Sunday, February 28, 2010

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI CANGGIH VII

Pasar Dalam Negeri: Faktor Penggerak

 
Indonesia baru saja dalam Orde Baru bisa memikirkan pembangunan ekonomi secara teratur melalui Repelita, lantas kita sudah ditunjuk harus membuka pasaran sebebas mungkin. Jepang saja tidak mau. Kita harus berani mengatakan now my market is for my people. Kita memerlukannya untuk proses nilai tambah, karena manusia mau mendapatkan kualitas hidup yang tinggi. Kita tidak mau selalu dibodohi, tidak mau selalu dipermainkan. Kita mau menjadi potensial seperti bangsa-bangsa yang lain. Kenapa bangsa Indonesia harus menurut begitu saja?

Sekarang bagi Amerika bukan bom tapi Yen yang datang dari Jepang, dan sekarang Jepang melakukan konsolidasi dan reorientasi dan membangun kembali. Saya yakin Amerika terlalu besar dan kuat ilmu pengetahuan dan teknologinya.

Mungkin pada zaman dulu penjajah boleh berbuat semaunya, tapi zaman generasi saya dan generasi penerus yang tidak pernah merasakan dijajah menentang perlakuan itu. Tetapi saya juga tidak boleh overacting dan kita juga tidak boleh berlebih-lebihan, kita harus pragmatis, realistis oleh karena itu normal. Mungkin di antara kita ini pada 1950 ada yang belum lahir, atau ayahnya baru lahir. Pada tahun 1950-an tidak ada satu mobil Jepang di Indonesia, semua mobil buatan Amerika dan Eropa, karena Jepang belum semaju sekarang, kendati Jepang menguasai teknologinya, teknologi proses nilai tambah maupun teknologi biaya tambah, padahal Jepang sudah memulai pembangunan dari zaman Meiji, untuk menyerap dan menyedot teknologi. Jepang tidak pernah dikuasai oleh bangsa lain, sedangkan kita bangsa Indonesia selama 350 tahun dijajah dan dihina Belanda.

Tidak ada produk Jepang baik Toyota atau Honda atau Nissan tidak dibuat untuk pasaran dalam negeri sendiri, pasaran Jepang ditutup, yang lain tidak boleh masuk pasaran Jepang. Pasaran dalam negeri Jepang menjadi motor penggerak utama dari transformasi bangsanya menuju bangsa yang modern. Pasaran dalam negerinya dijadikan motor penggerak utama untuk mengembangkan manusianya agar menjadi lebih canggih, lebih menguasai segala macam teknologi yang beraneka ragam untuk proses nilai tambah, tidak untuk pamer-pamer atau diskusi. Pada tahun 1970 mereka telah mengalami transformasi yang terus menerus, bekerja keras dan melakukan konsentrasi dan sinkronisasi antara semua usaha di Jepang. Tiba-tiba Jepang muncul di pasaran dunia dengan program-program dan proyek-proyek yang unggul.

Apa yang dilaksanakan Jepang itu, adalah normal. Kenapa kita tidak diperkenankan berpikir seperti Jepang? Kenapa orang masih keberatan kalau bangsanya sendiri bilang pasaran Indonesia untuk Indonesia yang kita butuhkan untuk lapangan pekerjaan, untuk memberikan kesempatan kepada saudara kita dan cucu kita kelak? Kenapa pasar kita masih mau direbut? Apa segolongan kecil yang sudah biasa menjadi perwakilan dari perusahaan-perusahaan asing yang mendapat upahnya mau menjadi lebih kaya terus, sedangkan yang lain tidak kebagian apa-apa? Apa itu perjuangan bangsa Indonesia? Saya rasa tidak!. Tetapi tidak ada gunanya kita berdebat atau mengkritik yang penting kita berbuat tanpa bicara dan bukan untuk mau menjadi hero. Heroisme itu sangat mahal, yang jauh lebih penting adalah kita bisa mencapai tujuan pembangunan.

Untuk mengatasi hal ini, di masa-masa yang akan datang, kita bertekad pelaksanaan produksi dalam negeri atas dasar teknologi canggih serta integrasi teknologi ke dalam wujud produk baru akan ditingkatkan dan disempurnakan dengan semakin mempertinggi produktivitas dan efisiensi. Upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi mengharuskan pelaksanaan peningkatan disiplin serta penyesuaian mental, di seluruh proses dan mata rantai produksi teknologi canggih.

Sekarang kenyataan menunjukkan pada kita tatkala kita masuk ke industri yang besar, di situ anak-anak muda sudah pandai memanfaatkan super komputer dan mengadakan formulasi dengan komputer, komputer ini antara lain dipergunakan untuk merancang atau untuk membuat formula obat sehingga dari 1000 permutasi itu kemungkinan dia hanya bisa membackup hanya 5 permutasi. Di antara 5 itu ada satu yang harus jadi atau terpakai sehingga produksi bisa terlaksana hanya dalam 2 atau 3 bulan saja untuk menghasilkan semua yang dikehendaki. Itu adalah canggih untuk memberikan jawaban dalam bidang kebutuhan dasar manusia.

Hasil dari gerak perkembangannya yang pesat dan urgensinya yang kian akut itu menempatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sasaran sekaligus penentu keberhasilan pembangunan nasional. Bisa dimengerti jika salah satu sasaran pembangunan jangka panjang kedua adalah "Tercapainya kemampuan nasional dalam pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan peradaban, serta ketangguhan dan daya saing bangsa yang diperlukan untuk memacu pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan menuju masyarakat yang berkualitas, maju, mandiri serta sejahtera, yang dilandasi nilai-nilai spiritual, moral, dan etik didasarkaaan nilai luhur budaya bangsa serta nilai keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa."

Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan syarat mutlak demi berhasilnya pembangunan. Tanpa iptek, kekayaan sumber daya alam bahkan dalam jumlah yang berlimpah-limpah tidak akan menjadi harta yang terkuasai. Sedangkan dengan dikuasainya iptek, kelangkaan sumber daya alam tidak akan menjadi hambatan yang tidak teratasi. Kerberhasilan Jepang sebagai negara industri maju memberikan pembenaran empiris mengenai hal itu.

Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hasil produk manusia yang dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Di dalam proses peningkatan taraf hidup, iptek sendiri dikembangkan dan disempurnakan lebih lanjut. Proses ini merupakan siklus yang tidak ada hentinya. Manusia menghasilkan Iptek, lalu memanfaatkan Iptek tersebut untuk meningkatkan taraf hidupnya; sementara itu, di dalam taraf hidup yang telah meningkat, manusia meningkatkan lebih lanjut taraf ilmu pengetahuan dan teknologinya. Demikian seterusnya.

Oleh karena itu, dalam setiap upaya pengembangan Iptek di Indonesia hendaknya diusahakan agar siklus-siklus peningkatan Iptek dan taraf hidup masyarakat berlangsung sesuai dengan aspirasi kita sendiri, sesuai dengan aspirasi perjuangaan Bangsa Indonesia, sebelum dan setelah kemerdekaan. Kita perjuangkan agar siklus-siklus tersebut berlangsung secara merata di seluruh pelosok tanah air.

Dalam hal ini, saya tidak mau melihat ilmu pengetahuan hanya untuk ilmu pengetahuan semata. Ilmu pengetahuan adalah untuk teknologi yang dibutuhkan dalam pembangunan. Adapun penelitian adalah sesuatu yang terus berkembang yang dilakukan manusia secara sistematis dan disiplin, di mana hasilnya juga harus disesuaikan dengan kebutuhan. Pembangunan adalah untuk manusia, demikian juga tekno- logi. Dengan penerapan Iptek dalam pembangunan, kita harus melihat manusia sebagai sasaran sekaligus modal pembangunan. Bangsa Indonesia percaya bahwa kemajuan lestari suatu negara pada akhirnya akan sangat tergantung pada pengetahuan dan keterampilan tenaga manusianya.

Di sini manusia tidak dapat dipisahkan dari Iptek. Iptek terkandung di dalam dirinya dan di dalam cara-cara hidupnya di tengah-tengah masyarakat. Sebaliknya Iptek tidak dapat terlepas dari manusia. Iptek itu hanya ada karena diciptakan oleh manusia. Kemampuan berfikir manusia yang sistematis, analitis, mendalam dan jangka panjang menghasilkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan melahirkan tek- nologi, yaitu cara-cara berdasar ilmu untuk menghasilkan barang dan jasa. Manusia memanfaatkan teknologi untuk menyempurnakan proses-proses nilai tambah, yaitu proses-proses merubah bahan mentah dan barang-barang setengah jadi menjadi barang-barang jadi yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Teknologi penting karena merupakan penggerak utama proses nilai tambah tersebut.

