Wednesday, July 28, 2010

DUNIA PENDIDIKAN DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN I

DUNIA PENDIDIKAN
DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN


Dalam proses tinggal landas, Bangsa Indonesia harus benar-benar mampu membebaskan dirinya dari buta huruf ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan itu harus kita awali secara sadar dengan mengembangankan sisi pembudaya- an dan sisi pengajaran sebagai dua unsur pendidikan yang perlu seimbang satu dengan lainnya, di dalam setiap jenjang dan semua jenis pendidikan.



Dengan mempertimbangkan kadar dan jenis potensi negara kita dari daerah-daerah serta variasi dalam pemanfaatan potensi tersebut, strategi pendidikan di masa depan harus mengurangi pola generalisasi dan mulai mengarah pada penumbuhan potensi lokal. Sambil mengupayakan adanya kerjasama dan partisipasi dari semua unsur yang terkait dengan masalah pengembangan pendidikan.
Pendidikan harus berorientasi pada kebutuhan perusa- haan-perusahaan yang melaksanakan Pertumbuhan Produktivitas Prestasi Perorangan/ Perusahaan (P4) dan Pertumbuhan Produktivitas Prestasi Nasional (P3N).

(B.J. Habibie)



Upaya pengembangan sumberdaya manusia tidak mungkin dipisahkan dari persoalan pendidikan. Bahkan dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan inti dari proses pengembangan sumberdaya manusia.



Karena hal ini merupakan bantalan yang amat vital dalam kerangka pengembangaan pontensi-potensi energi manusiawi Indonesia, maka dalam uraian terdahulu telah kita katakan bahwa masalah pendidikan adalah masalah yang sangat kritis, dan untuk itu kita tidak boleh ber-eksperimen. Sebaliknya kita juga tidak boleh hanya terpaku pada pakem-pakem yang telah baku, tanpa upaya revisi dan reformasi bagi kemungkinan penyempurnaannya di masa depan. Cara terbaik untuk mengatasi hal ini adalah mecoba bercermin dari pengalaman masa lalu, sambil belajar dari cara-cara yang ditempuh oleh bangsa-bangsa lain yang telah berhasil dalam bidang ini untuk disesuaikan dengan dinamika yang terjadi dalam konteks dan situasi Indonesia.


Bila kita bercermin pada masa lalu, segera akan kita sadari betapa besarnya peranan pendidikan dalam upaya transformasi bangsa Indonesia. Sejarah mencatat, misalnya, kendatipun Politik Etis-nya Belanda yang memberi peluang bagi warga Bumiputera tertentu untuk mengenyam bangku sekolahan tidak secara tulus dimaksudkan untuk mencerdaskan warga tanah air ini, tetapi terbukti sangat besar peranannya dalam menumbuhkan kader-kader pergerakan dan kesadaran kebangsaan di kalangan inlander. Sejarah juga mengabarkan, Kebangkitan Nasional Indonesia tanggal 20 Mei tahun 1908, yang mencanangkan pemberantasan buta huruf, secara nyata telah berhasil menggerakkan perjuangan nasional bangsa Indonesia; yang di kemudian hari berturut-turut menelorkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober tahun 1928, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, terwujudnya Orde Baru mulai tahun 1966, serta dilaksanakannya Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun tahap pertama mulai tahun 1969.


Tapi hendaknya perlu disadari bahwa pada setiap zaman ada tantangannya sendiri-sendiri. Dan itu membawa implikasi pada perubahan orientasi dan titik berat dalam dunia pendidikan. Tantangan kita dalam era Pembangunan Jangka Panjang Kedua adalah keinginan untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang maju dan mandiri, sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju. Untuk mencapai tujuan ini, telah menjadi komitmen bangsa Indonesia, bahwa tumpuan utamanya terletak pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tersedianya sumberdaya manusia yang bermutu tinggi.


Maka dari itu, di dalam proses tinggal landas selama PJP II, Bangsa Indonesia harus benar-benar membebaskan dirinya dari buta huruf ilmu pengetahuan dan teknologi. Dunia pendidikan ditantang untuk mempersiapkan putra-puteri Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mampu mengaplikasikannya di dalam segala bidang kehidupan, utamanya untuk meningkatkan nilai tambah dalam proses produksi barang dan jasa, dalam rangka memperbaiki kesejahteraan rakyat.


