Thursday, February 17, 2011

INDUSTRIALISASI DAN PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN III

Industrialisasi dan Pemeliharaan Lingkungan 
Pertimbangan keempat dalam usaha industrialisasi yang telah disebutkan di atas, mengingatkan kita akan pentingnya masalah pelestarian dan pemeliharaan lingkungan.

Pada tahun-tahun terakhir, masalah perlindungan lingkungan hidup ini semakin hangat dibicarakan dan menjadi isu global, dalam apa yang disebut dengan agenda "pembangunan berkelanjutan" (sustainable development).


Masalah-masalah ini memang harus dihadapi oleh masyarakat dunia secara bersama. Alasannya, karena persoalan tersebut hampir tidak mengenal batas-batas nasional, dan karena itu tidak dapat diselesaikan oleh masing-masing negara secara sendiri-sendiri. Lagi pula, tidak ada satu negara pun yang cukup kebal menghadapi masalah-masalah tersebut dan dapat menghindari akibat-akibatnya. Juga Indonesia, tidak luput dari dampak dan peliknya persoalan yang dibuat sendiri oleh umat manusia itu.

Ada beberapa dasar kekhawatiran yang membuat semakin perdulinya umat manusia, khususnya Bangsa Indonesia, pada masalah ini. Seperti akan kita jelaskan pada uraian berikut:

Pertama: Trend Kependudukan Semesta dan Perkem-bangan Ekonomi 
Dasar kekhawatiran pertama adalah adanya hubungan timbal balik yang tak terelakkan antara kehidupan sosial, ekonomi dan politik antar-bangsa yang diciptakan oleh dua kekuatan semesta buatan manusia: pertama, kemajuan cepat di bidang teknologi komunikasi dan pengangkutan; dan kedua, pertumbuhan terus-menerus penduduk dunia. Dengan adanya kedua hal itu, apa yang terjadi di satu sudut dunia mempunyai dampak terhadap kejadian-kejadian di bagian dunia yang lain.
Oleh karena kemajuan-kemajuan teknologi, terutama di bidang pengangkutan, informasi dan telekomunikasi, dunia telah menjadi lebih kecil. Sebaliknya, peningkatan cepat di dalam kesejahteraan ekonomi dan sosial yang berhubungan dengan perkembangan ini telah menyebabkan peningkatan secara cepat di dalam permintaan dan penggunaan energi.
Perkembangan ini saling kait-mengait. Penggunaan energi telah meningkat karena kemajuan cepat di bidang industri, pengangkutan, perumahan dan permintaan-permin- taan yang berhubungan dengan perumahan. Karena meningkatnya persaingan dan makin baiknya tingkat hidup lahiriah, permintaan dan penawaran informasi dan telekomunikasi pun telah meningkat. Wisata domestik dan internasional telah tumbuh dengan sangat menakjubkan. Sebagai akibatnya, emisi C02 dan gas-gas berbahaya lainnya ke dalam atmosfir, dan dampak negatif lainnya terhadap lingkungan hidup bumi terus meningkat.
Trend perkembangan ekonomi dan meningkatnya kesejahteraan lahiriah serta semakin menurunnya mutu lingkungan hidup ini akan terus berlangsung di masa depan yang dapat diramalkan.
Total penduduk dunia, yang terus meningkat sejak permulaan abad ini, akan tumbuh lebih lanjut sebelum transisi demografik dunia, yang tengah berlangsung dewasa ini, selesai dalam beberapa waktu setelah pertengahan abad ke-21. Penduduk dunia telah tumbuh dari 1,3 milyar menjadi 5,2 milyar jiwa antara 1900 - 1990, dan diperkirakan akan mencapai 10 milyar jiwa di tahun 2040.
Pertumbuhan penduduk dan hasrat wajar terhadap tingkat hidup yang lebih baik telah dan akan tetap merupakan faktor pendorong pertumbuhan ekonomi. Antara tahun 1900 dan tahun 1990, produk ekonomi dunia meningkat 20 kali. Hal ini memerlukan peningkatan energi sebanyak 30 kali dan sebanyak 50 kali di dalam pertumbuhan industri. Berdasarkan trend penduduk sekarang ini, pada tahun 2020 dunia akan memerlukan pertumbuhan produk ekonomi sebesar 13 kali, energi 20 kali, dan 33 kali dalam kegiatan industri. Jelas bahwa tuntutan pada skala sebesar ini akan menimbulkan beban yang semakin besar pada sumberdaya alam dan daya dukung lingkungan hidup semesta.
Sebahagian besar penduduk semesta (77% pada tahun 1990 dan 83% pada tahun 2020) berada di Dunia Ketiga. Secara keseluruhan tertinggal jauh di belakang negara-negara maju di dalam pertumbuhan dan kondisi ekonominya. Negara-negara ini harus melipatgandakan upayanya untuk mempercepat pertumbuhan dan dalam banyak kasus hanya berusaha mempertahankan hidupnya dalam jangka pendek dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia.
Dengan adanya ledakan penduduk dan peningkatan pendapatan di negara-negara berkembang, penggunaan per kapita energi dan bahan mentah akan turut meningkat juga. Dengan demikian, pertumbuhan penduduk dunia secara langsung dan segera akan menyebabkan terjadinya tekanan terhadap lingkungan hidup dan sumberdaya alam milik negara-negara berkembang.

