Monday, January 31, 2011

INDUSTRIALISASI DAN PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN II

Pendekatan dan Pengembangan Industri 
Mengingat peranannya yang besar itu, pantaslah jika GBHN 1993, menegaskan bahwa dalam kerangka pem-bangunan ekonomi sebagai penggerak utama pembangunan, sangat perlu dilakukan penataan industri nasional. Dalam kaitan ini, pembangunan industri diarahkan pada penguatan dan pendalaman struktur industri untuk terus meningkatkan efisiensi dan daya saing industri menuju kemandirian, serta menghasilkan barang yang makin bermutu yang dikaitkan dengan pengembangan sektor lainnya, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.

Bersamaan dengan itu perlu terus ditingkatkan kemampuan rancang bangun dan rekayasa industri dengan memanfaatkan kemampuan teknologi untuk dapat menghasilkan produk unggulan bernilai tambah yang tinggi dan padat keterampilan. Penyebaran lokasi industri keluar Jawa diarahkan untuk mendorong pusat-pusat pertumbuhan industri di daerah yang potensial untuk dikembangkan sebagai upaya pemerataan kesempatan dan lapangan kerja, kesempatan usaha, dan pemanfaatan sumberdaya setempat secara optimal dengan tetap memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Sejalan dengan itu, perlu dikembangkan kemampuan sumberdaya manusia, baik untuk perencanaan, pelaksanaan, dan penguasaan teknologi maupun tumbuhnya profesionalisme dan kewiraswastaan, menuju terwujudnya masyarakat industri Indonesia.
Dari orientasi dasar pengembangan industri di atas, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi.
Pertama, bahwa pengembangan industri nasional akan dilakukan seiring dengan pengembangan sumberdaya ma-nusia dan didukung oleh kemampuan teknologi yang semakin meningkat. Hal ini amat logis, karena seperti kita ketahui bersama bahwa Indonesia di mata dunia internasional dikenal sebagai negara dengan letak geografis yang strategis, dan memiliki aneka sumberdaya alam yang berlimpah, bahkan memiliki stabilitas politik yang relatif mantap.

Tetapi potensi yang amat besar itu tetap sekadar potensi, tempat tidur nyaman untuk bermimpi serta berangan-angan; tempat yang baik untuk menemukan seribu alasan untuk tidak bekerja. Selama kita tidak mampu mengubah potensi tersebut menjadi kekuatan nyata, selama itu pula potensi tadi hanya merupakan impian yang hampa. Untuk mengubah potensi tadi menjadi kenyataan diperlukan input teknologi, keterampilan teknis dan keterampilan manajemen, yang disertai kerja keras dan disiplin yang ketat.

Jelaslah di sini, bahwa problema pokok yang kita hadapi bersama adalah problema pengembangan manusia Indonesia menjadi suatu kekuatan pokok dalam pembangunan Indonesia, berupa suatu sumber daya terbarukan (renewable resource) yang bermutu tinggi dalam semangat serta keterampilan kerjanya, diukur dengan standar internasional.

Kedua, pengembangan industri nasional harus dikembangkan seiring dengan pola pengembangan potensi wilayah secara merata di seluruh tanah air.

Pertimbangan ini didasarkan pada kenyataan bahwa negara kepulauan Indonesia mempunyai lingkungan yang beraneka-ragam. Demikian pula penduduknya. Bhinneka Tunggal Ika; itulah letak kekuatan kita. Dan mempertimbangkan persoalan kebhinnekaan ini dalam kerangka industrialisasi adalah suatu pemikiran yang amat strategis.
Sepintas lalu, dengan relatif berkembangnya prasarana dan keterampilan tenaga kerja di pulau Jawa, konsep pengembangan industri di Jepang layak diterapkan di Indonesia; yaitu, dengan mendatangkan energi dan bahan baku dari luar Jawa untuk kemudian proses manufacturing-nya sendiri dilaksankan di pulau Jawa. Akan tetapi jika diingat bahwa pulau Jawa hanya merupakan 7% dari seluruh wilayah Indonesia, dan hanya 16% dari luas daratan Indonesia, maka baik secara ekonomis, secara sosial politis, secara teknis maupun ditinjau dari sudut kebudayaan, pemusatan industri di pulau Jawa bukanlah merupakan suatu strategi yang terbaik.

