Wednesday, April 27, 2011

Kebijakan Teknologi dan Nilai Tambah II


Dalam jangka waktu tertentu teknologi itu bisa berubah dari canggih menjadi menengah atau rendah atau dengan kata lain "to be advanced is a function of time". Oleh karena itu, agar suatu perusahaan dapat survive maka harus terus dikembangkan hitech agar tetap leading dengan memperhatikan perubahan proses nilai tambah teoritis ke nilai tambah riil. Berdasarkan penjelasan ini kita dapat melihat, bahwa pada pesawat komersil, nilainya akan selalu riil sepanjang teknologinya canggih atau advanced technology. Sekalipun demikian dalam melaksanakan pembangunan kita hanya membatasi diri pada advanced technology saja, tetapi semua macam teknologi (termasuk teknologi yang sekarang mungkin tidak canggih lagi ka-rena telah dikuasai banyak orang). Hal ini di-maksudkan untuk mendapatkan devisa atau substitusi impor. Perlu diketahui,  di dunia ini hanya ada 8 negara yang mampu membuat pesawat komersil dengan muatan teknologi canggih. Dan pa-tut kita syu-kuri, satu-satunya dari negara Asia hanya Indonesia.



Dalam kesempatan ini perlu saya tekankan lagi, bahwa pengembangan teknologi dirgantara di Indonesia bukanlah kemauan saya semata-mata. Pengembangan itu sudah merupakan komitmen nasional sejak Presiden RI yang pertama. Pada wak-tu pemerintah telah menyatakan akan mengembangkan tek-nologi dirgantara dan maritim, berdasarkan pertimbangan luasnya negara kita yang merupakan benua maritim itu. Jadi saya ini hanya meneruskan cita-cita para pendiri negara ini. Saya ingin menyampaikan dalam kesempatan ini, bahwa cita-cita para pendiri negara ini adalah tepat sekali, karena tidak ada jalan lain bagi kita selain menguasai teknologi dir-gan-tara dan maritim. Pengembangan teknologi dirgantara itu suatu keharusan supaya kita tidak tergantung pada negara lain. Di samping itu untuk mengembangkan teknologi canggih memang membutuhkan waktu yang lama dan mahal biayanya.

