara memadai. Memang benar, bahwa dugaan mengenai kekurangan bahan mentah bagi perkembangan dunia dalam arti mutlak baru merupakan spekulasi manusia saja dan belum pernah terbukti.

Namun yang tak boleh dilupakan bahwa saat ini kita telah memasuki suatu era di mana terlihat ketidakseim- bangan antara penyediaan dan permintaan, terutama dalam bidang penyediaan energi dan pada beberapa logam dasar. Keadaan ini telah lebih memberatkan nasib bangsa-bangsa miskin di dunia, dan telah memperbesar ramifikasi sosial mengenai pembagian yang tak seimbang dalam pendapatan dunia dimana kebutuhan dasar bagi kebanyakan penduduk dunia tak mungkin dapat terpenuhi.

Pada saat ini dunia tengah menghadapi serangkaian isu yang sangat kompleks, antara lain: penyediaan pangan bagi penduduk dunia yang semakin bertambah, masalah-masalah yang berkaitan dengan kesempatan serta kemacetan dalam pengembangan industri; masalah penyediaan bahan energi dan bahan baku lainnya; masalah kebijaksanaan sumber daya alam dan pengaruhnya terhadap lingkungan hidup manusia; peranan pendidikan, penelitian, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam konteks sosialnya; masalah-masalah yang timbul dari kepincangan neraca pembayaran dan perdagangan internasional; serta pengaruh hadirnya perusahaan-perusahaan multi nasional.

Gejala-gejala yang disebutkan tadi dapat muncul di sana sini secara terpisah dan pada waktu yang berbeda pula. Namun demikian, semua itu pada dasarnya hanyalah gejala permukaan yang mencerminkan kekuatan di bawah permukaan yang bersifat lebih mendasar. Gaya-gaya tersebut telah bekerja selama beberapa lama tetapi baru muncul secara lebih menonjol dalam dua-tiga dasawarsa terakhir ini. Semua gejala tadi berhubungan erat dengan suatu rangkaian proses yang saling berinteraksi antara dinamika kependudukan, pengembangan sumber daya alam, pertumbuhan ekonomi, perkembangan teknologi dan pengaruhnya terhadap lingkungan hidup.

Selama ini kita melihat bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan dan dikuasai oleh negara-negara industri maju. Sementara kita tahu bahwa sains dan teknologi merupakan kunci bagi pengembangan dan pemanfaatan sumber-sumber daya alam. Ironisnya, aplikasi sains dan teknologi selama ini lebih dikaitkan pada permintaan dari lapisan masyarakat berpenghasilan tinggi dengan permintaan yang selalu meningkat dan dicirikan oleh pola konsumtif yang berlebihan.

Perkembangan dan pertum-buhan ekonomi dunia dengan demikian telah mengakibatkan gejala ketidakseimbangan bahan baku (materials imbalance) di satu pihak, dan kegagalan kita memenuhi kebutuhan dasar bagi sebagian besar penduduk dunia ini di pihak yang lain. Oleh karena itu timbul jurang pemisah antara bangsa-bangsa kaya dan miskin. Dan jurang pemisah itu kian hari kian melebar dan menjadi semakin dalam. Dalam konteks ini kita dapat melihat pentingnya peranan sumber daya alam bagi pembangunan suatu bangsa. Karena pembangunan itu sendiri merupakan interaksi terpadu antara tiga unsur pokok, yakni: sumber daya manusia, sumber daya alam, dan teknologi.

Secara garis besarnya, sumber daya alam yang saya maksudkan di sini meliputi:

(1) tanah dan air;

(2) tanaman dan pepohonan;

(3) sumber aquatik;

(4) sumber energi dan mineral; dan pada keempat unsur pokok ini dapat pula ditambahkan

(5) iklim, udara, serta pemandangan alam. Dalam usaha manusia mengembangkan sumber daya alam, misalnya, sumber daya mineral, kita melihat keha-rusan adanya beberapa faktor penentu, yakni:
  1. Apakah terdapat jebakan (deposit) cukup besar yang bernilai ekonomis?
  2. Berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk menggali, mengolah dan membawanya ke tempat yang dibutuhkan?
  3. Apakah teknologi untuk itu tersedia; jika tidak berapa besar biaya dan berapa lama waktu dibutuhkan untuk mengembangkannya?
  4. Berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk menjamin kelestarian alam, yakni apa yang disebut environmental cost?
  5. Bagaimana keadaan dinamika sosial setempat?
Oleh karena itu, suatu conditio sine qua non yang harus dipenuhi sebelum kita dapat melangkah ke arah pengembangan dan pemanfaatan sumber daya alam ialah: inventarisasi dan evaluasi sumber daya alam tersebut secermat mungkin.
Dalam proses pengembangan sumber daya alam terlihat beberapa kegiatan yang dibutuhkan, yakni:
  1. Inventarisasi dan evaluasi sumber daya alam. Hal ini diperlukan bagi para produsen untuk menggariskan kebijaksanaannya. Suatu inventarisasi yang cermat dapat menghilangkan keragu-raguan mengenai potensi penyediaan secara kontinyu dan dapat pula memberitahukan akan kemungkinan kekurangan persediannya di kemudian hari. Hal-hal itu akan menguntungkan baik produsen maupun para konsumen.
  2. Suatu pengetahuan terperinci mengenai keadaan pasaran dunia. Dalam hal ini termasuk juga pengetahuan mengenai kecenderungan-kecenderungan pemanfaatan akhir (end-use trends), serta persyaratan-persyaratan teknis dari bahan-bahan baku yang diperuntukkan di berbagai pemanfaatan akhir; sifat elastisitas harga, elastisitas pendapatan dan sebagainya.
  3. Pengetahuan mengenai cara-cara mempertinggi tingkat dan efisiensi produksidisertai pengembangan konsep dan teknik konservasi .
  4. Akhirnya dibutuhkan kemampuan untuk memberi nilai tambah pada sumber daya alam yang telah diolah menjadi bahan baku. Ini berarti pengembangan industri-industri sekunder maupun tersier di dalam negeri, untuk menyerap produksi bahan baku guna dijadikan bahan jadi atau setidak-tidaknya bahan setengah jadi. Tanpa ini, suatu negara produsen akan tetap menjadi produsen bahan mentah. Dalam konstelasi perkembangan dunia dan pertumbuhan ekonomi dunia masa kini, negara semacam itu tak ubahnya seperti negara jajahan saja.
Jadi dalam perkembangan tersebut dapat dilihat dua tahapan besar dengan sifatnya yang berbeda-beda, yakni: pada tahap awal ditujukan pada produksi bahan mentah guna memperoleh devisa untuk memupuk keterampilan teknis dan keterampilan manajemen. Sedangkan pada tahap berikutnya untuk memperoleh nilai tambah dan menurunkan biaya tambah dalam produksi, menciptakan kesem-patan kerja serta mengalihkan teknologi.

Faktor terakhir ini amat penting mengingat dinamika kependudukan negara berkembang seperti Indonesia. Jelaslah bahwa untuk mewujudkan semua itu dibutuhkan input teknologi. Akan tetapi perlu diingat, teknologi pun baru bisa bermanfaat jika tersedia keterampilan teknis dan ketrampilan manajemen. Dalam konteks ini, sekali lagi kita melihat betapa pentingnya pengembangan sumber daya manusia.

Semua problema dan tantangan dalam konteks industrialisasi tersebut memerlukan adanya pendekatan yang tepat dan pragmatis. Dalam hal ini yang saya harapkan adalah adanya suatu pendekatan-permulaan, suatu "zero approximation". Hal ini perlu diambil karena dalam prakteknya tidak akan ada suatu penyelesaian yang eksak terhadap suatu problema apapun. Dalam menghadapi problema-problema, selalu akan kita hasilkan sederetan langkah penyelesaian yang semakin mendekati hasil yang eksak, dari X = 0 sampai X = . Deretan penyelesaian suatu problema dapat dibayangkan merupakan kurva-kurva dengan garis lurus (assymtotic curves) menuju pada pemecahan 100%. Dan deretan hasil-hasil tersebut dapat dimulai sebagai pendekatan "dari bawah" menuju suatu optimum atau "dari atas" menuju suatu minimum. Jika, umpamanya, pendekatan permulaan atau "zero approximation" baru menghasilkan 10%, maka hasil tersebut dapat dinilai belum sempurna.

