Sunday, November 28, 2010

TEKNOLOGI DAN KEBUDAYAAN

TEKNOLOGI DAN KEBUDAYAAN

Itulah proses interaksi antara ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan. Kebudayaan melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi memperkaya kebudayaan. Mereka yang mampu menguasai ketiga landasan tadi dengan sendirinya akan lebih mampu meningkatkan dan menyempurnakan nilai kebudayaannya.
Di dalam melaksanakan pengembangan, pengendalian dan pemanfaatan Iptek, kebudayaan manusia merupakan salah satu unsur yang teramat penting. Kebudayaan manusia, termasuk karakter dan mentalitasnya, merupakan faktor penentu apakah Iptek bisa dimanfaatkan secara efisien atau tidak, produktif atau tidak. Dan faktor kebudayaan pula yang mempengaruhi cepat-lambatnya imbas pemanfatan Iptek dalam mendorong peningkatan taraf hidup suatu bangsa.
(B.J. Habibie)
Sangat penting untuk kita sadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mungkin dapat dipandang terlepas dari kebudayaan. Tidak dapat disangkal bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dilahirkan oleh dan hanya mungkin berkembang dengan baik dan sempurna di dalam suatu masyarakat yang berbudaya tinggi dan merdeka.
Zaman modern adalah zaman di mana ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan bahagian yang semakin penting dari kebudayaan suatu bangsa.
Kebudayaan bangsa kita yang merupakan suatu kesatuan dalam keanekaragaman yang dilambangkan dalam semboyan "Bhinneka Tunggal Ika", merupakan kebudayaan yang sangat kaya karena berakar di dalam kebudayaan ratusan suku bangsa dengan bahasa, adat istiadat, kesenian, kesusastraan, serta ilmu dan teknologinya masing-masing yang telah hidup dan berkembang selama ratusan tahun.
Khasanah kebudayaan yang sedemikian tinggi itu merupakan tempat persemaian yang subur bagi berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika pada saat ini perkembangan Iptek kita belum mencapai kemajuaan yang diharapkan, itu tak lain karena bangsa Indonesia terlalu lama hidup dalam cengkraman penjajahan yang membodohkan dan menelantarkan. Untuk itu, kita harus segera melakukan lompatan yang tinggi, agar di dalam waktu yang singkat bisa mengaktualisasikan potensi kebudayaan bangsa itu, untuk dapat mengejar kemajuan bangsa-bangsa yang telah maju.
Karena bangsa kita baru merdeka selama 45 tahun, maka kita harus berhasil melakukan lompatan yang tinggi untuk di dalam waktu yang singkat mengejar kemajuan bangsa-bangsa yang telah merdeka ratusan tahun.
Lompatan tinggi itu harus kita lakukan, dan insya Allah akan tercapai, tanpa meninggalkan akar-akar kebudayaan kita, tanpa melepaskan kaitan dengan identitas kita sebagai bangsa. Suatu upaya pengembangan iptek yang tidak mengindahkan lingkungan kebudayaannya adalah keme-wahan yang tidak ada artinya, suatu kemubaziran yang membuang-buang tenaga dan sumberdaya, yang pada akhirnya akan membawa korban bangsanya sendiri.
Oleh karena itu, perlu digarisbawahi bahwa betapun tingginya prestasi kita dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, prestasi tersebut tidak boleh terlepas dari akar-akar dan unsur-unsur utama kebudayaan bangsa kita, yang disatukan dalam wadah Bhineka Tunggal Ika dan merupakan kekuatan tersendiri.
Dalam kaitan ini kita perlu membuang anggapan bahwa kebudayaan Indonesia merupakan kendala bagi pengembangan Iptek. Sebaliknya, kita harus memandang itu sebagai batu tumpuan. Pernyataan ini bukannya tanpa alasan. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hasil produk manusia yang dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Di dalam proses peningkatan taraf hidup, iptek sendiri dikembangkan dan disempurnakan lebih lanjut. Proses ini merupakan siklus yang tidak ada hentinya. Ma-nusia menghasilkan Iptek, lalu memanfaatkan Iptek tersebut untuk meningkatkan taraf hidupnya; sementara itu, di dalam taraf hidup yang telah meningkat, manusia meningkatkan lebih lanjut taraf ilmu pengetahuan dan teknologinya. Demikian seterusnya.
Di dalam melaksanakan pengembangan, pengendalian dan pemanfaatan Iptek, kebudayaan manusia merupakan salah satu unsur yang teramat penting. Kebudayaan manusia, termasuk karakter dan mentalitasnya, merupakan faktor penentu apakah Iptek bisa dimanfaatkan secara efisien atau tidak, produktif atau tidak. Dan faktor kebuda-yaan pula yang mempengaruhi cepat-lambatnya imbas pemanfaatan Iptek dalam mendorong peningkatan taraf hidup suatu bangsa.
Oleh karena itu, dalam setiap upaya pengembangan Iptek di Indonesia hendaknya diusahakan agar siklus-siklus peningkatan Iptek dan taraf hidup masyarakat berlangsung sesuai dengan aspirasi kita sendiri, sesuai dengan aspirasi perjuangaan Bangsa Indonesia, sebelum dan setelah kemerdekaan. Kita perjuangkan agar siklus-siklus tersebut berlangsung secara merata di seluruh pelosok tanah air.
Selain teknologi yang kita pilih harus sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat, teknologi itu pun harus dapat meningkatkan nilai tambah (added value) secara maksimal dan menurunkan added cost seminimal mungkin (secara mendalam hal ini akan diuraikan pada bagian selanjutnya).
Teknologi tradisional belum tentu menjamin tingkat hidup yang layak. Dengan teknologi maju diharapkan dapat menyerap tenaga kerja sekaligus menjamin tingkat hidup yang lebih tinggi. Namun demikian, baik teknologi tradisional maupun teknologi maju, di samping harus membantu meningkatkan taraf hidup, kedua-duanya harus dapat menjamin kelestarian lingkungan pada proses produksi maupun konsumsi.
Implikasi dari keinginan-keinginan tersebut mengisyaratkan bahwa pengembangan Iptek di Indonesia harus disesuaikan dengan keadaan sosial, keadaan alam dan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, di dalam melakukan pemilihan dan pengembangan teknologi hendaknya kita bersikap hati-hati. Ada kemungkinan bahwa sesuatu negara mau memberikan teknologi kepada kita dengan tujuan eksperimen dari pengembangan teknologinya, sebagaimana halnya de-ngan daerah Timur Tengah telah dipakai oleh beberapa negara sebagai laboratorium pengujian sistem persenjataan yang mereka miliki.
Karena itulah, di dalam melakukan lompatan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan dan sedang kita laksanakan untuk meraih keberhasilan yang setara dengan bangsa-bangsa lain misalnya di dalam industri dirgantara, industri perkapalan, dan industri komunikasi dan informasi, industri energi , termasuk nuklir, ada sesuatu yang tidak boleh dikorbankan, yaitu kebudayaan.
Ilmu pengetahuan bersumber dari kebudayaan, dan karena itu harus selalu berhubungan dengan kebudayaan. Di samping itu, ilmu pengetahuan itu melahirkan bermacam-macam teknologi. Tidak ada satu teknologi yang dilahirkan oleh hanya satu ilmu pengetahuan. Lazimnya suatu teknologi untuk melaksanakan proses nilai tambah dilahirkan oleh sekurang-kurangnya dua atau lebih disiplin ilmu pengetahuan.
Proses nilai tambah tidak akan terjadi jika tidak ada teknologi. Teknologi tidak akan dikembangkan jika tidak ada ilmu pengetahuan. Dan keduanya harus berakar pada pada nilai-nilai dan unsur-unsur utama kebudayaan. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak berakar pada kebudayaan akan melahirkan masalah-masalah yang tidak terduga dan dapat bertentangan dengan perkembangan proses nilai tambah, bahkan akan menurunkan produktivitas pelaksanaan proses nilai tambah.
Secara lebih mendasar lagi, penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pada proses nilai tambah akan melahirkan berbagai masalah yang tidak dapat dipecahkan hanya oleh ilmu dan teknologi, antara lain :
  • Masalah apa yang diperbuat dengan nilai tambah yang diciptakan;
  • Masalah siapa yang menentukan pembagiannya di antara anggota masyarakat;
  • Masalah berdasarkan apa ditentukan pembagian itu;
  • Masalah peran yang harus dimainkan oleh pemerintah yang mewakili kepentingan seluruh masyarakat, baik anggota yang lemah maupun yang kuat.
Kesemua masalah ini hanya dapat diselesaikan dengan sempurna jika jawabannya berakar pada nilai-nilai dan unsur-unsur utama kebudayaan. Di dalam masyarakat Indonesia tidak mungkin dapat diberikan jawaban yang sempurna atas masalah-masalah tersebut jika cara menjawab dan jawabannya hanya merupakan salinan dari penyelesaian yang diberikan manusia berbudaya lain dengan nilai-nilai dasarnya yang lain pula.
