Sunday, March 28, 2010

MASALAH PEMBANGUNAN DAN PEMERATAAN PENDAPATAN

MASALAH PEMBANGUNAN
DAN PEMERATAAN PENDAPAT
AN

Persoalan pemerataan pendapatan haruslah dilihat sebagai persoalan bagaimana memanfaatkan potensi-potensi yang terkandung dalam sumber daya manusia Indonesia dan persoalan bagaimana memanfaatkan potensi energi serta ketrampilan manusia Indonesia, di mana ketrampilan manusia Indonesia pada dasarnya dapat pula dipandang sebagai suatu bentuk energi.
Kita harus mengubah pandangan kita dari melihat masalah pemerataan pendapatan sebagai suatu problem sosial menjadi melihatnya sebagai masalah bagaimana memelihara, mengembangkan serta memanfaatkan potensi nasional yang selama ini belum kita gunakan secara wajar.
Dilihat dari sudut ini, maka persoalan pemerataan pendapatan di Indonesia pada dasarnya tidak berbeda dari persoalan mengembangkan, memelihara serta memanfaatkan suatu bentuk energi secara terarah pada sasaran-sasaran perjuangan Bangsa.
B.J. Habibie
Memasuki tahun 2000-an, kita dihadapkan pada tiga masalah penting yang merupakan tantangan pembangunan. Pertama, adalah masalah lingkungan hidup dan penampungan pertambahan penduduk. Kedua, menjelang akhir abad ke duapuluh tugas kita adalah mengusahakan terhapusnya kemiskinan yang melanda bagian besar masyarakat kita. Kita masih belum menghapuskan kemiskinan secara tuntas: pada tahun 1969, masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan mencapai 65% dari jumlah penduduk Indonesia. Dalam 25 tahun (pada tahun 1994), jumlah masyarakat miskin dikurangi menjadi 13,67%, dan diharapkan pada tahun 2019 menjadi kurang dari 1%.4 Tantangan ketiga, dalam masa-masa mendatang permintaan akan sumber-sumber alam kita akan bertambah besar. Kita harus mengajak setiap manusia dan seluruh masyarakat untuk ikut serta memelihara, melestarikan dan mengembangkan lingkungan hidup kita tidak hanya untuk hari sekarang dan generasi kini tetapi juga untuk hari esok dan generasi mendatang.
Salah satu sasaran pembangunan adalah pemerataan pendapatan. Yang tidak dapat dipisahkan dari masalah pemerataan adalah kesempatan berpartisipasi dalam proses pembangunan, yang juga sebaliknya tidak dapat dilepaskan dari perluasan kesempatan kerja.
Persoalan Pemerataan
Persoalan pemerataan pendapatan haruslah dilihat sebagai persoalan bagaimana memanfaatkan potensi-potensi yang terkandung dalam sumber-sumber daya manusia Indonesia dan persoalan bagaimana memanfaatkan potensi-potensi energi serta ketrampilan manusia Indonesia, di mana ketrampilan manusia Indonesia pada dasarnya dapat pula dipandang sebagai suatu bentuk energi.
Kita harus mengubah pandangan kita dari melihat masalah pemerataan pendapatan sebagai suatu problem sosial menjadi melihatnya sebagai masalah bagaimana memelihara, mengembangkan serta memanfaatkan potensi nasional yang selama ini belum kita gunakan secara wajar.
Dalam pada itu, perlu ditambahkan di sini bahwa masalah pertahanan dan keamanan dimasukkan sebagai satu disiplin yang setaraf dengan kelompok-kelompok lainnya, karena keamanan merupakan suatu sasaran yang integral dari suatu masyarakat yang membangun. Suatu masyarakat yang membangun harus siap sedia setiap saat mempertahankan daerahnya dan masyarakat yang telah dibangunnya. Ini berarti bahwa persoalan pertahanan dan keamanan bukanlah persoalan Menteri saja tetapi adalah persoalan seluruh Bangsa Indonesia. Manusia hanya dapat membangun kalau keamanannya terjamin. Keamanan dapat dijamin kalau ketahanan nasional masyarakat tersebut kuat dan terjamin pula. Dan ketahanan nasional akan dapat tercapai kalau ketegangan sosial dapat dihilangkan melalui pemerataan pendapatan. Keamanannya tidak saja berarti keamanan terhadap serangan dari luar, ia dapat juga berarti gangguan dari dalam.
Tidak adanya pemerataan pembangunan dan pemerataan pendapatan akan mengganggu stabilitas pertahanan dan keamanan masyarakat tersebut yang merupakan persoalan yang datang dari dalam. Dari sini tampaklah secara jelas bahwa skenario perang di Indonesia ditentukan oleh keadaan sosial ekonomi dan falsafah, bangsa Indonesia yang hidup di wilayah Indonesia dengan keadaan alam dan lingkungannya. Skenario perang inilah yang menentukan sistem persenjataan yang dibutuhkan oleh suatu bangsa. Sistem ini harus dapat memecahkan persoalan yang berhubungan dengan persenjataan tersebut. Oleh karena itu pertahanan membutuhkan dasar sosial ekonomi dan falsafah sedangkan sarana dan peralatannya diperoleh dari sumber alam dan energi, industrialisasi dan kebutuhan dasar manusia.