Untuk itu, perlu dilakukan percobaan-percobaan ulang, sehingga berturut-turut menghasilkan 50%, 70%, 80% dan seterusnya, sampai tercapai suatu titik di mana kita berhenti berusaha mendekati hasil 100% karena tidak ekonomis lagi untuk melanjutkan percobaan-percobaan. Usaha mendekati hasil 100% tersebut dapat pula dilakukan "dari atas". Misalnya, pada percobaan pertama dihasilkan 150%, kemudian hasil-hasil menjadi 120%, 110%, dan seterusnya hingga mendekati angka 100%. Usaha mendekati suatu minimum "dari atas" biasanya dilakukan pada kondisi tidak terdapatnya keterbatasan-keterbatasan dalam sumber daya, seperti misalnya dalam ekonomi Amerika Serikat sebelum krisis energi. Sebaliknya, di Jepang dan di Eropa, di mana terdapat kebudayaan serta sikap yang sangat dipengaruhi oleh keterbatasan-keterbatasan dalam sumber daya, biasanya ditempuh pendekatan-pendekatan yang mulai "dari bawah", kurva menuju suatu optimum.

Memang, kita di Indonesia tidak mengalami krisis energi. Dan, seperti telah saya kemukakan, kita memiliki sumber daya manusiawi yang belum sepenuhnya kita gali potensinya. Namun, jika kita tidak berhati-hati, kita pula akan merasakan adanya keterbatasan dalam sumber daya alam. Karena itu, dalam semua upaya kita sebaiknya mulai "dari bawah" dan secara berangsur-angsur menuju ke suatu hasil yang optimum yang letaknya di antara 50% sampai 100% hasil eksak.

(Bersambung)