Di lain pihak, perkembangan ekonomi di negara-negara industri dan pasca-industri berlangsung terus tanpa halangan. Pada tahun 1992 atau 1993, terbentuk suatu pasar bersatu di Eropa Barat yang akan sama dengan pasar domestik yang paling besar di mana pun di dunia. Dengan dimotori oleh Jepang, Amerika Serikat, negaranegara industri baru Asia Timur serta negara-negara anggota ASEAN, Kawasan Pasifik juga akan merupakan suatu pusat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan dunia. Pasar bebas Amerika Utara (NAFTA) dan belakangan juga APEC, merupakan suatu kekuatan pertumbuhan yang amat besar.

Dengan demikian, baik negara-negara berkembang maupun negara-negara industri sama-sama memberikan sumbangan pada semakin beratnya beban lingkungan hidup. Dan walaupun negara-negara maju telah sampai pada laju pertumbuhan penduduk yang relatif stabil beberapa negara bahkan mempunyai laju pertumbuhan negatif tuntutannya pada sumberdaya semesta justru jauh lebih tinggi. Kebanyakan logam, bahan bakar fosil dan produk-produk intensif sumberdaya dikonsumsi negara-negara yang relatif lebih kaya. Mereka pulalah yang menyumbang kebanyakan bahan-bahan pencemar dan sumber-sumber penurunan mutu lingkungan semesta.
Namun demikian, akibat-akibat meningkatnya kesejahteraan lahiriah dan kemajuan ekonomi tidak hanya negatif belaka. Di samping semua perbaikan yang berarti lainnya di dalam mutu kehidupan suatu minoritas umat manusia yang semakin besar, kemampuan kita untuk mengumpulkan, menyimpan, menyampaikan dan menggunakan informasi me-ngenai cuaca semesta juga telah sangat disempurnakan. Dan kita pun telah mulai semakin sadar bahwa resep-resep kita untuk menyelesaikan persoalan lingkungan dunia harus didasarkan pada pertimbangan yang masuk akal dan berhati-hati mengenai pembatasan terhadap emisi C02, chlorofluorocarbon (CFCs), metan dan gas-gas rumah kaca lainnya. Di sini, umat manusia dituntut untuk senantiasa mempertahankan keseimbangan antara hak untuk memperoleh tingkat hidup yang lebih baik dengan keperluan untuk melindungi lingkungan hidup.

Sebagai pemakai dan pengekspor yang penting bahan bakar fosil, gas alam dan hasil-hasil hutan, Indonesia sungguh berkepentingan untuk memajukan dan melaksanakan pengkajian ilmiah yang diperlukan untuk membantu menentukan dan mempertahankan keseimbangan ini.

Dewasa ini, penggunaan energi per kapita di Indonesia masih sangat rendah. Meskipun demikian, telah dilaksanakan program untuk memperkecil penghamburan energi yang tidak perlu melalui program konservasi di dalam sektor-sektor industri, pengangkutan dan rumah tangga. Pemerintah Indonesia telah menempuh kebijaksanaan enegi untuk menjamin penggunaan secara bijaksana dan pemilihan terbaik sumberdaya energi dengan mempertimbangkan faktor sebagai berikut:
  1. Ketersediaan sumberdaya energi dan upaya untuk melestarikannya.
  2. Kemampuan untuk menggunakan dan mengelola sumberdaya energi.
  3. Ketersediaan investasi untuk mengembangkan sumberdaya energi.
  4. Dampak lingkungan produksi dan penggunaan energi.
Pilihan sumberdaya energi di Indonesia cukup luas. Di samping sumberdaya energi konvensional seperti batubara, minyak bumi, gas dan tenaga air, juga tersedia sumber-sumber energi lain seperti panas bumi, matahari, tenaga angin, panas lautan dan gelombang lautan. Indonesia sangat berminat melakukankerjasama dengan pihak asing, secara saling menguntungkan, guna mengembangkan sumberdaya energi terbaharukan ini secara ekonomis.