Sedangkan proses nilai tambah itu sendiri merupakan proses kompleks yang berjalan terus-menerus dan hanya dapat dikatakan berhasil jika pemanfaatan mesin-mesin, keterampilan manusia, dan material sepenuhnya dapat diintegrasikan oleh teknologi, sehingga menghasilkan produk barang dan jasa yang bernilai lebih tinggi dari nilai material dan masukan lainnya. Karena sifat integratif inilah maka dalam suatu proses ekonomi apapun, teknologi merupakan unsur paling menentukan dalam proses nilai tambah. Semakin efisien dan produktif proses-proses nilai tambah, semakin meningkat taraf hidupnya. Ini berarti, setiap masyarakat di muka bumi ini memiliki kesempatan membangun dirinya sebagai bangsa, jika tersedia teknologi yang tepat bagi pengembangan dirinya.



Dalam kaitan ini, kita dituntut untuk merubah negara kita menjadi suatu negara yang menjadi perhatian seluruh dunia bukan karena kekayaan alamnya saja, tapi juga karena kaya dengan kemampuan sumberdaya manusia dan kapasitas teknologinya.

Untuk itu kita dituntut untuk selalu mengambil prakarsa yang dijiwai dan diberi inspirasi oleh aspirasi-aspirasi rak-yat dan alam sekeliling kita. Kita dituntut untuk selalu membuat inovasi-inovasi yang kreatif dan menguntungkan bagi Bangsa dan Negara, sehingga proses-proses nilai tambah di bumi Indonesia ini benar-benar dapat dilakukan oleh putra-putri Indonesia sendiri. Melalui pelaksanaan proses nilai tambah oleh putra-putri Indonesia sendiri inilah kita lakukan pemerataan sesuai dengan apa yang dicita-citakan dalam GBHN.

Karena itu, perlu ditingkatkan keahlian dan keterampilan tenaga dan lembaga yang tersedia serta daya gunanya sesuai dengan prioritas pembangunan, sehingga dengan demikian, akan tercipta landasan nasional bagi pembangunan Iptek yang mampu berswadaya dalam memecahkan masalah pembangunan nasional.

Tuesday, February 23, 2010

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI CANGGIH VI

SDM: Faktor Menentukan
 
Tetapi di balik itu semua, siapa yang berada dan menentukan adalah manusia. Tanpa manusia yang menguasai teknologi di balik proses nilai tambah dan biaya tambah, atau dengan perkataan lain, manusia yang tidak pernah mengalami pendidikan atau mengalami proses nilai tambah pribadi, manusia itu tidak mungkin dapat melaksanakan apa yang saya maksudkan dalam uraian saya tadi itu.

Seseorang tamat SMA, lalu masuk program pendidikan Sl, S2, atau S3 melalui beberapa cara ujian. Ujian itu dalam hal ini, tidak lain merupakan quality control dari proses nilai tambah pribadi. Karena manusia yang masuk dan tamat baru merupakan raw material, proses nilai tambah pribadi diberikan melalui informasi dari dosen yang memberikan input data kepada mahasiswa. Untuk bisa menghasilkan dengan baik maka diadakan ujian, ujian itu adalah sebagian dari proses nilai-tambah pribadi atau dalam hal ini adalah quality control, seperti saya laksanakan pada proses nilai tambah materi di pesawat terbang atau satelit atau apa saja hingga keluar sertifikat. Setelah diwisuda Sl, S2, S3, berarti mahasiswa itu sudah diberi jaminan oleh Universitas bahwa dia memiliki potensi ekonomi dalam bentuk manusia yang canggih yang mengerti suatu masalah secara profesional. Itu proses nilai tambah pribadi pula.

Jika mahasiswa itu lulus walaupun dari program S3 tetapi setelah itu tidak terjun di dalam proses nilai tambah materi, jangan heran lima tahun paling terlambat setelah itu dia sudah luntur, dan ketinggalan zaman. Hanya mereka yang terjun dalam proses nilai tambah materi dengan biaya tambah materi dan terus memberikan dharma baktinya atau sumbangannya dalam pembangunan nasional atau internasional. Merekalah yang bisa terus berkembang nilai tambah pribadinya dan menjadi unggul dalam bidangnya masing-masing. Karena itu, suatu masyarakat membutuhkan dua hal: sekolah dan pabrik/perusahaan yang melaksanakan proses nilai tambah dan biaya tambah.

Tetapi jangan setelah lulus Sl, S2, S3, lantas dia menonjolkan gelar doktornya atau dengan S2nya lalu banyak bicara, menjadi pegawai negeri atau tinggal diam begitu saja. Bukan begitu. Dia harus turut aktif untuk meningkatkan materi bangsanya menjadi lebih tinggi kalau secara makro ialah dengan meningkatkan GNP per kapita. Untuk hal itu kita harus meyediakan tempat untuk mereka dalam proses nilai tambah di bidang yang dibutuhkan untuk mengoptimasikan nilai tambah dan biaya tambah.

Sebagaimana tadi sudah saya katakan bahwa kita sudah memanfaatkan teknologi canggih, kalau tidak mana mungkin kita berkembang. Sekarang kita lihat masalahnya, kalau kita belum membangun apa yang kita namakan prasarana ekonomi tadi (itu semuanya sebagai turn key), kita bayar dengan ekspor minyak dan gas atau membayar dari harga ekspor kelapa sawit, kelapa atau kayu lapis ataupun rotan dan sebagainya, sedangkan harga barang yang harus dibayar itu berlipat ganda dari nilai tambah rotan, maka jangan heran jika kita mengalami suatu masalah di mana kita keluarkan banyak tenaga dan upaya mengekspor produk-produk migas dan produk-produk tradisional untuk membiayai satelit, pesawat terbang, telex, telefax, kereta api, generator, kapal dan sebagainya, sedangkan orang yang membuat produk tersebut memanfaatkan manusia-manusianya yang menguasai teknologi tinggi. Kalau Indonesia merupakan suatu negara yang besarnya hanya sebesar Singapura, mungkin impor barang teknologi canggih bisa dimengerti. Tapi tidak demikian halnya.

Ketika Alvin Tofler datang ke Indonesia, orang begitu membesar-besarkan idenya, seakan-akan kita harus menjadi information society. Saya katakan bahwa masyarakat informasi sebenarnya bukan problem ekonomi. Salah satu masalah Amerika pada waktu ini ialah bahwa dahulu mereka meninggalkan nilai tambah dan hanya berkonsentrasi pada meminimumkan proses biaya tambah dan Amerika berusaha mengambil keuntungan dari proses nilai tambah dan hal itu diserahkan kepada Jepang dan Eropa dan mereka hanya melakukan proses nilai tambah pada produk canggih dirgantara serta alat-alat perang yang tidak produktif.

Sementara itu negara lain mulai menyerahkan teknologi kamera dan sebagainya, semuanya diserahkan kepada negara lain dan mereka kemudian membuat produk yang tanpa risiko banyak. Memang dalam waktu singkat kita bisa melihat keuntungannya, mungkin paling cepat kembali kapitalnya, risiko berkurang dan cepat bisa menguntungkan perusahaan, itu benar, tetapi hal itu bagi suatu bangsa bisa menjadikan malapetaka dan itu terjadi di Amerika.

Mereka mengabaikan riset teknologi, baik dalam bidang teknologi video, teknologi otomotive, dalam bidang baja dan sebagainya. Kita yakin Amerika itu adalah negara yang besar dan mempunyai domestik pasar yang tertutup. Amerika bisa menutup pasarannya dan bisa hidup makmur tanpa ikut campur orang lain. Lain halnya dengan Jepang, negara ini tidak bisa tertutup karena masih membutuhkan input dari luar. Sekarang Amerika yang saya saksikan telah mengalami banyak perbedaan. Mereka sekarang melakukan konsentrasi kedalam proses nilai tambah hardware dan software, mereka mengadakan konsentrasi dan berlebih-lebihan.

Dalam bulan Oktober yang lalu saya bertemu Presiden General Electric kolega saya karena kebetulan saya adalah anggota National Academy of Engineering USA dan Doktor Willam F. Ballhaus Chairman dan President National Academy of Science di Washington, saya secara teratur bertemu dan berkonsultasi dengan mereka. Dari situ saya dibawa ke the manufacturing of the future.

Saya lihat manufacturing plate besar tertutup dan tidak ada jendelanya. Semua dibuat otomatis dan pegawainya bekerja 24 jam dalam tiga shift tidak ada satu pegawai diperuntukkan untuk satu mesin. Mereka bekerja sebagai satu tim, tetapi yang aneh mereka semua memakai pakaian seragam sama seperti Jepang, pakai topi dan pakai bendera Amerika. Itu semua karena mereka mendapatkan suatu shock dari Jepang, mungkin juga ibarat masa Perang Dunia II, Amerika sebelumnya tidak mau ikut campur dalam perang, tetapi kemudian mendapatkan serangan di Pearl Harbour. Sejak itu Amerika membangun diri sebagai raksasa dan dia memenangkan Perang Dunia II.

Karena itu, normal bilamana hari ini suatu produk sulit memasuki pasaran Jepang dan pasaran Amerika. Produk Amerika yang masuk ke Jepang harus sesuai dengan kuota, masa lantas kita membuka pasaran Indonesia begitu saja dan boleh sembarang orang masuk sedangkan mereka yang sudah 100 tahun mendapatkan kesempatan untuk menguasai teknologi dan menjadi unggul menutup pasarnya?