Ada dua macam unsur utama di setiap kebudayaan.
Yang pertama adalah unsur yang khas dari suatu masyarakat; yang kedua adalah unsur yang bersifat universal. Di dalam bahasa ilmu pasti, yang pertama dinamakan unsur yang variant dan yang kedua, itulah yang disebut invariant.
Satu unsur penting dalam menentukan berhasil-tidaknya ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dikembangkan dan dimanfaatkan secara efisien dan produktif untuk meningkatkan taraf hidup manusia.
Kebudayaan manusia, termasuk karakter dan mentalitas manusia itulah yang menentukan apakah manusia dapat secara efisien atau produktif memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah kebudayaan manusia yang akan menentukan apakah manusia secara cepat dapat menaikkan taraf hidupnya melalui pemanfaatan teknologi.
Kita di Indonesia tentunya mengusahakan agar siklus-siklus peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi dan taraf hidup manusia Indonesia berlangsung sesuai dengan aspirasi kita sendiri, sesuai dengan aspirasi perjuangan Bangsa Indonesia, sebelum kemerdekaan dan setelah ke-erdekaan. Kita perjuangkan agar siklus-siklus tersebut berlangsung secara merata ke seluruh pelosok tanah air Indonesia.
Hubungan Iptek dan Kebudayaan
Manusia sebagai pemeran utama dalam proses ini perlu disiapkan secara sistematis dan sedini mungkin. Kita harus mempersiapkan sebaik-baiknya agar pelaksanaan proses ini berlangsung secara serasi dengan kebudayaan manusia yang diilhami oleh agama yang dianutnya. Hanya dengan demikian dapat dikembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat memberikan dampak pada proses nilai tambah pribadi dan proses nilai tambah materi, yang memberikan dampak positif terhadap peningkatan taraf hidup manusia, baik di dalam perangkat lunak maupun di dalam perangkat keras dan perangkat otak. Persiapan itu harus dilaksanakan sedini mungkin. Ini berarti bahwa pengembangan manusia perlu mendapatkan perhatian khusus dan perhatian utama dari pimpinan bangsa.
Kita semua menyadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi memang memainkan peranan yang menentukan dalam pembentukan masyarakat dan peranan yang menentukan tingkat dan mutu kehidupan sehari-hari. Sebabnya adalah karena ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan tiga landasan yang penting di dalam kehidupan masyarakat.
Pertama, ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan landasan hidup berupa tingkat pemenuhan kebutuhan dasar anggota masyarakat meliputi pangan dan gizi, kesehatan dan harapan hidup, pendidikan, serta lingkungan hidup.
Kedua, ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan dikembangkannya sistem informasi dan komunikasi, evaluasi dan analisis yang lengkap, makro dan mikro dan mencakup seluruh anggauta masyarakat sehingga dapat secara merata memberikan informasi di bidang apa saja yang penting bagi kehidupan dan kebudayaan suatu bangsa. Kemampuan inilah yang menjadi landasan bagi kemungkinan suatu bangsa dan masyarakat untuk memajukan kesejahteraan dan taraf hidupnya. Manusia tanpa informasi merupakan makhluk yang tidak dapat mengembangkan potensinya dan karena itu tidak dapat berkembang dan kehilangan artinya.
Ketiga, manusia yang sehat dan sejahtera dan yang kaya akan informasi akan dengan cepat dapat memanfaatkan dan mengembangkan semua ilmu dan teknologi yang diperlukannya untuk memperbaiki nasibnya dan meningkatkan mutu kehidupannya. Penggerak untuk perkembangan ini adalah sifat khas manusia sebagai satu-satunya makhluk di bumi ini yang mempunyai hasrat konsumsi yang selalu meningkat ("rising demands"), baik konsumsi akan perangkat keras, maupun konsumsi akan perangkat lunak dan perangkat otak. Manusia memiliki ciri khas ini karena berdaya imaginasi, berketerampilan dan mampu membentuk suatu visi atau wawasan. Dengan kemampuannya mengembangkan ilmu dan teknologi dan mencapai peningkatan-peningkatan di dalam penghasilannya, maka manusia sekaligus juga menentukan pasar akan barang dan jasa di dunia ini, karena hanya manusialah yang menentkan besar pasar, baik pasar perangkat keras, perangkat lunak, maupun pasar perangkat otak.
Itulah proses interaksi antara ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan. Kebudayaan melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi memperkaya kebudayaan. Mereka yang mampu menguasai ketiga landasan tadi dengan sendirinya akan lebih mampu meningkatkan dan menyempurnakan nilai kebudayaannya.
Oleh karena itu, dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, kita harus memanfaatkan semua perangkat yang ada, perangkat lunak, perangkat keras, dan perangkat otak, yang dimiliki manusia dan menyesuaikannya dengan kebudayaan manusia tersebut sehingga peningkatan taraf hidup manusia dapat berlangsung dengan lebih cepat dan produktif.
Dan perlu digarisbawahi bahwa betapapun tingginya prestasi kita dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, prestasi tersebut tidak boleh terlepas dari akar-akar dan unsur-unsur utama kebudayaan bangsa kita, yang disatukan dalam wadah Bhineka Tunggal Ika dan merupakan kekuatan tersendiri.
Sarana Pengembangan Iptek dan Kebudayaan
Pengembangan ini terdiri dari dua aspek, yaitu pengembangan formal dan pengembangan non-formal. Dan di dalam pengembangan formal dan non-formal itu perlu dibedakan antara dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu pengajaran dan pelatihan yang berlangsung di sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya, dan pembudayaan yang berlangsung sedini mungkin di dalam lingkungan keluarga.
Kedua-duanya merupakan sisi yang berbeda dari keping yang sama. Pembudayaan menyangkut upaya menjadikan manusia suatu pribadi yang baik, yang taat pada agama, seorang warga masyarakat yang baik, anggota bangsa yang baik, dan warga negara yang baik. Pembudayaan bermaksud menjadikan manusia yang berbudi baik, mengetahui budaya dan tradisi daerahnya dan dapat menghayati keanekaragaman budaya sebagai unsur redundansi yang merupakan sumber kekuatan kebudayaan Indonesia. Pengajaran langsung berkenaan dengan menjadikan manusia mampu berpikir secara analitis, sistematis, logis, pragmatis dan bergerak berdasarkan prinsip dan falsafah ilmiah yang telah teruji dan dibuktikan benar sesuai dengan hukum alam, apakah di dalam bidang sosiologi, rekayasa, pertanian, biologi, elektronika, dirgantara, dan sebagainya.
Kedua-duanya perlu memperoleh perhatian yang sama besarnya. Kedua-duanya perlu berada dalam keadaan keseimbangan. Tanpa pembudayaan yang baik, manusia yang memperoleh pengajaran yang setinggi apapun sehingga merupakan manusia yang sangat pandai dan terampil, tidak akan tergerak untuk mengamalkan ilmunya untuk kepen-tingan masyarakat dalam siklus peningkatan taraf hidup manusia dan peningkatan mutu ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebaliknya, tanpa pengajaran yang sepadan, seseorang yang telah memperoleh pembudayaan yang sangat tinggi sehingga tumbuh menjadi manusia yang sangat sopan dan berbudi luhur, tidak akan sanggup menjalankan peran- an demikian itu.
Lazimnya digunakan perkataan "Pendidikan" sebagai padanan "Pembudayaan", namun menurut hemat kami, kata "pendidikan" tidak mengandung arti setajam sebagaimana halnya "pembudayaan".
Di samping itu, perlu pula diingat bahwa pengembangan ilmu pengetahuan serta penerapan teknologi tertentu di suatu wilayah akan mempunyai akibat terhadap adat-istiadat, perilaku kebudayaan serta lingkungan hidup setempat. Maka dalam usaha pelestarian kebudayaan ataupun usaha peningkatan ketahanan kebudayaan dan adat-istiadat setempat, di dalam lingkungan universitas di wilayah perlu pula dikembangkan disiplin ilmu pengetahuan yang perlu dikuasai untuk mencegah terkikisnya kekayaan kebudayaan setempat oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi baru di tengah-tengahnya.
Berdasarkan pemikiran tadi, kita harus berani menilai kembali dan bertanya: apakah Bangsa Indonesia (insinyurnya dan umat Islam di Indonesia khususnya) sudah dipersiapkan, dikembangkan, dan diberi kemampuan untuk berkembang melalui pendidikan formal dan non-formal yang mengandung unsur-unsur pembudayaan dan penga-jaran sebagai sisi-sisi keping pendidikan yang silang? Kita harus berani bertanya itu pada diri kita. Dan kita harus berani memberikan jawabannya.