Pemilihan sumberdaya energi merupakan hal yang penting baik dari sudut daya guna (efisiensi) penggunaan energi maupun dari sudut alokasi strategis untuk masa depan. Secara kuantitatif, Indonesia sangat kaya akan sumberdaya energi. Pengelolaan sumberdaya ini akan ditujukan pada pengamanan persediaan energi untuk generasi yang akan datang. Luas wilayah kepulauan Indonesia memerlukan energi dalam jumlah yang besar untuk keperluan sektor pengangkutan, yang dewasa ini terutama menggunakan minyak bumi. Penggunaan minyak bumi untuk pengangkutan dibatasi oleh potensi emisi karbon dan semakin berkurangnya sumberdaya. Walaupun minyak bumi akan tersedia hingga lewat pergantian abad ini, namun akan lebih bermanfaat untuk menggunakannya sebagai bahan kimia kompleks daripada sebagai bahan bakar.

Untuk itu, Indonesia tertarik untuk ikut serta dalam upaya internasional dalam mengembangkan modus pengangkutan yang menggunakan energi lain daripada minyak bumi. Dewasa ini pengembangan mobil listrik atau dapat digantinya bahan bakar minyak sebagai penggerak mesin bakar dipandang sebagai suatu upaya yang cukup berguna.
Di dalam program "Maruta Jaya", misalnya, Indonesia telah mengembangkan suatu kapal layar 900 bbm untuk pengangkutan peti kemas antar-pulau, yang dirancang untuk sama sekali bebas dari bahan bakar karena menggunakan energi angin dan matahari. Kapal ini mulai berlayar pada akhir bulan Mei 1990. Kini sedang berlangsung pe-ngembangan lebih lanjut berupa kapal layar angkut peti kemas, kapal layar semi peti kemas, dan kapal layar pe-ngangkut barang umum sebesar 2.000 bbm.

Kedua: Masalah Hutan Dunia 
Dasar kekhawatiran kedua berkaitan dengan merebaknya kecenderungan penggundulan hutan (deforestasi) dan implikasinya terhadap kehidupan global.
Perhatian dunia terhadap masalah hutan tropika selama ini secara terlalu sempit memusatkan perhatian pada perusakannya serta implikasinya terhadap pemanasan semesta; dan karena itu, pada perlunya dilakukan rehabilitasi. Pada berbagai tingkat di masyarakat internasional telah di-usulkan berbagai tindakan termasuk penanaman kembali, penghentian perdagangan dan penggunaan hasil-hasil hutan tropika serta modus-modus tindakan yang serupa.
Pendekatan seperti itu jelas mengandung pandangan yang terlalu sempit mengenai persoalan hutan semesta, serta mengabaikan kepentingan negara-negara sedang berkembang. Padahal, masalah hutan semesta merupakan masalah kompleks dan tidak terbatas hanya pada berkurangnya "tutup" hutan di kawasan tropika dan rusaknya hutan tropika.
Bagi negara pemilik hutan tropika seperti Indonesia (selain Brazil, Zaire dan yang lainnya), selain memiliki pe- ran ekosistemis semesta, hutan juga mempunyai berbagai fungsi lainnya, diantaranya:
  1. Sebagai potensi lahan. Hutan berfungsi sebagai cadangan lahan untuk dikonversi guna memenuhi permintaan lahan bagi pembangunan dan pertambahan penduduk, misalnya untuk perkebunan, pemukiman baru, dan sebagainya. Karena 85-90% penduduk tropika negara-negara berkembang bersifat pedesaan, selalu ada kebutuhan terhadap lahan tambahan untuk perluasan pertanian
  2. Suatu sumber pemenuhan keperluan energi pedesaan, khususnya kayu bakar rumah tangga golongan miskin di pedesaan.
  3. Suatu sumber bahan konstruksi dan lain-lain keperluan rumah tangga terhadap hasil-hasil hutan.
  4. Suatu sumber penghasilan, pendapatan ekspor dan dana pembangunan yang dihasilkan oleh pemanfaatan hasil-hasil hutan untuk ekspor dan penggunaan lain.
Lahan hutan Indonesia seluas 144 juta hektar merupakan 74% total area lahan Indonesia yang luasnya mencapai 196 juta hektar. Luas ini dapat dibandingkan dengan 9,3% di Inggris, 0,8% di negeri Belanda , 21% di Belgia, 29,5% di Jerman Barat, 26,7% di Perancis dan 21,3% di Italia. Secara teknis, luas areal ini lebih dari mencukupi untuk mempertahankan mutu kehidupan dan keseimbangan ekosistem.