Thursday, January 27, 2011

Kebijakan Teknologi Maju untuk Keamanan Nasional dan Pembangunan Ekonomi II

Kerjasama ekonomi menjurus pada penggunaan sumber-sumber yang lebih optimum. Alasannya ialah bahwa pasar yang diciptakan oleh kerjasama ekonomi adalah lebih luas daripada yang ditimbulkan dari konfrontasi ekonomi. Skala ekonomi di dalam kerjasama ekonomi jauh lebih besar dan biya produksi per unit yang ditimbulkan jauh lebih rendah daripada di bawah konfrontasi ekonomi.
Hal ini selalu menjadi alasan yang paling memaksa bagi kerjasama ekonomi regional maupun multilateral. Kerjasama ekonomi memungkinkan kesempatan terbaik untuk mengeksploitasi kegotongroyongan (upaya saling menutupi kekurangan) dan interdependensi dengan sesama mitra yang saling menguntungkan dan bagi penciptaan sinergi. Kerjasama ekonomi memungkinkan kesempatan untuk menggunakan kekuatan pihak lain bahkan kekuatan dari pihak-pihak yang bermusuhan untuk hal-hal yang saling menguntungkan. Kerjasama ekonomi juga memungkinkan bagi pembentukan pusat-pusat keunggulan desain, produksi, distribusi dan keuangan yang menjurus pada penciptaan produk-produk yang secara kompetitif unggul dan handal dengan biaya yang lebih rendah yang menguntungkan semua pihak yang bekerjasama. Produk-produk yang secara kompetitif unggul adalah produk yang outsel produk serupa disebabkan kualitas yang lebih tinggi dengan biaya yang lebih rendah. Sedangkan produk yang secara kompetitif handal adalah produk yang dapat diandalkan suatu negara dalam bersaing dengan negara lain. Posisi yang terbaik tentunya adalah mengandalkan produk-produk yang secara kompetitif unggul dan tidak mengandalkan pada produk-produk yang tidak memiliki keunggulan kompetitif atau keunggulan komparatif.
Kerjasama ekonomi menjurus pada pengembangan teknologi yang wajar termasuk teknologi tinggi berdasarkan konsep interdependensi, dan memungkinkan pembentukan pusat-pusat keunggulan dengan pemanfaatan biaya terendah dalam SDM dan SDA melalui pemanfaatan bersama keterampilan SDM, SDA, sumber daya finansial dan teknologi untuk menciptakan produk global yang terbaik (perangkat keras, perangkat lunak, dan perngakat otak) dengan kualitas tingi dan biaya rendah.
Karena itu kerjasama ekonomi, bahkan antara lawan-lawan adalah jauh lebih baik untuk respon konflik. Kerjasama ekonomi menjurus pada tingkat yang lebih tinggi dalam stabilitas politik dan ekonomi pada taraf nasional, regional dan global. Kesimpulan umum analisis kita adalah bahwa baik konfrontasi militer, konfrontasi ekonomi, maupun konsensus atau kompromi bukan merupakan reaksi yang terbaik terhadap konflik, dan bahwa kerjasama ekonomi, bahkan antara pihak-pihak dalam konflik, adalah reaksi yang terbaik terhadap konflik.
Reaksi terbaik kedua adalah kerjasama dalam skenario konsensus ekonomi. Semua reaksi-reaksi lain terhadap konflik akan menjurus pada timbulnya ancaman-ancaman internal terhadap keamanan dan pembangunan ekonomi negara-negara berkonflik sendiri yang dapat menimbulkan keruntuhan ekonomi. Dunia masa depan harus menuju kerjasama ejonomi baik dalam skenario konflik maupun skenario konsensus. Dan sebagaimana dijelaskan sebelumnya, hal ini sebenarnya telah terjadi dengan terjadinya evolusi menuju ke pasar tunggal di Uni Eropa dan diadakannya kesepakatan-kesepakatan kerjasama ekonomi regional dan subregional lainnya. Namun perlu dicatat bahwa semua bentuk kerjasama ekonomi ini dapat menjurus ke bentuk ancaman baru yang dewasa ini tidak selalu terlihat atau diakui. Ancaman ini adalah ancaman yang ditimbulkan oleh kenyataan adanya ketidakseimbangan kekuatan ekonomi antara pihak-pihak yang bekerjasama. Liberalisasi hubungan ekonomi antar-negara dapat menimbulkan kesukaran-kesukaran bagi negara yang lebih lemah secara teknologis dan ekonomis, dan hal ini mengangkat masalah keadilan ke permukaan. Apakah adil apabila negara-negara yang dewasa ini lebih lemah dikalahkan dalam persaingan oleh negara-negara yang ekonominya sudah kuat dan teknologinya sudah sangat berkembang? Apakah sesuai dengan visi yang disepakati bersama tentang masa depan yang lebih baik diukur dengan pembagian pendapatan, kekayaan dan tanggungjawab yang adil untuk membiarkan sejumlah besar orang kehilangan pekerjaan karena pembebasan ekonomi yang terlalu cepat demi perluasan pasar dan tercapainya skala ekonomi yang lebih besar? Bijaksanakah untuk membiarkan apa yang sekarang terjadi pada tingkat (misalnya, di Jepang) dan tingkat regional seperti di Eropa, juga terjadi pada tingkat global?
Kerjasama: Spektrum dan Motivasi Jelasnya, kerjasama militer atau ekonomi bukanlah pilihan untuk negara-negara yang bermusuhan dalam suatu konflik militer namun kerjasama ini akan terbatas pada setiap pihak dan sekutu-sekutunya. Skala dan volume kerjasama semacam ini terbatas pada sumber-sumber daya yang dapat diperoleh bagi setiap pihak yang bertikai melalui upaya peperangan. Namun boleh jadi ada bidang-bidang bagi kerjasama ekonomi antara pihak-pihak dalam konflik ekonomi antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini ada banyak bidang kerjasama dalam produksi dalam penjualan barang-barang konsumen yang tidak strategis yang tahan lama maupun yang tidak tahan lama seperti tekstil, aparel, alat-peralatan dan produk-produk elektronik konsumen lainya. Dan meskipun kerjasama dalam hal barang-barang konsumsi strategis seperti bahana bakar, makanan dan perlengkapan transportasi akan lebih terbatas. Barang-barang tersebut pada prinsipnya dapat menjadi pokok persoalan dalam negosiasi bilateral
Meskipun bidang kerjasama antara para pihak yang bermusuhan terbatas, hal itu secara bertahap dapat diperdalam dan diperluas secara bertahap dan sistematis sejalan dengan pendalaman dan perluasan rasa saling pengertian dan saling percaya . Para pihak dapat memulai kerjasama dalam hal-hal yang terbatas dan proyek-proyek yang menggunakan teknologi rendah.
Dengan menggunakan suatu metafora saya katakan, jika kerjasama dalam satu produk dapat disebut satu titik kontak maka satu titik kontak ini nantinya akan dapat diperluas menjadi satu garis kontak (kerjasama di dalam satu kelompok produk yang serupa), yang mungkin nantinya berkembang menjadi garis-garis hubungan (kerjasama dalam banyak kelompok produk yang tidak berkaitan). Dengan kata lain, kerjasama dapat diperdalam secara bertahap dengan meningkatkan kecanggihan teknologi yang digunakan. Dengan cara yang sama, kerjasama antara dua pihak yang bermusuhan dapat dimulai dengan usaha jangka pendek dan kemudian diperluas dengan usaha untuk jangka lebih panjang. Kerjasam antara sekutu tentu memiliki spektrum yang lebih luas yang mengcakup kerjasama militer dan ekonomi dan dalam kerjasama ekonomi mencakup produk-produk konsumen dan produsen termasuk produk strategis. Kerjasama antara sekutu termasuk tidak hanya titik-titik dan garis-garis kontak tapi juga rencana-rencana dua-dimensi dan ruang tiga-dimensi. Dalam kerjasama dua-dimensi, perhatian harus diberikan untuk membangun redundansi dalam kerjasama. Karena kerjasama berkembang menjadi mendalam dan meluas, maka kerjasama itu akan diperkuat bersama-sama dengan sikap bersama, saling percaya dan saling berkeinginan untuk menciptakan rancangan kerjasama menang-menang (win-win arrangement).
Apakah dalam fakta nyata keinginan semacam itu kini ada, tentunya merupakan masalah bagi masyarakat itu sendiri untuk mengambil keputusan masa depan umat manusia ditentukan oleh manusia itu sendiri. Merekalah yang memutuskan apakah mereka ingin menjadi ancaman bagi yang lain, mereka sendiri pula yang memutuskan untuk berperang dengan yang lain, atau mengambil alternatif lain, memutuskan untuk mencegah peperangan, untuk hidup bersahabat dan bekerjasama. Inti persoalannya di sini adalah sederhana saja bahwa jika kesejahteraan material dan kemajuan diinginkan, maka kerjasama bahkan antara pihak yang bermusuhan merupakan alternatif yang secara serius perlu dipertimbangkan. Ada spektrum teknologi yang terkait dengan keluasan penggunaan dan ukuran pasar mereka. Beberapa teknologi maju memiliki penggunaan yang sangat terbatas. Selama beberapa waktu teknologi ini sudah diaplikasikan secara luas dan karena itu teknologi ini memliki ukuran pasar dan produksi ekonomis yang luas. Teknologi tersebut kemudian disebut teknologi tinggi jika kemudian pengetahuan telah maju sedemikian rupa sehingga teknologi tersebut dapat digunakan oleh setiap orang, maka tekonologi tersebut akan kehilangan eksklusifitasnya dan akan disebut teknologi biasa atau bahkan teknologi rendah. Pada suatu saat awal revolusi industri teknologi pembuatan (manufaktur) tekstil dianggap sebagai teknologi tinggi tapi sekarang tidak lagi. Begitu juga teknologi fotovoltaik yang penggunaannya semula terbatas pada aplikasi militer dan angkasa luar tapi sekarang sudah digunakan dalam sejumlah besar produk konsumen. Spektrum kerjasama ekonomi jauh lebih lebar daripada kerjasama militer. Kerjasama ekonomi tidak hanya dapat terjadi antara sekutu dalam konfrontasi ekonomi. Kerjasama ekonomi dapat juga berlangsung antara dua pihak yang bertikai dalam suatu konfrontasi ekonomi. Forum APEC, misalnya, memberikan contoh-contoh tentang kerjasama ekonomi antara anggota APEC yang saling berkonfrontasi ekonomi satu sama lain. Kerjasama ekonomi juga mengakibatkan penggunaan sumber daya yang lebih optimal. Alasannya adalah bahwa pasar yang diciptakan oleh kerjasama ekonomi lebih luas daripada yang terdapat dalam konfrontasi ekonomi. Skala ekonomi dalam kerjasama ekonomi jauh lebih besar dan biaya satuan produksi jauh lebih rendah daripada dalam konfrontasi ekonomi. Inilah yang selalu merupakan alasan yang paling jitu bagi kerjasama ekonomi multilateral dan regional. Kerjasama ekonomi memungkinkan kesempatan yang paling luas untuk memanfaatkan komplementaritas dan interdependensi yang bermanfaat bagi kedua belah pihak dan penciptaan sinergi-sinergi.