Bersambung.

Sunday, February 21, 2010

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI CANGGIH V

Teknologi Canggih untuk Nilai Tambah Tinggi

 
Jadi bila kita berbicara tentang teknologi canggih, bukan teknologi canggih yang kita kejar. Salah kalau dikira bahwa saya sebagai seorang insinyur kebetulan ahli konstruksi pesawat terbang hanya cinta teknologi canggih. Dan oleh karena itu, apakah lantas hanya teknologi canggih yang ingin dikembangkan, dan hanya itu yang disasari untuk pembangunan bangsa? Itu tidak benar, yang saya sasari adalah proses nilai tambah, proses nilai tambah dari materi yang harganya rendah, dengan segala ketrampilan dengan usaha dari manusia, bisa dijadikan hasil produk yang nilainya lebih tinggi, itu proses nilai tambah. Dari satu unit harganya bisa kita tingkatkan di pasaran menjadi seratus bahkan seribu, sepuluh ribu atau satu juta dengan memanfaatkan otak dan ketrampilan manusia.

Atau dengan perkataan lain memanfaatkan teknologi dan ilmu pengetahuan yang tepat dan berguna tanpa memilih apakah itu canggih atau tidak canggih yang lebih penting bahwa teknologi yang tepat dan berguna itu dapat dimanfaatkan untuk proses nilai tambah, dapat mengubah materi itu dengan cepat untuk mendapatkan nilai yang setinggi-tingginya dengan mengontrol kualitas dan biaya secara terus menerus agar produksi lancar jalannya dan bisa masuk kedalam pasaran tidak terlambat pada waktunya.

Jadi jangan salah faham, jangan dikira yang dimaksudkan canggih itu hanya pesawat terbang saja, membuat obat itu canggih, malahan lebih susah lagi. Sekarang orang mulai memikirkan biologi, memikirkan molekul dan dia tahu itu terdiri dari batu-batu, fosfor, protein, dan sebagainya. Di situ semua itu dikombinasikan sedemikian rupa sehingga bisa diadakan manipulasi pada Gennya, sehingga berkembang yang dia kehendaki. Jika itu canggih dan menjadi kebutuhan dasar manusia, maka kita boleh bekerja dalam bidang itu, tapi bukan hanya itu tujuan kita untuk proses nilai tambah. Kita harus menguasai teknologi yang tradisional saja, misalnya teknologi tanaman satu asparagus bisa menghasilkan satu bibit untuk generasi penerusnya.


Kita harus memanfaatkan kultur jaringan sehingga satu asparagus bisa menghasilkan seratus ribu bibit dengan kualitas yang sama, ini juga teknologi canggih, karena itu kita harus menguasai dan mengembangkannya dan terus tidak tertinggal. Ini baru persoalan mengenai molekul biologi yang banyak pengaruhnya dalam pangan.
Sekarang saya ingin berbicara tentang energi.

Sebelum transistor, manusia mempergunakan tabung-tabung dengan radio yang besar. Sistem tabung memerlukan energi banyak sekali. Kalau dipegang panas, dan lekas rusak. Sekarang satu tabung yang besar diganti dengan transistor yang mungkin sebesar kuku saja. Akibatnya transistor menyedot energi lebih sedikit dan radionya menjadi kecil, tapi kualitasnya secara keseluruhan lebih baik daripada tabung, lagi pula tidak lekas rusak. Itu kejadian pada tahun 1967. Pada tahun 1970-an ditemukan integrated circuit. Melalui integrated circuit itu bisa disimulasikan apa yang dilaksanakan transistor itu, sehingga pada waktu itu mereka sudah merasa hebat. Dalam transistor itu bisa dimuat equivalent integrated circuit dengan sebanyak 32 transistor. Sudah hebat.

Sekarang dalam perkembangan industri, satu mega bite untuk satu juta transistor - besarnya barang itu hanya sebesar kuku saya ini, dan sudah secara seri dibuatnya. Sebentar lagi, mungkin 1 - 2 tahun keluar 4 juta tabung dengan memakai energi sedikit saja. Akibat dari itu kita akan punya jam atau komputer yang kecil-kecil. Arah perkembangan ini kemana? Mereka sudah merancang 64 MB dalam satu kuku begini. Jadi itu normal. Tetapi kalau suatu bangsa tidak mau mengadakan investasi untuk bisa mengetahui proses nilai tambah pembuatan perangkat keras dan perangkat lunak dari produk-produk yang saya katakan tadi, itu kurang normal.

Di samping proses nilai tambah, kita mengenal proses biaya tambah, jika proses nilai tambah itu kita usahakan mendapatkan titik maksimum atau yang setinggi mungkin, maka dalam proses biaya tambah kita akan berusaha agar mendapatkan suatu titik minimum. Apa itu biaya tambah kalau kita sudah berhasil membuat suatu proses nilai tambah dengan unit yang bisa melipatgandakan sampai seribu dari harga semula sehingga harga ke pasaran berlipat kali banyaknya. Dan tidak berhenti disitu, kalau sudah berhasil membuat produk keluar dari production line melalui proses nilai tambah dengan mamanfaatkan teknologi yang tepat guna dengan mengkontrol kualitas, biaya dan jadual maka belum selesai permasalahannya.


Kita harus menjual barang tersebut, kita harus melaksanakan pemasaran, kita memikirkan finishing, kita harus memikirkan direct operating cost, kita harus memikirkan layanan purna jual, dan memikirkan product support. Saya harus berusaha agar supaya memanfaatkan produk tersebut dan bisa menghasilkan uang dari pelayanan, sehingga hasil dari itu semua lebih banyak untuk belanja dari pada semula. Untuk itu dibutuhkan biaya, biaya yang dibutuhkan untuk itu tidak bisa kita optimumkan seperti proses nilai tambah, kita harus berusaha supaya menjadi minimum, seminimum mungkin dikeluarkan uang untuk semua biaya-biaya yang di butuhkan tadi.

Itu yang dikenal dengan perdagangan atau trick bagi suatu lembaga keuangan atau leasing company dan sebagainya, itu semua biaya tambah. Tidak ada leasing company untuk pesawat terbang jika industri pesawat terbang Boeing tidak berhasil membuat pesawat terbangnya. Tidak ada leasing company untuk produk dalam prasarana ekonomi, jika tidak ada perusahaan-perusahaan yang menghasilkan prasarana ekonomi tersebut. Tetapi perusahaan-perusahaan atau aktifitas dalam biaya tambah itu harus mengoptimasi, tapi optimasi dalam hal itu tidak sama dengan maksimum tapi optimasi tersebut sama dengan minimum. Harus dicari biaya paling rendah untuk mencapai sasarannya. Untuk bisa membuat itu, tidak bisa dilaksanakan secara kebetulan atau dengan perkataan matematik secara random, harus dilaksanakan secara terprogram, harus dimanfaatkan komputer, dikembangkan software, dibuat mathematical model, harus diekonometrik.
Saya kira yang sekarang menjadi pilihan di fakultas-fakultas adalah ilmu pasti dan ilmu alam, dalam hal ini statistik tidak begitu menentukan. Tetapi sekarang, tidak ada seorang ekonom bisa berkembang menjadi ekonom yang unggul jika tidak menguasai atau mengerti ilmu pasti, logika dan juga statistik dan harus berani membuat modelnya, membuat komputer dan mengadakan evaluasi dan analisisnya untuk meminimumkan biaya. Untuk bisa melaksanakan itu, kita harus memanfaatkan teknologi tepat guna dan dalam hal ini teknologi yang canggih.

Jadi tidak benar kalau kita konsentrasi kepada teknologi tradisional, dan teknologi yang canggih disingkirkan saja karena tidak bisa kita capai. Kita tidak akan bisa bersaing dengan siapapun juga di dunia ini, jika tidak menguasai teknologi tepat guna yang juga teknologi canggih, karena masalah yang kita persoalkan adalah hasil-hasil produk teknologi canggih, dan prasarana ekonomi.

Dalam hal ini secara sengaja tadi saya memulai dengan definisi proses nilai tambah, proses biaya tambah, maksimum, minimum, optimisasi dari kedua proses, dan kombinasi maksimum dan minimum. Orang yang menguasai ma- tematika dia tahu persamaan-persamaannya, dan hal itu bisa menjadi kompleks dan untuk mendapatkan optimum dari itu tidak bisa diberikan suatu kesimpulan melainkan harus diadakan aproksimasi. Kita harus membiasakan berpikir kedalam iklim yang saya katakan itu tapi saya baru bicara mengenai materi, dan pemanfaatan teknologi canggih untuk mengoptimasi dengan meminimumkan proses biaya tambah materi yang mengalami proses nilai tambah dan masuk di pasaran, baik pasaran domestik, pasaran regional, maupun pasaran dunia.