Dalam pemanfaatan hutan, kebanyakan negara-negara tropika memberikan bobot cukup besar pada pelestarian fungsi hutan sebagai suatu sumberdaya dan sebagai suatu komponen ekosistem. Di Indonesia, konversi hutan hanya diperkenankan setelah dilakukan pengkajian dampak lingkungan yang memadai; penebangan kayu dilakukan dengan tebang pilihan untuk mengamankan pemanfaatan yang dapat dipertahankan; dan areal hutan dengan luas yang cukup berarti secara ketat dipertahankan dalam keadaan aslinya sebagai hutan konservasi.

Kebijaksanaan ini sesuai dengan kepentingan Indonesia sendiri. Tidak hanya karena sadar akan sumbangan yang dapat diberikannya pada kenyamanan semesta, tetapi juga karena berbagai alasan dari sudut masa depan negara. Pertama, hutan tropika sebagaimana halnya dengan semua sumber daya alam lainnya bukan merupakan sumber daya untuk dimanfaatkan hanya oleh generasi sekarang, tetapi juga oleh generasi yang akan datang. Pembangunan yang berkelanjutan tidak dapat dipertahankan tanpa sumber daya yang berlanjut. Kedua, secara potensial, jika dimanfaatkan sebagai sumber daya genetik, hutan tropika merupakan landasan sumberdaya yang lebih berharga daripada jika hanya digunakan sebagai sumber lahan pertanian dan hasil-hasil hutan tradisional seperti kayu bulat.

Menurut perkiraan para pakar, hutan tropika di Brazil, Zaire dan Indonesia mengandung 90 persen dari semua spesies di bumi ini, dengan total diperkirakan mencapai antara 5 juta hingga 30 juta spesies. Dan dengan demikian, hutan Indonesia dapat menawarkan sumber-sumber baru untuk bahan pangan, obat-obatan, bahan mentah dan sebagainya di masa depan. Dengan perkembangan bioteknologi, kekayaan berupa ke-anekaragaman biologis ini memiliki prospek yang sangat besar di masa depan yang tidak terlalu jauh.

Masyarakat internasional telah memandang hutan tropika sebagai suatu "ruang hidup bersama semesta" karena fungsinya terhadap cuaca dan air secara semesta. Dalam pandangan Indonesia, hutan tropika dan hutan di kawasan bersuhu sedang merupakan suatu sistem tunggal yang terintegrasi, dan mencatat bahwa kedua komponen sistem tersebut sedang terkena tekanan besar. Di samping penggundulan hutan berskala besar selama 100-200 tahun belakangan ini, baru-baru ini telah terjadi penggundulan hutan regional di Amerika Serikat, Kanada dan Eropa Tengah yang telah berlangsung secara cepat. Penggundulan ini secara langsung diakibatkan oleh kegiatan manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil yang mengakibatkan hujan asam.

Karena itu, Indonesia menghimbau agar perhatian tidak hanya dipusatkan pada hutan tropika saja, tetapi juga pada sistem hutan semesta sebagai suatu keseluruhan; dan agar beban tanggung jawab untuk mengamankan hutan milik dunia tersebut dibagi secara adil antara negara-negara berkembang dan negara-negara industri maju.