Kerjasama ekonomi membuka kesempatan menggunakan kekuatan pihak lainnya, termasuk kekuatan "musuh" bagi manfaat kedua belah pihak. Kerjasama ekonomi dapat juga merupakan motivasi untuk pembentukan pusat-pusat keunggulan dalam rancang bangun, produksi, distribusi, dan pembiayaan, yang akan memungkinkan diciptakannya produk-produk dengan keunggulan dan keandalan kompetitif dengan berbiaya lebih rendah yang akan bermanfaat bagi semua pihak yang bekerjasama. Produk-produk dengan keunggulan kompetitif adalah produk-produk yang lebih laris daripada produk-produk serupa karena bermutu lebih tinggi dan/atau berbiaya lebih rendah.
Produk-produk dengan keandalan kompetitif adalah produk-produk yang dapat diandalkan negara tertentu dalam persaingannya dengan negara lain. Keadaan yang paling baik bagi suatu negara tentunya adalah dapat mengandalkan diri pada produk-produk yang kompetitif dan tidak menggantungkan nasibnya pada produk-produk yang tidak memiliki keunggulan kompetitif atau komparatif. Kerjasama ekonomi menimbulkan pengembangan teknologi-teknologi yang tepat dan berguna termasuk teknologi-teknologi tinggi berdasarkan konsep interdependensi dan memungkinkan pembentukan pusat-pusat keunggulan dengan penggunaan sumber daya manusia dan alam dengan biaya yang serendah-rendahnya. Dengan membentuk pusat-pusat keunggulan, maka dalam rangka menciptakan produk-produk global yang terbaik (baik berupa perangkat keras, perangkat lunak atau perangkat otak), manusia dapat berbagi (share) ketrampilan manusia, sumber daya alam, sumber daya keuangan dan teknologi. Dengan demikian, dapat dihasilkan produk-produk dengan mutu tinggi dan biaya rendah. Karena itulah, kerjasama ekonomi, bahkan antara pihak-pihak yang berkonfrontasi, menupakan reaksi yang jauh lebih baik terhadap konflik.
Kerjasama ekonomi mendapatkan tingkat kestabilan ekonomi dan politik lebih tinggi pada tingkat nasional, regional dan global. Itulah sebabnya mengapa kerjasama ekonomi telah tumbuh subur selama dasawarsa terakhir ini dengan munculnya banyak sekali perjanjian kerjasama ekonomi dan perdagangan di selunuh dunia, tidak saja pada tingkat multilateral seperti Persetujuan Marrakech tahun 1994 antara penandatangan GATT 1994, tetapi juga pada tingkat regional seperti pembentukan Uni Eropa, penyatuan perjanjian-perjanjian kerjasama bilateral antara Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko menjadi NAFTA, tekad para anggota ASEAN untuk membentuk AFTA pada tahun 2003, dan dicetuskannya Deklarasi Bogor oleh pemimpin-pemimpin ekonomi-ekonomi anggota APEC untuk menciptakan perdagangan bebas dalam Kawasan APEC pada tahun 2010 bagi anggota-anggota yang telah maju dan pada tahun 2020 bagi anggota-anggota yang sedang berkembang. Perjanjian-perjanjian kerjasama ekonomi dan perdagangan pada tingkat sub-regional juga telah banyak terbentuk.
Di Asia Tenggara saja, kita telah melihat upaya untuk menciptakan sejumlah kawasan-kawasan pertumbuhan trilateral dan multilateral, berbentuk segitiga (Indonesia- Malaysia-Thailand dan Singapura-lndonesia-Malaysia); segi empat (Brunei-lndonesia-Malaysia-Filippina) dan dengan bentuk-bentuk lain (Myanmar-Kamboja-Vietnam-Laos). Lebih jauh lagi ke Timur, kita dapati Perjanjian Hubungan Ekonomi dan Perdagangan Australia-Selandia Baru (ANZCERTA) dan kerjasama-kerjasama ekonomi antara pulau-pulau Pasifik, dan seterusnya.
Pembangunan Ekonomi Ini berarti bahwa problem pencapaian pembangunan ekonomi berkesinambungan adalah problem peningkatan produktivitas total ekonomi kita yang mempunyai elemen subyektif dan obyektif. Pertama, peningkatan dalam produktivitas total bergantung pada peningkatan dalam kualitas SDM. Proses ini tidak dapat berlangsung dalam keterpencilan dari budaya mereka dan filosofi kehidupan mereka yang merupakan faktor subyektif. Di pihak lain, peningkatan dalam produktivitas total tidak dapat dipisahkan dari Iptek yang merupakan faktor obyektif. Apapun sistem ekonominya, problem intinya selalu menempatkan infrastruktur ekonomi di tempatnya, untuk mengembangkan SDM, dan memajukan Iptek, sehingga nilai dapat dimaksimumkan dan biaya bisa diminimumkan, sehingga produk dan jasa bisa dibawa ke pengguna terakhir dengan harga "pasar" yang tepat dan benar. Menggaris-bawahi semua ini, yang berfungsi sebagai dasar stabilitas dari keseluruhan proses adalah persepsi masyarakat mengenai apakah akumulasi produksi, pendapatan dan kekayaan itu terdistribusi secara adil dan merata.
Apapun sistemnya, hal itu akan berantakan apabila distribusi pendapatan dan kekayaan secara luas dipersepsi masyarakat sebagai berlangsung secara kotor, tidak adil dan tidak merata. Batasan yang dapat diterima atau pemahaman yang dapat diterima mengenai apa yang merupakan "keadilan" dan "pemerataan" akan berbeda antara satu negara dengan negara lainnya dan sangat ditentukan oleh nilai-nilai budaya yang pada gilirannya merupakan masalah evolusi sejarah. Bagi bangsa-bangsa untuk dapat mencapai peningkatan berkesinambungan dalam produktivitas total mereka, mereka harus mempunyai mekanisme yang memungkinkan mereka untuk secara mandiri mengembangkan Iptek. Pertumbuhan kemampuan untuk secara mandiri mengembangkan Iptek adalah evolusioner sifatnya. Keunggulan dalam Iptek tidak dapat dicapai semalam. Tidak ada jalan pintas dalam proses. Seseorang harus mengambil semua langkah yang perlu selangkah demi selangkah. Seseorang tidak dapat melakukan lompatan katak dari kondisi belum maju secara teknologi ke kecanggihan teknologi melalui jenis revolusi tertentu yang memotong (mem-bypass) beberapa langkah yang perlu. Saya ingin menggaris-bawahi ini dari pengalaman saya sendiri, dan saya pun ingin menekankan bahwa upaya untuk mencapai kemampuan Iptek melalui sarana revolusioner dalam banyak kasus akan kaunter produktif. Ini disebabkan pendekatan revolusioner akan menciptakan banyak kendala tersembunyi yang hanya akan timbul ke permukaan bila situasinya sudah runyam. Pada waktu yang sama, evolusi yang mengarah pada kemampuan untuk pengembangan Iptek secara mandiri dapat dipercepat. Dalam proses evolusi yang dipercepat ini, seseorang masih menempuh semua langkah yang perlu. Tapi seseorang menempuh beberapa langkah lebih cepat, dan lainya lebih lambat, dengan cara yang terkendali, mengurangi risiko yang inheren dalam setiap dan seluruh tahap yang diperlukan. Dengan cara demikian, seseorang dapat menempuh proses evolusi yang dipercepat dan terkendali kearah kemajuan penguasaan Iptek dalam waktu yang agak lebih singkat.
Struktur Ekonomi dan Kiat Pembangunan Ekonomi Beberapa ekonomi secara predominan berorientasi pada produksi barang (komoditi dan barang pabrik), sementara itu ekonomi lainnya secara predominan berorientasi pada perdagangan dan jasa. Menurut terminologi kami, seseorang dapat mengatakan bahwa beberapa ekonomi memiliki kepadatan yang relatif tinggi dalam proses nilai tambah, sedangkan yang lainnya memiliki kepadatan yang relatif tinggi dalam proses biaya tambah. Lagi pula, beberapa ekonomi dengan kepadatan yang sama dalam proses nilai tambah bisa memiliki kepadatan teknologi yang berbeda. Beberapa ekonomi bisa memiliki kepadatan teknologi yang tinggi, beberapa menengah dan beberapa rendah. Ekonomi yang sama dapat dikatakan begitu juga, memiliki kepadatan yang relatif tinggi dalam proses biaya tambah. Ada perbedaan antara dua jenis ekonomi. Hal ini pertama-tama disebabkan oleh perbedaan dalam sifat manufaktur dibandingkan dengan sifat perdagangan. Perdagangan menggerakkan profit lebih cepat dan menghasilkan pengembalian modal lebih cepat dan periode pembayaran kembali hutang-hutang juga lebih cepat. Karena kemajuan teknologi yang pesat, biaya per unit menurun lebih pesat pula.