Sekarang kalau teknologi itu sudah tidak canggih lagi dan sudah dikuasai oleh semua orang, maka kebijaksanaan investor menanamkan modalnya pada suatu negara tidak lagi tergantung pada penguasaan teknologinya, melainkan manusia yang ada di belakang-nya, berapa biaya dan prasarana ekonomi makro dan mikro yang dibutuhkan. Oleh karena calon investor hanya membandingkan pembiayaannya dalam melakukan suatu proses produksi antara negara satu dengan negara yang lain, maka kita menyebutnya sebagai comparative advantage.
Muatan teknologi terkandung dalam comparative advantage dimaksudkan untuk meningkatkan daya tarik, apabila dibandingkan dengan produk lain yang serupa. Masyarakat lebih menyenangi walkman buatan Sony dibandingkan dengan buatan Siemens karena lebih menarik. Sedangkan pada competitive advantage muatan teknologinya mampu meningkatkan daya saing. Jadi pada comparative advantage keunggulan produksinya tergantung pada penampilannya sehingga menarik minat pembeli, sedangkan pada competitive advantage keunggulannya tergantung pada kualitas dan harga. Muatan teknologi yang dipilih di sini didasarkan atas orientasi pasar.
Dewasa ini masih saja ada yang berpendapat, bahwa teknologi itu adalah prasarana atau wahana. Pendapat itu tidak benar, sebab teknologi itu sebenarnya adalah kapital atau modal. Modal memang bukan saja terdiri dari uang tetapi juga sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya teknologi. Uang kalau tidak ada sumber daya manusia, atau tidak ada teknologinya bisa saja ia lari ke tempat lain. Suatu perusahaan akan mendapat dukungan dana untuk dapat tumbuh dan berkembang apabila di tempat itu ada sumber daya manusianya, ada teknologinya, dan ada prasarana makro dan mikro ekonomi apabila ditambah stabilitas politik yang menunjang low cost economy nya sehingga ia bisa meningkatkan competitive advantage dan comparative advantage daripada masyarakat tersebut. Prasarana adalah informasi, transportasi, energi dan sistem yang dikembangkan sendiri yang tidak kelihatan, tetapi merupakan prasarana untuk melaksanakan integration of technology.
Dalam situasi sekarang ini Indonesia harus memikirkan competitive dan comparative advantage karena kita memiliki proses nilai tambah yang mekanismenya rendah menengah dan ting-gi, dan juga yang nilai tambahnya tinggi, tetapi tidak diklasifikasikan sebagai ad-vanced technology melainkan teknologi biasa misalnya tekstil dan pakaian jadi yang memiliki prasarana dan sistem yang menghasilkan nilai tambah yang rendah. Oleh karena itu, agar teknologi biasa tersebut menjadi unggul maka perlu dimasukkan kuantum hitech. Contoh pada industri tekstil dan pakaian jadi kita berusaha me-ngem-bangkan kuantum hitech, seperti cara mem-buat, bentuk-bentuk yang indah, warna-warna modern sehingga nilai tambahnya menjadi tinggi dengan biaya yang rendah dan sesuai jadwal.
Seandainya saat ini saya telah menguasai teknologi canggih dengan keunggulan hitech-nya, atau appropriate technology dengan keunggulan hitech-nya, tetapi saat ini saya belum melaksanakan produksi secara massa atau mass production, maka saya belum melakukan kegiatan industri. Sekarang saya ambil con-toh seorang pelukis ternama yang membuat sebuah lukisan ekslusif belum bisa dikatakan sebagai hasil industri. Tetapi kalau produk ekslusif dari pelukis yang ternama tersebut dicetak secara massa dan dijual, dalam hal ini kita bisa mengatakannya terjadi kegiatan industri, meskipun harga sebuah lukisannya menjadi merosot. Tetapi, dalam kegiatan industri yang terpenting bukan harganya, tetapi labanya. Ada pertemuan antara harga dan scale of economic. Kita tahu kalau n = jumlah, dan h = harga, maka jumlah uang yang diperoleh adalah n x h. Dengan demikian laba adalah fungsi dari n, h dan biaya (cost). Industri akan berlaba bila produktivitasnya dan efisiensinya tinggi, dan peningkatan laba dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Produktivitas tinggi tidak datang begitu saja, tetapi ha-rus direkayasa dan direncanakan. Ini kalau kita mau melaksanakan industrialisasi. 
Indonesia sangat membutuhkan industrialisasi karena kita butuh penyediaan lapangan kerja yang cukup. Setelah pendidikan formal, lapangan pekerjaan itu adalah satu-satunya tempat yang mungkinkan manusia mengalami proses nilai tambah pribadi yang bersifat apresiasi selama ia terus bekerja. Oleh karena pemerintah harus menciptakan lapangan pekerjaan yang dapat membuat h (harga) dan biaya yang selalu positif. Jadi tidak usah heran kalau GDP suatu negara akan selalu meningkat kalau banyak tercipta lapangan pekerjaan. Pelaksanaannya disebut sebagai industrialisasi. Dengan demikian industrialisasi berarti produksi massa  memberi lapangan kerja kepada banyak orang.