Dari sudut Wawasan Nusantara yang kita anut, akan lebih baik jika manusia Indonesia di daerah tertentu dibuat tergerak untuk datang ke daerah-daerah Indonesia lainnya, di mana terdapat sumber-sumber daya alam dan energi, melalui pendirian sentra-sentra industri dan inkubator-inkubator pengembangan nilai tambah di lokasi terdapatnya sumber daya alam dan energi tersebut. Jika hal ini dapat dikembangkan maka akan terjadi gerakan migrasi penduduk Indonesia yang mirip dengan gerakan migrasi yang terjadi di Amerika Serikat pada tahap-tahap permulaan industrialisasinya.

Atas dasar itu, perlu dikembangkan pemikiran mengenai kemungkinan pengembangan industri pada lokasi terdapatnya sumber daya energi: baik yang terbarukan seperti geothermal atau tenaga air, maupun yang tidak terbarukan seperti batubara, minyak dan gas bumi; serta di lokasi-lokasi terdapatnya bahan mentah, dengan mendatangkan tenaga kerja dari pulau Jawa ataupun daerah lain di Indonesia.

Jika kita bandingkan ke dua pola pengembangan industri tersebut, yang pertama pola Jepang dan yang ke dua pola Amerika Serikat, tampaknya pola Amerika Serikat yang lebih sesuai dengan pola penyebaran sumber daya energi, sumber daya alam serta sumber daya manusiawi Indonesia dipandang sebagai suatu kesatuan wilayah yang luas dan beraneka seperti Amerika Serikat.

Sebagai konsekuensi dari pola pengembangan yang berbeda dari Jepang dan serupa dengan Amerika Serikat tersebut adalah bahwa harus pula dibina serta dimantapkan pemikiran bahwa di Indonesia, sumber daya manusia dan teknologi merupakan faktor produksi yang dapat dan harus dipindah-pindahkan; sedangkan sumber daya energi dan sumber daya alam lainnya harus dikembangkan setempat sebagai landasan material pembangunan, baik ditinjau sebagai pembangunan wilayah maupun ditinjau sebagai pembangunan secara nasional.

Ini berarti bahwa pembangunan wilayah-wilayah di Indonesia, termasuk pembangunan wilayah Indonesia Timur, harus disesuaikan dengan potensi sumberdaya alam dan energinya baik sekarang maupun di masa mendatang tanpa mempersoalkan kelangkaan sumberdaya manusiawi serta teknologi, yang pada prinsipnya dapat didatangkan dari luar wilayah. Ini juga berarti bahwa secara nasional sumber daya manusia dan teknologi dapat disebarkan ke wilayah-wilayah yang memerlukannya, dan karena itu bukan merupakan faktor yang dominan.

Sebagai akibat dari pola pengembangan wilayah yang digambarkan di sini, kita harus mengubah pemikiran kita mengenai pola dan sifat transmigrasi yang, secara tidak sadar, di dalam pikiran kita selalu dikaitkan dengan bidang dan kegiatan-kegiatan di sektor pertanian. Pemikiran ini harus diubah menjadi pemikiran tentang transmigrasi yang dikaitkan dengan teknologi yang dibutuhkan dalam rangka pengembangan suatu wilayah. Ini tidak saja meliputi pengembangan sektor pertanian tetapi meliputi semua sektor ekonomi yang secara potensial dapat dikembangkan di suatu wilayah. Transmigrasi dalam konsep ini harus diberi arti yang lebih luas dan dipikirkan sebagai transmigrasi teknologi, di mana tenaga-tenaga ahli dan tenaga-tenaga terampil beserta peralatan dan sistem-sistemnya dialirkan ke wilayah-wilayah tertentu sesuai dengan kesempatan dan potensi pengembangan wilayah masing-masing.