Dibandingkan dengan manufaktur, risiko perdagangan lebih rendah dan margin keuntungannya lebih tinggi. Sebaliknya, kegiatan manufaktur secara karakteristik memiliki periode pembayaran kembali hutang-hutang lebih lama dan pengembalian modal lebih lambat, resikonya lebih tinggi dan margin keuntungannya lebih rendah. Perdagangan relatif tidak begitu rumit dibandingkan dengan manufaktur. Volume perdagangan bisa diperbesar lebih mudah daripada volume dalam manufaktur. Kapasitas dalam perdagangan dapat diperbesar secara linear atau bahkan secara eksponensial, sedangkan kapasitas dalam manufaktur membesar hanya selangkah demi selangkah.
Kantor penjualan dan pusat-pusat distribusi dapat dibangun lebih pesat daripada fasilitas produksi. Pengembangan produk baru sering lebih mahal dan memakan waktu lebih banyak dibandingkan dengan pengembangan cara baru dalam menjual. Pengembangan produk baru memakan waktu lama dan investasi lebih banyak untuk merancang dan membuat memory chip baru, obat-obatan baru, vaksin baru, dibanding dengan pengembangan cara baru dalam menjual manufakturin waktunya lebih singkat dan investasinya lebih kecil. Karena itu, manufaktur relatif kurang footloose atau lebih sulit untuk berelokasi daripada perdagangan dan jasa. Jenis perbedaan kedua timbul disebabkan kepadatan teknologi yang berbeda. Pada umumnya, semakin tinggi kepadatan teknologi semakin ruwet aktifitasnya, semakin panjang lead time yang diperlukan, semakin tinggi risikonya. Masyarakat yang menhasilkan barang dan jasa secara sangat efisien dengan nilai tambah tinggi dan biaya rendah, dengan kata lain masyarakat dengan produktivitas total tinggi biasanya memiliki biaya produksi tinggi karena biaya SDM tinggi. Selama masyarakat tidak merasakan kebutuhan untuk berdagang secara internasional dan merasa nyaman berekonomi secara tertutup dan swadaya, dan selama masyarakat itu tidak tertarik dengan pengumpulan cadangan devisa luar negeri, maka tidak ada masalah. Namun, masyarakat seperti ini tidak akan pernah eksis, tidak ada negara di dunia ini dapat mengupayakan dirinya sepenuhnya tertutup dan swadaya, sejumlah tertentu kebutuhannya betapapun kecilnya pasti diimpor, karena alasan sederhana bahwa ia secara domestik tidak dapat memproduksi segala-galanya dan tidak dapat kompetitif. Ini berarti bahwa suatu negara harus mengekspor sejumlah tertentu dari keseluruhan produksi barang dan jasa untuk membayar barang dan jasa yang diimpor. Perdagangan internasional ada karena tidak ada negara di dunia yang sepenuhnya swadaya. Tapi keharusan untuk mengekspor berarti keharusan menjadi kompetitif secara internasional. Negara tersebut tentunya dapat mensubsidi ekspornya (dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh GATT) untuk memungkinkannya berkompetisi labih baik di pasar internasional, Tetapi dalam analisis terakhir, subsidi ekspor berarti orang lain di negara itu membayar pengekspor sehingga penerimaan ekspor negara tersebut berkurang atau lebih kecil daripada yang diterima para pengekspor; dan ini berarti bahwa rekor penerimaan ekspor (dan neraca perdagangan) adalah semu atau virtual. Kita sampai pada kesimpulan, bahwa bahkan bagi negara-negara yang sudah matang dan sudah sangat maju, perdagangan internasional perlu bagi pembanguan ekonomi yang berkelanjutan, dan bahwa untuk berhasil dalam perdagangan internasional dalam arti membuat neraca perdagangan kurang lebih positif, negara-negara tersebut harus kompetitif secara internasional. Ini berarti bahwa ada logika ekonomi bagi negara-negara tersebut untuk menginvestasikan sumber-sumber keuangan dan teknologi ke negara-negara dengan kekuatan yang sepadan (seimbang) dalam SDM, infrastruktur ekonomi mikro dan makro yang mendukung, iklim investasi yang baik dan kreditabel, stabilitas politik dan ekonomi serta pertumbuhan ekonomi berkesinambungan yang semakin tinggi daripada di negara asal dari mana investasi itu datang. Kapital yang diinvestasikan dalam bentuk uang, teknologi dan sistem pengembangan SDM dalam waktu yang relatif singkat, tidak hanya akan memberikan keuntungan yang menarik terhadap investasi tapi juga menjamin penjualan dukungan produk jasa purna jual dari produk kompetitif di dalam pasar domestik negara tersebut di mana kapital (uang, teknologi dan SDM) sedang diinvestasikan. Kandungan lokal pasar domestik bahkan akan meningkat tapi juga teknologi tinggi dan nilai tambah tinggi dari kandungan lokal (kandungan dalam negeri asli) daripada produk akan meningkat juga. Jam orang di negara asal akan mencapai peningkatan berkesinambungan atau sekurang-kurangnya tetap, dan pada akhirnya, divisi tenaga kerja yang rasional bagi produksi dan bahkan bagi pengembangan teknologi akan menjadi mapan di antara negara asal dan "negara baru" untuk mendapatkan produk bernilai tambah tinggi dengan kualitas tinggi dan biaya rendah; serta untuk mendapatkan pemasaran, penjualan, dukungan produk, dan jaringan jasa purna jual yang efisien dalam pasar domestik baru dan juga dalam pasar global. Suatu produk kompetitif baru akan dikembangkan dan dihasilkan dan dikirim ke pasar oleh negara asal dan "negara baru" bersama-sama.
Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi Banyak negara maju dengan ekonomi yang sangat maju memiliki penduduk yang stabil dengan persentase tinggi penduduk yang sudah tua, pembeli yang matang dan canggih, serta kegiatan pembelian di pasar yang efisien dengan penjualan dan organisasi yang efisien. Jika pasar domestiknya sudah jenuh, kompetisinya akan menjadi berat (parah). Karena itu aneh bagi tingkatan-tingkatan pertumbuhan ekonomi dalam masyarakat yang sudah makmur untuk menjadi agak rendah dibandingkan dengan pasar yang sedang berkembang di mana permintaan barang, jasa, dan infrastruktur tinggi. Banyak pemerintah negara maju memiliki preferensi tinggi terhadap inflasi rendah. Dengan demikian tingkat suku bunga dan perluasan moneter juga rendah dibandingkan dengan tingkat suku bunga dan perluasan moneter di negara lain dengan ekonomi yang kurang maju tapi bertumbuh lebih pesat. Dihadapkan dengan pertumbuhan rendah dan kompetisi berat dalam pasar domestik mereka, tidak mengherankan banyak perusahaan manufaktur, jasa dan infrastruktur dalam masyarakat yang sudah makmur digerakkan untuk mencari pasar lain di luar negeri di mana permintaannya lebih tinggi dan kompetisinya tidak begitu menegangkan. Dalam kondisi seperti ini, mereka juga tergerak oleh biaya produksi yang tinggi untuk pergi ke luar negeri karena upah tinggi, tingkat pajak tinggi, dan/atau biaya kesejahteraan sosial tinggi di pasar domestik mereka. Agar menjadi kompetitif dalam harga di pasar dengan pendapatan rata-rata lebih rendah daripada di pasar domestik mereka sendiri, adalah logis bagi perusahaan-perusahaan ini untuk mengembangkan pengaturan yang kooperatif dengan perusahaan-perusahaan (yang sepadanan/seimbang) di negara-negara tertentu yang kurang makmur untuk memindahkan kapital, dalam hal ini, sumber keuangan, teknologi, dan jika perlu mekanisme atau sistem bagi pengembangan SDM ke negara-negara ini.
Sekurang-kurangnya ada dua alasan penting mengapa harus menguntungkan (secara material) bagi perusahaan yang terlibat dan juga menguntungkan (secara non-material) bagi negara-negara yang lebih makmur maupun yang kurang makmur. Pertama, di negara yang kurang makmur, upah buruh dengan keterampilan sebanding lebih rendah. Lebih tepatnya, upah riil buruh dengan keteramplan sebanding lebih rendah dan dengan produktivitas total yang rendah dan bahkan lebih rendah, dalam kasus tertentu, pada marjin yang signifikan. Kedua, marjin keuntungan di negara-negara yang kurang makmur secara tipikal lebih tinggi dihubungkan dengan tingat suku bunga yang lebih tinggi untuk menarik kapital, dan persepsi bahwa melakukan bisnis di negara yang kurang makmur juga mempunyai risiko yang lebih tinggi. Lagi pula, jika negara-negara yang kurang makmur ini secara politik stabil dengan permintaan yang meningkat pada pasar domestiknya, maka dasar yang kokoh ada untuk mewujudkan prospek bagi pertumbuhan yang lebih terjamin dan lebih luas. Keuntungan bagi perusahaan dari negara-negara yang lebih makmur adalah volume penjualan yang lebih tinggi dan profit yang lebih tinggi bedasarkan kebersaingan harga yang terus meningkat di pasar internasional yang pada gilirannya akan menghasilkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di negara-negara yang sudah makmur. Keuntungan bagi masyarakat di negara-negara yang kurang maju atau kurang makmur adalah pendapatan dan produktivitas total yang meningkat pesat. Siklus baik yang menguntungkan dan berkesinambungan akan terciptakan di mana dalam mengejar kebersaingan harga di seluruh dunia yang meningkat, kapital dan teknologi akan mengalir dari ekonomi yang sudah makmur ke ekonomi yang kurang makmur dengan SDA dan SDM yang berkesepadanan yang mengakibatkan peningkatan produktivitas, pendapatan dan permintaan di dalam kedua ekonomi tersebut. Karena ekonomi negara-negara yang kurang makmur tumbuh dengan lebih pesat, selama beberapa waktu, hal ini akan mengakibatkan penyamaan/pemerataan taraf pertumbuhan, kebersaingan, dan tingkat pendapatan dan permintaan di seluruh dunia. Secara lebih realistik lagi, suatu masyarakat setidak-tidaknya dapat