Pengembangan Wilayah
Untuk mengatasi persoalan yang relatif rawan ini, perlu ditempuh langkah pengembangan wilayah. Dalam hu-bungan ini, pola pengembangan industri harus dibina serta pemikiran harus dimantapkan bahwa di Indonesia sumber daya manusia dan teknologi merupakan faktor produksi yang dapat dan harus dipindah-pindahkan sedangkan sumber daya energi serta sumber daya alam lainnya harus dikembangkan setempat sebagai landasan materi pembangunan, baik ditinjau sebagai kesatuan wilayah maupun ditinjau sebagai pembangunan secara nasional disebarkan ke wilayah-wilayah yang bukan merupakan faktor dominan.
Berlandaskan pada konsepsi tentang pola pengem-bangan wilayah sebagaimana digambarkan tersebut, maka lahirlah beberapa gagasan tentang kebijaksanaan pengembangan riset dan teknologi yang berorientasi pada pengembangan wilayah.
Pemerataan pendapatan tidak dapat dipisahkan dari pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam proses pembangunan, yang sebaliknya, tidak dapat dilepaskan dari perluasan kesempatan kerja. Dan perluasan kesempatan kerja tidak dapat dilepaskan dari teknologi dan peranannya dalam proses meningkatkan nilai tambah dan penurunan biaya tambah dalam peningkatan hasil produksi.
Membangun Kawasan Timur Indonesia harus dengan ilmu. Itu sekarang sudah menjadi isu terus menerus. Itulah salah satu sebab mengapa kita berada di sini dalam rapat Komisi DPR dan tidak henti-hentinya memikirkan jalan keluar yang baik. Saya setuju dengan pembangunan Kawasan Timur Indonesia tapi sementara ini tidak mungkin saya berikan jawaban secara mendetil, tetapi pendapat tentang hal itu sangat saya setujui. Perlu diketahui pada tahun yang lalu (1991) saya keliling Indonesia Bagian Timur untuk mendapatkan gambaran mengenai rencana itu.
Dan saya juga bermaksud untuk memberikan perhatian khusus, misalnya yang jelas perhatian terhadap daerah Membrano. Daerah Membrano adalah masa depan. Saya pernah menyebut Lebensraum dari bangsa Indonesia. Membrano di Irian Jaya sebesar Pulau Jawa dengan 4 Propinsi. Irian Jaya besarnya 3,5 kali daripada Jawa dan daerah Membrano adalah daerah yang dilalui Sungai Membrano yang panjangnya 600 KM dengan potensi jumlah listrik hidro setelah diukur melalui survey PLN adalah sekitar 6500 MGW, dan untuk itu kita sudah melakukan rapat sekali dengan Menteri Muda Pertanian dan satu kali dengan Menteri Kehutanan dan saya berjanji saya juga akan membicarakan hal ini dengan Menteri PU. Pelaksanaan pembangunan KTI akan dikoordinasi oleh Menneg Ristek, khususnya skenario megaproyek masa depan.
Sekarang ada juga yang bertanya untuk apa listrik sebanyak itu? Kita mempunyai dulu jaman batu, jaman perunggu, jaman besi, jaman baja dan sekarang kita memasuki jaman aluminium. Sekarang sudah dibuat kapal terbang dari aluminium, kereta api dari aluminium, kapal laut dari alumunium, gedung-gedung dan jembatan pun begitu juga, dan dinding pun dari alumunium, semua dari alumunium. Mengapa? Karena aluminium ringan dan kuat.
Tetapi aluminium hanya bisa dibuat dari alumina, dan alumina dibuat dari bauksit (campuran alumina dengan silikat dan sebagainya) dan bahan itu banyak sekali terdapat di Bintan dan Kalimantan dan juga di Indonesia Bagian Timur. Itulah antara lain sebabnya mengapa kita perlu membangun Kawasan Timur Indonesia.
Sasaran kita adalah meningkatkan nilai tambah dan me-ngurangi biaya tambah dengan mengusahakan perluasan kesempatan kerja yang sebesar-besarnya. Dengan cara inilah harus kita usahakan tercapainya pemerataan pendapatan yang diinginkan. Pemerataan pendapatan haruslah diusahakan melalui perluasan kesempatan kerja.
Tidak pada tempatnya mengusahakan pemerataan pendapatan dengan memberikan sedekah pada mereka yang kekurangan. Di samping akan mengalami kesukaran dalam menemukan kriteria yang tepat bagi yang paling berhak mendapatkan sedekah-sedekah itu, cara ini juga berten-tangan dengan harkat manusia yang mempunyai harga diri, yang ingin diberi balas jasa sesuai dengan nilai sumbangannya ke pada masyarakat, di mana yang lebih pandai dan yang lehih berguna bagi masyarakat sewajarnya mendapatkan bagian yang lebih banyak.
Niat memeratakan pendapatan melalui perluasan kesempatan kerja ini mempunyai suatu konsekuensi. Konsekuensinya adalah bahwa persoalan pemerataan pendapatan tidak dapat dilihat sebagai persoalan kesejahteraan sosial. Persoalan pemerataan pendapatan haruslah dilihat sebagai persoalan bagaimana memanfaatkan potensi-potensi yang terkandung dalam sumber-sumber daya manusia Indonesia dan persoalan bagaimana memanfaatkan potensi-potensi energi serta ketrampilan manusia Indonesia, di mana ketrampilan manusia Indonesia pada dasarnya dapat pula dipandang sebagai suatu bentuk energi.