Meskipun demikian, ada hal yang tak boleh dilupakan. Bahwa setiap upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia haruslah berpijak pada landasan nilai yang menjadi penuntun dan pedoman hidup bangsa Indonesia sendiri. Dalam kerangka ini pendidikan nasional mendapatkan peranan yang sangat penting. Orientasi pendidikan di Indonesia tidak hanya diarahkan untuk menciptakan manusia-manusia terampil dalam bidangnya masing-masing, tetapi sekaligus memperlengkapi mereka dengan kesadaran etis serta keinginan kuat untuk membaktikan karyanya demi kepentingan orang banyak (baca: pembangunan). Dengan kata lain, pendidikan nasional bukan saja menangani masalah peningkatankecerdasan dan keterampilan, tetapi juga harus menitikberatkan usahanyauntuk membentuk kelengkapan-kelengkapan yang menjangkaau jauh pada konstelasi sikap, kepribadian dan kepemimpinan seseorang.


Di sini terlihat bahwa masalah pendidikan menyangkut persoalan yang bersifat multi dimensional. Dengan berbagai keterbatasan, fokus perhatian tulisan ini akan lebih diarahkan pada upaya-upaya pragmatis untuk mencari relevansi dunia pendidikan dalam rangka mempersiapkan proses transformasi bangsa menuju masyarakat industri.


Menyeimbangkan Sisi Pembudayaan dan Pengajaran



Membangun kualitas bangsa yang berpengetahuan, berketerampilan dan bertanggung jawab itu ternyata harus kita awali secara sadar dengan mengembangkan sisi pembudayaan dan sisi pengajaran sebagai dua unsur pendidikan yang perlu seimbang satu dengan lainnya, di dalam setiap jenjang pendidikan dan di dalam semua jenis pendidikan umum.


Berdasarkan pandangan ini, perlu ditempuh kebijaksanaan untuk melaksanakan pendidikan formal dan non-formal di dalam suatu jalur yang bersifat dwitunggal, yang merupakan sisi tidak terpisahkan dari keping pendidikan yang sama, yang terdiri dari aspek pendidikan dan pengajaran. Dan dengan menggunakan metafor demikian, dengan sendirinya pembudayaan dan pengajaran perlu seimbang pada setiap keping pendidikan yang dimiliki seseorang, seberapa pun besar keping itu. Pengajaran yang lebih tinggi menuntut pembudayaan yang lebih tinggi pula; demikian juga sebaliknya.


Atas dasar itu, kita harus berani menilai dan bertanya: apakah Bangsa Indonesia sudah dipersiapkan, diarahkan, dan diberi kemampuan untuk berkembang melalui pendidikan formal dan non-formal yang mengandung unsur-unsur pembudayaan dan pengajaran sebagai sisi-sisi keping pendidikan yang seimbang?


Kita harus berani bertanya sekaligus berani memberikan jawabannya.


Kita harus berani melakukan penyesuaian yang diperlukan. Dan arah penyesuaian itu adalah memberikan takaran yang seimbang pada pembudayaan dan pengajaran pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Seandainya dirasakan kurang unsur pendidikan agama (humaniora) pada kurikulum sekolah-sekolah dasar, menengah dan tinggi, maka hendaknya ditambahkan. Demikian juga, jika dirasakan masih kurang memadai, penga- jaran matematika, fisika, biologi dan ilmu-ilmu sosial pada kurikulum pendidikan di lembaga-lembaga keagamaan (seperti pesantren), maka perlu ditingkatkan.


Kita perlu mengupayakan agar, pada setiap jenjang pendidikan, kedua unsur tersebut berada di dalam keseimbangan. Dan hal itu perlu kita lakukan pada keseluruhan mata rantai kurikulum dalam setiap jenjang pendidikan yang kita berikan pada manusia Indonesia.