mengharapkan penyempitan kesenjangan produktivitas dan pendapatan yang berkesinambungan antara negara-negara yang sudah makmur di satu pihak, dan negara yang secara politik stabil dengan penduduk yang besar dan ekonomi yang kurang maju tapi pertumbuhannya pesat, di pihak lain. Pada masa depan dengan kondisi seperti ini dan di dunia yang serba-mungkin, kebersaingan antara negara-negara kurang lebih akan sama merata dan perdagangan antara mereka kurang lebih dalam keseimbangan. Ini sudah menjadi kasus masa kini antara anggota-anggota tertentu dalam persatuan Eropa. Tapi ini bukan satu-satunya. Jika tidak ada hambatan ditimbulkan, pada suatu titik waktu tertentu, pusat-pusat keunggulan akan muncul dalam ekonomi tertentu yang kurang maju dan kurang makmur yang akan lebih jauh mengembangkan teknologi-teknologi yang asalnya diimpor dari luar negeri. Hal ini tidak hanya akan menggerakkan arus sumber daya keuangan (capital plus profit) kembali ke negara-negara yang sudah makmur (pada tingkat yang lebih cepat daripada jika kapital diinvestasikan di negara-negara yang sudah makmur itu sendiri). Ini juga akan mengakibatkan arus balik teknologi yang lebih maju dan juga teknologi maju dari negara yang kurang makmur ke negara yang lebih makmur. Semua negara, baik yang lebih makmur maupun yang kurang makmur, akan dapat mengambil keuntungan dari teknologi-teknologi yang dikembangkan dengan biaya yang lebih rendah di negara-negara yang kurang makmur, karena upah riil yang lebih rendah. Ini tentu saja merupakan suatu keberatan tersendiri. Tidak semua negara yang kurang makmur akan dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Hanya negara-negara kurang makmur yang terpilih saja yang dapat mengambil bagian menurut pengalaman saya ini. Mengapa? Pertama, mereka harus memiliki pasar domestik yang secara signifikan besar dan terkendali untuk menggerakkan dan menjamin profitabilitas pengaturan bisnis yang kooperatif antara negara-negara yang terlibat. Kedua, mereka harus mengembangkan massa kritis minimum saja dari SDMnya, sumber daya keuangannya, dan kemampuan teknologinya yang berkesepadanan Ketiga, mereka harus sudah memasang sejumlah tertentu infrastruktur ekonomi dan infrastruktur teknologi. Keempat, mereka harus sudah memiliki lingkungan politik, ekonomi, dan sosial yang stabil dan dapat diperkirakan. Hanya apabila pasar domestik memadai dan terkendali, arus balik yang kapital finansial dan keuntungan dapat dijamin pada akhirnya. Hanya apabila massa kritis dari infrastrutkur SDM, teknologi dan ekonomi sudah ada, teknologi yang diimpor dapat secara pesat diserap secara pesat. Hanya apabila infrastruktur teknologi tertentu ada di tempat, teknologi yang diimpor dapat diadaptasikan dan dikembangkan lebih jauh. Dan hanya dalam kondisi stabilitas politik dan ekonomi (kelanjutan struktur politik dasar, ketiadaan gangguan sosial yang parah, kelanjutan kerangka hukum dan konsistensi kebijakan) dan stabilitas ekonomi (keseimbangan antara tabungan dan investasi, inflasi rendah dan terkendali, neraca pembayaran dalam tingkat yang terkendali, dan sebagainya) lead time yang diperlukan dapat dijamin bagi investasi sumber daya finansial, dan teknologi dapat dijamin untuk menggerakkan arus keuntungan, dan teknologi yang dikembangkan lebih jauh serta teknologi maju dapat kembali lagi ke negara makmur yang menanamkan modalnya. Tapi tidak menjadi masalah adanya prekondisi tertentu yang harus dipenuhi. Hal penting di sini adalah landasan nyata dapat diciptakan bagi penciptaan jaringan mendunia, saling ketergantungan (interdependensi) yang benar-benar global di mana setiap orang, baik konsumen maupun produsen, negara-negara berkembang yang belum maju atau yang belum makmur akan dapat mengambil keuntungan dari teknologi-teknologi yang dikembangkan dengan biaya yang lebih rendah. Tapi akankah pengembangan ini tidak menciptakan pesaing-pesaing biaya lebih rendah yang akan mendorong produsen-produsen biaya lebih tinggi ke luar dari pasar. Sebaliknya hal ini akan memaksa produsen-produsen biaya lebih tinggi untuk mengembangkan teknologi baru dan inovasi yang layak untuk meningkatkan keahlian mereka dan keunggulan kompetitif mereka.
Semua ini bersifat komplomenter terhadap teknologi yang dikembangkan bersama dengan mitra mereka dalam masyarakat yang kurang maju dan kurang makmur, untuk menghasilkan produk akhir yang unggul yang masuk pasar domestik mereka dan pasar global. Ini akan menjamin pertumbuhan yang berkesinambungan bagi kedua ekonomi. Masyarakat yang kurang makmur akan berkembang lebih jauh menjadi masyarakat makmur dan akan menjadi giliran mereka untuk mengalami problem biaya tinggi, maka pada akhirnya setiap orang akan harus bersaing pada biaya yang kurang lebih sama. Pada saat itu masyarakat tidak akan bersaing pada biaya lagi tapi pada kualitas, pada gagasan dan pada cara-cara yang lebih baik untuk melayani konsumen. Ini akan menjadi bentuk kompetisi yang jauh lebih baik di pasar domestik, regional dan akhirnya pasar global yang semakin besar dan semakin potensial. Masa depan yang mungkin ini benar-beanr eksis. Kita hanya harus mengakui kenyataan bahwa uang, pengetahuan dan Iptek tidak mengenal batas negara dan kebangsaan. Tuhan sungguh telah menciptakan orang yang satu dan yang lainnya sama, sekurang-kurangnya sama dalam kemampuan mereka untuk belajar, sama dalam kemampuan mereka untuk menguasai hukum dan Iptek, dan sama dalam kemampuan untuk mengembangkan teknologi lebih jauh. Sungguh Tuhan telah memaklumatkan bahwa Iptek adalah bukan milik suatu bangsa tapi milik seluruh umat manusia.
Kerjasama di Asia Penduduk Asia (dari Jepang sampai India) sekarang ini kira-kira dua pertiga dari penduduk dunia. Kelas menengahnya tumbuh dengan pesat dalam ukurannya; dan pada tahun 2010 diperkirakan akan berjumlah antara lima juta sampai satu milyar; ini bisa menjadi pasar kaptif bagi barang-barang dan jasa yang dihasilkan di kawasan itu sendiri, produksi barang dan jasa dapat mengikuti pola yang didasarkan pada rasionale ekonomi seperti yang sudah saya jelaskan secara garis besar tadi. Tidak ada alasan untuk menciptakan dan memelihara kendala baik yang kasat maupun yang tidak kasat terhadap arus modal yang lebih bebas yaitu SDM, sumber daya keuangan dan teknologi adalah sangat mungkin bagi sumber daya finansial maupun teknologi untuk berpindah dari satu negara ke nagara lain. Tetapi untuk memindahkan SDM seseorang harus mengatasi kendala sosial politik dan ekonomi yang memberikan sumbangan pada biaya ekonomi yang lebih tinggi. Oleh karena itu, untuk memecahkan masalah memindahkan SDM sebagai bagian terpadu dari modal yang dipindahkan pada biaya rendah, hanyalah mungkin dengan memindahkan atau mengalihkan mekanisme pembangunan SDM ke "negara baru". Sekaligus peningkatan keterampilan dan produktivitas SDM di negara baru itu yang berlangsung baik melalui pendidikan maupun pelatihan, akan membuat SDM setempat yang berbiaya rendah di negara baru itu menjadi semakin komparatif juga. Hal ini tentunya bukan merupakan hal yang baru. Kelebihan daripada arus barang, jasa, modal dan teknologi yang lebih bebas telah dijelaskan berkali-kali dan bahkan telah melekat dalam banyak aturan perjanjian maupun kode-kode hukum yang telah diputuskan GATT pada 1994 akhir-akhir ini adalah sangat signifikan dalam memperluas bidang perdagangan bebas dan dalam membuat landasan yang berbasis aturan daripada berbasis kekuasaan bagi hubungan dagang antara negara-negara yang menandatangani persetujuan GATT tersebut. Di kawasan kami sendiri banyak yang sudah bertekad untuk melaksanakan deklarasi Bogor yang telah dibuat oleh para pemimpin ekonomi APEC yang telah menetapkan target-target tertentu bagi perdagangan bebas di kawasan APEC pada tahun-tahun tertentu pada masa depan. Berdasarkan deklarasi Bogor dan persetujuan yang dicapi di Osaka tahun lalu, pelaksanaan persetujuan kerjasama sejauh yang ditentukan dalam kedua kesepakatan tersebut telah ditunjukkan dalam pidato saya ini, yang saya yakini akan dapat menciptakan situasi menang-menang di dalam kawasan kami sendiri di mana berjuta-juta penduduk akan dapat mengambil keuntungan baik dalam bentuk peningkatan kesejahteraan bagi konsumen maupun peningkatan keuntungan bagi produsen serta dalam bentuk prospek-prospek yang lebih baik bagi pertumbuhan kesejahteraan yang pesat dalam kurun waktu yang sama dalam lingkungan informasi yang aktif dan dinamis, dalam lingkungan teknologi dan aliran uang serta kualitas produktivitas keahlian dan kehidupan yang semakin tinggi, yang memberikan sumbangan bagi pembentukan banyak pusat keunggulan pembangunan Iptek bagi pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan dengan distribusi akumulasi kekayaan secara adil serta tanggung jawab di antara bangsa-bangsa di kawasan tersebut dan di antara masyarakat bangsa itu sendiri yang menghasilkan peredaan ancaman dan memberikan sumbangan bagi stabilitas regional yang kuat berkesinambungan. 