Bersambung

Thursday, February 18, 2010

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI CANGGIH IV

 Persyaratan Penguasaan Teknologi Canggih

 
Kembali kepada masalah pengembangan teknologi canggih, kita dituntut untuk dapat memiliki tenaga kerja yang menguasai keahlian menyeluruh dan rinci serta mampu mengikuti cara kerja yang bermutu tinggi. Mengapa? Sebabnya adalah bahwa proses nilai tambah pada komoditi ini senantiasa harus memperhatikan tiga hal, yaitu:

Pertama, kualitas produk hasil proses nilai tambah tersebut harus senantiasa memenuhi persyaratan minimum kualitas yang dituntut masyarakat pembeli di pasar dalam negeri, regional, dan internasional.

Kedua, dari komoditi teknologi canggih dituntut jadwal penyerahan yang ketat. Produk harus tiba di pasar pada waktunya, tidak terlambat, tidak pula terlalu cepat. Untuk itu, mata rantai perdagangan tidak boleh terlalu panjang.

Ketiga, harganya harus kompetitif. Produk yang dihasilkan harus dapat bersaing di pasar domestik, regional dan internasional.

Lantas tanggung jawab siapakah pemenuhan ketiga persyaratan itu? Kualitas produk ada di tangan para insinyur dan para ahli teknik di dalam perusahaan masing-masing. Keberhasilannya tergantung dari sistem yang dipergunakan dan pada sarana yang dimiliki.

Lain halnya dengan jadwal penyerahan produk. Masalah kedua ini tidak dapat diselesaikan hanya oleh para insinyur dan ekonom di dalam perusahaan itu sendiri, tetapi juga tergantung pada pengaturan lingkungan makro-ekonomi, khususnya pada efisiensi jalur-jalur perdagangan. Karena itu, mereka yang mengendalikan jalur-jalur perdagangan ikut bertanggung jawab atas penyelesaian masalah ini.

Masalah harga lebih kompleks lagi. Harga produk terutama tergantung pada tiga kelompok komponen biaya, yaitu: pertama, biaya pegawai; kedua biaya teknologi; dan ketiga, biaya material. Ketiga komponen biaya ini tidak mungkin dapat dikendalikan sendiri oleh para insinyur dan ekonom di dalam perusahaan itu. Seperti halnya dengan masalah jadwal, para penentu kebijaksanaan di luar perusahaan ikut bertanggung jawab atas penyelesaian harga.

Bagaimana prospek daya saing bagi produk teknologi Indonesia? Untuk memudahkan analisis masalah itu mari kita gunakan pra-anggapan bahwa ketiga golongan komponen biaya tersebut, termasuk segala biaya overhead langsung dan tidak langsung, seperti biaya manajemen, biaya pemasaran, dan sebagainya, mempunyai dampak yang sama besarnya pada harga produk yang dihasilkan. Dengan kata lain, bahwa sepertiga struktur harga produk ditentukan oleh biaya pegawai, sepertiga oleh biaya teknologi dan sepertiga oleh biaya material.

Seperti telah disinggung ketika kita membicarakan masalah alih teknologi di atas, fungsi biaya pegawai di Indonesia merupakan suatu fungsi maksimum yang bisa dihemat. Kita ketahui bahwa dengan segala overhead-nya, biaya pegawai Indonesia paling tinggi 10% dari biaya pegawai dengan mutu yang sama di negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Jepang. Ini berarti bahwa kalau kita dapat melakukan penghematan sebesar 90% dalam komponen, maka dampaknya pada total harga sebesar 30%.

Bagaimana dengan biaya teknologi? Berbeda dengan biaya pegawai, untuk sementara waktu, yaitu selama kita harus mengimpor dan mengalihkan teknologi, fungsi biaya teknologi adalah fungsi minimum yang harus dikeluarkan. Mengapa? Karena kita harus membayar royalti dan lain-lain biaya untuk penggunaan hak milik intelektual orang lain.

Oleh sebab itu, selama kita harus mengimpor teknologi, teknologi di Indonesia tidak mungkin berharga lebih rendah dari teknologi luar negeri.

Baru setelah teknologi dapat dikembangkan sendiri di Indonesia, harganya dapat lebih rendah dari teknologi luar negeri. Sebabnya, karena teknologi diciptakan dan dikembangkan oleh manusia, dan seperti telah dikatakan di muka, biaya pegawai di Indonesia jauh lebih rendah dari biaya pegawai yang sederajat di luar negeri. Dan untuk itu, berbagai langkah memang telah dan sedang diambil untuk mengembangkan teknologi Indonesia sendiri.

Mengenai material untuk proses nilai tambah bertekno- logi canggih perlu dicatat hal-hal berikut:
Sepanjang material harus didatangkan dari luar negeri, maka harus dikeluarkan biaya overhead material yang mencakup biaya pengangkutan, asuransi, biaya gudang, dan biaya modal kerja yang tertanam di dalam persediaan material. Makin lama waktu yang dibutuhkan sebelum material dapat digunakan, makin tinggi pula biaya modal. Kecepatan arus material ke dalam proses produksi sangat menentukan persentase dampak biaya material pada harga barang.

Karena itu dalam upaya memperkecil biaya gudang dan biaya modal kerja, perusahaan-perusahaan Jepang, seperti Toyota di Toyota City, mengembangkan sistem penyerahan tepat waktu (just in time delivery) bagi material dan komponen di antara para penyedia yang kebanyakan berlokasi di Toyota City pula. Dalam sistem ini material dan komponen diantar oleh para penyedia ke pabrik tepat sebelum mereka masuk dalam proses produksi, tanpa dikemas dan tanpa melalui gudang. Dengan demikian biaya gudang dan kemasan dapat ditiadakan dan biaya asuransi dan biaya pengangkutan dapat diperkecil. Sistem ini mulai banyak diambil alih oleh perusahaan negara maju lainnya.

Biaya pengangkutan sulit diubah secara berarti. Jarak pabrik-pabrik di Indonesia dari tempat asal material sudah ditentukan oleh alam. Biaya asuransi dan biaya gudang juga sulit diperkecil. Satu-satunya komponen biaya yang dapat ditekan secara berarti adalah biaya modal kerja, yaitu dengan mempersingkat waktu yang diperlukan untuk material memasuki proses produksi.

Karena itu, kurva biaya material di Indonesia jelas bukan merupakan suatu fungsi maksimum tetapi suatu fungsi minimum pengeluaran. Ini berarti bahwa biaya material di Indonesia akan lebih besar daripada biaya material di luar negeri.

Timbul pertanyaan lain: komponen biaya manakah yang paling sensitif? Karena di antara ketiga golongan kelompok biaya tadi hanya kurva biaya pegawai saja yang merupakan kurva maksìmum, sedangkan kurva biaya golongan komponen dan biaya lainnya merupakan kurva minimum, maka penghematan hanya dapat dilakukan di kelompok komponen biaya pegawai. Dan seperti telah disebutkan, ini pun maksimum hanya dapat menghemat sebanyak 30% dari harga produk. Maka, jika kita tidak memikirkan hal secara rinci, tidak mungkin kita membuat produk produk teknologi tinggi yang dapat bersaing dengan produk-produk yang sama buatan luar negeri.

Faktor Situasi Ekonomi Dalam Negeri

 
Pembangunan nasional Indonesia memang tidak dapat dilepaskan dari keadaan ekonomi Indonesia dan keadaan ekonomi dunia. Selama beberapa tahun terakhir ini, ekonomi Indonesia telah merasakan dampak perkembangan yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan ekonomi-ekonomi negara maju. Dampak itu ada yang positif, dan banyak lagi yang negatif.

Dilihat dari segi komoditi, struktur ekspor Indonesia masih sangat tergantung pada minyak dan gas bumi, ekspor tradisional komoditi pertambangan dan pertanian. Belakangan memang mulai tampak kemajuan pesat dalam ekspor produk-produk manufaktur, tapi dengan kandungan nilai tambah yang masih rendah.

Ditinjau dari segi mitra dagangnya, aktivitas perdaga- ngan Indonesia masih sangat tergantung pada pasar Amerika Serikat, Eropa dan Jepang.

Dengan struktur perdagangan internasional seperti itu, jatuhnya harga-harga komoditi pertambangan dan pertanian di pasar dunia sejak tahun 1970-an, yang kemudian disusul dengan merosotnya harga minyak bumi sejak akhir 1980- an, telah mengakibatkan menciutnya nilai ekspor kita dengan dampaknya yang terasa berat pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dan sepanjang kedua jenis komoditi andalan ekspor Indonesia itu terkait dengan dollar Amerika Serikat, dampak negatif tersebut diperkuat lagi dengan merosotnya nilai tukar mata uang Amerika Serikat terhadap mata uang Jepang dan Jerman, sehingga beban impor serta kewajiban-kewajiban membayar bunga dan cicilan hutang yang dinyatakan dalam mata uang Yen dan D-Mark menjadi sangat bertambah berat.