Industrialisasi terjadi di semua sektor pembangunan. Misalnya, di sektor pertanian, kita kenal dengan tanaman padi. Pada tanaman padi, kalau kegiatannya bersifat big scale (misalnya produksinya telah menghasilkan 50 juta ton/tahun), maka di sini telah terjadi kegiatan industrialisasi. Karena untuk memproduksi padi harus disediakan dalam jumlah besar berupa pupuk, bibit unggul, pestisida, sistemnya, juga harus mengadakan riset agar tetap unggul. Meskipun teknologi penanaman padi tidak tergolong advanced lagi tetapi di dalamnya ada kuantum yang bersifat hitech sehingga menjadi competitive. Karena itu kegiatan riset harus dilaksanakan oleh Departemen Pertanian dari tingkat rendah sampai tinggi harus dilaksanakan untuk meningkatkan produktivitas. 
Proses industrialisasi di Indonesia bukan saja terjadi pada bidang ma-nufaktur, tetapi sejak lama telah luas mencakup industri pertanian, perkebunan, kehutanan dan jasa. Hanya saja di luar bidang manufaktur, bidang-bidang tersebut tidak dapat membuka lapangan kerja seperti yang diharapkan. Hasil-hasil pertanian dan perkebunan kita misalnya belum mampu mengubah nilai tambah yang teoritis menjadi riil, atau belum mam-pu memindahkan dari lumbung sendiri ke tempat halaman orang di negara-negara lain. Berbeda halnya di negara Jepang yang harga padinya 20 kali lebih mahal dibandingkan harga padi di Indonesia. Sebenarnya bagi Jepang lebih menguntungkan kalau padi tersebut mereka impor dari luar negeri. Tetapi, ini tidak mereka lakukan karena dua hal penting. Per-tama, secara strategis kalau ia impor beras seluruhnya, maka kalau negara tersebut di embargo maka beras tidak bisa masuk lagi ke Jepang, sementara itu tanaman padi di negaranya sudah tidak ada lagi. Contoh negara Rusia kalah perang bukan karena dihantam roket, tetapi kekurangan kroket untuk dimakan. Negara tersebut bangkrut dan kekurangan makanan. Kedua, secara politik para petani mempunyai hak memilih untuk menanam padi.
Kita sendiri harus mengakui memang tidak bisa lagi hanya mengandalkan pembangunan kita pada pertanian, bukan karena pertanian itu tidak merupakan hitech tetapi disebabkan oleh kenyataan, bahwa sektor ini dalam waktu sesingkat-singkatnya tidak mampu mengubah nilai tambah padi teoritis menjadi riil sesuai jad-wal, biaya rendah dan kualitas tinggi sehingga diperoleh laba banyak untuk dapat terus menyediakan lapangan kerja. Padahal penciptaan lapangan kerja ini penting bagi Indonesia, karena jumlah pen-duduk yang selalu me-ningkat. Dalam era Orde Baru masalah penduduk ini telah diatasi dengan program keluarga berencana sehingga pertumbuhannya berhasil ditekan 3% menjadi 1,6% per ta-hun sehingga GDP berhasil dinaikkan menjadi 7%. Secara makro kenaikan GDP menunjukkan adanya proses peningkatan kesejahteraan, meskipun secara mikro masih muncul masalah pemerataan karena masih ada keluarga yang belum sejahtera hidupnya. Dengan demikian satu-satunya jalan adalah penyediaan lapangan kerja yang sesuai dengan pendidikan. Pendidikan itu harus market oriented. Untuk itu perlu ada yang merekayasa yaitu pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Ke-bu-dayaan harus bekerja sama dengan Depindag dan Bappenas, serta Departemen-Departemen terkait lainnya sehingga tercipta lapangan kerja yang sesuai dengan pendidikan manusia Indonesia.
Industrialisasi di Indonesia sudah ada sejak jaman VOC, tetapi bentuknya hanya pertanian, perkebunan (misalnya: teh, gula, kopi, kelapa sawit) dan jasa nilai tambahnya rendah sehingga belum dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagaimana yang diharapkan. Apabila lapangan kerja tidak ada, dan banyak anak muda yang menganggur, maka secara politik akan menjadi ancaman stabilisasi atau destabilization.
Pertanyaan lebih lanjut, sekarang siapa yang membiayai pendidikan? Siapa yang membiayai proses keunggulan sumber da-ya manusia bangsa Indonesia? Jawabnya terletak pada pasarnya sendiri yaitu domestic market. Karena pasar itu yang akan menjadi produk-produk industri dalam negeri, dan ini berarti menjamin penyediaan lapangan kerja yang juga berarti membantu pendidikan sumber daya manusia bangsa Indonesia. Tanpa ada lapangan kerja maka sumber daya manusia akan mengalami proses depresiasi. Sumber daya manusia menjadi tidak produktif. Sebaliknya, kalau industri misalnya tidak ada pembelinya maka industri tersebut akan gulung tikar yang berakibat mengurangi kesempatan kerja. Jadi kalau ada orang Indonesia yang lebih suka membeli produk luar negeri sebenarnya orang itu tidak memberikan kontribusi terhadap pro-ses ke-se-jahteraan dan keunggulan daripada bangsanya sendiri. De-ngan de-mikian dukungan rakyat Indonesia untuk mencintai dan membeli produk dalam negeri sangat diperlukan, baik produk di bidang manufaktur, pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan, peternakan, mau-pun jasa. Kenyataan semacam ini sangat disadari oleh masyarakat Jepang. Mereka sangat mencintai produk bangsanya sendiri, sehingga sulit untuk dipaksa membeli produk luar negeri. Itulah sebabnya neraca pem-ba-yar-an atau neraca perdagangan mereka dengan negara lain selalu positif.