Persoalan Pemanfaatan Energi
Dilihat dari sudut ini, maka persoalan pemerataan pendapatan di Indonesia pada dasarnya tidak berbeda dari persoalan mengembangkan, memelihara serta memanfaatkan suatu bentuk energi secara terarah pada sasaran-sasaran perjuangan Bangsa. Bedanya adalah bahwa pengembangan dan pemanfaatan bentuk energi manusia Indonesia harus memperhitungkan fakta bahwa sebagai makhluk Tuhan, ia mempunyai perasaan, ia mempunyai agama, ia mempunyai tradisi dan ia mempunyai kebudayaan.
Upaya peningkatan kesejahteraan ini dikejar seiring de-ngan usaha-usaha menerapkan pola-pola pemerataan pendapatan sesuai dengan konsep keadilan yang berlaku berdasarkan pemikiran bahwa pada prinsipnya semua manusia mengandung potensinya sendiri-sendiri yang perlu dikem- bangkan sehingga semua anggota masyarakat dapat ber-peran serta dalam proses peningkatan kemakmuran masyarakatnya sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Di samping itu, semakin disadari bahwa ketimpangan-ketim- pangan dalam pembagian pendapatan merupakan sumber keresahan sosial yang akan mengganggu kestabilan kehidupan bermasyarakat dan kehidupan bernegara.
Apa implikasinya?
Pada waktu manusia masih belum menguasai teknologi untuk mentransformasikan energi yang terkandung dalam minyak bumi menjadi bentuk-bentuk energi thermo-dinamik atau energi-kinetik maka manusia tidak berhasrat untuk mencari serta menggali minyak bumi, bahkan penggaliannya dirasakan sebagai suatu gangguan karena mengotori lingkungan. Sekarang keadaan berbalik. Serentak manusia menguasai teknologi pemanfaatan minyak, ia mencarinya ke seluruh pelosok dunia. Demikian pula halnya dengan sumber daya manusia. Pada dewasa ini kita belum mengetahui cara memakai energi sumber daya manusia secara berdayaguna untuk menggerakan pembangunan nasional kita.
Pada waktu itu kita menghadapi dilema dari sudut pertambahan penduduk dan kesempatan kerja, karena perkembangan ekonomi sektor ekstraktif (minyak, kayu, dan beberapa mineral) berdasarkan pola produksi yang padat modal dengan penggunaan teknologi maju, belum menciptakan kesempatan kerja secara berarti.
Sementara itu, untuk sebagian besar penduduk seperti yang telah diuraikan di muka, mata pencahariannya masih tergantung dari kegiatan di sektor "tradisional pedesaan", di mana tingkat produktivitas tertekan dan kurang memadai diukur dengan laju pertambahan penduduk. Situasi demikian yang bercorak "dualisme teknologi" menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial yang dapat menjurus pada kegaduhan bilamana tidak dari sekarang dijajagi kebijak- sanaan yang terarah untuk melunakkan akibat negatif dari dualisme teknologi yang dimaksud itu.12
Di satu pihak kita harus memanfaatkan teknologi, dan untuk itu perlu penguasaan teknologi yang paling mutakhir sekalipun dalam usaha memperkokoh kerangka bagi kesatuan dan persatuan wilayah Nusantara sebagai kesatuan politik, kesatuan ekonomi dan kesatuan pertahanan. Misalnya dengan penggunaan sistem komunikasi satelit domestik serta sistem dan sarana perhubungan modern lainnya, tanpa mengabaikan kewajiban kita untuk meningkatkan peranan serta tenaga-tenaga ahli, modal maupun komponen-komponen hasil produksi dari bahan-bahan Indonesia. Tegasnya, kewajiban kita untuk meningkatkan nilai tambah asal Indonesia dalam pembangunan prasarana yang memanfaatkan teknologi mutakhir tersebut.
Di lain pihak, kita tidak boleh melupakan kenyataan bahwa bagian terbesar bangsa Indonesia hidup serta mendapatkan nafkahnya di desa-desa, dan yang dalam perjuangan hidupnya sehari-hari masih secara langsung atau tidak langsung berpusat pada pembangunan pertanian: pada sawah-ladangnya, kebunnya, tambaknya, hutan dan lautnya. Di dalam lapangan kehidupan ini, terdapat beraneka ragam teknologi dari yang modern hingga yang tradisional; dari traktor sampai ke pacul; dari bendungan serba guna sampai ke pompa air sederhana.
Masalahnya ialah bagaimana agar bagian yang semakin besar dari hasil tambahan di sektor-sektor yang tumbuh dengan pesat modalnya sebagian dialihkan sebagai reinvestasi untuk melunakkan dasar kegiatan ekonomi masyarakat kita. Dengan perkataan lain diversifikasi horizontal dengan memperluas jenis dan ragam usaha produksi pertanian (mengutamakan produksi pertanian pangan), disertai diversifikasi vertikal dengan meningkatkan usaha pengolahan bahan dasar dan menggalakkan rantai usaha selanjutnya sehingga mendorong sektor produksi "manufacturing".