Kedua hal itu perlu mendapatkan perhatian secara seksama, sebab sejarah dan teori ekonomi menunjukkan bahwa untuk meningkatkan produktivitas secara nyata diperlukan keseimbangan di antara keduanya, yaitu keseimbangan antara pembudayaan dan pengajaran sebagai dua sisi dari keping pendidikan yang sama. Untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi perlu masukan yang bersifat budaya berupa kesediaan bekerja keras, naluri ketelitian dan kecermatan, wawasan jangka panjang, kebanggaan akan pe-kerjåan yang bermutu dan motivasi budaya lainnya.


Hanya dengan masukan budaya ini maka produktivitas multifaktor akan dapat ditingkatkan menjadi produktivitas prestasi, baik produktivitas prestasi perorangan, maupun secara kelompok berupa produktivitas prestasi perusahaan, atau lebih agregat lagi, berupa produktivitas prestasi nasional.


Akan tetapi, aspek pembudayaan saja tidaklah memadai. Kita harus menyempurnakan produktivitas prestasi suatu bangsa lewat proses pengajaran secara sistematis dan tepat guna. Dikatakan sistematis berarti bahwa proses pengajaran itu harus ditempuh melalui prosedur dan tahap-tahapan tertentu yang tertata secara teratur, seiring dengan tingkat perkembangan peserta didik serta perkembangaan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan tepat guna berarti bahwa materi dan metode pengajaran yang diberikan harus benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi masyarakat serta mampu mengantisipasi berbagai dinamika dan tantangan di masa depan.


Dalam hal yang terakhir ini, tantangan mendesak yang kita hadapi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rak-yat dan tumbuh sebagai bangsa yang bisa sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju adalah tantangan untuk menciptakan berbagai produk barang dan jasa yang dapat bersaing di pasar dalam dan luar negeri.


Tantangan ini hanya bisa dihadapi jika kita benar-benar memiliki sistem kapabilitas ilmu pengetahuan daan teknologi nasional yang tangguh. Membangun sistem kapabilitas teknologi nasional berarti, membina dan membekali manusia Indonesia dengan materi pengetahuan dan keteram-pilan yang relevan dengan tuntutan zaman yang dapat memperkokoh daya saing bangsa ketika berhadapan dengan persaingan ekonomi dunia yang kian ketat. Tugas ini ditumpukan ke dalam dunia pendidikan. Dan dunia pendidikan ditantang untuk memberikan jawaban yang tepat.


Salah satu tantangan pendidikan di masa depan adalah upaya untuk mencari komposisi yang lebih proporsional antara luaran bidang-bidang sains dan teknologi dengan bidang-bidang sosial dan humaniora.


Sebuah studi M.I.T mengenai daya saing ekonomi Amerika Serikat berkesimpulan bahwa salah satu sebab lebih rendahnya PPN Amerika Serikat dibanding dengan Jepang dan Jerman Barat adalah karena jumlah lulusan bidang rekayasa perguruan tinggi Amerika Serikat hanya sekitar 6 persen dari jumlah lulusan keseluruhan. Sedangkan lulusan rekayasa di Jepang adalah 20 persen dari total jumlah lulusan, sementara di Jerman Barat 37 persen.


Selain perlunya peningkatan jumlah lulusan jurusan-jurusan eksakta, yang tak boleh dilupakan juga adalah upaya untuk memperluas pengajaran mata kuliah (pelajaran) eksakta pada semua jenjang dan berbagai ju-rusan studi, termasuk bidang sosial. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dewasa ini, tidak ada satu disiplin ilmu pengetahuan pun yang tidak memanfaatkan perangkat-perangkat keras elektronik di dalam analisis permasalahan serta dalam pengumpulan dan transmisi data. Pemanfaatan alat-alat ini membutuhkan pengetahuan dan bahasa tersendiri. Karena itu, dewasa ini tidak ada satu disiplin ilmu pengetahuan pun yang tidak menggunakan cara berpikir analitis, matematis dan numerik.


Trend perkembangan ini akan berlangsung terus di masa depan. Oleh karena itu merupakan hal yang penting sekali bahwa anak didik kita sedini mungkin dipersiapkan dan dilatih untuk berpikir secara rasional, secara logik, analitis dan numerik. Karena itu, rasanya tidak berkelebihan jika porsi pelajaran eksakta di masa-masa mendatang harus lebih ditingkatkan.