Kita harus berani melakukan penyesuaian yang diperlukan. Dan arah penyesuaian itu adalah memberikan rangkaian yang seimbang pada pembudayaan, pengajaran, dan jenjang pendidikan. Yang dirasakan kurang adalah pendi-dikan agama pada kurikulum sekolah dasar, sekolah menengah dan perguruan tinggi itu perlu ditambah. Seandainya dirasakan masih kurang memadai, pengajaran matematika, fisika, biologi, pada kurikulum pendidikan pesantren perlu ditingkatkan. Kita perlu mengusahakan agar pada setiap jenjang pendidikan, kedua unsur tersebut berada di dalam keseimbangan. Dan hal itu perlu kita lakukan pada keseluruhan mata rantai kurikulum dalam setiap jenjang pendidikan yang kita berikan pada manusia Indonesia.
Hal ini merupakan salah satu unsur utama di dalam pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kepentingan peningkatan taraf hidup ma-nusia dalam suatu masyarakat
Yang kelihatan adalah yang kita sadari. Kita masyarakat Indonesia tidak ada lagi yang melarat. Tidak yang miskin secara materi dan ideologi. Rakyat Indonesia merasa bebas bisa berkembang. Itu yang mau kita capai. Untuk menghadapi itu tidak seperti yang tadi saya katakan hanya karya atau kepentingan dari satu golongan saja, golongan pendidikannya tetapi dari seluruh piramida tersebut.
Itulah interpretasi saya, yang diberikan kepercayaan oleh Bapak Presiden, Mandataris MPR untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tapi pengembangan itu hanya mungkin jika ada kaitannya dengan manusia yang telah mengalami nilai tambah pribadi.
Pembahasan tentang tema pembangunan, sebaiknya kita mulai dengan melakukan pengkajian terhadap falsafah yang melandasi pembangunan itu sendiri, sebab jika kita renungkan secara seksama, segala hal yang dibuat, dibangun dan dikembangkan oleh manusia, baik yang berwujud suatu konstruksi fisik maupun yang berupa struktur sosial, senantiasa mencerminkan suatu falsafah tertentu. Semua kons- truksi manusia, baik konstruksi fisik maupun realitas sosial disusun dengan memenuhi norma-norma dan prinsip-prinsip yang sesuai dengan tata nilai ataupun falsafah manusia pembuatnya.
Konstruksi pesawat terbang atau konstruksi sarana fisik yang lain, misalnya, selalu dilakukan dengan mengikuti sekurang-kurangnya tiga buah prinsip: pertama, prinsip keamanan bagi manusia pemakainya ( life save); kedua, prinsip keamanan terhadap penjalaran retak-retak dalam materialnya sehingga keutuhan material bisa terjaga (crack growth save) ; dan ketiga, prinsip yang secara implisit telah mengandung kedua prinsip tadi, yaitu prinsip aman terhadap kegagalan menjalankan fungsi (fail save).
Apa yang berlaku bagi konstruksi fisik, juga terjadi dalam konstruksi sosial. Di dalam suatu organisasi sosial atau kehidupan masyarakat, misalnya, berlaku prinsip bahwa suatu organisasi harus disusun sedemikian rupa sehingga betapa pun beratnya pukulan-pukulan yang dihadapi oleh organisasi tersebut, masih tetap mampu melindungi dan menjaga kepentingan para anggota yang dilayaninya.
Sejalan dengan itu, bila terhadap suatu konstruksi fisik kita harus senantiasa memonitor terjadinya retakan-retakan dalam material sekecil apa pun. Demikian juga halnya terhadap konstruksi sosial. Kita harus selalu waspada terhadap kemungkinan adanya pelbagai gangguan; rongrongan terhadap sumberdaya, falsafah serta warga masyarakat yang menjadi "material dasar" bagi suatu organisasi sosial. Dalam hal ini, organisasi pun harus dijaga supaya berprinsip aman terhadap kegagalan dalam menjalankan fungsinya, antara lain dengan cara mempersiapkan sistem-sistem cadangan yang dapat dikerahkan jika sistem utama gagal dan harus diperbaiki kembali.
Singkat kata, jika dalam konstruksi fisik saja kita harus menerapkan suatu falsafah tertentu, apalagi dalam suatu struktur sosial. Di dalam membangun dan mengembangkan struktur sosial, kita dituntut untuk menerapkan dan mewujudkan suatu falsafah pembangunan yang benar-benar mencerminkan nilai-nilai dasar yang sesuai dengan cita-cita luhur bangsa.
Malahan, menurut pandangan saya, suatu masyarakat barulah dapat disebut suatu bangsa jika masyarakat itu telah mampu mengembangkan identitas bersama serta falsafah hidupnya; sanggup mengembangkan cara-cara hidup serta cara-cara kerjasama yang khas; dan dapat merealisasikan potensi ekonomi, potensi kebudayaan serta potensi politiknya sebagai suatu kesatuan nasional yang khas.
Sehubungan dengan itu, kita harus meningkatkan kebiasaan berpikir dan bertindak berlandaskan falsafah tertentu, yang dikembangkan menjadi prinsip-prinsip dan kemudian melembaga menjadi suatu sistem yang redundan; dalam arti, mampu tetap berfungsi karena senantiasa ditopang oleh jumlah dukungan yang lebih banyak dari yang mutlak diperlukan.
Sebaliknya, dasar-dasar falsafah perjuangan bangsa yang kita miliki bersama, yang dikembangkan sepanjang sejarah oleh para pejuang bangsa, perlu terus-menerus disempurnakan oleh generasi-generasi berikutnya, sehingga sistem-sistem yang melembagakan falsafah dan prinsip-prinsip dasar perjuangan bangsa tersebut bisa tetap relevan dengan tantangan zaman.
Kebangkitan Nasional :
Upaya Penyempurnaan Kebudayan
Bila pada kebangkitan nasional 20 Mei 1908, 87 tahun lalu sasaran Boedi Oetomo adalah Jawa dan Bali, sekarang sasaran kita seluruh kawasan Nusantara. Kita mengetahui bahwa setelah 20 tahun berdirinya Boedi Oetomo, sasarannya tidak saja terbatas pada Jawa dan Bali tetapi perlu untuk seluruh kawasan Nusantara. Kalau pada waktu itu hasilnya Bapak-bapak kita menghadapi masalah bahasa, dan sebagainya sehingga yang mereka perjuangkan adalah apa yang ada pada waktu itu. Kalau saya bisa berbahasa Indonesia dan berkomunikasi dengan siapapun juga dengan bahasa Indonesia, itu norma. Kalau saya harus berkomunikasi dalam bahasa Batak, atau Bugis atau Jawa, itu bukan norma. Jadi yang kita hadapi dalam kebangkitan nasional tahap kedua ini, norma-normanya lain. Kalau dahulu musuhnya jelas adalah Belanda, atau mereka yang berfikir atau menunjang pikiran Belanda. Sedangkan sekarang musuh yang kita hadapi mungkin ada dalam diri kita sendiri yang belum begitu mengerti perjuangan bangsanya, cita-cita bangsanya dan belum bisa mengendalikan pribadinya agar supaya bisa mengisi kemerdekaannya dengan karya-karya yang nyata.
Jadi akibat Boedi Oetomo, Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan, dan Angkatan '45 menghadapi penjajah dan terjadi perang kemerdekaan, bukan hanya hasil karya perjuangan fisik, tetapi semuanya memerangi dan menghadapi musuh yang nyata, yang kelihatan dan tidak kelihatan.
Pada tahun 1908. Boedi Utomo diproklamasikan di mana-mana dengan tujuan agar bangsa kita mau belajar dan membaca walaupun kemudian Boedi Oetamo pada tahun 1920 hanya terkonsentrasi pada bahasa Jawa atau bahasa Indonesia dan terbatas pada orang di Pulau Jawa dan Pulau Bali. Dan Sumpah Pemuda pun aktivitasnya diarahkan agar bangsa kita mau membaca melawan buta huruf serta agar manusia Indonesia merata bisa mendapatkan proses nilai tambah pribadi, bisa lebih pintar dan menendang keluar kekuatan penjajah itu.
Jadi saya rasa sudah cukup jelas interpretasi saya sebagai seorang yang berkecimpung dalam bidang teknologi. Sekarang kita memasuki era Kebangkitan Nasional Tahap Kedua. Apa yang saya artikan kebangkitan nasional tahap kedua itu ialah : "mengisi kemerdekaan dengan karya-karya nyata, memikirkan proses nilai tambah, proses nilai tambah pribadi, dan proses nilai tambah materi. Proses nilai tambah pribadi adalah proses nilai tambah dari setiap manusia yang melalui jenjang pendidikan sekolah sehingga pribadinya meningkat nilainya.