Dalam jangka menengah diperkirakan bahwa sumber kekayaan alam merupakan penggerak yang paling penting bagi proses pertumbuhan. Kemudian proses tersebut akan diperkuat oleh peranan yang lebih besar dari sektor industri dan sektor jasa. Urutan pentahapan perkembangan tersebut dengan menonjolkan titik berat pada masing-masing tahap, sekali lagi tidak berarti bahwa sektor kegiatan industri dan jasa merupakan hal yang kurang penting artinya dari sudut perkembangan masyarakat secara menyeluruh. Bahkan sebaliknya, pertambahan penduduk dan penyebaran penduduk dalam wilayah Indonesia membawa keharusan untuk menciptakan lapangan kerja yang produktif untuk sebagian besar penduduk yang terpusat di Jawa.
Bahwa bangsa Indonesia setelah 94 tahun menghadapi tahap kedua kebangkitan nasional, musuhnya adalah kebodohan dan kemelaratan. Dan itu harus kita berantas dengan sasaran meningkatkan kualitas hidup. Kualitas hidup tidak saja dipandang hanya dari sudut materi tetapi juga non-materi. Karena itu kaitannya dengan kebudayaan, teknologi dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sebagian kecil daripada kebudayaan, dan bahkan sebaliknya. Tidak benar jika ilmu pengetahuan dan teknologi dianggap sebagai kebudayaan. Jadi harus kita selesaikan dalam konteks yang terpadu. Sebagai contoh kalau kita melaksanakan nilai tambah pribadi atau kita melaksanakan nilai tambah materi maka nanti kita akan mendapatkan hasil dari proses nilai tambah materi tersebut. Output yang lebih tinggi nilainya daripada input yang masuk. Akibatnya timbul pertanyaan apa yang akan kita laksanakan dengan output yang lebih tinggi, nilai yang bertambah itu yang berupa duit atau materi apapun, dan bagaimana kita akan mem- baginya.
Bapak Presiden sudah memberikan petunjuk melalui misalnya, koperasi. Itu salah satu jalan bukan hanya secara dogmatis berhenti pada koperasi. Kita harus berani berpikir secara konstruktif untuk memikirkan bagaimana pemerataan dari nilai tambah tersebut. Untuk menjawab ini tidak bisa diselesaikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini tidak bisa terlepas dari kebudayaan. Orang Jepang, AS, Taiwan, Eropa, maupun Korea melaksanakan proses nilai tambah, tetapi pembagian hasil proses nilai tambah masing-masing berlainan. Mereka yang mempunyai kebudayaan yang mengakar, ternyata lebih kuat dalam menentukan falsafahnya. Akan timbul pertanyaan: "Pemerataan itu apa?", "Keadilan itu apa?", "Yang adil itu siapa?" Semua pertanyaan ini tidak mungkin bisa diselesaikan dengan teknologi, dan ini hanya bisa diselesaikan dengan falsafah yang berakar dari kebudayaan masyarakat tersebut yang memiliki sejarah.
Dengan menyadari bahwa di dunia ini tidak ada sistem penggerak sumber daya manusia yang sempurna, perlu kita akui bahwa masyarakat tertentu sudah menggali, memelihara serta memanfaatkan sumber daya manusianya.
Masalah Pangan
Segala sesuatu yang diungkapkan di atas juga mempunyai beberapa konsekuensi mengenai masalah pengamanan sumber daya produksi. Pertama tentang masalah pengadaan pangan. Daerah konsumsi dan masyarakat konsumen untuk sebagian besar masih akan terpusat di pulau Jawa. Walaupun di pulau tersebut masih ada peluang untuk peningkatan produksi pangan dengan jalan intensifikasi, namun pada waktu ini juga di pulau Jawa (dan Madura) telah terasa tekanan yang berlebih-lebihan terhadap daya dukung.
Di masa datang pengadaan pangan tak dapat tidak harus berdasarkan pada pemanfaatan tanah di luar Jawa, terutama dari Sumatera Selatan, Kalimantan dan Sulawesi Selatan. Hal ini berarti bahwa harus ada perhatian khusus dari sudut pertahanan/keamanan terhadap pengamanan masalah distribusi pangan, mulai dari pengadaan, pergudangan, penyimpanan dan seluruh mata rantai pengangkutan darat dan laut. Pokoknya, untuk mengamankan garis saluran pengadaan (supply lines) dari pusat-pusat produksi ke arah daerah konsumsi.
Kedua, mengenai pengamanan sumber daya alam di bidang ekstraktif (kekayaan laut) yang hampir semuanya terletak di luar pulau Jawa/Madura. Dalam hubungan ini, dari sudut garis pertahanan/keamanan kini menonjol beberapa saluran dan mata rantai yang bersifat sangat strategis. Di bagian Barat adalah Selat Malaka dan Selat Sunda; di pertengahan antara bagian Barat dan bagian Timur terletak Selat Makasar.