Ketiga, cepat atau lambat struktur ekonomi Indonesia akan segera bergeser dari sektor agraris ke sektor industri. Hal itu mengandung ramifikasi yang luas sekali bagi perkembangan ekonomi masyakat. Di satu pihak ada ruang gerak yang lebih luas untuk mempercepat peningkatan pertumbuhan ekonomi dan untuk memperkuat kedudukan ne-raca pembayaran luar negeri. Dalam pada itu kita juga menghadapi dilema dari sudut pertambahan penduduk dan kesempatan kerja.

Karena perkembangan sektor industri manufaktur berdasarkan pola produksi yang padat modal dengan penggunaan teknologi maju, dalam jangka pendek, mungkin selama satu dasawarsa atau lebih, belum menciptakan kesempatan kerja secara berarti.

Untuk mengatasi hal ini, antara lain, perlu diupayakan agar bagian yang semakin besar dari hasil tambahan di sektor-sektor yang tumbuh dengan pesat dialihkan sebagai reinvestasi untuk meluaskan dasar kegiatan ekonomi masyarakat kita. Dengan perkataan lain perlu adanya diversifikasi horizontal dengan memperluas jenis dan ragam usaha produksi pertanian dengan mengutamakan produksi pertanian pangan, disertai diversifikasi vertikal dengan meningkatkan usaha pengolahan bahan dasar dan menggalakkan rantai usaha selanjutnya sehingga mendorong sektor produksi "manufacturing".

Keempat, dalam upaya mengolah dan meningkatkan nilai tambah sumberdaya alam yang kita miliki melalui proses industrialisasi, harus diperhatikan masalah-masalah keselarasan, kelestarian dan keterkaitannya secara luas, demi kesinambungan Pembangunan Nasional itu sendiri.

Juga hendaknya disadari benar bahwa masalah pengembangan sumber daya alam tidak dapat dilihat sebagai suatu yang berdiri sendiri, lepas dan tanpa kaitan dengan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan perkembangan dunia secara keseluruhan. Pernyataan ini akan saya beri ilustrasi sebagai berikut:

Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, terlihat suatu kesadaran pada umat manusia bahwa planet yang bernama bumi, yang dihuni umat manusia ini, mempunyai daya tampung yang terbatas; dan bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi sumber-sumber yang diperlukan bagi perkembangan dunia tidak lagi tersedia secara memadai. Memang benar, bahwa dugaan mengenai kekurangan bahan mentah bagi perkembangan dunia dalam arti mutlak baru merupakan spekulasi manusia saja dan belum pernah terbukti.

Namun yang tak boleh dilupakan bahwa saat ini kita telah memasuki suatu era di mana terlihat ketidakseim- bangan antara penyediaan dan permintaan, terutama dalam bidang penyediaan energi dan pada beberapa logam dasar. Keadaan ini telah lebih memberatkan nasib bangsa-bangsa miskin di dunia, dan telah memperbesar ramifikasi sosial mengenai pembagian yang tak seimbang dalam pendapatan dunia dimana kebutuhan dasar bagi kebanyakan penduduk dunia tak mungkin dapat terpenuhi.

Pada saat ini dunia tengah menghadapi serangkaian isu yang sangat kompleks, antara lain: penyediaan pangan bagi penduduk dunia yang semakin bertambah, masalah-masalah yang berkaitan dengan kesempatan serta kemacetan dalam pengembangan industri; masalah penyediaan bahan energi dan bahan baku lainnya; masalah kebijaksanaan sumber daya alam dan pengaruhnya terhadap lingkungan hidup manusia; peranan pendidikan, penelitian, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam konteks sosialnya; masalah-masalah yang timbul dari kepincangan neraca pembayaran dan perdagangan internasional; serta pengaruh hadirnya perusahaan-perusahaan multi nasional.

Gejala-gejala yang disebutkan tadi dapat muncul di sana sini secara terpisah dan pada waktu yang berbeda pula. Namun demikian, semua itu pada dasarnya hanyalah gejala permukaan yang mencerminkan kekuatan di bawah permukaan yang bersifat lebih mendasar. Gaya-gaya tersebut telah bekerja selama beberapa lama tetapi baru muncul secara lebih menonjol dalam dua-tiga dasawarsa terakhir ini. Semua gejala tadi berhubungan erat dengan suatu rangkaian proses yang saling berinteraksi antara dinamika kependudukan, pengembangan sumber daya alam, pertumbuhan ekonomi, perkembangan teknologi dan pengaruhnya terhadap lingkungan hidup.

