Wednesday, April 18, 2012

TRANSFORMASI TEKNOLOGI DAN INDUSTRI V



Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah kunci untuk pembangunan bangsa. Hanya melalui ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa dapat berkembang menjadi sumber daya manusia terbarukan yang mempunyai potensi ekonomis. Hanya melalui ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa akan berguna untuk dirinya sendiri dan untuk bangsa-bangsa lain dan tidak hanya menjadi beban pada dunia serta menjadi sumber ketegangan sosial dan pertikaian. Untuk dapat memindahkan dan menyesuaikan teknologi secara berhasil, manusia harus memecahkan sendiri perso- alan-persoalannya. 

Tidak mungkin manusia akan dapat berkembang dengan membiarkan persoalan-persoalan mereka dipecahkan oleh orang-orang dari negara lain yang teknologinya lebih maju. Melakukan hal ini mungkin merupakan jalan yang paling cepat untuk memecahkan persoalan yang bersangkutan. Tetapi cara ini sangat tidak berguna untuk mengembangkan kemampuan suatu bangsa merealisasikan potensi ekonominya. Suka tidak suka, satu-satunya pihak yang mampu mengembangkan manusia menjadi suatu bangsa besar adalah mereka itu sendiri, melalui usaha-usaha sendiri menyelesaikan problema mereka dengan penggunaan teknologi apa saja yang telah dikembangkan dan dipakai oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini. 

Di lain pihak, pemaksaan swasembada mutlak dalam produksi dan teknologi juga sukar dibenarkan secara ekonomis dan politis. Berusaha mengembangkan sendiri setiap metodologi dan setiap teknologi untuk semua keperluan sangat mahal dilihat dari sudut waktu dan sumber-sumber daya. Dan walaupun rakyat negara bersangkutan dapat berkembang menjadi suatu bangsa yang ekonomis berdiri sendiri, strategi mengisolasi diri seperti ini sangat tidak membantu dalam menjalin hubungan mesra dan bersahabat dengan bangsa-bangsa lain di seluruh dunia. 

Satu-satunya jalan yang benar yang dapat ditempuh rakyat suatu negara dalam proses pembangunan bangsa menurut paham saya adalah sejak semula meletakkan dasar-dasar hubungan dengan rakyat negara-negara lain di dunia, baik mereka yang telah lebih maju dalam proses pernbangunan bangsanya maupun dengan yang masih sama-sama dalani fase-fase permulaan dari proses itu. Dengan bertindak demikian, negara bersangkutan akan bebas mencari ke seluruh dunia teknologi-teknologi yang cocok untuk pemecahan masalah-masalah yang dihadapinya dan dengan begitu dapat mempercepat proses perubahannya menjadi suatu bangsa yang kuat. 

Dengan demikian dunia kita di masa depan akan dapat terdiri dari bangsa-bangsa yang kuat dan percaya pada diri sendiri, masing-masing berkepribadian sendiri dalam kebudayaan dan sistem politiknya akan tetapi semuanya sama-sama berpartisipasi serta memberikan sumbangannya pada pertumbuhan ekonomi dunia sehingga terciptalah suatu proses pemakmuran di seluruh dunia yang saling menunjang. 

Hanya melalui proses pembentukan suatu sistem internasional yang terdiri dari kesatuan-kesatuan yang sama-sama berhasil dengan caranya masing-masing membangun bangsanya dan dalam proses itu mampu menyerap teknologi-teknologi bangsa lain serta berhasil menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan bangsa-bangsa itu, dapat dijamin pertumbuhan suatu ekonomi dunia yang senantiasa berkembang. 

Sampai dimana kita dapat berhasil mencapai pertumbuhan bersama itu tergantung pada volume informasi yang ke antara negara dan negara kita, besarnya hubungan ekonomis, besarnya dan mendalamnya pengertian politik, meluasnya hubungan kultural, tingkat pertukaran teknologi, volume kerjasama ilmu pengetahuan, pendeknya, pada besarnya serta mendalamnya hubungan antar negara-negara di seluruh dunia Menuju Dimensi Baru Kehidupan Bangsa Mengingat adanya kendala-kendala bagi transformasi kita menjadi bangsa berteknologi dan berindustri modern, timbul pertanyaan: terlalu cepatkah kita melangkah ke arah transformasi teknologi dan industri? Pertanyaan itu penting dan perlu dijawab. Pada tanggal 14 November 1985 yang lalu, Presiden Soeharto memenuhi permintaan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) untuk berbicara di Sidang FAO sebagai penghargaan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut atas keberhasilan Indonesia mengatasi kekurangan pangannya. 