Menghadapi dampak positif dan negatif tersebut, tentu kita harus waspada dan prihatin. Kita mutlak harus melakukan penghematan termasuk di dalam hal-hal yang sebenarnya kita perlukan.
Jalan keluar yang paling mendasar dari kesulitan-kesulit- an ekonomi yang kita hadapi adalah peningkatan nilai tambah, produktivitas dan efisiensi dalam segenap pekerjaan kita, baik dalam skala makro maupun dalam skala mikro.
Ini berarti bahwa kita harus menemukan cara-cara untuk menekan semua biaya tambah agar, tahap demi tahap, ekonomi biaya tinggi kita dapat kita ubah menjadi ekonomi yang normal, dan pada akhirnya akan tercipta suatu perekonomian biaya rendah.

Tentu kita sadari sepenuhnya bahwa suatu ekonomi biaya rendah tidak akan tercapai dalam sekejap mata. Untuk mencapai keadaan itu dibutuhkan pemikiran-pemikiran yang terperinci baik secara makro maupun secara mikro- ekonomi.
Dalam kaitan ini, sebagaimana telah beberapa kali saya sampaikan pada media massa, bahwa kita harus mengembangkan suatu dimensi baru dalam ekonomi dan ekspor Indonesia.
Jika minyak bumi dan gas alam kita namakan "dimensi pertama" dan komoditi pertanian ekspor tradisional kita beri nama "dimensi kedua", maka dimensi baru itu saya namakan "dimensi ketiga" yaitu komoditi non-migas teknologi canggih.
Produksi dan ekspor komoditi dimensi pertama dan kedua perlu tetap kita tingkatkan dengan menekan biaya tambah menjadi minimal dan meningkatkan nilai tambah secara maksimum. Berbarengan dengan itu perlu diupayakan peningkatan produksi dan ekspor komoditi teknologi tinggi. Dalam kerangka ini, adalah relevan untuk membicarakan kemungkinan pengembangan bermacam teknologi yang benar-benar tepat dan berguna dalam kerangka peningkatan produktivitas dan nilai tambah industri Indonesia.
Sebelum membicarakan mengenai penerapan teknologi khususnya teknologi canggih sebaiknya dijelaskan dulu apa yang dimaksud dengan teknologi dalam rangka pembangunan bangsa.

Manusia tidak dapat dipisahkan dari teknologi : teknologi terkandung di dalam dirinya dan di dalam cara-cara hidupnya dalam masyarakat. Sebaliknya teknologi tidak da- pat terlepas dari manusia : teknologi itu hanya ada karena diciptakan oleh manusia. Kemampuan berpikir manusia yang sistematis, analitis, mendalam dan jangka panjang menghasilkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan melahirkan teknologi, yaitu cara-cara berdasar ilmu untuk menghasilkan barang atau jasa. Manusia memanfaatkan teknologi untuk menyempurnakan proses-proses nilai tambah, yaitu proses untuk mengubah bahan mentah dan barang setengah jadi menjadi barang jadi yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Teknologi penting karena merupakan penggerak utama proses nilai tambah tersebut.

Sedangkan proses nilai tambah itu sendiri merupakan proses kompleks yang berjalan terus-menerus dan hanya dapat dikatakan berhasil jika pemanfaatan mesin, keterampilan manusia, dan material sepenuhnya dapat diinteg- rasikan oleh teknologi sehingga menghasilkan produk barang dan jasa yang bernilai lebih tinggi dari nilai material dan masukan lainnya. Karena sifat integratif inilah maka dalam suatu proses ekonomi apa pun juga, teknologi merupakan unsur yang paling menentukan dalam proses nilai tambah. Semakin efisien dan produktif proses nilai tambah, semakin meningkat taraf hidup manusia. Taraf hidup ma- nusia yang meningkat melahirkan cara-cara berpikir, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang lebih maju lagi. Dan de- mikian seterusnya.
Maka lahirlah suatu lingkaran peningkatan antara tingkat perkembangan teknologi karena taraf kehidupan ma-nusia dan taraf kehidupan manusia karena tingkat perkembangan teknologi.

Dari yang dikemukakan tadi dapat ditarik suatu kesimpulan sederhana tapi cukup penting bahwa hadirnya teknologi dalam kehidupan. manusia berarti hadirnya kemungkinan peningkatan kemampuan berproduksi dan peningkatan taraf kehidupan dalam masyarakat itu.

Ini berlaku bagi setiap manusia yang bermasyarakat, baik di Eropa maupun di Asia, baik di Jepang maupun di Afrika, baik di Amerika Utara maupun di Amerika Latin, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara sedang berkembang.

Ini berarti bahwa setiap masyarakat di muka bumi ini memiliki kesempatan membangun dirinya sebagai bangsa, asal dan selama padanya disediakan teknologi.

Prasarana ekonomi tidak bisa dipisahkan dengan adanya ilmu pengetahuan dan teknologi canggih. Tidak ada Palapa tanpa teknologi canggih, tidak ada ground station tanpa teknologi canggih, tidak ada telepon swichting digital yang tanpa teknologi canggih, tidak ada kapal, tidak ada mobil, tidak ada power station yang murah operasinya tanpa teknologi canggih, tidak ada pesawat terbang atau helikopter tanpa teknologi canggih. Jadi kalau kita apriori sudah hobi terhadap teknologi canggih, yang di kejar hanya teknologi canggih maka itu salah. Perkiraan itu meleset total.

Tidak ada pertumbuhan ekonom di dunia termasuk Indonesia kalau prasarana ekonomi tidak berfungsi, apakah itu prasarana ekonomi perhubungan, telekomunikasi, energi, itu semua yang namanya prasarana ekonomi. Tidak berfungsi ekonomi suatu bangsa termasuk Indonesia, jika kita tidak memanfaatkan telepon, telefax dan telex. Telepon dan telex di Indonesia hanya bisa dimanfaatkan dengan adanya Satelit Palapa dan stasiun bumi.

Tidak ada analisis dari Bank Indonesia, Departemen Keuangan ataupun perusahaan-perusahaan lain yang begitu akurat, yang bisa menentukan perkembangan ekonomi, jikalau tidak dimanfaatkan model matematika ekonometri dan memanfaatkan komputer sampai kepada super komputer kalau perlu, dan itu adalah teknologi canggih. Tidak akan ada pula analisis tentang ekspor apakah migas, nonmigas atau ekspor apa saja dari Indonesia ke negara lain jika tidak ada arus informasi cepat dari pasaran ke dalam manufacturing resources, supaya manajer bisa mengambil kebijaksanaan dengan cepat dan tepat. Itu semua bisa terjadi dengan memanfaatkan teknologi canggih.

Bersambung

Monday, February 15, 2010

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI CANGGIH III




Hal-hal yang saya uraikan di atas, hanya bisa terjadi apabila pertumbuhan itu ada, dan pertumbuhan bisa terjadi apabila modal dalam bentuk uang benar-benar bisa diserap, adanya SDM yang menguasai iptek, serta tidak direkayasa atau ditentukan dalam spektrum satu bidang saja, seperti hanya pertanian, hanya perkebunan, atau hanya pertambangan. Maka untuk itu kuncinya bagi negara-negara Asia adalah investasi dalam bidang iptek, pengembangan SDM, pegembangan prasarana iptek, prasarana ekonomi dan tentunya pula stabilitas. Dengan penjelasan ini, saya harapkan kita akan mendapatkan gambaran mengenai keadaan ekonomi dunia yang akan datang, walaupun hal ini tidak bisa kita anggap akan terjadi seratus persen, tetapi paling tidak kita dapat melihat kecenderungannya dan secara kualitatif outputnya akan berkisar seperti yang digambarkan ini. 

Sebenarnya modal yang ada di negara maju akan masuk ke negara berkembang, apabila ada orang di negara maju mempunyai uang dan merasa uangnya tidak bisa tumbuh di negaranya. Sebagai contoh, bila saya berada di negara maju dan mempunyai uang tetapi karena ternyata tidak bisa tumbuh di negara tersebut dan selain itu saya mengetahui bahwa ada pertumbuhan di negara-negara Asia, maka uang itu akan saya pindahkan ke Asia. Hal itu normal saja, dan tentunya dengan persyaratan risiko kecil. Tetapi hanya risiko kecil saja belum menjamin negara-negara Asia bisa menyerapnya karena tergantung pada kondisi iptek, SDM, prasarana ekonomi dan prasarana iptek dari negara bersangkutan. 



Apabila negara tersebut tidak bisa menyerap, maka uang tadi akan dipantulkan kembali ke negara maju atau masuk ke negara Asia lain atau akan masuk di antara kelompok negara lainnya. Apabila ternyata tidak bisa masuk di antara kelompok negara lainnya dan juga di negara-negara Asia, maka terpaksa uang itu akan tetap hidup di negara maju, dengan kenyataan bahwa modal tersebut tidak tumbuh atau paling jauh modal itu bisa tumbuh dengan bunga bank yang rendah. Oleh karena itu, supaya modal yang dipunyai investor di negara maju bisa tumbuh dan diserap di Asia dan kelompok negara lainnya, maka negara-negara maju harus memberikan bantuan teknis kepada negara-megara di asia dan kelompok negara lainnya sebagai upaya pengkondisian SDM dan ipteknya, sehingga negara-negara tadi mampu memberikan aprsiasi penyerapan modal yang berasal dari negara maju, dan modal itu bisa mengalami pertumbuhan yang disebabkan karena jumlah SDM di negara Asia yang sangat besar. 