Tuesday, January 18, 2011

PEMBANGUNAN BERORIENTASI NILAI TAMBAH II

Pertumbuhan Pembangunan

Untuk mencapai pertumbuhan pembangunan nasional berkesinambungan, beberapa langkah dan tujuan harus dilakukan, seperti:
  1. Optimasi biaya pengembangan dan produksi;
  2. Pembagian kerja dan jam-kerja;
  3. Kerjasama internasional dalam pengembangan, produksi, dan pemasaran bagi kegiatan industri dan agroindustri;
  4. Kesadaran pentingnya stabilitas politik dan ekonomi sebagai prasyarat keunggulan industri dan agro- industri;
  5. Keseimbangan pembangunan perkotaan dan pedesaan yang mengkait dengan kualitas peningkatan kehidupan industri dan agroindustri yang berkesinambungan;
  6. Pendistribusian merata kekayaan dunia dan kekayaan nasional;
  7. Pendistribusian yang merata, adil, dan bijaksana; sikap bertanggungjawab terhadap perdamaian dunia dan nasional; serta kualitas peningkatan kehidupan berkesi- nambungan;
  8. Pendistribusian yang merata, adil, dan bijaksana beban biaya bagi pertumbuhan pembangunan global yang berkesinambungan.15

    Mengenai pembagian kerja dan jam-kerja, suatu negara tidak dapat hanya menjadi produser atau pengekspor. Kerja dan jam-kerja harus ditanggung dengan yang lain, jika tidak, tidak seorangpun akan tertarik membeli produk tersebut. Penjelasannya sederhana. Orang hanya dapat membeli barang jika mereka memiliki uang untuk membeli. Negara dapat menhasilkan uang dengan menjual sumber daya alamnya atau produk manufakturnya. 
    Karena itu, semua bangsa membutuhkan ruang kerja yang akan dapat meningkatkan daya belinya. Dalam hal ini, Jepang sudah memperoleh sukses dari pembagian kerja dengan negara lain. Sudah saya jelaskan terdahulu, bahwa peningkatan penduduk harus diikuti dengan peningkatan proporsional GDP. Kita dapat memperhatikan situasi sekarang dengan memfokuskan perhatian pada dua faktor tersebut. Perkiraan pertumbuhan penduduk di negara-negara terbesar dunia dapat dilihat pada Tabel 2.
    Tabel 2. Perkiraan pertumbuhan penduduk di negara-negara besar pada 2025
    Negara
    Jumlah Penduduk (juta)
    India
    China
    Nigeria
    Pakistan
    Indonesia
    Brazil
    Meksiko
    Iran
    Zaire
    Tanzania
    Kenya



    2.000
    1.500
    301
    267
    263
    245
    150
    122
    99
    84
    77

    Sumber: World Resources 1990-1991

    Dalam kasus Indonesia, penduduk akan menjadi 263 juta pada 2025. Kendati Indonesia memiliki pengendalian kelahiran yang unggul, penduduk terus meningkat disebabkan peningkatan kualitas kehidupan, rendahnya tingkat kematian bayi, lebih lamanya harapan hidup, dan sebagainya. Dibandingkan dengan peningkatan GDP pada 1970, 1992, dan 2010, kawasan Asia Pasifik menunjukkan tren positif. GDP meningkat dari13.4% menjadi 22%, dan akhirnya 29%. Eropa menurun dari 41% ke 36%, dan turun lagi ke 31%, sedangkan AS juga menurun dari 31% ke 28%,
    dan turun lagi ke 24%.
       


     


     

    Namun, dibandingkan dengan perkiraan di atas, hal itu menujukkan ketidakseimbangan distribusi kekayaan dunia pada 1990. Di antara penduduk dunia 5,295 juta, 54.4% penduduk mendapatkan pendapatan per kapita 330 USD, sedangkan 16% penduduk mendapatkan endapatan per kapita 19.520 USD. 16
    Karena kita memperbincangkan sumber daya manusia, kita harus memikirkan bagaimana mengembangkan faktor kunci yang penting ini yang dianggap sebagai kapital. Kita tidak hanya peduli dengan performansi produktivitas yang sederhana, tapi lebih penting lagi dengan pertumbuhan produktivitas performansi. Performansi yang berorientasi pada pertumbuhan krusial bagi Indonesia, bagaimana Indonesia dapat mengejar Jepang jika pertumbuhan produktivitas performansinya lebih rendah daripada Jepang?
    Lagi pula, jika pertumbuhan produktivitas performansi sumber daya manusia digabungkan dengan penggunaan teknologi kita akan memiliki pertumbuhan produktivitas performansi sumberdaya manusia terpadu. Sebelum membahas masalah ini lebihlanjut, kita perlu mengamati performansi perusahaan, seperti IBM misalnya. Perusahaan multinasional ini memiliki banyak cabang di seluruh dunia sehingga cabang IBM di manapun harus mempunyai ramuan yang sama untuk mencapai output yang sama untuk produk yang sama pula.
    Kendati produk tertentu didasarkan pada teknologi yang sama dan jumlah pekerja yang sama dengan pengalaman akumulatif yang sama, output dari setiap cabang akan secara total berbeda. Apa faktor pembedanya? Jawabnya adalah perbedaan kultur dan lingkungan kerja. Teknologi tak dapat dipisahkan dengan kultur dan lingkungan kerja, teknologi merupakan bagian dari kultur itu sendiri. Interaksi antara kedua faktor tersebut dapat dilihat pada Gambar 5
    Efisiensi performansi nasional (EPN) merupakan jumlah total penduduk dikurangi jumlah penduduk non-produktif dibagi jumlah penduduk seluruhnya (lihat gambar 6). Penduduk non-produktif adalah orang-orang yang masih berada di bangku sekolah, para pensiunan, dan para penganggur.
    Mereka tidak menyumbang pertumbuhan GDP suatu masyarakat tapi malah menjadi beban masyarakat. EPN merupakan fungsi kualitas hidup dan jika seseorang berada pada sekitar 60-65%, dia tidak dapat meningkat sampai 8%. Tidak mungkin. EPN telah dihitung sebagai fungsi umur, produktivitas, dan sebagainya. Nilai tertingginya adalah 60%. Pertumbuhan EPN yang tinggi sangat penting, selain pencapaian pertumbuhan produktivitas performansi sumber daya manusia yang tinggi. 17

    Definisi Modal Modal merupakan fungsi sumber daya manusia, iptek, dan uang. Di dalam industri, modal dapat dibagi menjadi modal kepadatan rendah (MKR, seperti industri garmen, tekstil, sepatu, dan sebagainya), modal kepadatan mene-ngah (MKM, seperti industri barang-barang elektronik, obat-obatan, dan sebagainya), dan modal kepadatan tinggi (MKT, seperti industri pesawat terbang, maritim, kompu-ter, telepon, dan sebagainya).18 (Lihat Gambar 7).
         
          Di dalam industri, MKR memiliki karakter seperti tingkat pendidikan rendah (SD), tingkat teknologi rendah, pe-ngembalian modal (ROI) cepat, mudah berpindah ke negara lain, risiko tergantung-manajer. MKM dan MKT masing-masing memerlukan spesifikasi menengah dan tinggi, mencakup tingkat pendidikan yang diperlukan, tingkat teknologi, ROI, perpindahan industri, tingkat risiko, dan sebagainya. (Lihat Tabel 3). 
                  Tabel 3.