Pandangan yang mengisyaratkan bahwa seolah-olah hanya hutan tropika saja yang merupakan "ruang hidup bersama semesta", yang tunduk pada suatu kewenangan lain selain kewenangan negara-negara tempat hutan-hutan itu berada, dengan jelas mengabaikan kedaulatan dan hak-hak milik negara-negara tropika. Tidak adil meletakkan beban dalam mengamankan hutan tropika hanya pada negara-negara tropika saja. Dan tidak proporsional pula menuntut negara-negara ini berhenti memanfaatkan hutan dan membiarkan penduduknya tetap tinggal dalam keadaan miskin; demi cuaca yang lebih baik dan udara yang lebih bersih untuk dinikmati oleh bangsa-bangsa di dunia, termasuk negara-negara maju yang telah menghancurkan hutan-hutannya di masa lampau, dan yang dewasa ini menyumbang gugusan gas-gas pencemar yang cukup berarti ke dalam atmosfir.

Keadilan menghendaki agar negara-negara maju yang telah memberikan sumbangan terbesar pada perusakan lingkungan semesta seyogyanya memberikan sumbangan secara proporsional pada upaya rehabilitasi fungsi-fungsi hutan tropika. Hal ini dapat dicapai melalui berbagai cara yang pada dasarnya bertujuan memberi kompensasi pada negara-negara berkembang di kawasan tropika atas pemeliharaan sumberdaya hutannya dan membantu negara-negara itu mengembangkan kemampuan untuk mengelola dan memajukan hutan dengan lebih baik.
Alternatif yang dapat ditempuh, antara lain:
  1. Dukungan bagi penghutanan kembali dan rehabilitasi. Indonesia mengeluarkan US$ 300 juta setiap tahun untuk menghutankan kembali 300.000 hektar lahan hutannya. Namun jika hanya pada tingkat ini, akan memer- lukan waktu 60 tahun untuk menyelesaikan tugas itu. Agar perusakan dapat dihentikan dan untuk mencegah perubahan cuaca semesta yang tidak baik, diperlukan sumbangan sebesar US$ 20 milyar dari negara-negara maju.
  2. Kompensasi lingkungan. Negara-negara maju dapat membayar untuk kehilangan penghasilan negara-negara tropika, seandainya mereka menghentikan pemanfaatan sumberdaya hutannya.
  3. Pemanfaatan sumberdaya genetik sebagai pengganti berkurangnya penghasilan yang kini diterima dari pemanfaatan kayu bulat.
  4. Suatu struktur harga baru untuk hasil-hasil hutan, yang dapat memberikan motivasi untuk melakukan konservasi dan pelestarian. Rehabilitasi dan pembaharuan sumberdaya tercakup dalam harga.
  5. Penerapan suatu strategi dan metoda pembangunan baru yang bersifat efisien dalam penggunaan lahan. Cara-cara baru untuk penggunaan sumberdaya dengan lebih baik dan lebih berdaya guna.
Untuk mengembangkan alternatif yang terbaik atau gabungan alternatif pemecahan, perlu dikembangkan penelitian gabungan ekonomi dan ilmu pengetahuan yang didukung oleh negara-negara industri. Hal-hal yang perlu mendapatkan penelitian dan pengembangan adalah:
  1. Akuntansi lingkungan, yang mampu menghitung dan memperkirakan biaya sesungguhnya pemeliharaan hutan dengan berbagai ukurannya, antara lain biaya untuk menumbuhkan hutan, stock, perbedaan waktu; biaya masa lampau, sekarang dan di masa depan. Tidak hanya untuk hasil-hasil kayu bulat tetapi juga untuk species yang dikorbankan di dalam proses memperoleh produk.
  2. Teknologi untuk pemanfaatan biodiversity sumberdaya genetik.
  3. Teknologi untuk mendukung konservasi dan pembaharuan dasar sumberdaya.
  4. Alternatif untuk sumber-sumber energi pedesaan dan kegiatan ekonomis lainnya yang tidak menimbulkan te-kanan yang berlebihan terhadap lingkungan hidup.
  5. Cara-cara untuk mengembangkan struktur harga yang baik serta langkah-langkah lain yang diperlukan secara internasional; diikuti dengan kebijaksanaan domestik yang relevan, seperti kebijaksanaan untuk setiap sumberdaya di negara-negara yang bersangkutan.
Ketiga : Perubahan Cuaca dan Atmosfir Semesta 
Kekhawatiran lainnya yang cukup mendasar adalah terjadinya perubahan-perubahan cuaca dan atmosfir semesta. Sedemikian rupa sehingga jika kecenderungan-kecende- rungan yang terjadi saat ini berlangsung terus, maka diperkirakan suhu semesta akan meningkat dengan 4 sampai 5 derajat Celsius. Menurut WCED (World Commission on Environment and Development) hal ini akan mengakibatkan perubahan-perubahan cuaca, peningkatan permukaan laut, tenggelamnya kota-kota pantai, berpindahnya pertanian ke kawasan yang lebih tinggi, serta banyak persoalan sosial dan ekonomi lain yang belum kita pahami sepenuhnya.