Sebagai ilustrasi, bisa digambarkan perkembangan suatu produk kecamata baca. Melalui perkembangan teknologi (lensa kontak) ditemukan (lensa kontak) yang dibuat dari plastik dengan harga yang cukup tinggi, maka direkayasa sedemikian rupa sehingga (lensa kontak) plastik itu harus bisa dipakai pembeli selama 2 atau 3 bulan, kemudian baru diganti. Pada suatu kesempatan, saya mengetahui dari Ciba Geigy (Swiss), bahwa (lensa kontak) plastik seharga itu dibuat di Eropa (Swiss) dan hanya satu perusahaan di Amerika Serikat, karena dengan pertimbangan bahwa yang mampu membayar harga setinggi itu adalah orang Amerika. 



Tetapi kemudian, sejak 2 tahun lalu Ciba-Geigy melakukan investasi di P. Batam untuk satu perusahan yang membuat (lensa kontak) dengan rekayasa bahwa yang ditemukannya, untuk penggunaan hanya sekali pakai kemudian dibuang. Harganya bukan lagi US$1. Programnya adalah bahwa 2-3 tahun, paling lama 5 tahun, perusahan tersebut sudah bisa ekspor dari P. Batam sebesar US$ 1 trilyun. 



Saya tanyakan mengapa investasi P. Batam? Mengapa tidak menetap di Amerika? Mungkin jawabnya gampang, yaitu karena SDM-nya murah. Pertanyaan saya berlanjut, mengapa alasannya SDM murah padahal hampir semua otomatis sehingga SDM yang diserap tidak terlalu banyak? Ternyata bukan itu rahasianya. Jumlah manusia di Asia lebih banyak dibandingkan dengan Eropa dan Amerika, dan selain itu GNP per kapita orang Asia akan meningkat dan semakin besar, sehingga sebagian besar orang Asia sudah mampu mengeluarkan US$I setiap hari untuk (lensa kontak). Itu adalah kuncinya. 



Jadi dalam hal ini, pertumbuhan yang terjadi bukanya yang disebabkan oleh salah satu keunggulan komparatif atau keunggulan kompetitif saja, bukan karena keunggulan komparatif atau keunggulan kompetitif. Supaya jangan salah dimengerti keunggulan kompetitif peranan teknologi dapat diabaikan (negligble). Tipe keunggulan komperatif adalah membuat sepatu dan membuat jeans. Tetapi apabila ke dalam proses produksi sudah dimasukkan peranan teknologi, maka yang menentukan adalah keunggulan kompetitif, dan dalam keunggulan kompetitif yang menjadi peranan bukan hanya harga manusia atau biaya SDM, tetapi density atau kepadatan iptek yang dikuasai oleh SDM tersebut di samping efisiensi produksi. 



Keunggulan kompetitif misalnya adalah dalam bidang teknologi tinggi bukan dalam bidang comercial electronics tetapi provison electronics atau dalam bidang dirgantara. Dengan perkataan lain, yang menyebabkan driving-force kapital ke negara-negara Asia atau kelompok negara lainnya, adalah jumlah manusia di negara-negara tersebut yang mulanya bergerak karena keunggulan komparatif di mana SDM-nya dapat mentransformasi sendiri menjadi SDM yang lebih berkualitas, sehingga mereka bisa menguasai baik keunggulan komparatif maupun kompetitif. Kita akan salah apabila dalam merekayasa ekonomi seperti halnya membuat sekelar seri, keunggulan komparatif terlebih dulu, kemudian dilanjutkan dengan keunggulan kompetitif. Cara seperti ini sangat salah, karena lead-time, jenjang waktunya terlalu lama. Oleh karena itu, yang harus dilaksanakan di bumi di Indonesia ini adalah secara simultan dan rahasianya adalah Iptek. 



Modal dari negara-negara maju hanya akan masuk ke negara-negara Asia atau kelompok negara lainnya, apabila kapital itu tidak dipantulkan. Bukan saja karena mempu-nyai stabilitas politik, tetapi juga apabila SDM-nya, prasarana ekonomi, prasana pengembangan SDM, prasarana iptek dan penguasaan kadar iptek dalam kehidupan SDM-nya tinggi, sehingga mampu mengabsorpsi. Oleh karena nega- ra-negara maju berkempentingan supaya "uang"nya tidak hanya masuk ke bank, maka mereka memberikan TA (technical assistant) kepada negara-negara Asia dan kelompok negara lainnya, supaya mampu mengembangkan keunggulan komparatif dan kompetitif sekaligus mengembangkan pasarnya. Kemudian masalahnya adalah tidak akan ada negara yang dalam mengembangkan dirinya bersedia tetap dikendalikan oleh negara-negara maju, oleh karena itu dalam hal ini perlu adanya kebijaksanaan yang harus dibuat antar negara.



Di sini saya ingin menggaris-bawahi perbedaan dengan skenario berdasarkan pemikiran mayoritas bahwa menyelesaikan masalah-masalah prasarana ekonomi dalam arti yang luas dan masalah-masalah prasarana kebutuhan dasar manusia dalam arti yang luas, tidak bisa lagi kita selesaikan hanya dengan memperhatikan kendala-kendal moneter. Tidak bisa!, karena kita akan menghadapi masalah khusus. Permintaan atau dalam negeri meningkat dan kalau kita tidak menguasai teknologi tidak memiliki sumberdaya manusia untuk mengatasinya, maka satu-satunya jalan adalah belanja dari luar negeri. Kalau tuntutannya meningkat dan belanja dari luar, komitmen juga meningkat berupa kewajiban kita dalam mengembalikan pinjaman. Kita bisa kehilangan kontrol, oleh karena itu saya berpendapat sudah sampai waktunya kita belajar dari pengalam 25 tahun terdahulu sampai di mana kita telah berhasil sebagai satu bangsa yang telah lulus berbagai ujian. 



Dengan kendala-kendala baru kita harus menghadapi pembangunan 25 tahun yang akan datang. Jelas kita masih membutuhkan kredit, sebagaimana pemerintah Amerika juga menjual surat-surat berharga. Untuk membiayai sebagaian dari program-programnya, kita dapat banyak belajar dari pengalaman 25 tahun yang lalu bagaimana membuatnya lebih baik bukan karena itu jelek, karena kondisinya sudah berubah. Saya mendemostrasikan contoh mengenai teknologi tinggi dengan contoh IPTN untuk memperlihatkan bahwa bahwa pengembangan sumberdaya manusia di bumi Indonesia dan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia itu bukan suatu tidak mungkin. 


Kesimpulannya supaya direnungkan kembali arti nilai tambah dan tidak terlalu mempertentangkan nilai tambah dengan keunggulan komparatif karena dalam ekonomi nilai tambah adalah dan keunggulan komparatif juga normal. Masalahnya bagaimana meningkatkan nilai tambah, meningkatkan teknologi dan sumberdaya bersama-sama untuk mendapatkan nilai tambah yang setinggi mungkin. Ini saya perlihatkan dengan contoh IPTN bahwa IPTN bisa menghasilkan pekerjaan yang sama dengan biaya yang rendah (the same work with less money) daripada saingannya. Selain itu, dengan hormat saya mohon perhatian, terutama untuk para ekonom, bahwa modal suatu perekonomian, definisinya bukan saja uang tetapi juga ide, seseorang tidak punya uang, dan tidak punya ide, tetapi dia punya apa yang bahasa Jerman disebut beziehung atau relasi atau ia mempunyai hubungan yang erat dengan orang yang membuat keputusan apakah dalam perusahan A atau B maka orang itu mempunyai modal. 



Modal dalam ekonomi itu luas sekali artinya, tetapi saya ingin katakan bahwa 25 tahun yang lalu, modal lebih ba-nyak diartikan sebagai uang. Itu benar, tetapi berdasarkan skenario yang saya katakan tadi, mohon untuk direnungkan karena saya berpendapat pada 25 tahun yang akan datang mekanisme yang sudah ada harus dimanfaatkan dan disempurnakan, jangan diganggu. Hubungan antara keunggulan komparatif dan nilai tambah tetap diperlihatkan. Saya mohon perubahan penekanan di dalam memberikan perhatian dalam detil modal yang artinya dalam ekonomi yang begitu luas. Kalau dahulu perhatiannya khusus pada masalah moneter, karena kita masih mengalami permasalah inflasi dan sebagainya, sekarang saya berpendapat bahwa perhatian pada modal memperhatikan tiga (3) hal, yaitu tetap pada moneter, ditambah dengan pengembangan dan keuntungan pengembangan sumberdaya manusia dan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Bersambung

Sunday, February 7, 2010

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI CANGGIH II

Apabila diperhatikan, GDP dari negara-negara PBE ternyata lebih besar bila dibandingkan dengan AS dan Jepang, data tahun 1994 ketika negara-negara seperti Swedia dan Swiss yang baru masuk PBE tahun 1995 belum dihitung sebagai anggota PBE. Tentunya data pada tahun 1995 akan lebih besar lagi. Negara-negara di luar AS, PBE, dan Jepang yang terdiri dari negara-negara Cina, Singapura, India, Hongkong, Indonesia, Malaysia, Korea Selatan, Taiwan dan sebagainya mempunyai total GDP sebesar 8,91 triliun USD. 
 