                Tolok Ukur




                Industri






                Rendah




                Menengah




                Tinggi


                1. Pendidikan


                2. Teknologi


                3. Return of Invesment (ROI)

                4. Pergerakan Industri

                5. Resiko
                SD


                Kurang Padat


                Cepat


                Cepat pinadah kenegara yang menguntungkan

                Tergantung Manajemen (P3N/PEPN)
                SMP/SMA 3-12 Bulan Kursus

                Menengah padat


                Sedang

                Cepat Pindah



                Tergantung Manajemen (P3N/PEPN)
                SMA+4 Tahun Kursus

                Tinggi

                Lambat

                Menetap


                Tergantung Manajemen (P3N/PEPN)
                    Di dalam MKR, bahkan pelajar putus sekolah dasar dapat bekerja di industri garmen untuk membuat pakaian jeans. Meskipun mereka menggunakan mesin jahit dengan micro processor, para pekerja itu tidak memiliki hubungan dengan mesin. Mereka hanya menekan tombol dan segala sesuatunya diselesaikan dengan komputer. Karena rendahnya pengetahuan mereka di bidang teknologi, para pekerja itu tidak perlu memahami mekanisme teknologi.
                    ROI yang cepat dan industri dapat dengan mudah berpindah dari satu negara ke negara lain yang lebih banyak mendatangkan keuntungan. Misalnya, kita tahu bahwa satu komoditi ekspor Jepang yang utama adalah garmen dan tekstil, dan kemudian itu berpindah ke Korea, ke Taiwan, dan selanjutnya ke Asia Tenggara termasuk ke Indonesia. Pada waktu itu, data dari Badan Penanaman Modal kita menunjukkan bahwa angka untuk investasi jenis ini menurun. Dan makin lebih banyak lagi yang ke luar dari Indonesia karena adanya keunggulan komparatif yang lebih baik di negara lain. Namun, itu tidak berarti industri garmen di masyarakat akan tidak ada sama sekali.
                    Industri garmen tetap akan ada untuk memenuhi pasar domestik yang captive, tetapi itu tidak dapat diandalkan pada pendapatan devisa asing sebab produk negara lain lebih murah. Industri MKM membutuhkan para pekerja dengan tingkat pendidikan sekolah menengah pertama atau menengah atas plus kursus khusus selama lebih dari 3-12 bulan. Para pekerja memerlukan pengetahuan teknologi menengah untuk memahami mesin, jika tidak mereka akan merusak mesin dan biaya akan meningkat.
                    Industri MKM dapat bergerak ke negara lain yang lebih menguntungkan, tapi tidak begitu mudah. Jenis industri ini didasarkan pada paduan keunggulan komparatif dan kompetitif, kedua keunggulan tersebut diperlukan. Perusahaan yang didasarkan pada adanya keunggulan komparatif hanya terfokus pada pembangunan sumber daya manusia. Risikonya sangat terkait dengan masalah manajemen. Proses transformasi teknologi bagi negara maju berbeda dari proses transformasi di negara berkembang.
                    Di negara maju, transformasi dimulai dengan pengembangan ilmu terapan dan ilmu dasar, kemudian dilanjutkan dengan pengembangan teknologi, integrasi teknologi, dan pengakuan hak milik intelek- tual. Di pihak lain, proses transformasi di negara berkembang, seperti Indonesia, harus mengikuti arah yang berlawanan dengan arah atau proses yang berlaku di negara maju. Transformasi di negara berkembang dimulai dari produksi barang atas dasar lisensi, dengan memperhatikan mutu, biaya dan jadual.
                    Lisensi ini harus dibayar oleh pasar domestik dan secara bertahap melalui ekspor ke pasar global dan regional. Integrasi teknologi bagi produk baru dapat dilakukan secara sekaligus, yang kemudian dipasarkan secara domestik, regional, dan global. Itu menjadi mungkin hanya jika pada tahap akhir negara berkembang memproduksi melalui pusat-pusat pengembangan dan pe- nelitian pada ilmu terapan dan ilmu dasar. Proses transformasi di negara berkembang telah ditunjukkan oleh Industri Pesawat Terbang Nusantara dan Pusat R&D-nya.
                    Langkah awal transformasi dimulai 18 tahun lalu dengan 17 insinyur dan 480 pekerja yang mulai membuat pesawat dan helikopter di bawah lisensi. Empat tahun kemudian, IPTN melompat ke integrasi teknologi dengan mengembangkan CN-235 dengan CASA, Spanyol. Selama ini sudah terjual lebih dari 200 unit CN-235. Tahap ketiga dimulai 10 tahun lalu dengan pengembangan teknologi baru. Pesawat terbang baru, N-250, yang mampu mengangkut 70 penumpang dengan teknologi kendali fly-by-wire.
                    Pesawat yang telah meluncur dari hanggar pada 10 Nopember 1995 itu akan diproduksi di Amerika Serikat untuk pasar NAFTA. Langkah akhir transformasi akan ditunjukkan pada 2006 dengan rancangan pesawat terbang bermesin jet, berbadan lebar, berkecepatan trnsonik dan termodinamik. Proses transformasi tidak dapat dilakukan menurut langkah yang ditempuh negara maju, tapi harus dilakukan dengan cara berlainan, melalui proses rekayasa terbalik.19
                    Transformasi menuju masyarakat industri dicapai melalui pengembangan dan kerjasama hubungan yang erat antara pembangunan infrastruktur sumberdaya manusia, iptek, dan ekonomi (energi, transportasi, prosesing data, dan sebagainya) yang diorientasikan pada kebutuhan masyarakat. Produksi harus berorientasi pada pasar yang hanya dapat dicapai melalui ekonomi biaya-rendah. Keseluruhan ekonomi yang dilakukan dalam masyarakat merupakan kombinasi nilai tambah dan biaya tambah. Orang mencari maksimum nilai tambah dan minimum biaya tambah.
                    Kombinasi dua faktor ini melalui penggunaan teknologi yang benar dan waktu yang tepat menghasilkan persaingan ekonomi. Kesimpulannya, seni untuk mengoptimasikan kombinasi nilai tambah dan biaya tambah. Tabel 1 menunjukkan harga beras sebesar 0.24 USD/kg yang dianggap sebagai 100%, produk-produk lain berkisar dari persentase yang relatif tinggi sampai ke sangat tinggi, yang merupakan harga lebih baik dibandingkan dengan beras. Pada Tabel 3 tersebut, nilai tertinggi merupakan persentase satelit (yaitu dengan nilai tambah 18.333.333%) yang mencerminkan pelibatan banyak ilmu pengetahuan dan teknologi dan perangkat otak manusia di dalam proses produksinya.20
                    Semua aktivitas ekonomi menghasilkan nilai tambah tertentu. Dalam bidang pelayanan (service) ada biaya (cost) yang harus kita keluarkan. Dan itu tiada lain merupakan nilai dari pelayanan yang diberikan. Jadi, dalam setiap perekonomian selalu ada proses nilai tambah. Perbedaannya adalah, ada proses nilai tambah yang hasilnya rendah, setengah menengah, menengah, tinggi dan tinggi sekali. Kalau manusia membuat pakaian, manusia tersebut melaksanakan proses nilai tambah juga. Ia beli kain, mesin dan seterusnya.
                    Lantas baju yang dihasilkannya itu dijual ke pasar dengan harga yang lebih tinggi dari bahan-bahan sebelumnya. Itu berarti menghasilkan nilai tambah juga. Hanya saja nilai tambah yang diberikannya relatif rendah, dan sangat rentan terhadap fluktuasi pasar. Karena membuat celana jean atau tekstil atau pakaian jadi itu teknologinya relatif sederhana, banyak orang yang bisa membuatnya, banyak negara yang menawarkannya. Karena banyak yang menawarkan, di pasar yang permintaannya terbatas, harganya ditentukan tidak sesuai dengan kehendak si pembuat melainkan tergantung sepenuhnya pada kondisi pasar. Lain halnya dengan satelit atau kapal terbang.
                    Nilai tambah yang diberikan oleh kedua produk tersebut sangat tinggi. Karena kadar teknologi yang digunakannya sangat tinggi, maka tidak banyak yang menguasainya. Akibatnya, jumlah pesaing relatif sedikit dan hambatan-hambatan pasar nyaris tidak ada. Dengan demikian, produsen lebih bebas menentukan harganya sendiri. 21
                    Kendati demikian, bagaimana suatu negara memberikan tekanan tertentu dalam pengembangan teknologi dan nilai tambahnya sangat tergantung pada konteks negara yang bersangkutan. Adalah wajar, jika negara-negara maju lebih dulu mengembangkan SDM dan teknologi yang bertaraf tinggi. Tetapi bukan berarti bahwa tahapan-tahapan perkembangan Iptek dan SDM ini harus dilewati secara teratur oleh negara-negara berkembang. Sebab jika demikian, negara tersebut bisa terusmenerus tertinggal. Jadi yang perlu dipermasalahkan bukanlah penerapan teknologi rendah, madia atau teknologi canggih, melainkan ketepatan dari penggunaan teknologi tersebut dalam meningkatkan nilai tambah, sebab teknologi canggih juga sangat dibutuhkan bagi pengembangan masyarakat desa, misalnya dalam penggunaan solar cell untuk pembangkit listrik.