Dunia telah mencatat bahwa Indonesia yang pada tahun 1968 baru menghasilkan 11,7 ton beras, pada tahun 1984 telah berhasil menaikkan produksi berasnya sebesar 121% menjadi 25,8 juta ton, dan pada tahun 1985 meningkat lagi menjadi sekitar 26,3 juta ton. Kebutuhan beras per kapita per hari manusia adalah 400 gram. Jika pada tahun l969, produksi beras Indonesia berjumlah 290 gram per kapita per hari, pada tahun 1983 dapat dihasilkan 420 gram per kapita per hari dan di tàhun 1984, 410 gram per kapita per hari. Kita swasembada beras. Sementara itu, produksi gula per kapita per hari pun meningkat dari 17 gram pada tahun 1969 menjadi 29 gram di tahun 1984. Sedangkan produksi minyak sawit per kapita per hari telah meningkat dari 45 gram tahun 1969 menjadi 17 gram tahun 1984. 

Di samping itu telah diperoleh juga kemajuan pesat di bidang kesehatan dan keluarga berencana serta pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Ini berarti bahwa pada saat ini, beberapa sasaran pokok awal pembangunan nasional telah tercapai. Dengan kata lain, telah dicapai banyak kemajuan dalam usaha kita mengembangkan potensi bangsa Indonesia menjadi sumber daya manusia yang berpotensi ekonomi. Dalam pada itu, stabilitas ekonomi, moneter dan politik tetap terpelihara; cadangan devisa Indonesia cukup besar. Kredibilitas Indonesia di dunia internasional cukup tinggi. 

Upaya peningkatan kesejahteraan ini dikejar beriringan dengan usaha menerapkan pola-pola pemerataan pendapatan sesuai dengan konsep keadilan. Konsep ini didasarkan pada pemikiran bahwa pada prinsipnya semua manusia mengandung potensinya sendiri-sendiri yang perlu dikembangkan sehingga semua anggota masyarakat dapat berperan serta dalam proses peningkatan kemakmuran masyarakatnya sesuai dengan bakat dan kemampuannya. 

Ketimpangan yang mencolok dalam pembagian pendapatan adalah tidak adil dan merupakan sumber keresahan sosial yang mengganggu mantapnya kehidupan bersama dalam masyarakat dan negara. Jika bertambah dengan laju pertumbuhan 2,9% per tahun, tenaga kerja Indonesia yang menurut Sensus 1980 berjumlah 52,4 juta jiwa pada tahun 1980, di tahun 2000 akan berjumlah 93,8 juta jiwa. Dengan mengikuti metoda elastisitas kesempatan kerja, maka dengan menggunakan berbagai praanggapan mengenai laju pertumbuhan ekonomi dan elastisitas kesempatan kerja sektoral tertentu dapat diperkirakan bahwa di tahun 2000 tingkat pengangguran terbuka akan berjumlah sekitar antara 9,9% sampai 19,6%. Laju pertumbuhan sektor-sektor industri dan jasa harus ditingkatkan sehingga dapat menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin. Tentu, secara aritmatis dapat dikatakan bahwa dengan mengurangi tingkat produktivitas, daya serap sektor-sektor tersebut akan makin besar. 

Namun produktivitas rendah juga berarti pendapatan rendah; dan bertentangan dengan rasa keadilan. Maka dengan telah tercapainya beberapa sasaran pokok awal pembangunan nasional pada satu pihak, dan dengan mengingat masih besarnya masalah kesempatan kerja di kemudian hari, sudah semakin urgen ditingkatkan usaha transformasi teknologi dan industri kita sehingga semua sektor, terutama sektor industri dan jasa, menjadi makin moderen. Dan dengan demikian tidak saja mampu menye-rap tenaga kerja sebesar mungkin tetapi juga dapat menyediakan pekerjaan yang produktif dan berpenghasilan tinggi. Tidak ada jalan lain yang sesuai dengan semangat perjuangan nasional kita kecuali bergerak ke suatu dimensi baru kehidupan nasional kita, yaitu Indonesia modern. Setiap perubahan digerakkan oleh suatu aspirasi. 