Saya sering mengulang-ulang masalah ini, bukan karena hendak menggurui mereka yang memang sudah pakar di bidangnya masing-masing, tetapi sekedar ingin menginformasikan kembali, agar kita satu bahasa dalam hal ini. Kita harus satu bahasa dalam mendukung produksi dalam negeri agar terjadi apresiasi nilai tambah, muncul industri-industri pendukungnya, akhirnya bisa menciptakan kesempatan kerja yang luas bagi generasi penerus bang-sa.
Proses industrialisasi yang kita sedang laksanakan bukan berarti kita hendak mengalihkan pertanian ke manufaktur. Kita tetap akan mempertahankan pertanian, dan tidak akan meninggalkannya. Industri pertanian atau agro industri dan jasa yang telah kita kuasai itu akan terus dikembangkan melalui teknologi tinggi agar bangsa kita tetap di garis depan di bidang ini. Dan rakyat kita bisa me-nik-mati keunggulan dan keandalan-nya. Namun, karena rakyat Indone-sia ingin ditingkatkan kualitas hidupnya dan kita tidak punya peluang lagi untuk meng-ubah nilai tambah teori bidang pertanian dan jasa menjadi nilai tam-bah riil, akibat kendala-kendala yang tidak mungkin saya rubah. Maka saya harus mencari peluang di sektor lain, an-tara lain manufaktur, agar terjadi pe-ningkatan kualitas hidup yang lebih baik dan merata. Melalui proses demikian diharapkan produk-produk kita bisa masuk ke pasaran regional dan global, sehingga dapat meningkatkan ca-dang-an devisa, kekuatan eko-nomi dan ketahanan nasional.
Dalam upaya meningkatkan cadangan devisa. Kekuatan ekonomi, dan ketahanan nasional, ternyata masih banyak masalah eksplisit dan implisit yang harus dihadapi. Masalah yang kaitannya dengan produktivitas dan efisiensi ternyata tidak bisa dilepaskan dari tingkah laku sumber daya manusia itu sendiri serta terkait dengan prasarana ekonomi mikro dan makro yang ada dalam upaya memanfaatkan teknologi yang tersedia untuk dirinya. Oleh karena itu saya sering mengatakan, bahwa produktivitas gabungan adalah gabungan dari produktivitas sumber daya manusia itu sendiri dengan teknologi dan prasarana yang diberikan kepadanya.
Masalah produktivitas gabungan sudah sepatutnya dikaji oleh pakar kebudayaan. Mengapa orang itu sangat efisien bekerjanya, sebenarnya terletak pada budayanya. Terus terang belun lama ini saya telah mengubah pola kerja di IPTN untuk meningkatkan produktivitas. Saya merasakan, bahwa selama ini di IPTN ada sekitar 20 bagian yang bekerja sendiri-sendiri. Ini tidak bisa dibenarkan lagi. Mereka harus bekerja secara team work. Tidak dibenarkan yang satu bagian berlari ke bagian keamanan atau kualitas. IPTN memerlukan Quality Insurance dan Quality Control, perlu langkah-langkah yang lebih detil dengan dukungan team work (kerjasama). Team work sangat dibutuhkan dalam melakukan suatu proses yang terdiri dari rangkaian dari berbagai kuantum teknologi yang sesuai. Padahal bagaimana orang bisa bekerja sama dalam suatu team work sangat erat terkait dengan masalah budaya, sikap, perilaku, dan sebagainya.
Kita ketahui bersama, bahwa budaya bersumber pada falsafah dan falsafah bersumber pada agama. Baik secara implisit maupun eksplisit dalam falsafah dan agama terdapat tolok ukur moral. Membicarakan moral atau system moral atau etika yang berakar kepada teologi dan filosofi itu lebih sukar dibandingkan membuat pesawat terbang. Karena kita memanfaatkan nilainilai yang tidak berdasarkan pemikiran-pemikiran yang rasional tetapi di dalamnya ada kuantum daripada emosi dan perasaan. Kita pun juga tidak tahu relasi antara rasio dan kuantum emosi. Itu merupakan problem dalam mempelajari masalah budaya.
Berbeda halnya dengan masalah ekonomi. Menurut saya masalah ekonomi sebenarnya simpel tetapi pelaku-pelaku ekonominya itu yang unpredictable. Meskipun perilaku para ekonom tidak bisa diperkirakan, namun kita bisa mempelajari dengan mempergunakan teori termodinamika. Misal, kalau kita mempunyai material, apakah itu merupakan rantai dari molekul atom atau rantai dari molekul atom yang menjadi materi itu secara mikro memang berbeda, tetapi secara makro reaksinya sama. Misalnya, gelas air pada temperatur 1000C, di manapun kita taruh, air dalam gelas tersebut akan mendidih.