Selama ini kita melihat bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan dan dikuasai oleh negara-negara industri maju. Sementara kita tahu bahwa sains dan teknologi merupakan kunci bagi pengembangan dan pemanfaatan sumber-sumber daya alam. Ironisnya, aplikasi sains dan teknologi selama ini lebih dikaitkan pada permintaan dari lapisan masyarakat berpenghasilan tinggi dengan permintaan yang selalu meningkat dan dicirikan oleh pola konsumtif yang berlebihan.

Perkembangan dan pertum-buhan ekonomi dunia dengan demikian telah mengakibatkan gejala ketidakseimbangan bahan baku (materials imbalance) di satu pihak, dan kegagalan kita memenuhi kebutuhan dasar bagi sebagian besar penduduk dunia ini di pihak yang lain. Oleh karena itu timbul jurang pemisah antara bangsa-bangsa kaya dan miskin. Dan jurang pemisah itu kian hari kian melebar dan menjadi semakin dalam. Dalam konteks ini kita dapat melihat pentingnya peranan sumber daya alam bagi pembangunan suatu bangsa. Karena pembangunan itu sendiri merupakan interaksi terpadu antara tiga unsur pokok, yakni: sumber daya manusia, sumber daya alam, dan teknologi.

Secara garis besarnya, sumber daya alam yang saya maksudkan di sini meliputi:

(1) tanah dan air;

(2) tanaman dan pepohonan;

(3) sumber aquatik;

(4) sumber energi dan mineral; dan pada keempat unsur pokok ini dapat pula ditambahkan

(5) iklim, udara, serta pemandangan alam. Dalam usaha manusia mengembangkan sumber daya alam, misalnya, sumber daya mineral, kita melihat keha-rusan adanya beberapa faktor penentu, yakni:
  1. Apakah terdapat jebakan (deposit) cukup besar yang bernilai ekonomis?
  2. Berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk menggali, mengolah dan membawanya ke tempat yang dibutuhkan?
  3. Apakah teknologi untuk itu tersedia; jika tidak berapa besar biaya dan berapa lama waktu dibutuhkan untuk mengembangkannya?
  4. Berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk menjamin kelestarian alam, yakni apa yang disebut environmental cost?
  5. Bagaimana keadaan dinamika sosial setempat?
Oleh karena itu, suatu conditio sine qua non yang harus dipenuhi sebelum kita dapat melangkah ke arah pengembangan dan pemanfaatan sumber daya alam ialah: inventarisasi dan evaluasi sumber daya alam tersebut secermat mungkin.
Dalam proses pengembangan sumber daya alam terlihat beberapa kegiatan yang dibutuhkan, yakni:
  1. Inventarisasi dan evaluasi sumber daya alam. Hal ini diperlukan bagi para produsen untuk menggariskan kebijaksanaannya. Suatu inventarisasi yang cermat dapat menghilangkan keragu-raguan mengenai potensi penyediaan secara kontinyu dan dapat pula memberitahukan akan kemungkinan kekurangan persediannya di kemudian hari. Hal-hal itu akan menguntungkan baik produsen maupun para konsumen.
  2. Suatu pengetahuan terperinci mengenai keadaan pasaran dunia. Dalam hal ini termasuk juga pengetahuan mengenai kecenderungan-kecenderungan pemanfaatan akhir (end-use trends), serta persyaratan-persyaratan teknis dari bahan-bahan baku yang diperuntukkan di berbagai pemanfaatan akhir; sifat elastisitas harga, elastisitas pendapatan dan sebagainya.
  3. Pengetahuan mengenai cara-cara mempertinggi tingkat dan efisiensi produksidisertai pengembangan konsep dan teknik konservasi .
  4. Akhirnya dibutuhkan kemampuan untuk memberi nilai tambah pada sumber daya alam yang telah diolah menjadi bahan baku. Ini berarti pengembangan industri-industri sekunder maupun tersier di dalam negeri, untuk menyerap produksi bahan baku guna dijadikan bahan jadi atau setidak-tidaknya bahan setengah jadi. Tanpa ini, suatu negara produsen akan tetap menjadi produsen bahan mentah. Dalam konstelasi perkembangan dunia dan pertumbuhan ekonomi dunia masa kini, negara semacam itu tak ubahnya seperti negara jajahan saja.
Jadi dalam perkembangan tersebut dapat dilihat dua tahapan besar dengan sifatnya yang berbeda-beda, yakni: pada tahap awal ditujukan pada produksi bahan mentah guna memperoleh devisa untuk memupuk keterampilan teknis dan keterampilan manajemen. Sedangkan pada tahap berikutnya untuk memperoleh nilai tambah dan menurunkan biaya tambah dalam produksi, menciptakan kesem-patan kerja serta mengalihkan teknologi.