Dalam tahap tinggal landas atau kebangkitan nasional kedua ini, membaca itu normal. Bahasa Indonesia itu normal. Tapi yang belum normal dan harus dijadikan normal adalah membaca bahasa ilmu pasti, membaca ilmu alam dan mekanika. Kalau dulu 1908 Boedi Oetomo mempersilakan membaca alfabet, sekarang harus bisa membaca ilmu pasti dengan logikanya secara merata. Tanpa itu kita ketinggal- an. Tidak terkecuali apakah dia ahli sastra, ahli hukum, jur- nalistik, insinyur, dokter, semuanya memanfaatkan komputer. Dasarnya, semua ilmu pasti. Konsekuensinya apa? Menghadapi tinggal landas dan memasuki tahap kedua kebangkitan nasional kita harus berani meninjau kembali program pendidikan kita, dan mengadakan koreksi seperlunya karena memang dunia itu mengecil dan hanya manusia yang bisa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia itu yang terus-menerus meningkatkan kualitas hidupnya dan menjadi mandiri dan tidak tergantung kepada siapapun juga. Tidak ada ahli politik, ahli hukum yang bisa hidup tanpa komputer. Sekarang saja orang memakai Personal Computer untuk mengetik surat dan sebagainya. Sekretaris yang modern harus bisa memakai Personal Computer tersebut. Di sini kita lihat persamaan dan perbedaan 1908 dengan 1990, dan terlebih lagi kalau kita memasuki tinggal landas pada tahap kedua kebangkitan nasional itu.
Sekarang saya jelaskan melalui contoh-contoh yang nyata apa yang sekarang harus kita perhatikan dan apa yang sekarang sedang kita laksanakan di dalam konsep Kebangkitan Nasional tahap kedua itu. Bagi saya kebangkitan nasional itu mungkin hanya ada dua tahap. Tahap I, yang sudah jelas bahwa kita sudah menyatakan satu bahasa, satu nusa, dan satu bangsa. Tahap II, mengisi kemerdekaan de-ngan kesejahteraan yang merata dalam segala bidang dari Sabang sampai Merauke untuk manusia Indonesia.
Untuk itu saya mencoba menjelaskan apa yang harus dan apa yang sedang kita laksanakan dalam mempersiapkan tahap terakhir Kebangkitan Nasional kedua tersebut. Tadi, Bapak Harmoko menyebut mengenai kapal. Kapal yang baru saja diresmikan Bapak Presiden nampaknya sangat sederhana. Kapal ini dinamakan oleh Bapak Presiden "Maruta Jaya". Kapal ini bukan kapal biasa, kapal ini adalah kapal layar, bukan seperti kapal layar Phinisi. Kalau Phinisi itu kapal layar sebesar 80 ton, 90 ton, paling tinggi 150 ton. Tadi yang diresmikan Bapak Presiden adalah kapal layar 900 ton, jadi 10 kali kapal Phinisi tersebut. Kalau kapal Phinisi kecepatannya kira-kira 4 atau 5 knot, sedangkan kapal Maruta Jaya kecepatannya 8-10 knot. Kalau kapal Phinisi dibuat dari kayu, maka Maruta Jaya dibuat dari baja. Kapal ini adalah kapal yang baru saja kita kembangkan, persisnya dimulai pada tahun 1978 yang lalu.
Saya jelaskan, bahwa kalau tadi saya katakan kapal Maruta Jaya tersebut akan menghubungkan seluruh kepulauan Indonesia tanpa memanfaatkan bahan bakar minyak, tetapi memanfaatkan angin dan cahaya matahari. Cahaya matahari itu akan melalui photo voltaic untuk mengisi baterai-baterai dan baterai tersebut dimanfaatkan untuk penerangan dan memberikan navigasi kepada kapal tersebut, dan kalau lagi tak ada angin maka dijadikan motor untuk menggerakkan kapal tersebut.
Kalau anginnya sedang banyak maka propeler yang ada di belakang kapal tersebut diubah seperti pada kapal pe-rang, bukan menjadi propeler untuk menggerakkan tapi menjadi turbin air. Turbin ini bisa menggerakkan generator yang mengisi baterai di dalam kapal Maruta Jaya tersebut.
Kapal ini panjangnya 63 meter, lebar 12 meter, tiang layar tinggi 38 meter, tiang layarnya ada 3 buah kapal ini dirancang bangun oleh insinyur-insinyur Indonesia. Dalam perjalanan dari Surabaya ke Jakarta persisnya 70 jam, aman. Itu yang kecil kita buat. Sasarannya 3.000 ton. Yang baru selesai adalah 900 ton.
Kapal zaman Portugis, zaman Belanda, VOC, itu kecil. Sama dengan Phinisi sekarang ini, karena dibuat dari kayu. Kayu tak bisa dibuat lebih besar daripada 150 ton. Tidak bisa, karena ada masalah-masalah kekuatan rangka yang akan dihadapi. Sekarang ini misalnya bentuk Maruta Jaya dihitung dengan komputer di Jerman dan di Indonesia, diuji dalam terowongan angin, ditest di dalam towing tank dan dua kali dibuat tipe yang hanya 100 ton. Setelah itu kita membangun yang ke dua. Seluruhnya itu terjadi tahun 1978, dan baru hari ini diresmikan oleh Bapak Soeharto meminta saya untuk masuk ke fase selanjutnya, membuat yang 2.000 ton, cukup besar. Maruta Jaya yang kedua nanti dua kali lebih besar dari yang pertama, panjangnya kira-kira 80 meter dan lebar 14 meter, dan kecepatannya 10 - 15 knot.
Perlu kita ketahui bahwa di dunia ini tidak ada satu negara atau satu perusahaan apakah di Eropa, Jepang atau Amerika, yang membuat kapal sebesar ini. Karena kapal-kapal yang pernah mereka buat adalah kapal layar untuk antar-benua yang tonasenya paling besar 150 ton. Jadi ini memperlihatkan bahwa putra-putri Indonesia sekarang ini telah berhasil bekerja secara sistematis, yang telah mempersembahkan kepada Bapak Presiden dan seluruh bangsa Indonesia, sebuah karya dengan sifat-sifatnya yang telah saya uraikan tadi, yaitu sebuah kapal untuk mengangkut container, semi container ataupun general cargo.
Bahkan sasaran program yang ingin dilaksanakan sekarang bukan saja 2.000 ton untuk container, semi container ataupun general cargo tapi sudah 3.000 ton. Jadi semua itu kita laksanakan agar kita pada menjelang abad yang akan datang, sudah swasembada untuk transportasi dan tak tergantung dengan bahan bakar minyak.
Saya diminta Bapak Presiden memikirkan bagaimana kawasan nusantara ini dapat terus dihubungkan satu sama lainnya, andaikata bahan bakar minyak kita habis. Bagaimana kita mengangkut barang-barang secara murah dan teratur dari satu pulau ke pulau yang lain.
Kita mengetahui bahwa bahan bakar minyak kita itu terbatas 10 - 15 tahun lagi kita sulit dengan swasembada bahan bakar minyak lagi. Indonesia adalah suatu negara kepulauan yang begitu besar. Kita tidak bisa membuat jembatan antar pulau Sumatera dengan Kalimantan, antar-Jawa-Kalimantan, antar Jawa-Bali.
BPPT saat ini sedang mempersiapkan pemikiran pembuatan jembatan antar - pulau Sumatera dengan Jawa dan jembatan terowongan. Terowongan itu kalau terjadi, 50 - 60 km panjangnya. Sekarang sedang dikaji dan sudah selesai disainnya, juga membuat jembatan Surabaya - Madura yang panjangnya 1,8 km atau 2 km. Itu akan terjadi. Karena apa? Pembangunan daerah Surabaya ini jangan dikembangkan ke arah Selatan mengambil lahan-lahan subur yang sangat diperlukan untuk pertanian, tetapi ke Utara di mana Madura itu lahannya kurang subur. Oleh karena itu nanti dengan jembatan tersebut, kawasan Surabaya akan berkembang ke Utara.23 Nantinya Pelabuhan Surabaya akan terletak di Madura. Dan pengkajiannya sudah selesai.
Sekarang saya ingin berbicara tentang energi. Sebelum transistor, mereka pakai tabung-tabung dengan radio yang besar. Dengan sistem tabung-tabung memerlukan energi banyak sekali. Kalau dipegang panas, dan lekas rusak. Sekarang satu tabung yang besar dliganti dengan transistor yang mungkin sebesar kuku saja. Akibatnya menyedot energi lebih sedikit dan radionya menjadi kecil. Kualitasnya secara keseluruhan lebih baik daripada tabung. Lagi pula tidak rusak. Itu terjadi pada tahun 1967. Tahun 1970-an ditemukan integrated circuit. Melalui integrated circuit itu bisa disimulasikan apa yang dilaksanakan transistor itu, sehingga pada waktu itu mereka sudah merasa hebat, dalam transistor itu bisa dimuat equivalent integrated circuit dengan sebanyak 32 transistor. Itu saja sudah hebat.
Kebangkitan Nasional Kedua: Tinggal Landas
Kita perlu merenungkan kembali hal yang sering diucapkan Bapak Presiden Soeharto bahwa Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun Kedua hendaknya juga merupakan Kebangkitan Nasional Kedua bagi Bangsa kita.