Sekarang kalau ada informasi yang sama diberikan kepada 2 pelaku ekonomi yang berbeda saya yakin reaksinya juga akan berbeda satu sama lain. Dua hari lagi saya yakin juga masih berbeda. It’s not predictable. Selanjutnya bagaimana memasukkan tokoh-tokoh pelaku ekonomi yang demikian banyak (dalam jutaan) dalam satu equation, seperti dalam termodinamika di mana kalau saya beri te-kanan maka reaksinya akan sa-ma di semua tempat. Kemudian saya mulai mencoba mengkuantifisir rasio dan emosi. Bagaimana? Ternyata tidak mudah. Akhirnya diambil kebijaksanaan satu-satunya yang saya bisa yaitu mengkuantifisir emosi dan rasio dari data-data statistik yang saya miliki sebelumnya. Misalnya, untuk mengetahui kinerja ekonomi tahun 1997, harus dikuantifisir data tahun 1992 dan 1994. Karena tidak ada suatu kebijaksanaan ekonomi yang ditangani pemerintah, dalam satu bulan kemudian akan selesai masalahnya. Itu secara statistik bisa dikuantifisir dengan mempergunakan fungsi-fungsi yang mempengaruhi. Misalnya, dalam ekonomi yang bisa di-buat oleh manusia sebagai action adalah suku bunga yang ditentukan oleh yang mencetak uang tersebut yaitu bank sentral atau Bank Indonesia. Dengan memanfaatkan teori-teori termodinamika kita bisa menghitung bunga, inflasi. Dari situ nampak kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter. Dengan memanfaatkan pendekatan tersebut kita bisa mempelajari kebijaksanaan ekonomi yang telah dan diperkirakan akan terjadi.

Saya ingin menjelaskan ini semua karena kita harus kembali kepada platform yang sama supaya kita tidak menghasilkan sesuatu yang kira-kira sempurna, tetapi sebenarnya ada hidden values yang bisa mengakibatkan kebijaksanaan yang kita inginkan bersama.

Pada saat ini wakil-wakil rakyat di DPR sedang memperjuangkan lahirnya Undang Nuklir. Apabila Undang Undang ini telah disahkan, maka berikutnya kita akan mengajukan Rancangan Undang Undang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Kita berdoa agar semua proses tersebut dapat berjalan dengan lancar.

No comments:

Post a Comment