Masukan Teknologi Pendidikan



Kendati demikian, tekanan pada bidang-bidang sains dan teknologi bukanlah satu-satunya jalan keluar. Problema selanjutnya yang kita hadapi adalah bagaimana meningkatkan efektivitas proses belajar-mengajar agar dapat memenuhi tuntutan di atas secara baik. Dalam hal ini, dunia pendidikan dituntut untuk melakukan suatu reformasi. Perlu ada pengkajian ulang baik mengenai visi, orientasi, bahkan strategi dan metodik yang dikembangkannya agar dunia pendidikan kita benar-benar mampu memfasilitasi berbagai tantangan dan dinamika yang terjadi.


Ada banyak cara yang bisa ditempuh. Pada tingkat yang paling pragmatis, bisa ditempuh dengan cara mengintegrasikan dan meningkatkan pemanfaatan teknologi pendidikan secara optimum. Yang dimaksud dengan teknologi pendidikan di sini memiliki lingkup yang amat luas, baik yang menyangkut perangkat lunak seperti, perbaikan kurikulum, sillabus, metode pengajaran dan sebagainya; maupun pe-rangkat keras, yaitu penggunaan seperangkat peralatan teknis (seperti penggunaan radio, TV, kaset dan sebagainya), tanpa mengubah inti dari sistem itu sendiri.


Bila kita melihat situasi pendidikan dan status sosial dari sebagian besar anak didik dewasa ini, kita dihadapkan pada berbagai masalah yang berkaitan dengan penerapan teknologi. Kompleksnya masalah yang menyangkut anak didik itu sendiri, staf pengajar, faktor lingkungan, biaya fasilitas pendidikan dan sebagainya.
Teknologi pendidikan dapat menciptakan adanya keseimbangan anak didik: antara pembinaan nilai, sikap, pe-ngetahuan, kecerdasan, keterampilan dan komunikasi serta ekologi. Setidak-tidaknya hal itu bisa berguna untuk hal-hal sebagai berikut:
  1. Bahwa konsep pendidikan umum yang selama ini diterapkan, yang menghasilkan kurikulum pada bentuk-bentuk abstrak dari ilmu pengetahuan (teori-teori), dapat diintrodusir dengan pengalaman-pengalaman belajar yang berasal dari perbuatan-perbuatan praktis, sehingga anak didik dikenalkan dengan dunia kerja;
  2. Menemukan dan mengembangkan bakat, sikap dan minat anak didik yang terpendam;
  3. Mengembangkan sepenuhnya sumberdaya insani yang berbakat, tidak terikat oleh kelahiran, status sosial atau tempat berdomisili;
  4. Menyangkut efisiensi dan pembiayaan pendidikan; yaitu memungkinkan pembiayaan peran anak didik yang lebih rendah, penggunaan tenaga pengajar lebih efisien, begitu juga prasarana dan sarana pendidikan, dan
  5. Menyangkut alasan demokratisasi; dengan penerapan teknologi pendidikan, upaya-upaya mencerdaskan dan menggali potensi bangsa diharapkan bisa menyentuh lapisan masyarakat yang lebih luas; dapat menjangkau daerah terpencil sekalipun.
Untuk memprogramkan langkah-langkah itu, tentunya tidak dapat dilakukan secara sempurna dalam waktu yang singkat. Namun secara berangsur-angsur usaha ini perlu direalisasi dan dikembangkan secara nyata. Misalnya, kesempatan kerja waktu libur dalam lingkungan yang searah dengan bidangnya, harus ditingkatkan sejauh mungkin. Program ini dilangsungkan di luar acara kerja wajib. Dan dalam rangka itu, para peserta didik (siswa/mahasiswa) tidak mempunyai tugas khusus kecuali mencoba mengenal lingkungan.


Oleh instansi-instansi penampung, mereka ini hendaknya dianggap sebagai pekerja biasa agar dapat mendalami masalah sosial maupun teknis di tingkat yang rendah. Kepada perusahaan-perusahaan, instansi-instansi sipil maupun mili-ter, lembaga-lembaga kenegaraan maupun kemasyarakatan dan lain-lain, dihimbau untuk secara periodik melakukan "buka pintu" untuk kunjungan sekolah bagi siswa-siswa sekolah tingkat menengah.