Kebangkitan Nasional Bangsa Indonesia tanggal 20 Mei tahun 1908 yang mencanangkan pemberantasan buta huruf, secara nyata telah berhasil menggerakkan perjuangan nasional bangsa lndonesia, sehingga dapat menghasilkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, terwujudnya Orde Baru mulai tahun 1966, serta dilaksanakannya Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun pertama mulai tahun 1969.
Di dalam proses tinggal landas yang akan kita selenggarakan di dalam masa Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun Tahap Kedua, Bangsa Indonesia harus benar-benar membebaskan dirinya dari buta huruf ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana telah dikemukakan tadi. Harus kita awali dengan secara sadar mengembangkan sisi pembuda-yaan dan sisi pengajaran sebagai dua unsur pendidikan yang perlu seimbang satu dengan lainnya di dalam setiap jenjang pendidikan dan di dalam semua jenis pendidikan umum.
Di dalam kaitan teknologi dan kebudayaan, seperti tadi saya sudah menjelaskan mengenai elektronik, komputer, telekomunikasi perhubungan dan sebagainya. Mungkin saya harus menjelaskan juga mengenai pangan, dalam hubungannya dengan bioteknologi, karena ini termasuk disiplin ilmu yang harus kita kuasai pula. Sampai sekarang kita lihat di tempat-tempat percobaan (laboratorium), sudah biasa mengembangkan secara rutin produk-produk baru dengan mengadakan silangan-silangan dengan produk-produk yang telah ada. Tapi masih sedikit manusia Indonesia yang mengorek genetika dan mengadakan manipulasi sehingga terjadi produk yang bukan hasil dari persilangan apakah dalam pertanian, peternakan, ataukah kedokteran. Hanya beberapa orang saja yang mengerti. Ini akan memerlukan revolusi tersendiri.
Saya berikan contoh. Tahun lalu saya pergi ke Italia. Di situ saya bertemu dengan para ilmuwan dari perusahaan kecil yang kerjanya hanya menjual bibit-bibit saja. Dan bibit yang dia buat itu hanya khusus bibit-bibit tertentu misalnya strawberry (arbei). Perusahaan ini dipimpin oleh seorang doktor wanita, usianya 38 tahun , mempunyai tim dengan 25 orang sebagian besar wanita. Pemimpin perusahaan itu doktor di bidang bioteknologi
Dia melakukan pertama "manipulasi genetik". Dia mengubah sifat dari tumbuhan atau buah sedemikian rupa sehingga menguntungkan untuk ekonomi. Setelah itu kalau "manipulasi genetik" berhasil, berkembang biaknya bukan dari bibitnya tapi dengan tissue culture (kultur jaringan). Ia berkembang, dan mengembangkan beberapa jenis arbei. Ada yang kuning, merah, setengah hijau, dan ada yang oranye. Ada yang besar dan ada yang kecil. Semuanya itu persis seperti induknya, ada yang manis, ada yang kecut. Tapi yang jelas dia kuasai hampir 90% arbei di seluruh Eropa. Karena dari kultur jaringan satu tanaman yang dikembangkan dari manipulasi genetik diambil selnya dari sel satu ini kemudian dikembangkan dari manipulasi genetik diambil selnya dari sel satu ini kemudian dikembangkan menjadi beberapa tumbuh-tumbuhan yang baru yang semuanya sifatnya persis induknya.
Lain pula misalnya seperti hukum Mendel. Silangnya bibit bisa terjadi buah yang sifatnya bermacam-macam. Dia membutuhkan dua tahun untuk mempersiapkan bibitnya, dan dia menguasai 100 juta bibit. Dia menguasai pasar bibit di seluruh Eropa. Padahal ini hanya karya dari ilmuwan 25 wanita yang muda-muda. Ini suatu revolusi di ambang pintu dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dia juga membuat dari bermacam-macam buah-buahan dan tanaman. Barangkali nanti pada suatu hari dia juga dapat mencoba mengembangkan pada binatang-binatang, dan sebagainya. Sehingga di Jerman pun dibuat undang-undang di mana dilarang mengadakan bioteknologi dan mengadakan eksperimen dengan manusia. Karena dikhawatirkan dari satu sel manusia, misal dari kulitnya, sel kulit biasa bisa dibuat dua atau tiga manusia yang rupanya sama. Itu bisa membahayakan, dan itu masih jauh. Tapi bisa saja itu terjadi dan akan mengakibatkan konflik-konflik sosial dan agama dan sebagainya. Bioteknologi inipun mendapatkan perhatian dari pada bangsa Indonesia.
Tetapi cara menurunkan hukum itu harus dilakukan secara sistematis, secara metodik, ilmu pengetahuan dan objektif. Dari situ kelihatan bahwa proses nilai tambah materi dan proses nilai tambah pribadi tidak bisa terlepas daripada kebudayaan suatu bangsa dan masyarakat. Tapi juga tidak benar dan tidak dibenarkan jika hanya menitikberatkan kebudayaan saja, dan terus berfilsafat dan tak mau mengadakan investasi di bidang Iptek melalui pemasukan cara-cara pendidikan yang baru.
Ditinjau secara keseluruhan, hasil proses nilai tambah dan biaya tambah tersebut merupakan karya nyata sebuah bangsa untuk digunakannya sendiri dan atau digunakan bangsa-bangsa lain.
Dalam penyelenggaraan proses itu telah terbukti bahwa teknologi tidak hanya dibutuhkan untuk mengendalikan mutu, biaya dan jadwal sehingga dapat dihasilkan produk-produk dengan mutu yang sesuai dengan spesifikasi, de-ngan biaya yang serendah-rendahnya, dan pada jadwal yang telah disepakati. Ketiga hal tersebut memang sangat pen-ting. Tetapi tidak hanya ketiga hal itu yang menentukan daya saing produk di pasar. Yang paling menentukan daya saing produk di pasar adalah produktivitas yang merupakan gabungan antara produktivitas pekerja dan produktivitas barang dan modal sehingga dengan masukan tertentu dapat diproduksi hasil yang setinggi-tingginya. Gabungan antara produktivitas tenaga kerja dan produktivitas modal yang dinamakan produktivitas multi-faktor ini perlu mendapatkan perhatian yang khusus. Untuk memperoleh produktivitas yang tinggi peranan ilmu dan teknologi sangat penting. Namun ilmu pengetahuan dan teknologi saja tidak cukup.
Sejarah dan teori ekonomi menunjukkan bahwa untuk meningkatkan produktivitas secara nyata diperhatikan keseimbangan yang telah dikemukakan tadi, yaitu keseim- bangan antara pembudayaan dan pengajaran sebagai dua sisi dari keping pendidikan yang sama. Untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi daripada masukan yang bersifat budaya berupa kesediaan kerja keras, naluri ketelitian dan kecermatan, wawasan jangka panjang, kebanggaan akan pekerjaan yang bermutu dan lain-lain motivasi budaya serupa itu.
Hanya dengan masukan budaya ini produktivitas multifaktor akan dapat ditingkatkan menjadi produktivitas prestasi, baik produktivitas prestasi perorangan, maupun secara kelompok berupa produktivitas prestasi perusahaan, atau lebih agregatif lagi, berupa produktivitas prestasi nasional. Namun itu pun tidak cukup untuk melestarikan daya saing orang, perusahaan, dan bangsa. Yang perlu dikejar adalah peningkatan produktivitas prestasi perorangan, perusahaan, dan nasional.30 Hal ini harus segera dimulai.
Peningkatan produktivitas prestasi tidak hanya perlu dilakukan di dalam perusahaan-perusahaan atau di dalam satuan-satuan ekonomi saja. Peningkatan produktivitas prestasi perlu dilakukan di dalam semua kesatuan baik jasa-jasa seperti sekolah, rumah sakit, atau panti-panti asuhan, maupun jasa-jasa pemerintah seperti ketertiban, keamanan, pemeliharaan lingkungan, dan sebagainya.
Di sini pun diperlukan peningkatan dan pertumbuhan produktivitas prestasi. Dan di sini pun kaum Muslimin harus mempelopori, menjadi contoh dan teladan. Sasarannya adalah pendiriannya Pusat Peningkatan Pertumbuhan Produktivitas Prestasi Nasional.
Peranan Dunia Industri dan Dunia Pendidikan
Guna mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi persaingan ekonomi antar bangsa di dalam abad ke XXI nanti, manusia Indonesia perlu dibekali dengan materi pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam persaingan tersebut.
Mengingat hal ini, kami menyarankan agar perguruan tinggi dan sekolah kejuruan di Indonesia memberikan perhatian lebih banyak pada aspek-aspek paedagogi pendidikan yaitu pada masalah-masalah yang berhubungan dengan bagaimana proses pendidikan dan pengajaran di perguruan tinggi dapat berlangsung dengan seefektif dan seefisien mungkin. Dan kedua agar dunia pelaksana pembangunan baik swasta maupun pemerintah diberikan peranan yang sebesar-besarnya di dalam penentuan materi atau substansi ilmu pengetahuan yang diajarkan dan diteliti di kalangan universitas dan sekolah kejuruan. Menurut hemat kami, tidak dibenarkan bahwa para ahli paedagogi ikut menentukan apalagi sangat menentukan di dalam menetapkan materi yang perlu diajarkan. Jauh lebih tepat jika substansi dan susunan mata kuliah ilmu pengetahuan yang diberikan di perguruan tinggi dan sekolah kejuruan ditentukan oleh mereka yang di dalam hidup sehari-harinya perlu memecahkan masalah-masalah yang menyangkut perkembangan atau pun kelangsungan hidup perusahaan atau negara, baik masalah-masalah yang dihadapi sekarang, nanti atau jauh di masa depan.