Mengenai kekayaan alam yang terletak di bagian Timur (Sulawesi, Lautan Banda, Lautan Maluku, Irian Jaya) muncul arti yang sangat strategis dari kepulauan Halmahera beserta perairan saluran laut sekitarnya. Sedangkan, baik untuk bagian Barat dan bagian Timur, terusan Selat Lombok dan Selat Alor mempunyai arti yang sangat strategis dan vital. Dalam hubungan ini dapat dikatakan bahwa kepulauan Nusa Tenggara Barat (Lombok dan Sumbawa) telah menjadi mata rantai kunci di antara deretan kepulauan mulai dari Jawa sampai dengan Timor Timur.
Perlu Keseimbangan Ekonomi
Di bidang ekonomi, kita mengetahui bahwa sasaran pembangunan jangka panjang adalah terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat dan tercapainya struktur ekonomi yang seimbang, ialah struktur ekonomi dengan titik berat keku-atan industri yang didukung oleh bidang pertanian yang kuat.
Usaha untuk secara bertahap membangun struktur ekonomi yang seimbang antara sektor industri dan pertanian merupakan ciri umum setiap masyarakat berkembang, termasuk masyarakat yang kini tergolong masyarakat maju. Terbentuknya struktur ekonomi yang seimbang itu dapat dikatakan merupakan hal yang melekat pada setiap usaha modernisasi. Semakin majunya sektor pertanian akan mengakibatkan semakin meningkatnya pendapatan masyarakat, yang baik langsung maupun tidak langsung memperoleh nafkahnya dari sektor pertanian itu. Dan dengan semakin meningkatnya pendapatan tadi semakin besar pula daya belinya yang berarti semakin besar pula pasaran bagi berbagai hasil produksi sektor industri, baik berupa barang-barang modal, sarana, prasarana, alat-alat produksi, alat-alat bantu produksi, bahan mentah dan sebagainya, maupun barang-barang konsumsi tahan lama.
Sebaliknya, semakin tinggi produktivitas sektor pertanian, semakin kurang pula tenaga kerja yang dibutuhkan di sektor itu; tenaga kerja ini menemukan pekerjaan-pekerjaan baru di sektor industri dan jasa. Dengan demikian, persentase penduduk yang secara langsung maupun tidak langsung bekerja di sektor pertanian akan semakin menurun. Tetapi karena produktivitasnya meningkat dengan laju perkembangan yang jauh lebih pesat, jumlah total produksinya tidak hanya akan tetap cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan kebutuhan penduduk di luar sektor pertanian yang dengan semakin tingginya kemakmuran akan bertambah meningkat baik dari sudut jumlahnya maupun dari sudut macam dan kualitasnya.
Di dalam suatu sistem ekonomi modern, manusia secara pragmatis selalu mengejar agar hasil karyanya mendapatkan tempat yang sesuai di dalam masyarakat baik di dalam ne-geri maupun di luar negeri. Dalam hal hasil karyanya diperdagangkan, ia berusaha agar produknya laku di pasar dalam negeri dan luar negeri. Hasil karya manusia baik perseorangan maupun secara kelompok dalam perusahan, sektor kegiatan usaha atau secara nasional, merupakan hasil proses nilai tambah dan biaya tambah dalam proses itu, nilai tambah diupayakan mencapai maksimum sedangkan proses nilai tambah tersebut terlibat perangkat lunak dan perangkat otak di dalam suatu sistem terpadu.
Duaratus tahun yang lalu, sekitar sembilan puluh persen penduduk di Amerika Serikat bekerja di sektor pertanian baik secara langsung atau tidak langsung. Di tahun 1980, hanya dua persen saja dari angkatan kerja yang merupakan enampuluh-enam persen penduduk Amerika Serikat yang secara langsung bekerja di sektor pertanian. Secara total, sekitar enam persen penduduk Amerika Serikat kini terlibat di sektor itu, baik langsung maupun tidak langsung melalui pelbagai jasa yang berhubungan dengan sektor pertanian. Tingkat produktivitas demikian tingginya sehingga ekspor hasil-hasil pertanian Amerika Serikat adalah sekitar duapuluh tiga persen total ekspor barangnya. Semuanya ini berhasil dicapai negara itu berkat proses transformasinya dari suatu negara agraria menjadi suatu negara industri.
Transformasi tersebut sekarang sudah selesai dan dilanjutkan menjadi transformasi Amerika Serikat menjadi negara pasca-industri yang menitik-beratkan teknologi jasa dan teknologi informatika. Dalam proses transformasi masyarakat ini, teknologi sektor pertanian semakin maju dalam arti semakin mengandalkan diri pada mesin dan alat-alat pertanian. Melalui proses ini, kemakmuran penduduk yang terlibat di sektor pertanian semakin meningkat. Kualitas hidupnya semakin tinggi, mutu perumahannya semakin membaik, tingkat konsumsi barang dan jasanya meningkat, kesehatannya semakin membaik, tingkat konsumsi barang dan jasanya meningkat, kesehatannya semakin membaik, tingkat pendidikannya semakin maju.
Semuanya ini menjadikan penduduk pertanian Amerika Serikat semakin terampil dan produktif: nilai ekonominya semakin meningkat sejalan dengan semakin meningginya nilai ekonomi masyarakat Amerika Serikat pada umumnya. Dengan perkataan lain, melalui transformasi tersebut potensi manusia dalam masyarakat Amerika Serikat semakin dikembangkan. Dan apa yang terjadi di Amerika Serikat terjadi juga di negara-negara maju lainnya dan sekarang sedang berlangsung pula di semakin banyak negara berkembang.