Demikian juga kunjungan ke obyek-obyek kemasyarakatan seperti, daerah pertanian, instalasi pengairan, proyek-proyek pembangunan dan sebagainya dapat merangsang peresapan terhadap problema lingkunyan dari kecil. Di samping itu acara-acara ceramah oleh para tokoh masyarakat, para pejabat, para ahli dan cerdik cendekiawan dan lain-lain yang dilakukan di sekolah-sekolah secara teratur dapat merupakan dorongan yang kuat untuk menghayati masalah pembangunan lingkungan.


Usaha meningkatkan efektivitas pendidikan ini harus dibarengi dengan penciptaan suasana yang menunjang. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah menanamkan kesadaran yang tinggi di kalangan masyarakat, bahwa usaha pendidikan merupakan urusan dan tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat. Terutama sekali partisipasi perusahaan-perusahaan, badan-badan, organisasiorganisasi dan sebagainya harus dapat ditunjukkan dengan nyata melalui pemberian fasilitas kerja praktek untuk para siswa/mahasiswa, penyediaan dana secara periodik untuk tujuan pendidikan, membuka dirinya untuk acara kunjungan para pelajar, menyebarluaskan teknologinya melalui ceramah-ceramah dan sebagainya.


Di samping itu hendaknya mulai ditinggalkan sebuah sikap yang sering terjadi, seperti perusahaan-perusahaan hanya mendapatkan tenaga-tenaga terdidik melalui jalur iklan saja. Seyogyanya peranan partisipasi dalam pendidikan ini dapat ditingkatkan melalui penyediaan beasiswa, pemberian insentif pada program riset di perguruan tinggi, menyediakan hadiah-hadiah keberhasilan bagi pelajar, menggalakkan riset di kalangan perusahaan sendiri, memberi kesempatan peningkatan keterampilan bagi pegawainya sendiri dan sebagainya.


Guna lebih menunjang suasana peningkatan efektivitas pengajaran, secara khusus perlu digalakkan partisipasi para ahli dan cerdik-cendikiawan kita melalui penulisan buku-buku pelajaran yang memang searah dengan pembangunan Indonesia. Hal ini tidak berarti bahwa kita tidak mengindahkan terbitan-terbitan buku pelajaran yang berasal dari sumber-sumber asing. Tidak demikian. Sekali lagi, ilmu itu universal. Namun, dalam penjabarannya untuk kurun kebutuhan kita perlu ditangani oleh para ahli kita sendiri agar aplikasinya ke arah tepat guna lebih dapat berhasil.


Berkaitan dengan itu, masalah cetak-mencetak buku serta penerbitan lain yang menunjang pendidikan harus mendapat perhatian khusus agar terjangkau oleh yang membutuhkannya. Selain itu harus ditunjang pula eksistensi dan pengembangan usaha yang secara khusus memproduksi alat-alat yang dipergunakan dalam bidang belajar mengajar.


Akhirnya, semua itu hanya bisa berlangsung dengan baik, jika dibarengi penyediaan tenaga pendidik yang cukup banyak dan cukup bermutu. Dengan demikian tidak saja proses belanjanya sendiri harus ditingkatkan, tetapi kita juga bisa menghemat banyak melalui pengurangan jumlah drop-out dari sekolah-sekolah.


Untuk memungkinkan banyak orang dapat memenuhi prasyarat tingkat pendidikan yang diperlukan, dapat pula digalakkan adult education yang membuka kesempatan bagi orang dewasa untuk mencapai tingkat tertentu tanpa harus mengikuti jadwal kelas secara formal dan panjang. Sementara itu, untuk menggairahkan keinginan pening-katan dari profesi-profesi tertentu, perlu diadakan sistem pengkelasan sertifikat keterampilan yang sekaligus memiliki efek sipil. Misalnya, sertifikat montir, sertifikat tukang jahit, sertifikat sopir traktor dan sebagainya.