Namun, bagi kita sebagai ilmuwan dan ahli teknologi, adalah sangat penting untuk menyadari betapa perlunya teknologi harus diselaraskan dengan kebudayaan. Jika hal ini kita renungkan, akan tampak bahwa memang sewajarnya demikian, karena pada dasarnya teknologi merupakan sebagian dari kebudayaan. Ini berarti bahwa dalam usaha kita meningkatkan serta mengalihkan teknologi perlu pula kita kembangkan serta mantapkan kemampuan derap kebudayaan lingkungannya.
Sebaliknya, perlu pula kita sadari bahwa banyak tradisi yang telah membudaya mempunyai landasan empiris tertentu yang perlu diselidiki sebelum dengan serta-merta kita menolaknya sebagai sesuatu yang tidak modern. Kita tidak boleh lupakan bahwa banyak tradisi merupakan hasil pengembangan teknik-teknik secara eksperimental selama berabad-abad yang kemudian diturunkan kepada generasi berikutnya melalui magang sehingga perlu menyelidiki kembali landasan-landasan teoretisnya sebelum kita serta merta mengesampingkannya sebagai tidak mutakhir. Contohnya adalah teknologi konstruksi rumah, cara-cara pengobatan, serta teknologi persenjataan yang tradisional.
Di samping itu, perlu pula diingat bahwa pengembangan ilmu pengetahuan serta penerapan teknologi tertentu di suatu wilayah akan mempunyai akibat terhadap adat-istiadat, perilaku kebudayaan serta lingkungan hidup setempat. Maka dalam usaha pelestarian kebudayaan ataupun usaha peningkatan ketahanan kebudayaan dan adat- istiadat setempat, di dalam lingkungan universitas di wilayah perlu pula dikembangkan disiplin ilmu pengetahuan yang perlu dikuasai untuk mencegah terkikisnya kekayaan kebudayaan setempat oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi baru di tengah-tengahnya.
Dalam berusaha demikian, kita harus sadar bahwa justru karena teknologi merupakan sebagian dari keseluruhan suatu bangsa, upaya-upaya kita dalam mengembangkan serta mengalihkan teknologi itu akan mengalami hambatan-hambatan yang bersifat kultural. Hal ini harus diperhitungkan serta diatasi secara seksama karena jika tidak, maka pengembangan teknologi akan membawa keretakan-keretakan dalam keutuhan kebudayaan tersebut yang mungkin akan dapat menimbulkan keresahan-keresahan dalam masyarakat.
Di sini terlihat kenyataan bahwa sebagian terbesar bangsa Indonesia, yang dipersatukan dengan sarana dan wahana teknologi mutakhir dalam kehidupan serta pekerjaannya sehari-hari, menyumbangkan bagiannya pada nilai tambah produksi nasional dengan menggunakan teknologi-teknologi yang sederhana. Ini berarti bahwa kita mempunyai kewajiban untuk meningkatkan teknologi-teknologi yang dipergunakan oleh sebagian terbesar bangsa Indonesia, melalui upaya-upaya dengan cara mengalihkan teknologi baru dari luar negeri.
Upaya-upaya ini harus dilakukan secara bertahap karena teknologi yang sekarang diterapkan di lingkungan pedesaan dan di kampung-kampung dalam lingkungan perkotaan sangat erat hubungannya, bahkan merupakan bagian dari tradisi-tradisi, dan adat kebiasaan. Pendeknya dari kebudayaan yang telah diturunkan dari generasi ke generasi. Ini berarti bahwa usaha-usaha untuk meningkatkan serta mengalihkan teknologi dalam lingkungan tersebut harus dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu dan dengan cara-cara yang selaras dengan daya serap budaya lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Misalnya, teknik dan cara memotong padi tidak hanya merupakan masalah teknologi belaka, ia sangat erat hubungannya dengan pola-pola kebudayaan yang mengatur hak dan kewajiban antara penduduk desa satu sama lain serta kepercayaan-kepercayaan tentang hubungan antara manusia serta makhluk gaib lainnya. Kita tidak boleh dengan begitu saja menerapkan sistem pemotongan padi dengan menggunakan traktor serta alat-alat besar lainnya yang menggaduhkan jika kepercayaan setempat menegaskan, bahwa hal itu merusak hubungan yang turun-temurun antara para anggota masyarakat desa pemilik sawah dan anggota lainnya yang tidak memiliki sawah.
Kenyataan sosiologis bahwa kemajuan teknologi dapat dihambat oleh pola-pola pemikiran yang telah membudaya, merupakan suatu fakta yang bersifat mondial. Ia terdapat di mana-mana di dunia ini.
Kita lihat misalnya penggunaan kereta api sebagai alat pengangkutan modern pernah ditentang di Jerman dengan alasan bahwa pengangkutan dengan kecepatan yang melebihi tigapuluh kilo meter per jam akan mengakibatkan berbagai gangguan fisiologis maupun psikologis bagi manusia. Sementara itu, penggunaan pesawat udara supersonik sebagai alat angkut, sekarang menghadapi tantangan berbagai pihak dengan alasan bahwa pada ketinggian terbang duapuluh tiga kilometer di udara, pesawat terbang semacam itu akan merusak lapisan ozon yang merupakan pengatur besi radiasi sinar ultra violet dari tata surya ke bumi dan sebaliknya.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain memang ada perbedaan-perbedaan yang bersifat kualitatif. Ada kebudayaan yang dilandaskan kepada pemikiran yang tidak berubah-ubah dan yang diturunkan sejauh mungkin dalam bentuk aslinya dari generasi ke generasi. Ada juga kebudayaan lainnya yang lebih berlandaskan pada pemikir- an yang rasional dan kritis. Namun, bagi kita sebagai ilmuwan dan ahli teknologi, adalah sangat penting untuk menyadari betapa perlunya penyelarasan teknologi dengan kebudayaan. Jika hal ini kita renungkan, akan tampak bahwa memang sewajarnya demikian karena pada dasarnya, teknologi merupakan sebagian dari kebudayaan. Ini berarti bahwa dalam upaya kita meningkatkan serta mengalihkan teknologi perlu pula kita kembangkan serta mantapkan kemampuan dan derap-laju kebudayaan di sekitarnya.
Sebaliknya, perlu pula kita sadari bahwa banyak tradisi- tradisi yang telah membudaya mempunyai landasan-landasan empiris tertentu yang perlu diselidiki sebelum dengan serta-merta kita tolak sebagai sesuatu yang tidak modern. Kita tidak boleh melupakan bahwa banyak tradisi merupakan hasil pengembangan teknik-teknik secara eksperimental selama berabad-abad yang kemudian diturunkan kepada generasi berikutnya melalui magang sehingga kita perlu menyelidiki kembali landasan-landasan teoretisnya sebelum kita dengan serta merta mengesampingkannya sebagai tidak mutakhir. Contohnya adalah teknologi konstruksi rumah, cara-cara pengobatan, dan teknologi persenjataan yang bersifat tradisional.
Tidak bertanggung jawab kiranya, jika kita dengan begitu saja mengesampingkan teknologi-teknologi tradisional ini tanpa meneliti kembali landasan-landasan teoritisnya. Karena berbuat demikian akan sama artinya dengan berupaya membuat suatu karya ilmiah tanpa memeriksa kembali bahan-bahan referensi.
Kesimpulannya, dalam melaksanakan pembinaan serta pengembangan teknologi kita harus meningkatkan, baik teknologi yang bersifat tradisional maupun (mengalihkan) teknologi yang mutakhir. Yang satu harus kita kuasai kembali, yang lainnya harus kita kuasai sebagai hal yang baru. Dalam berbuat kedua-duanya, tujuan pokoknya adalah meningkatkan nilai tambah yang sumber permodalannya berasal dari bumi Indonesia.
Dalam berupaya demikian, kita harus sadar bahwa justru karena teknologi merupakan sebagian dari keseluruhan bidang kehidupan suatu bangsa, upaya kita dalam mengembangkan serta mengalihkan teknologi itu akan mengalami hambatan-hambatan yang bersifat kultural. Hal ini harus diperhitungkan serta diatasi secara seksama karena jika tidak, maka pengembangan teknologi akan membawa keretakan-keretakan dalam keutuhan kebudayaan tersebut yang mungkin akan dapat menimbulkan keresahan-keresahan dalam masyarakat.