 
Dalam perhitungan, dengan sengaja dikelompokkan negara-negara Cina, Singapura, Hongkong , Indonesia, Malaysia, Korea Selatan, dan Taiwan. karena mereka termasuk negara-negara di Asia, yang mempunyai pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dan diasumsikan akan mencapai rata-rata 8 % untuk 25 tahun mendatang. Kita mengetahui bahwa pertumbuhan ekonomi di Cina ada yang mencapai 20 % ke atas, dan di Cina daratan rata-rata sekitar 12 % sampai 13 %. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia rata-rata 7 %. Oleh karena itu kelompok negara-negara Asia yang di sebutkan di atas, pertumbuhan ekonominya diasumsikan rata-rata 8 %. Sedangkan kelompok yang lainnya, ada yang mempunyai pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi ada pula yang rendah, misalnya negara-negara bekas Uni Soviet, bahkan ada yang negatif. 
 
 
Tetapi bila diproyeksikan untuk 25 tahun mendatang, saya yakin mereka akan mencapai "dua angka" (double ligit), yang negatif akan mendakati nol, kemudian di atas nol, dan terus setelah 10 tahun pertumbuhannya akan mencapai "dua angka". Dengan demikian untuk kelompok negara-negara ini dalam 25 tahun mendatang, pertumbuhannya bisa diasumsikan sekitar 3,5 %. Sedangkan negara-negara Amerika, Jepang dan PBE, sudah saya pelajari dan pertumbuhannya dalam 25 tahun mendatang cukup diasumsikan dengan rata-rata 2%, karena memang perkembangannya sudah jenuh. 
 
 
Dengan dasar asumsi pertumbuhan ekonomi seperti diuraikan di atas, kita dapat melihat sumbangan atau kontribusi GDP dari kelompok negara-negara AS, PBE, dan Jepang, kelompok negara-negara Asia, dan kelompok negara lainnya terhadap GDP dunia pada tahun 1994, bila disatukan maka negara-negara Asia akan memberikan sumbangan 20,8% terhadap GDP dunia dengan jumlah US$ 5,614 triliun, sedangkan kelompok negara lainnya memberikan sumbangan 12,2% dengan jumlah US$ 3,296 triliun, sehingga total GDP dunia pada tahun 1994 berjumlah US$ 27,0 triliun. 
 
 

Sepuluh tahun kemudian, tahun 2004, dengan asumsi pertumbuhan kelompok negara seperti diuraikan di atas, dan dengan rata-rata pertumbuhan GDP dunia 3,7% maka negara-negara AS, PBE, dan Jepang memberikan sumbangan 56,8% terhadap GDP dunia dengan jumlah US$ 22.070 triliun. Ini berarti sudah turun dari 67.0% pada tahun 1994 menjadi 56,8% pada tahun 2004. Negara-negara Asia akan mengalami kenaikan dan memberikan sumbangan 31,2% dengan jumlah US$ 12,20 triliun. Adapun kelompok negara lain memberikan sumbangan turun dari 12, 6% menjadi 12,0% dengan jumlah US$ 4,651 triliun sehingga total GDP dunia pada tahun 2004 menjadi 38,841 triliun USD.
Tahun 2009, dengan rata-rata pertumbuhan GDP dunia 3,9% negara-negara AS, PBE, dan Jepang memberikan sumbangan 51,1% dengan jumlah US$ 24,349 triliun dan ini merupakan penurunan saham dari lima tahun sebelumnya. Negara-negara Asia akan tetap mengalami kenaikan dengan memberikan sumbangan 37,3% terhadap GDP dunia dengan jumlah US$ 17,808 triliun. Sedangkan sumbangan kelompok negara lain akan mengalami penurunan menjadi 11,6% dengan jumlah US$ 5,521 triliun, sehingga total GDP dunia pada tahun 2009 menjadi US$ 47,678 triliun. Mengalami kenaikan cukup besar bila dibandingkan dengan 1994. Ini berarti "kue"nya menjadi besar, akan tetapi pembagiannya sudah berubah.
Tahun 2014, dengan rata-rata pertumbuhan GDP dunia selama 20 tahun sebesar 4,0%. Hal ini semakin menarik. Negara-negara AS, PBE dan Jepang , sumbangan nya terhadap GDP dunia turun menjadi 45,1% sedangkan negara-negara Asia naik menjadi 43,9% dan kelompok negara lain menjadi 11,0% dengan total GDP dunia menjadi US$ 59,607 triliun.


Dengan demikian memang secara absolut terjadi pertumbuhan dan ada kemajuan, tetapi distribusinya mengalami perubahan. Oleh karena itu, dalam merekayasa sesuatu kita harus mengetahui bahwa tingkat kehidupan manusia secara global meningkat sehingga mereka bisa menyisihkan sebagian dananya untuk keperlua produk teknologi tinggi termasuk kapal laut, pesawat terbang, satelit dan sebagainya.

Tahun 2019 adalah tahun terakhir Repelita X bangsa Indonesia. Dengan rata-rata pertumbuhan GDP dunia sebesar 4,2 % selama 25 tahun sumbangan GDP dari negara-negara AS, PBE, dan Jepang turun menjadi 39, 1% dengan jumlah US $ 29,686 triliun, sedangkan negara-negara Asia sumbangannya meningkat menjadi 50,7 % dengan jumlah US $ 38,445 triliun, dan sumbangan kelompok negara lainnya 10,2 % dengan jumlah US $ 7,779 triliun, sehingga total GDP dunia pada tahun ini menjadi US$ 75,910 triliun. Jadi dalam kurun waktu 25 tahun mendatang, total GDP dunia akan meningkat hampir tiga kali dari jumlah pada tahun 1994, tetapi dengan distribusi yang berlainan sekali.



Pada tahun 2019 jumlah dan sumbangan GDP dari negara-negara Asia sudah melampau negara-negara AS, PBE dan Jepang. Walaupun negara-negara AS, PBE dan Jepang tetap mengalami kenaikan, kecenderungan naiknya GDP negara-negara Asia lebih besar dan sejalan dengan rata-rata pertumbuhan selama 25 tahun mendatang yang diperkirakan sebesar 8 %. Tentunya apabila digunakan perhitungan dengan besar GDP per kapita, maka proksinya sudah pasti akan lain.

Sekali lagi, perhitungan dengan dasar GNP perkapita bisa mengakibatkan kekeliruan yang menyesatkan. Suatu negara bisa saja mempunayi GNP perkapita tinggi dan juga GDP tinggi, tetapi apabila penyerap- an terhadap modal untuk pertumbuhan hampir nol sebagai akibat terjadinya kejenuhan maka pengeluaran untuk proyek baru atau megaproyek hampir tidak ada. Penanaman modal hanya digunakan untuk membiayai depresiasi dan bukan untuk proyek baru, sedangkan di negara-negara yang masih mempunyai pertumbuhan, modal dan investasinya pun akan mengalami pertumbuhan.

Dari perkiraan GDP dunia untuk 25 tahun mendatang dapat kita lihat kecenderungan GDP dari negara-negara Asia, negara-negara maju (AS, PBE, Jepang) dan kelompok negara lainnya.

Pada tahun 2019 yang merupakan tahun terakhir Repelita X itu, menurut perhitungan dan melalui program keluarga berencana, penduduk Indonesia akan mencapai jumlah sekitar 260 juta orang, dan GNP per kapita sudah mencapai di atas US$ 2000, dan demikian pula pasar sudah menjadi lain. Ini berarti kualitas hidup bangsa Indonesia yang mungkin akan mempunyai 27 perusahan penerbangan dan saya yakin bahwa masing-masing akan lebih besar dari Mandala atau Bouraq sekarang ini, seperti halnya di Amerika Serikat di mana ada perusahan penerbangan Eastern, Western, Northwest dan sebagainya. Hal ini bisa terjadi karena memang tuntutan dan kualitas hidup bangsa Indonesia terus meningkat.



Bersambung

Tuesday, February 2, 2010

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI CANGGIH I



"Bila kita berbicara tentang teknologi canggih, bukan teknologi canggih yang kita kejar. Salah kalau dikira bahwa saya sebagai seorang insinyur kebetulan ahli konstruksi pesawat terbang hanya cinta teknologi canggih. Karena itu, apakah lantas hanya teknologi canggih yang ingin dikembangkan, dan hanya itu yang disasari untuk pembangunan bangsa? Itu tidak benar, yang saya sasari adalah proses nilai tambah, proses nilai tambah dari materi yang harganya rendah, dengan segala ketrampilan dengan usaha dari manusia, bisa dijadikan produk yang nilainya lebih tinggi, itu proses nilai tambah. 