Pengadaan sertifikat ini serta penertiban pengkelasannya, di samping merupakan sarana motivasi yang positif untuk meningkatkan gairah belajar dan efektivitas per-baikan keterampilan di luar kerangka pendidikan formal, sekaligus merupakan masukan data yang nyata dalam me-ngevaluasi kebutuhan kita terhadap tenaga-tenaga terampil.


Dengan upaya-upaya tersebut, diharapkan efisiensi dan efektifitas pendidikan akan tercapai, terutama di dalam memeratakan masalah-masalah pendidikan dan usaha pemerataan pendidikan itu sendiri.


Pemerataan Pendidikan dan Penumbuhan Potensi Lokal



Ditinjau dari sudut keadilan dan penumbuhan potensi pembangunan, masalah pemerataan pendidikan merupakan salah satu prioritas dalam kebijakan kependidikan di Indonesia. Strategi pendidikan Indonesia ditujukan untuk mencerdaskan bangsa melalui pemberian kesempatan belajar kepada warganya yang tersebar di seluruh pelosok tanah air.


Kondisi yang ada saat ini memperlihatkan bahwa relatif lebih banyak tenaga terdidik terkumpul di Pulau Jawa dibandingkan dengan daerah lainnya. Sesuatu yang sebenarnya menyulitkan upaya pengembangan pendidikan dan penggalian potensi-potensi lokal.


Sehubungan dengan itu, pada Repelita-Repelita mendatang kegiatan di bidang pengembangan wilayah harus lebih ditingkatkan. Dan untuk itu, diperlukan sekali penyebaran tenaga ahli ke berbagai daerah sekaligus berusaha menumbuhkan pusat-pusat keunggulan sumberdaya-sumberdaya insani di daerah.


Di sini kehadiran universitas (daerah) menjadi sangat penting. Universitas merupakan pusat keunggulan yang sangat tepat untuk mendidik para sarjana di daerah. Para sarjana tersebut adalah manusia-manusia Indonesia yang mempunyai disiplin untuk mengadakan riset, sebagai tenaga ahli yang dapat berpikir sistematis, kritis dan rasional, yang mampu mengolah ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dapat disumbangkan untuk memperlancar pembangunan sesuai dengan situasi dan kondisi derahnya masing- masing.


Peranan universitas sangat besar. Karena dari sini awal kemajuan teknologi dimulai. Universitas sebagai lembaga pendidikan dan penelitian dapat menjadi tempat pemusatan tenaga-tenaga ahli dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, yang akan mengurangi kemungkinan para sarjana dan te-naga ahli berpandangan sempit dan terbatas pada disiplin masing-masing.

Pengetahuan dan pandangannya akan di-perluas dan diperkaya oleh rekan-rekannya yang melihat dan meneliti materi yang sama dari sudut pandangan yang berlainan sehingga akan terbuka kemungkinan untuk mendorong terjadinya inovasi yang lebih tinggi. Sebaliknya, materi penelitian yang sama merupakan landasan berpijak bersama yang pokok bagi disiplin-disiplin yang berdekatan. Dalam hal ini berlaku teori kesamaan (theory of similarity). Dengan demikian kita dapat mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang ada, baik berupa tenaga ahli, dana maupun sarana penelitian dan pengembangan.


Pada masa yang akan datang, peranan universitas di daerah harus lebih menonjol dalam proses pengembangan wilayah. Universitas-universitas tersebut seharusnya aktif turut serta membantu Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam melakukan perencanaan maupun dalam implementasi perencanaan pembangunan, utamanya dalam usaha pemanfaatan sumber daya alam setempat.


Tentu hal ini tidak semudah sebagaimana dikatakan. Proses tersebut akan mengalami beberapa kendala dan kesukaran, karena suatu universitas merupakan suatu lembaga akademik. Tetapi biar bagaimanapun harus diupayakan untuk dapat mengatasi kendala tersebut agar tenaga akademik yang ada di universitas dapat dimanfaatkan.


Dalam hal ini, universitas di daerah perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian seperlunya agar di samping menangani masalah-masalah akademis, universitas juga perlu mengorientasikan diri pada masalah riil yang ada di sekelilingnya. Yang sangat perlu di sini adalah bahwa universitas benar-benar dapat mengkhususkan diri pada satu atau sekelompok daerah problematik dan benar-benar memperkuat diri dalam bidang-bidang tersebut. Misalnya, kehutanan dan pertanian, pertanian pasang surut, peternakan, pertam-bangan timah, batubara, pertambangan minyak dan gas bumi, marine farming dan sebagainya.