Bagi Indonesia yang terdiri dari 17.000 buah pulau, hal ini mungkin berarti menghilangnya cukup banyak pulau dan berkurangnya lahan. Karena kebanyakan dari kota-kota Indonesia berada di pantai, jumlah jiwa yang terpengaruh oleh kejadian ini mungkin cukup banyak. Dengan meningkatnya urbanisasi, pada tahun 2000 nanti, total penduduk empat kota metropolitan paling besar, yaitu Medan, Jakarta, Semarang dan Surabaya diperkirakan akan berjumlah 35 juta. Dan walaupun karena industrialisasi, pada waktu itu, bagian penduduk yang bekerja di sektor pertanian telah menurun, jumlah totalnya akan masih cukup besar. Padahal, mereka harus bertahan hidup dengan areal lahan tanam yang lebih kecil. Semua perkembangan ini akan menyebabkan perubahan-perubahan ekonomis dan sosial berskala besar yang memerlukan pengembangan teknologi baru serta kemampuan penyesuaian sosial-budaya yang baru pula.

Sementara itu perubahan juga terjadi pada atmosfir semesta kita. Atmosfir memainkan peranan pokok dalam persoalan pemanasan lingkungan semesta, hujan asam, dan gejala El Nino. Terdapat hubungan penting antara ekologi bumi dan cuaca semesta. Sifat dan besar persoalan ekologis ini berbeda dari lokasi ke lokasi. Sifat dan dampak ling-kungan persoalan sungai Amazon dan negara-negara industri Eropa saling berbeda. Namun keduanya mempunyai pengaruh yang penting terhadap cuaca.

Jika kita ingin mencapai sasaran, yaitu dapat secara tepat merumuskan keadaan bumi sebagai sistem yang terintegrasi, dan memiliki kemampuan untuk meramalkan trend suhu, serta dapat menentukan biaya ekonomis untuk menyesuaikan diri pada atau mengurangi perubahan semesta, maka kita harus melaksanakan pengukuran variabel-variabel semesta secara terus-menerus dan berjangka panjang; serta melibatkan diri di dalam pemantauan dan pengamatan ilmiah terhadap hubungan timbal balik antara lautan, atmosfir, dan daratan di khatulistiwa, serta antara khatulistiwa dan kedua kutub.

Walaupun perlindungan lingkungan hidup semesta kita merupakan masalah sangat penting yang memerlukan keputusan kebijaksanaan yang bersifat strategis, pemahaman kita mengenai lingkungan hidup bumi kita yang seyogyanya mendasari keputusan itu sebagian besar masih bersifat kualitatif. Padahal, pelaksanaan pengkajian yang lebih mendalam mengenai cuaca merupakan suatu hal yang sangat pokok. Kajian-kajian ini seyogyanya tidak hanya terbatas pada kawasan troposferik atmosfir tempat berlangsungnya kebanyakan cuaca kita sehari-hari. Tapi perlu juga dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang stratosfir, mesosfir dan ionosfir untuk memperoleh pengertian yang lebih baik mengenai bagaimana cuaca matahari kita mempengaruhi cuaca di bumi. Pengetahuan yang lebih baik mengenai cuaca matahari dan cuaca ruang angkasa akan menghasilkan pengetahuan yang lebih baik mengenai cuaca di bumi. Selain itu, terdapat pula kebutuhan terhadap kajian-kajian yang lebih mendetil mengenai ruang angkasa untuk mencermati sebab-sebab dan mekanisme-mekanisme pemanas- an semesta serta persoalan lingkungan lainnya.

Dalam hubungan ini kita harus mencatat kenyataan sekarang bahwa dinamika atmosfir pada pertengahan khatulistiwa masih kurang cukup dimengerti. Khususnya, kurang dibuat pengamatan terhadap gejala-gejala seperti gelombang air akuatorial, pasang-surut, dan gelombang gaya berat dan turbulensi, serta terhadap sumbangannya pada momentum dan anggaran panas kawasan itu.

(Bersambung)

No comments:

Post a Comment