Atau dengan perkataan lain memanfaatkan teknologi dan ilmu pengetahuan yang tepat dan berguna tanpa memilih apakah itu canggih atau tidak canggih yang lebih penting bahwa teknologi yang tepat dan berguna itu dapat dimanfaatkan untuk proses nilai tambah, dapat mengubah materi itu dengan cepat untuk mendapatkan nilai yang setinggi-tingginya dengan mengontrol kualitas, biaya, dan jadual secara terus menerus agar produksi lancar jalannya"
~Prof. B.J. Habibie~ 

Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya, bahwa jalan yang paling rasional untuk keluar dari ke-tergantungan secara terus-menerus kepada negara maju adalah dengan cara mengembangkan dimensi baru dalam perekonomian Indonesia: yakni mengusahakan kemungkinan ekspor teknologi tinggi.

Dasar pertimbangannya sangat logis. Upaya mengandalkan keunggulan komparatif berupa melimpahnya sumberdaya alam dan rendahnya upah buruh, tidak bisa dipertahankan lagi. Pembuatan celana jean misalnya yang memanfaatkan teknologi yang relatif rendah, menghasilkan nilai tambah yang rendah pula. Karena persaingan proses yang menentukan harga maka produk jenis ini sulit pula bukan barang lain dengan satelit, kapal terbang yang harganya ditentukan oleh pembuatnya, tidak banyak yang menguasai, karena itu tidak banyak mengalami hambatan pasar.


Perlu saya jelaskan, keunggulan komparatif dan nilai tambah berkaitan dalam ekonomi secara keseluruhan. Hanya yang harus diperjuangkan adalah nilai tambah yang mana, yang membuat jeans atau kapal terbang. Itu pertayaannya.



Saya ingin menegaskan untuk tidak mempertajam perbedaan antara ekonomi yang berdasarkan keunggulan komparatif, karena kedua-duanya bergandengan. Itulah ekonomi, setiap ekonom berkisar pada dua unsur yang penting itu. Bedanya ialah kita harus kembali dengan eksperimen "mobil kijang", apakah kita tetap hanya teknologi-teknologi yang rendah dan menengah, atau kita lari ke yang tinggi.



Kita harus dapat memfokuskan pemikiran-pemikiran kita dan mengarahkan kepada target-target mikro, yang harus secara terpadu dan serentak kita selesaikan, sehingga insya Allah kita tidak kalah dengan negara tetangga kita. Untuk itu saya mulai dengan hal yang makro, bahkan hal yang sangat makro dari dunia ini. Seharusnya kita bertanya dan memikirkan mau kemana arah perkembangan dunia ini, karena kita tidak bisa melepaskan diri dari perkembangan dunia.



Sebagai contoh, perhatikan saja masalah antara Amerika Serikat dan Jepang. Masalahnya, hanya satu komoditi yaitu mobil. Kita mengetahui AS menaikkan harga mobil mewah yang dampaknya merugikan Jepang, lebih kurang US$ 6 miliar. Ini permulaannya. Jadi dari hal itu, kita melihat bahwa tidak ada lagi suatu masyarakat di dunia ini yang bisa mengisolasi diri .



Saya ingin mengajak berpikir mengenai bagaimana keadaan dunia, katakanlah tidak sampai 50 tahun mendatang tapi 25 tahun lagi, sampai akhir Pelita X tahun 2019. Untuk hal itu, saya telah memperoleh data-data mengenai GDP dunia pada tahun 1994. Dalam perhitungan GDP dunia itu dipakai pengertian bahwa seluruh umat manusia di dunia bekerja, dan total hasilnya dinyatakan dalam dolar AS. Ternyata pada tahun 1994, GDP dunia yang diperoleh lebih kurang US$ 27 triliun. Tentunya angka ini telah mengalami perubahan karena ada beberapa negara yang mata uangnya agak sulit dihitung dengan dolar AS sebagai akibat fluktuasi.



Negara-negara maju yang saya perhatikan adalah PBE (Pasar Bersama Eropa), Jepang, dan Amerika Serikat. Saya dengan sengaja tidak memasukkan Kanada, Meksiko, dan NAFTA, karena walaupun Kanada ekonominya sama dengan AS tetapi penduduknya sedikit. Selain itu, saya mengambil asumsi bahwa negara-negara seperti AS, PBE, dan Jepang sudah jenuh terhadap pertumbuhan modal (capital growth) dan bukan dalam hal pembentukan modal (capital formation). Kejenuhan itu disebabkan karena biaya sumber daya manusia (SDM) dan prasarananya sudah tinggi sehingga modal yang masuk tidak bisa lagi diserap. Kita analogikan saja modal itu seperti spons (karet, red). Apabila kita mempunyai spons dengan bentuk dan besarnya tetap, lalu dimasukkan ke dalam air, maka sesudah mencapai titik jenuh, spons tersebut tidak bisa lagi menyerap air, kecuali bila spons itu mempunyai kemampuan untuk tumbuh. Apabila spons itu tumbuh dengan pertumbuhan tertentu dan air yang masuk ke dalam spons lebih kecil dari pertumbuhan spons, maka bisa dibayangkan bahwa spons itu masih mampu menyerap air.



Tetapi apabila jumlah air yang masuk ke dalam spons lebih besar dari pertumbuhannya, maka air akan dipantulkan karena tidak bisa diserap lagi oleh spons. Saya bayangkan bahwa ekonomi dalam suatu masyarakat yang begitu kompleks merupakan spons, di mana modal yang dimasukkan ke dalamnya hanya bisa di-serap selama tidak jenuh, dan apabila tidak bisa diserap maka akan dipantulkan. Tetapi modal berbeda dengan air yang masuk ke dalam spons, karena modal tidak hanya harus bisa diserap tapi harus mampu pula menciptakan modal lagi. Ini berarti bahwa modal yang masuk harus bisa mendorong atau memicu adanya pertumbuhan modal itu sendiri sehingga menjadi besar.



Dengan contoh di atas, sebagai seorang ilmuwan entah dalam bidang fisika atau rekayasa, kita harus selalu menggunakan model; bahkan bidang sosial ekonomi dan politik pun sekarang ini tidak bisa bekerja tanpa model sebab sulit untuk mengontrol segala varian yang bekerja. Oleh karena itu, modal (kapital) yang ada di dunia untuk gampangnya sebut saja uang akan mencari kesempatan di mana kapital tersebut dapat masuk ke dalam spons dan menciptakan spons itu menjadi tumbuh yang sekaligus menumbuhkan modal itu sendiri. Selama kemungkinan itu tidak diberikan maka modal tidak akan masuk. Tentunya semua itu dengan persyaratan risiko yang rendah, seperti adanya stabilitas politik. Di sini tidak akan dibicarakan masalah politik, tetapi kita akan membicarakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Bagi saya modal tidak hanya uang. Modal itu meliputi SDM, prasarana ekonomi, prasarana iptek, dan prasarana lainnya serta yang lebih penting adalah SDM yang menguasai iptek.



Yang memungkinkan uang masuk dan diserap serta terus bisa tumbuh, adalah adanya prasarana ekonomi, prasarana pengembangan SDM, prasarana iptek dan yang lebih penting lagi adanya SDM yang menguasai iptek. Apabila investasi hanya pada prasarana ekonomi saja atau prasarana pengembangan iptek atau hanya pendidikan SDM, atau de- ngan perkataan lain hanya dalam satu bidang saja, sebagai contoh misalnya pertanian, atau pertanian plus pertamba- ngan plus energi, maka bisa saya sebut uang tersebut berkembang sampai tiba-tiba jenuh dan tidak bisa mekar lagi.



Banyak negara tadinya berkembang karena ekspor sumber daya alam (SDA), misalnya Australia dan New Zealand, yang hidup dari ekspor daging, wool, dan lain SDA yang diolah secara industri. Kenyataan sekarang keadannya sudah jenuh karena kendala-kendala di dunia yang tidak memungkinkan lagi negara tersebut mengekspor produk SDA-nya. Oleh karena itu, apabila pengembangan ekonomi hanya didasarkan dan berorientasi pada komoditi tertentu, maka berarti sejak awal kita sudah membuat kendala bagi diri sendiri yang akan membawa kita kepada suatu jalan buntu.


Apabila hal itu tetap dilaksanakan, di mana produksi, pengembangan iptek, pengembangan SDM dengan segala prasarananya untuk menguasai iptek, hanya diarahkan pada satu komoditi nisalnya pertanian atau perkebunan, maka kita akan menghadapi suatu kendala di mana kejenuhan akan cepat terjadi dan tidak mungkin lagi memasarkan produk-produk tersebut.
Saya menjelaskan semua ini tidak dengan maksud menggurui tetapi untuk mengajak semuanya sebagai orang yang harus merekayasa dan mengelola iptek dengan penuh kesadaran bahwa kita harus selalu berorientasi pada ekonomi.


Bersambung.