Daya geraknya adalah jiwa manusia: yang tergerak oleh aspirasi masyarakat yang menghendaki kehidupan baru. Sedang aspirasi itu sendiri timbul dari adanya kesengsaraan dalam hidupnya. Demikian juga halnya dengan revolusi perjuangan nasional kita yang lahir dari semangat bangsa yang hidup sengsara dan tertindas di bawah belenggu penjajahan, dan karena itu mendambakan suatu kehidupan baru, yang tidak mungkin bisa diraihnya dalam konstelasi masyarakat pada masa penjajahan. Semangat bangsa itu dipersiapkan pada zaman Boedi Oetomo 1908, dilanjutkan dalam zaman Sumpah Pemuda 1928, lantas bergerak maju menuju Proklamasi Kemerdekaan 1945 dan berlanjut terus hingga kini. Semangat itu adalah semangat untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. 

Tugas kita sebagai pemikir adalah memberi bentuk nyata pada semangat itu. Kita harus mempunyai ideal-ideal, bukan untuk diri kita tetapi untuk bangsa kita. Kita wajib bermimpi tentang masa depan bangsa kita. Kita wajib bermimpi tentang kehidupan yang lebih baik untuk seluruh bangsa kita. Tetapi sebagai orang yang berpendidikan, kita harus sadar bahwa mewujudkan impian itu membutuhkan kerja keras. Melakukan transformasi teknologi dan industri berarti bergerak ke arah dimensi baru dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Cepat atau lambat dimensi baru bangsa Indonesia itu akan diakui dunia internasional. Dimensi inilah yang sering tidak terlihat jika mengadakan perhitungan mikro dan makro ekonomi yang lazim digunakan untuk menilai layak-tidaknya pendirian industri. 

Memang, bergerak ke dimensi baru dalam kehidupan suatu bangsa mengandung risiko: risiko pemikiran baru, risiko inovasi dalam pemikiran. Sebagai bangsa, kita harus pandai melakukan kedua macam pemikiran: berpikir untung-rugi, biaya-manfaat dan berpikir baru. Menggunakan analisis biaya-manfaat sangat berguna untuk menghindari dilakukannya investasi yang merugikan. Sedang melakukan inovasi memang dapat mendatangkan kerugian besar. Namun, menghindar dari kemungkinan rugi juga dapat berarti melepaskan kesempatan beralih ke dimensi baru dan tetap terpaku pada posisi lama yang jelas akan merugikan dari sudut idealisme dan semangat perjuangan. 

Untuk mencapai tingkat kemahiran industri yang memadai secara internasional diperlukan waktu: waktu untuk mengikuti suatu kurva belajar (learning curve). Hidup tidak mungkin menggantungkan harapan pada jatuhnya jenius dari langit. Lazimnya, Meister von Himmel gefallen tidak ada. Pada umumnya, semua manusia di dunia ini harus menjalani suatu proses belajar, belajar dari pengalaman, belajar dari kesalahan dan keberhasilan sendiri. Dan dalam belajar, lazimnya dibutuhkan energi yang lebih banyak dan investasi lebih besar dari energi dan investasi yang dilakukan oleh yang sudah mahir. Pendekatan kita kepada wahana transformasi industri harus dan akan selalu pragmatis. 

Namun, di dalam wahana yang sedang ditumbuhkan itu, kita berada dalam gerakan ke atas. Dan seperti galibnya, suatu gerakan ke atas selalu membutuhkan energi yang lebih banyak. Untuk itu, masyarakat seyogyanya rela memberi pada industri-industri nasionalnya yang sedang tumbuh, waktu untuk belajar, waktu untuk memperoleh pengalaman, membuat kesalahan, dan mengatasi berbagai penyakit anak. Di tahun 1994, kita mulai memasuki era tinggal landas. 

Di tahun 2026, industri-industri wahana transformasi Indonesia insya Allah sudah akan beroperasi dengan sangat efisien, produktif, dan optimum. Pada saat itu, daya penggerak industrialisasi kita tidak akan terbatas pada pasaran domestik kita saja. Daya penggerak industrialisasi kita akan mencakup pula pasaran regional dan pasaran internasional. Apakah suatu hal yang berlebihan jika para produsen Indonesia diberi waktu sesingkat itu untuk mengejar dimensi baru kehidupan bangsanya?

Sumber: Prof. B.J. Habibie
Foto oleh: Arip Nurahman
Lokasi: Desa Bangunharja
"Semoga dengan merencanakan masa depan kita dapat menujunya"
~Arip~

No comments:

Post a Comment