Secara lebih khusus, mungkin akan menjurus lagi misalnya pada masalah peternakan daerah pantai, pertanian kelapa atau cengkeh dan sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu pula ditekankan bahwa untuk mencoba menyelesaikan masalah secara ilmiah dikenal dua cara penyelesaian: penyelesaian bersifat umum dan penyelesaian bersifat khusus dengan nilai-nilai batas tertentu. Dalam hal ini kita harus benar-benar dapat memisahkan apakah masalah yang dihadapi memerlukan penyelesaian umum atau penyelesaian khusus dengan nilai batas tertentu.


Masalah fisika, thermo dinamika, kimia, geologi, biologi dan sebagainya yang bersifat umum tetap sama dimana-mana, tetapi lingkungan suatu masalah dapat berbeda. Misalnya, masalah-masalah dalam pertambangan, geologi dan biologi di suatu daerah tertentu dipengaruhi oleh lingkungan setempat, dan masalah-masalah yang timbul memintakan penyelesaian-penyelesaian khusus.


Oleh karena itu, untuk masalah yang timbul di wilayah Indonesia adalah tepat jika dipecahkan oleh putra Indonesia sendiri. Sekalipun metoda pemecahannya bisa saja menggunakan metoda yang pernah dipelajarinya di suatu lembaga pendidikan di AS, Eropa, Jepang, Jerman dan sebagainya. Mereka lebih mengenal daerahnya karena dilahirkan dan dibesarkan di sini.


Hal ini dalam batas-batas tertentu juga berlaku untuk berbagai hal di Indonesia yang mempunyai lingkungan alam dan lingkungan sosial yang sangat berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya. Dengan demikian, untuk menangani masalah-masalah kehutanan di Kalimantan, misalnya, akan lebih baik jika ditangani oleh suatu universitas di Kalimantan, tanpa menjurus ke arah eksklusivisme dan kedaerahan yang bersifat negatif.


Pada saatnya, jika ada suatu temuan yang dikemukakan dari satu universitas yang sangat menonjol dalam kehutanan di Kalimantan misalnya, kami yakin bahwa di waktu-waktu mendatang akan berdatangan sarjana-sarjana dari universitas lain ke universitas tadi untuk melakukan penelitian dengan rekan-rekannya dari Kalimantan. Bahkan tak tertutup kemungkinan para ahli dari Luar Negeri pun akan datang ke universitas tersebut untuk melakukan penelitian bersama dalam jangka waktu tertentu.


Dari proses pertukaran pikiran dan pertukaran pandangan tersebut khasanah pengetahuan kita tentang hutan akan bertambah. Yang untung nantinya ialah bangsa Indonesia, kita juga. Tetapi apa yang kita ketahui dari hutan Kalimatan sekarang adalah penebangan hutan secara liar dan penyeludupan kayu. Yang benar-benar kita ketahui tentang upaya pengembangan dan pemeliharaan hutan Kalimantan sendiri sangat sedikit. Dan hal demikian dapat menjurus pada malapetaka.


Contoh lain ialah Kepulauan Ambon dan sekitarnya. Di sana ada Universitas Pattimura. Melihat kekayaan alam laut yang banyak dan beraneka ragam adalah ideal bagi Universitas tersebut untuk lebih memperdalam/menspesialisasikan diri dalam bidang oceanology/marine science.

Berlandaskan pada konsepsi tentang pola pengem-bangan wilayah seperti yang digambarkan di atas lahirlah beberapa gagasan tentang kebijaksanaan pengembangan teknologi yang berorientasi pada pengembangan wilayah.

Dari sudut tertentu, teknologi dapat dibayangkan terdiri dari dua macam. Yang satu adalah teknologi yang penerapan dan pengembangannya tidak tergantung pada lokasi sumber daya alam. Seperti misalnya, teknologi uji konstruksi, teknologi thermodinamika dan lain-lain bidang teknologi yang bersifat teknis universal. Instalasi-instalasi penerapan dan pengembangan teknologi semacam ini pa-ling ekonomis dibangun di pulau Jawa yang telah memiliki jaringan prasarana yang relatif sudah lebih maju.