Semua negara mengejar peningkatan dan pemerataan kemakmuran lahir dan batin. Semua negara berupaya menyeimbangkan struktur ekonominya; tentu dengan tujuan, landasan, falsafah, pengertian, asas, pola, model, program, dan cara-caranya sendiri sesuai dengan kepribadian dan modal dasarnya masing-masing. Demikian juga Bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia mengejar peningkatan dan pemerataan kemakmuran lahir batinnya dengan melaksanakan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang memberi amanat luhur pada kita semua agar melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila. Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara dengan jelas diuraikan apa yang menjadi tujuan nasional kita, apa yang merupakan tujuan pemba-ngunan nasional kita, apa landasan pembangunan nasional kita, apa hakekat pembangunan nasional kita, apa asas-asasnya, apa modal dasar dan faktor dominannya, apa wawasan dalam mencapai tujuan pembangunan nasional kita, bagaimana hubungan antara pembangunan nasional dan ketahanan nasional kita, bagaimana pola umum pembangunan jangka panjang kita, bagaimana pentahapannya, apa bidang-bidangnya, apa landasan kebijaksanaan setiap tahap, dan apa tujuan, prioritas, dan arah dan kebijaksanaan pembangunan, bagaimana melaksanakannya dan apa syarat keberhasilannya.
Perluasan Kesempatan Pendidikan
Seperti telah diutarakan dimuka, tantangan pendidikan di Indonesia, selain menuntut upaya peningkatan dan pelebaran kesempatan pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat, yang tak kalah pentingnya adalah bagimana mencari keterkaitan dan kecocokannya dengan dinamika industrialisasi. Tuntutan yang terakhir ini amat logis jika dihubungkan dengan upaya memberdayakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang sangat mendasar.
Sebagaimana telah disinggung di atas, tantangan utama pembangunan Indonesia adalah bagaimana mengatasi pro-blema kemiskinan serta tingginya jumlah pencari kerja. Tantangan ini hanya bisa dihadapi, jika ada upaya-upaya perluasan kesempatan kerja yang seiring dengan upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat itu sendiri sesuai dengan dinamika yang ada.
Bertolak dari pemikiran ini kita harus menggunakan energi sumber daya manusia secara berdayaguna untuk mengerakkan pembangunan. Manusia adalah potensi nasional, kita harus melakukan investasi yang diperlukan untuk mempelajari serta menggerakkan tenaga manusia untuk pembangunan.
Upaya untuk mengembangan potensi sumberdaya manusia ini tidak cukup hanya dilakukan secara teoritis melalui pendidikan, buku saku dan diktat saja. Para teknisi dan insinyur muda harus memiliki kesempatan untuk bersentuhan langsung dengan solusi masalah nyata dalam inkubator-inkubator pengembangan teknologi serta perusahaan-perusahaan industri yang padat teknologi. Mereka harus terbiasa dengan proses produksi dan distribusi barang dan jasa.
Titik Tolak Pembangunan
Apa yang kita sebut dengan istilah pembangunan saat ini sebenarnya merupakan suatu proses yang berkelanjutan. Proses ini telah dimulai sejak lama, jauh sebelum Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Pelopornya adalah para pahlawan bangsa yang perjuangannya menghasilkan karya-karya nyata. Katakanlah Budi Utomo, dengan kepeloporannya dalam membina Bangsa Indonesia yang cerdas; atau Sumpah Pemuda, dengan keberhasilannya mempersatukan pelbagai golongan dalam suatu tekad yang sama: untuk mengaku hanya satu tanah air, hanya satu bangsa, dan mengaku Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Dengan berlandaskan karya-karya nyata itu, proses pembangunan terus berlangsung sehingga mencapai klimaksnya ketika bangsa Indonesia berhasil memasuki pintu gerbang kemerdekaan, tanggal 17 Agustus 1945. Dalam perjalanan selanjutnya, para pejuang Angkatan 45 yang telah berhasil merebut kemerdekaan itu, mampu menegakkan kekuasaan de facto dan de jure Negara Indonesia, membina persatuan dan kesatuan bangsa, serta menyelematkan kemerdekaan dari berbagai ancaman, sehingga amanlah kemerdekaan Indonesia itu sebagai pusaka nasional sepanjang masa.
Proklamasi Kemerdekaan yang dikumandangkan para pejuang bangsa itu bukan hanya merupakan pernyataan diri bangsa Indonesia sebagai bangsa merdeka yang tidak mau lagi dijajah oleh bangsa lain, tetapi juga merupakan saat dicetuskannya Pancasila, sebagai hasil upaya bangsa menggali nilai-nilai budayanya sendiri, dan menjadikannya sebagai falsafah bangsa.
Keinginan dan hati nurani bangsa yang tercermin dalam Pancasila itu merupakan cita-cita luhur yang harus dipertahankan dari tahun ke tahun, dari Repelita ke Repelita, dari generasi ke generasi, dari abad ke abad, sepanjang masa, tanpa ada hentinya. Salah satu cara untuk mengamankan cita-cita itu adalah dengan mengisi kemerdekaan dengan karya-karya nyata dalam bentuk pembangunan yang dilaksanakan secara terencana, menyeluruh, terpadu, bertahap dan berlanjut untuk memacu peningkatan kemampuan nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang telah maju. Dan itu tidak lebih mudah daripada upaya merebut kemerdekaan.