Perencanaan yang Berakar Budaya

Perencanaan yang Berakar Budaya
 
Disampaikan dalam Seminar Nasional Peningkatan Peranserta Masyarakat
dalam Penataan Ruang dan Pembangunan Perkotaan,
di Jakarta pada 7 Mei 1996.

Ekonomi tidak lain proses meningkatkan nilai tambah. Setelah produk atau jasa dibawa ke pasar, baru didapat nilai nya-ta yang dibayar, kalau masih ada di gudang belum bisa didapat nilai nyata. Begitu pula perencanaan yang dibuat kalau tidak mampu dibawa ke pasar, nilainya hanya semu saja. Karena itu yang harus dilakukan pertama kali rencana produk harus dibuat dengan biaya yang serendah mungkin dan harus sesuai dengan kehendak pasar. Kalau tidak, maka tidak akan ada nilainya. Dalam perencanaan kota, kita harus tahu lebih dahulu apa dasar-dasar rakyat dan masyarakat yang ber-ada di kota itu, baru kita bisa mulai memikirkan. Kalau seorang perencana itu khususnya arsitek dapat mem-bujuk seseorang membeli rumah pada sebuah real estate, tetapi setelah dibeli ternyata tidak sesuai dan pemiliknya tidak betah, akhir-nya tidak sering pulang ke rumah, berarti si perencana itu tidak bisa menerjemahkan teknologi sesuai dengan selera atau budaya orang yang menghuninya itu. Tetapi kalau seorang perencana yang baik, ia tidak mau me-maksakan kepada orang yang akan membayarnya, tetapi ia akan mendengarkan dulu, berdasarkan itu ia terjemahkan keinginan pemesannya. Kalau pe-sanan sudah selesai, ternyata pemesan itu tidak keluar dari rumah yang dipesannya berarti ia bisa hidup lebih efisien dan pres-tasinya pun menjadi tinggi.
Dapat disimpulkan, bahwa kita harus menyadari prinsip dasar bangsa kita sendiri sebagai bangsa berbudaya, bangsa yang hidup sudah ratusan tahun di Benua Maritim. Orang yang datang dari luar Jawa atau dari desa masuk ke Jakarta, kalau generasi pertama, masih saja ada akar budaya daerah asalnya. Mungkin pada generasi kedua, generasi ketiga sudah dibentuk perilaku baru karena pengaruh yang diperolehnya di kota. Pengaruh global di kota lebih besar dari di desa, karena jaringan-jaringan yang mempengaruhi budaya di desa-desa itu paling tidak dari kota. Kota sudah merupakan filter itu sendiri. Jaringan-jaringan yang masuk ke kota Jakarta, Surabaya atau Ujung Pandang, Medan atau kota kecil Cikampek tidak bisa terlepas dari pengaruh global kunjungan orang yang datang ke situ yang mempunyai budaya dan life style yang berbeda. Oleh karena itu pertama, kita harus sangat memahami masalah-masalah ini, titik tolaknya harus kita ketahui karena kita membangun untuk rakyat dan bangsa kita. Membangun untuk rakyat dan bangsa harus bertolak dari prinsip dasar dari budaya perilaku manusia In-donesia itu sendiri. Dan kedua, pembangunan yang kita laksanakan itu tidak lain adalah satu-satunya cara untuk mengamalkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan dalam arti yang luas, bukan hanya pembangunan materi, tetapi juga pembangunan non materi, spritual dan ma-te-rial. Oleh karena itu, pembangunan tidak bisa terlepas dari to-lok ukur budaya kita, visi dan gaya hidup kita yang bersifat secara langsung dan tidak langsung ada di dalam Pancasila dengan segala interpretasinya, baik UUD 1945 serta mukadimahnya. Dalam hal itu kita harus pandai-pandai menerjemahkan itu sebagai sesuatu yang rasional ke dalam prinsip-prinsip yang terencana.
Tata ruang jaman sekarang tanpa disadari diubah, bukan tata ruang, tetapi jadi tata uang. Tata ruangnya benar, tetapi karena permainan bisnis dan keuntungan, tata uangnya yang mengubah, kita harus membuat konsensus kalau kita benar-benar melaksanakan perencanaan itu secara profesional dengan memperhatikan tolok-tolok ukur budaya yang tidak bisa dikuantifikasi melainkan hasil dari budaya itu, karena saya percaya Pancasila itu tidak direkayasa tetapi digali dari budaya bangsa Indonesia. Kita tahu budaya tidak bisa kita kuantifikasi. Sulit Anda merencanakan sesuatu kalau tidak ada kuan-tifikasi, tetapi juga susah kalau hanya kuantitas tetapi tidak ada kualitas, tidak mungkin membuat rencana hanya berdasarkan angka rasional kalau tidak ada perasaan emosional yang ada kaitannya dengan estetika, tolok-tolok ukur moral dan sebagainya.
Jadi keterpaduan dari keduanya itu harus tercermin dalam produk yang bernilai lebih tinggi dan nanti kalau dibawa ke pasar menjadikannya dari nilai yang semu menjadi nilai yang nyata.
Perencana produktif, bukan konsumtif
Kalau kita melihat kehidupan di mana saja manusia ada, normal bi-la mereka memerlukan rumah, kalori. Tiap manusia membutuhkan 2000 kalori tiap hari tergantung dari umurnya. Dua ribu kalori yang dibutuhkan itu bisa berupa setengah gelas penuh dengan lemak. Kalori yang dimasuk-kan ke dalam tubuh dalam bentuk karbohidrat, selulose, protein yang datangnya dari tanaman, dari hewani dari minyak, karena di situ mengandung zat-zat yang lain kalorinya rendah, tetapi penting untuk pencernaan. Kalori untuk badan kita itu bentuknya berbeda-beda begitu juga kadarnya tergantung pada kemam-pu-an kita untuk membayar atau membeli kalori itu. Kita mengetahui, bahwa kalau rakyat kecil rata-rata GNP perkapita-nya rendah, maka kalori yang ia masukkan sebagian itu datang dari karbohidrat, tetapi kalau misalkan yang sudah GNP nya tinggi, rata-ra-ta yang dikonsumsi dari protein, ada yang penuh lemak ada yang sama sekali tidak mengandung lemak, bahkan ada yang su-dah lebih canggih. Tetapi semua sasarannya hanya 2.000 kalori. Untuk perencanaan kota, perumahan sama saja, ada standar minimumnya dan ada standar maksimalnya, itu bisa saling berlebihan, tetapi harus ada standar yang wajar.
Rakyat itu bekerja, menghasilkan uang, rata-rata kita tahu mungkin sudah US$ 1.000 per kapita dan itu meningkat terus, tetapi ada yang dapat banyak sekali, ada yang sedikit, bahkan mi-nus terus. Yang sudah canggih membuat mekanisme atau agregat kehalalan sesuai undang-undang yang dalam kaca mata seorang insinyur — tidak lain daripada agregat memindahkan uang dari rakyat itu ke kantongnya.
Kalau agregat rusak berarti perusahaannya bangkrut, kalau agre-gatnya itu tidak bisa dipertanggungjawabkan karena biaya lebih ba-nyak, maka perusahaan itu bangkrut. Tetapi fungsinya tidak lain adalah bagaimana memperoleh agregat secara halal, karena sesuai ketentuan permainan ia bisa mengumpulkan hasil dari seluruh bangsa itu, bahkan dari bangsa-bangsa yang lain melalui agregat tersebut, ke dalam pengendalian dan kontrolnya. Yang bisa merusak agregat itu mekanismenya sendiri, pelakunya sendiri atau lingkungannya yang tidak bisa menerima masalah ini.
Tidak ada seorang ekonom yang mampu berdiri sendiri, seorang ekonom selalu membutuhkan suatu pertumbuhan yang sebagian besar dinikmati untuk dirinya sendiri dan sebagian kecil diekspor untuk mendapatkan cadangan. Dari cadangan diimpor un-tuk membawa produk-produk yang tidak mampu dibuat dengan biaya dan harga yang rendah.
Di dalam skenario yang demikian, peranan perencana sangat penting, jangan sampai tata ruang itu menjadi — tanpa disadari — suatu produk hasil perencanaan yang menjurus ke konsumtif, melainkan harus dibuat sedemikian rupa agar su-pa-ya tata ruang itu men-jurus ke produktif. Produktif secara tidak langsung meningkatkan produktivitas total da-ripada orang yang hidup di dalam tata ruang itu, karena masalah ekologi, masalah sosial, kesenjangan so-sial, masalah limbah dan se-bagainya, budaya dan keadilan itu secara terpadu dimasukkan.
Kesimpulannya kita harus berani membuat tata ruang dengan menjadikan perencanaan tata ruang itu produktif atau menunjang meningkatkan sesuatu yang bisa bergerak dengan efisiensi dan produktivitas tinggi. Kalau kita membuat sesuatu yang tidak menunjang sistem yang produktif, itu berarti men-jadi kontra produktif, bahkan konsumtif. Produktif artinya memasukkan uang dan uang itu menghasilkan uang lagi, dan yang sebaliknya adalah konsumtif.