Sebaliknya kita juga mengenal teknologi yang instalasi penerapan serta pengembangannya lebih tepat dibangun di lokasi-lokasi terdapatnya sumber daya alam yang menjadi obyeknya, seperti stasiun-stasiun percobaan berbagai jenis tanaman, atau laboratoria dan instalasi ilmiah yang berhubungan dengan ilmu dan teknologi kelautan, ataupun laboratoria yang meneliti logam-logam tertentu.


Atas dasar itu akan lebih logis jika di sekitar kota Ambon didirikan kompleks-kompleks pendidikan, penelitian dan pengembangan teknologi yang berhubungan dengan ilmu-ilmu kelautan, dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya laut setempat. Akan masuk akal pula jika di universitas-universitas di Kalimantan didirikan kompleks-kompleks pendidikan, penelitian dan pengembangan teknologi kehutanan. Pendirian kompleks ilmiah yang ber-orientasi pada sumber daya serta potensi-potensi ekonomi yang khas di wilayah ini merupakan konsekuensi logis dari konsepsi pengembangan wilayah yang dilukiskan tadi.


Berfikir dengan pola pengembangan potensi wilayah ini juga perlu memperhatikan bahwa dalam wilayah kepulauan Tanah Air ini, lokasi sumber dan jenis kekayaan alam yang diperkirakan akan mempunyai arti besar di masa depan tidak selalu cocok dengan pola penyebaran penduduk. Dalam jangka menengah, katakanlah sampai menjelang tahun 2000, akan terdapat perbedaan pada pola, sifat dan corak perkembangan industri di pulau Jawa/Madura dan di pulau-pulau luar Jawa/Madura.

Perkembangan industri di luar Jawa harus memanfaatkan penggalian dan pengolahan bahan dasar, sedangkan pengembangan industri di Jawa harus berdasarkan pada penggunaan tenaga kerja secara produktif. Dengan lain perkataan pola pengembangan industri di pulau Jawa/Madura harus lebih menitikberatkan pada teknologi padat karya. Sedangkan pola pengembangan industri di daerah luar Jawa lebih menitik-beratkan pada teknologi padat modal.


Lepas dari persoalan pengolahan dan pemanfaatan sumber-sumber alam secara khusus, Pemerintah sedang merencanakan dan melancarkan program transmigrasi secara besar-besaran. Pekerjaan tersebut mempunyai ruang lingkup amat luas, karena masalah transmigrasi tidak terbatas pada kegiatan memindahkan sejumlah penduduk dari satu tempat ke tempat lain, tetapi menyangkut pengem-bangan wilayah. Dan ini menyangkut pemukiman, pertanian, peternakan, pendidikan, irigasi dan prasarana-prasarana lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut juga dapat melibatkan universitas setempat agar dapat memperoleh pengalaman serta dapat menyumbangkan baktinya secara riil pada proses pengembangan wilayahnya.


Bagi daerah-daerah di mana terdapat sumber daya alam yang bersifat tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources), seperti minyak dan gas bumi di Kalimantan Timur, biji nikel di Sulawesi, perlu kiranya dari sekarang dipikirkan masa purna mineralnya (post mineral period) yang dikaitkan pula dengan program pengembangan wila-yah. Hal demikian menyangkut perencanaan dan pemikiran jangka panjang. Oleh karena itu sangat pantas dan wajar apabila universitas ikut atau diikutsertakan. Kami percaya bahwa melalui pengembangan program wilayah, lambat laun akan tercipta sarana untuk pemerataan pendidikan.


Sementara itu, dengan mempertimbangkan kadar dan jenis potensi negara kita dari daerah-daerah serta variasi dalam pemanfaatan potensinya, maka di masa depan kita harus mengurangi pola generalisasi dalam pengelolaan Pendidikan Nasional dan lebih memberikan peluang bagi penumbuhan muatan lokal.

No comments:

Post a Comment