Dalam hal ini, kiranya perlu ditekankan bahwa arti kedaulatan dan jatidiri bangsa jauh lebih luas dari sekadar pemilikan persyaratan-persyaratan formal kemerdekaan politik. Kemerdekaan dalam arti sesungguhnya haruslah dibarengi oleh kemampuan suatu bangsa untuk berdiri sendiri secara ekonomis, keberhasilannya mempertahankan identitas kebudayaan, serta kekuatannya dalam mempertahankan integritas politik.
Kesadaran demikian perlu terus dipelihara dalam segala gerak langkah pembangunan. Dalam arah ini, pembangunan berarti suatu proses yang dilaksanakan suatu bangsa dalam suatu negara tertentu untuk mengembangkan identitas bersama serta falsafah hidupnya, untuk mengembangkan cara-cara hidup serta cara-cara bekerjanya sendiri, dan untuk merealisasikan potensi ekonomi, potensi kebudayaan serta potensi politiknya sebagai suatu kesatuan nasional yang khas. Pembangunan dalam arti ini juga berarti merupakaan usaha memperluaas pilihan masyarakat melalui pengem-bangan kemampuan dirinya, berbarengan dengan upaya penggunaan kemampuan ini untuk dapat berpartisipasi secara bebas dalam kehidupaaan sosial, politik dan ekonomi serta mampu bekerja secara produktif dan kreatif dalam proses pembangunan yang berkelanjutan.
Sumber Dinamika Pembangunan
Untuk mencapai tingkat kemandirian bangsa, kita harus lebih mengandalkan diri pada sumber dinamika pembangunan yang berasal dari dalam negeri. Inilah sebabnya mengapa kita harus lebih meningkatkan sumber dana pembangunan yang berasal dari dalam negeri, dan perlu meningkatkan dana-dana pembangunan dalam negeri di luar sumber minyak dan gas.
Selain itu, usaha pembangunan juga harus semakin bertumpu pada kekuatan sumberdaya manusia Indonesia sendiri dan semakin kurang tergantung pada sumberdaya alam. Itulah alasannya, mengapa kita harus lebih meningkatkan investasi dalam upaya pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan penguasaan teknologi.
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan sarana penting untuk mempercepat proses pembangunan. Iptek dapat dimanfaatkan untuk mengadakan identifikasi dan evaluasi tentang potensi pembangunan, yaitu sumberdaya manusia, alam, energi dan lingkungan, untuk selanjutnya dimanfaatkan bagi pembangunan. Dalam konteks ini, pembangunan juga pada hakekatnya merupakan suatu proses modernisasi yang menyangkut perubahan-perubahan dalam sikap mental dan peningkatan kemampuan bangsa untuk membuka diri terhadap berbagai perkembangan Iptek dari yang sederhana dan konservatif hingga kepada teknologi tinggi. Ini berarti bahwa peningkatan-peningkatan kemampuan warga dan masyarakat melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara optimum akan mendorong prakarsa kreativitas dan inovasi dalam segala upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat banyak.
Ditilik dari kerangka peningkatan kesejahteraan rakyat banyak ini, pembangunan berarti merupakan persoalan seluruh bangsa Indonesia. Pembangunan nasional adalah pembangunan dari, oleh dan untuk rakyat, yang dilaksanakan di semua aspek kehidupan bangsa. Untuk itu, di dalam melaksanakan pembangunan harus diikutsertakan sebanyak mungkin manusia-manusia Indonesia dari segala lapisan yang ada. Dan ini berarti, semakin terasa arti pentingnya manusia-manusia yang bermental pembangunan yang mampu memikul tugas-tugas pembangunan.
Dalam kaitan itu, hendaklah dipahami bahwa usaha-usaha pembangunan yang dilaksanakan bangsa Indonesia berbeda dengan usaha pembangunan yang dilakukan bangsa-bangsa lain di dunia. Hal ini ditandai oleh heterogennya tingkatan serta pola kehidupan bangsa Indonesia yang tersebar di antara ribuan pulau, serta ditandai pula oleh beraneka ragamnya wajah pembangunan dalam wila-yah kesatuan nasional. Ini mempunyai konsekuensi yang sangat penting. Di satu pihak, kita harus menguasai teknologi yang paling mutakhir dalam usaha pembangunan nasional untuk memperkokoh kesatuan dan persatuan wilayah nasional sebagai satu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi dan sosial budaya serta satu persatuan pertahanan-keamanan. Di pihak lain, kita tidak boleh melupakan kenyataan bahwa bagian terbesar dari bangsa Indonesia hidup dan mendapatkan nafkahnya di desa-desa, yang perjuangan hidupnya sehari-hari masih secara langsung maupun tidak langsung berpusat pada pembangunan pertanian, pada sawah-ladang, kebun, tambang, hutan dan lautan. Dengan demikian, betapun kompleksnya struktur sosial yang ada, spektrum pengembangan teknologi harus mampu mentransformasikan seluruh ragam dan lapis masyarakat secara adil dan merata.