Pernah saya bertanya kepada seseorang, kenapa ia membuat real estate di perkotaan. Jawab orang itu: karena tanahnya di situ tidak subur, karena itu mereka membuat perumahan. Tetapi kenapa dibuat perumahan tidak dibuat pabrik? Apalagi jika daerah pertanian diambil dibuat real estate, lapangan golf, apakah tidak sayang?
Kemudian ada yang menjelaskan bila lahan pertanian dijadikan lapangan golf, maka hasilnya per hektar lebih banyak, kalau diserahkan kepada petani maka hasilnya hanya 10%. Tetapi mereka lupa petani itu menghasilkan sesuatu keluaran yang dibutuhkan rakyat untuk substitusi impor atau kalau bisa diekspor. Memang penghasilan lapangan golf itu lebih besar daripada petani, tetapi bukankah hasilnya hanya untuk kantong orang yang terbatas saja, karena mereka memiliki perhitungan agregat untuk membuat real estate tersebut, menghasilkan uang dan masuk ke kantongnya. Dan sebenarnya seluruh volume dari GDP tidak ada penambahan, hanya peralihan dari hasil produksi tersebut. Dari kacamata ini saya anggap mereka konsumtif, karena kita mau meningkatkan GDP. Ma-rilah kita berikan contoh Taiwan. Dari lapangan terbang di Taipeh itu sampai ke pusat bisnisnya kita akan melihat satu pabrik berdampingan di sepanjang pemandangan dengan pabrik yang lain yang ada hanya pabrik-pabrik. Kalau kita lewat Bandara Cengkareng masuk kota, kita tidak melihat pabrik terus menerus, ada golf course, ada rumah mewah dan sebagainya. Di Taipeh ada juga real estate tetapi sangat sederhana, kalah kalau dibandingkan dengan beberapa real estate yang ada di Indonesia.
Di sini terlihat, bahwa uang itu tidak mereka manfaatkan untuk sesuatu yang produktif, di sini it is a matter of mentality. Ka-rena itu jangan tata ruang menjadi tata uang, saya mengatakan ini bukan karena anti. Tetapi janganlah kita membuat sesuatu, Pertama yang tidak produktif dan konsumtif. Kedua, tanpa kita sadari terus menerus merangsang terjadinya sesuatu yang tidak kita kehendaki seperti kesenjangan yang bisa meng-ganggu pertumbuhan pembangunan yang berkesinambungan dan sebenarnya itu tidak sesuai dengan tolok ukur dan sasaran dari perjuangan bangsa kita sendiri.
Ini sesuatu yang prinsipil, jangan heran, kita lihat saja negara Taiwan yang kecil itu, hutangnya nol, neraca perdagangannya positif, neraca pembayaran berjangkanya positif, cadangan devisa melampaui US$ 100 milyar, sebagai investor Taiwan ada di mana-mana. Ke-napa Taiwan berinvestasi, karena di Taiwan sendiri sudah jenuh (saturated). Jika diinvest di tempatnya sendiri maka mungkin dibutuhkan tiga kali lebih lama untuk menjadikan kapitalnya double, tetapi kalau invest di Indonesia yang sedang membangun, karena kita berlari ke arah situ, karena itu juga kita atraktif bagi penanaman kapital, pertumbuhannya besar dan kenyataan bunga perbankan juga lebih tinggi, bunga di sini dibandingkan dengan bunga yen berapa kali, tiga kali atau empat kali atau lima kali. Akibat inventasi Taiwan masuk saja, hanya sepertiga mungkin seperempat, 25% mung-kin 20% dari jenjang waktu dibutuhkan untuk berlipat ganda, dibandingkan dengan investasi di Taiwan.
Setelah mereka melipat gandakan itu, mereka bawa uangnya, dan membawa teknologinya. Mereka tidak punya orang, kalau membawa orang terlalu banyak kendalanya, karena itu mereka hanya membawa mekanisme pengembangan sumber daya manusia. Akibatnya mereka jadi unggul, mereka tiba-tiba mempunyai agregat di tengah-tengah kita, dan mereka memindahkan kapital secara halal.
Rasio Perumahan dan Subsidi Silang
Di sini peranan perencana sangat menentukan. Saya berikan con-toh lain mengenai Pulau Batam yang kebetulan saya diberikan kesempatan untuk mengembangkannya 18 tahun berturut-turut. Ketika dimulai, Pulau Batam dengan kurang dari 30.000 manusia penghasilannya hanya US$ 10,70 tiap tahun per kapita. Tahun 1994 dengan jumlah manusia yang sudah hampir tujuh kali lebih banyak dari 18 tahun yang lalu tiap orang hasilnya (output) sudah melampaui US$ 13.500 tiap tahun.
Di situ kelihatan adanya pemanfaatan kapital nasional secara lebih efisien, dan kapital nasional itu tidak lari keluar, tetapi tetap berada di dalam karena dengan kapital itu, kita bisa ikut menikmati pertumbuhan dengan resiko yang rendah. Gejala demikian terjadi di bumi Indonesia dan insya Allah bila stabilisasi kapital yang diinvestasikan makin lama makin besar, tetapi dari luar akan menurun, mungkin sta-bil antara 15% sam-pai 20%. Tetapi semuanya ha-nya ada artinya jikalau perencanaannya, tata ruangnya itu benar-be-nar berorientasi bukan kepada konsumtif tetapi kepada yang pro-duk-tif. Untuk hal itu saya minta perhatian supaya kita memperhatikan prinsip-prinsip dasar tadi. Prinsip-prinsip dasar menyatakan supaya perencanaan tata ruang dari perkotaan itu mencerminkan budaya, dan membantu tidak terjadi ketidakstabilan di dalam kota tersebut karena adanya ke-senjangan. Jangan sampai terjadi mereka yang lebih mampu menikmati pembangunan dengan memasang dan mengembangkan secara agregat keuntungan untuk dirinya sendiri, sementara yang lain belum mendapatkan kesempatan. Oleh karena itu, dalam perekayasaannya kita harus membantu yang belum mampu, memikirkan keuntungan yang agregat itu, membantu melaksanakannya, caranya dengan subsidi silang. Di Batam sesuai dengan pengarahan Bapak Presiden kita tentukan 1: 3: 6. Semua real estate yang mengadakan pembangunan di Batam itu harus melaksanakan perencanaan pembangunan dengan perbandingan 1 rumah mewah diimbangi dengan 3 rumah sederhana dan 6 rumah sangat sederhana. Tetapi ketiganya itu mempunyai interface jangan menjadikan eksklusivitas, karena bukankah Pancasila itu tidak mengenal SARA dalam bentuk apapun juga. SARA bisa terjadi bila ada eksklusivitas, menghilangkannya misalnya dengan cara membangun prasarana ekonomi yang dibuatkan untuk seluruh tata ruang dalam kualitasnya sama bisa dinikmati merata dari semua yang tinggal dalam tata ruang itu sendiri dengan perbandingan 1: 3: 6. Yang 6 itu harus bisa menikmati subsidi dari yang 1 dan 3, dan yang 1 itu harus lebih banyak mensubsidi. Prasarana ekonomi yaitu energi, air, sistem informasi, penyaluran limbah di bawah tanah harus direncanakan. Se-mua prasarana itu harus dalam kualitasnya sama, listrik yang masuk di situ kualitasnya sama.
Kedua, harus dipikirkan interface dalam pengembangan sumber daya manusia misalnya di mana penghuni bertemu, dalam tempat sport, dalam sekolah. Tidak benar kalau anak sekolahnya dieksklusifkan. Sebaiknya di sekolah murid bergaul dengan siapa saja, tidak ada perbedaanya, apakah bapaknya menteri atau bukan.
Jadi dalam tata ruang Anda harus dibuat interface, harus menjadi katalis bahwa itu terjadi di kota-kota, di sekolah, di puskesmas, gelanggang olahraga, dibuatlah penghijauan untuk lingkungan. Jangan karena di sini ada mode membuat rumah susun, maka di tempat la-han yang harganya murah juga yang dibuat rumah susun. Jadi lihat biayanya. Rumah susun dibuat karena harga tanah per meter per-segi lebih tinggi.
Interface ini harus direkayasa karena merupakan investasi untuk anak cucu kita. Bila tidak ditempa sedini mungkin dengan diberikan perilaku dalam bidangnya, utamanya ditempa de-ngan Imtak sejak Balita, dan diserahkan begitu saja perkembangannya, proses penempaan itu tidak bisa diulangi. Karena itu sebagai perencana, kita harus ikut merencanakan adanya interface untuk bisa mengembangkan manusia kita sesuai dengan budaya dan perilaku dan cita-cita kita bersama. To-lok ukurnya kualitatif dan kuantitatif, tinggal cara kita melihat, tetapi jangan dikorbankan tata ruang karena tata uang.