Faktor terakhir ini amat penting mengingat dinamika kependudukan negara berkembang seperti Indonesia. Jelaslah bahwa untuk mewujudkan semua itu dibutuhkan input teknologi. Akan tetapi perlu diingat, teknologi pun baru bisa bermanfaat jika tersedia keterampilan teknis dan ketrampilan manajemen. Dalam konteks ini, sekali lagi kita melihat betapa pentingnya pengembangan sumber daya manusia.

Semua problema dan tantangan dalam konteks industrialisasi tersebut memerlukan adanya pendekatan yang tepat dan pragmatis. Dalam hal ini yang saya harapkan adalah adanya suatu pendekatan-permulaan, suatu "zero approximation". Hal ini perlu diambil karena dalam prakteknya tidak akan ada suatu penyelesaian yang eksak terhadap suatu problema apapun. Dalam menghadapi problema-problema, selalu akan kita hasilkan sederetan langkah penyelesaian yang semakin mendekati hasil yang eksak, dari X = 0 sampai X = . Deretan penyelesaian suatu problema dapat dibayangkan merupakan kurva-kurva dengan garis lurus (assymtotic curves) menuju pada pemecahan 100%. Dan deretan hasil-hasil tersebut dapat dimulai sebagai pendekatan "dari bawah" menuju suatu optimum atau "dari atas" menuju suatu minimum. Jika, umpamanya, pendekatan permulaan atau "zero approximation" baru menghasilkan 10%, maka hasil tersebut dapat dinilai belum sempurna.

Untuk itu, perlu dilakukan percobaan-percobaan ulang, sehingga berturut-turut menghasilkan 50%, 70%, 80% dan seterusnya, sampai tercapai suatu titik di mana kita berhenti berusaha mendekati hasil 100% karena tidak ekonomis lagi untuk melanjutkan percobaan-percobaan. Usaha mendekati hasil 100% tersebut dapat pula dilakukan "dari atas". Misalnya, pada percobaan pertama dihasilkan 150%, kemudian hasil-hasil menjadi 120%, 110%, dan seterusnya hingga mendekati angka 100%. Usaha mendekati suatu minimum "dari atas" biasanya dilakukan pada kondisi tidak terdapatnya keterbatasan-keterbatasan dalam sumber daya, seperti misalnya dalam ekonomi Amerika Serikat sebelum krisis energi. Sebaliknya, di Jepang dan di Eropa, di mana terdapat kebudayaan serta sikap yang sangat dipengaruhi oleh keterbatasan-keterbatasan dalam sumber daya, biasanya ditempuh pendekatan-pendekatan yang mulai "dari bawah", kurva menuju suatu optimum.

Memang, kita di Indonesia tidak mengalami krisis energi. Dan, seperti telah saya kemukakan, kita memiliki sumber daya manusiawi yang belum sepenuhnya kita gali potensinya. Namun, jika kita tidak berhati-hati, kita pula akan merasakan adanya keterbatasan dalam sumber daya alam. Karena itu, dalam semua upaya kita sebaiknya mulai "dari bawah" dan secara berangsur-angsur menuju ke suatu hasil yang optimum yang letaknya di antara 50% sampai 100% hasil eksak.

(Bersambung)

No comments:

Post a Comment