Erat hubungannya dengan upaya pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan adalah pemerataan pendapatan dan kesempatan kerja. Tetapi hal ini hendaknya tidak ditafsirkan sebagai upaya memberikan sedekah pada mereka yang kekurangan. Di samping akan mengalami kesukaran dalam menemukan kriteria yang tepat bagi yang paling berhak mendapatkan sedekah-sedekah itu, cara ini juga bertentangan dengan harkat manusia yang mempunyai harga diri, yang ingin diberi balas jasa sesuai dengan nilai sumbangannya kepada masyarakat. Di mana yang lebih pandai dan lebih berguna bagi masyarakat sudah sewajarnya mendapatkan bagian yang lebih banyak.
Persoalan pemerataan pendapatan dan kesempatan kerja amat kuat kaitannya dengan penguasaan teknologi serta kontribusinya dalam meningkatkan nilai tambah (added value) dan penurunan biaya tambah (added cost) dalam peningkatan hasil produksi. Itu berarti, persoalan pemerataan pendapatan haruslah dilihat sebagai persoalan bagaimana memanfaatkan potensi-potensi yang terkandung dalam sumber daya manusiawi Indonesia, dan persoalan bagaimana memanfaatkan potensi-potensi sumberdaya alam serta keterampilan manusia Indonesia.
Dilihat dari sudut ini, persoalan pemerataan pendapatan di Indonesia pada dasarnya tidak berbeda dari persoalan mengembangkan, memelihara serta memanfaatkan suatu potensi nasional secara terarah pada sasaran perjuangan bangsa. Dalam hal ini, kita harus mengubah pandangan kita, dari melihat masalah pemerataan pendapatan sebagai suatu problema sosial menjadi melihatnya sebagai masalah bagaimana memelihara, mengembangkan serta memanfaatkan potensi nasional yang selama ini belum kita gunakan secara wajar.
Semuanya itu disebabkan kita belum memahami benar bagaimana mengembangkan serta memanfaatkan potensi nasional tersebut. Dan yang penting lagi, selama ini kita belum melakukan investasi-investasi yang diperlukan untuk mempelajari serta menggerakkan tenaga manusia untuk pembangunan. Akan tetapi, begitu kita memahami cara-cara untuk menggerakkan potensi manusia ke sasaran pembangunan Indonesia, seperti halnya dengan minyak bumi, kita pasti akan mencari dan menggarap potensi tersebut sesuai dengan falsafah dan pandangan hidup Pancasila yang kita anut bersama.
Di situ letak perbedaanya. Minyak bumi adalah benda mati yang dapat kita gali dan manfaatkan relatif sekendak hati. Yang harus diperhitungkan hanyalah polusi akibat penggaliannya. Tapi manusia adalah makhluk Tuhan, yang mempunyai perasaan, yang mempunyai agama, mempunyai tradisi. Ini harus diperhatikan, karena pemanfaatan manusia sebagai sumber energi pun dapat menimbulkan polusi, mengakibatkan perusakaan lingkungan, dan membawa gangguan pada kelestarian susunan masyarakat lingkungannya. Sistem pemanfaatannya dapat menimbulkan ketidakadilan, eksploitasi manusia terhadap manusia serta ketegangan-ketegangan sosial, karena tidak meratanya pembagian pendapatan nasional. Inipun dapat dipandang sebagai perusakan lingkungan. Bahkan merupakan perusakan yang tak ternilai harganya.
Dengan menyadari bahwa di dunia ini tidak ada sistem penggerak sumberdaya manusia yang sempurna, kita bisa belajar dari cara bangsa-bangsa lain yang telah terlebih dulu menggali, memelihara dan memanfaatkan sumberdaya ma-nusia dalam kerangka pembangunan bangsanya. Kita harus mulai belajar memahami manusia Indonesia sebagai potensi nasional yang memiliki nilai ekonomi dan nilai pembangunan. Manusia sebagai aset nasional yang memiliki nilai pembangunan itu kemudian perlu dibina dan dikembangkan. Ia harus kita penuhi kebutuhannya, harus kita lengkapi dengan investasi sumber daya lainnya, sehingga nilai ekonominya meningkat. Ia juga harus diberikan akses ke dalam proses industrialisasi untuk menghasilkan barang dan jasa yang bermanfaat bagi masyarakatnya serta bagi dunia luar sehingga ia memperoleh penghasilan yang layak melalui pertukaran barang dan jasa. Selanjutnya, ia pun harus dapat mempertahankan dirinya, hasil-hasil karyanya serta segala kekayaannya yang lain pada setiap saat: ia membutuhkan ketahanan. Dan, karena manusia bukanlah benda mati sebab ia memiliki perasaan, etika, tradisi, agama dan kebudayaan maka haruslah pula dipelajari, dipahami serta dilestarikan dan dikembangkan segi-segi tersebut dari kehidupannya, sebagai landasan bagi pengembangan aspek-aspek yang telah disebutkan terdahulu.
Untuk itu, usaha mengembangkan potensi sumberdaya manusia perlu diikuti beberapa prinsip. Seperti, perlunya pendidikan dan pelatihan di dalam pelbagai bidang Iptek yang relevan dengan keperluan pembangunan bangsa; serta adanya suatu konsep yang jelas dan realistik tentang masyarakat yang ingin dibangun di masa depan, dan teknologi-teknologi yang diperlukan untuk mewujudkannya.