Monday, April 18, 2011

INDUSTRIALISASI DAN PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN IV


Faktor Indonesia dalam Pemeliharaan Lingkungan Global 

Sebagaimana dikukuhkan pada konperensi puncak ARCHE di Paris pada tahun 1989, kurangnya informasi dalam bidang ilmu pengetahuan bumi ini seyogyanya untuk sebagian ditanggulangi dengan peningkatan pemantauan dan pengamatan atmosfir.

Indonesia memiliki beberapa ciri geografik yang khas sehingga dapat memenuhi persyaratan bagi suatu observatorium atmosfir khatulistiwa.

Pertama, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.

Kedua, Indonesia terletak pada khatulistiwa, antara dua benua dan dua lautan besar. Karena alasan itu Indonesia merupakan tempat berlangsungnya proses dasar bagi cuaca semesta.

Sepanjang khatulistiwa di Indonesia terdapat laut dengan suhu tertinggi di dunia. Dalam kombinasi dengan atmosfir di atasnya, air laut panas ini mempengaruhi gerakan-gerakan atmosfir yang disertai awan, distribusi gas-gas rumah kaca, dan bahkan gejala El Nino yang merupakan penyebab terjadinya cuaca dan iklim yang abnormal pada skala semesta.

Walaupun telah dilakukan cukup banyak upaya ilmiah untuk mengamati dan memantau kawasan-kawasan kutub, penelitian yang dilakukan pada atau di atas khatulistiwa relatif sedikit, sungguhpun fakta menunjukkan bahwa atmosfir di atas khatulistiwa justru merupakan faktor penentu bagi lingkungan hidup semesta.
Kepulauan Indonesia telah dijuluki sebagai "air mancur stratosferik", karena adanya kenyataan bahwa atmosfir pada ketinggian yang lebih besar berasal dari kawasan ini.
Anehnya, salah satu dari kawasan bersuhu terdingin di atmosfir sebelah atas ditemukan di atas Indonesia. Kawasan bersuhu rendah ini dipandang memainkan peranan penting dalam gejala berkurangnya ozon. Oleh karena cara berlangsungnya pengaruh timbal-balik kuat antara atmosfir rendah dan atmosfir tinggi di atas Indonesia mengandung sebagian dari jawaban terhadap pertanyaan praktis mengenai cuaca semesta, maka hal ini pun merupakan mata ba-hasan pengkajian ilmiah tersendiri.
Pengamatan atmosfir semacam ini menyangkut skala waktu yang bervariasi antara menit sampai tahunan, bahkan puluhan tahunan, dan memerlukan observatoria daratan semi-permanen yang melengkapi pengamatan satelit.
Mempertimbangkan faktor tersebut, sejak tahun 1983, Persatuan Internasional Geodesi dan Geofisika (IUGG), secara resmi telah menyarankan agar untuk mendirikan lembaga penelitian khatulistiwa yang dilengkapi dengan berbagai sarana bagi keperluan pengamatan atmosfir tinggi, sebaiknya berada di kawasan Pasifik Barat atau Timur di mana telah ada rangkaian cukup panjang stasiun-stasiun pengamatan pada latituda menengah dan tinggi. Indonesia dan Jepang telah melakukan upaya kerjasama erat untuk merealisasikan sasaran pendirian sarana ini yang akan dinamakan Pusat Internasional Penelitian Atmosfir Khatulistiwa atau International Center for Equatorial Atmospheric Research (ICEAR).

Beberapa waktu lalu, Indonesia juga menjadi tuan rumah untuk Simposium Internasional Kedua, mengenai Pengamatan Atmosfir Ekuatorial di atas Indonesia (Second International Symposium on Equatorial Atmospheric Observations over Indonesia). Di dalam simposium tersebut, ilmuwan dari sepuluh negara melaporkan hasil-hasil ter-akhir penelitiannya dan secara bulat berkesimpulan bahwa sarana pengamatan atmosfir khatulistiwa yang mampu melakukan pengamatan sangat terperinci pada ketinggian antara delapanpuluh hingga seribu kilometer mutlak diper- lukan untuk penelitian cuaca semesta dan lingkungan hidup semesta.

Semua peserta setuju bahwa berdasarkan banyak pertimbangan geografis, pulau Sumatra di Indonesia akan merupakan lokasi yang optimum untuk International Center for Equatorial Atmospheric Research atau ICEAR.

Kita sangat sadar pada kenyataan bahwa Indonesia merupakan salah satu dari lokasi yang sangat sedikit di bumi ini yang merupakan kunci bagi pemahaman lingkungan hidup dunia.

Atas dasar kesadaran ini, Presiden Soeharto telah memberikan kewenangan kepada Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia untuk mendirikan suatu ICEAR di Indonesia, dalam upaya memberi sumbangan pada sasaran dunia untuk menemukan suatu keseimbangan antara perlindungan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi yang dapat dipertahankan melalui pengamatan dan pemantauan yang disempurnakan terhadap atmosfir semesta kita.

Dalam pada itu, orang Indonesia juga semakin sadar akan pentingnya posisi laut Indonesia sebagai tempat lalu lintas perairan antara Lautan Hindia dan Lautan Pasifik; dan paham terhadap dampak kenyataan ini pada arus laut dan cuaca.

Simposium Internasional Kedua mengenai Pengamatan Atmosfir Ekuatorial di atas Indonesia mencatat pentingnya pengamatan radar yang dilakukan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat sebagai bagian program yang dinamakan TOGA atau Trop-ical Ocean and Global Atmosphere (Lautan Tropika dan Atmosfir Semesta), suatu upaya yang diprakarsai Amerika Serikat untuk mengamati atmosfir dan lautan pada khatulistiwa.

Konperensi juga mencatat komplementaritas antara pe-ngamatan NOAA dengan pengamatan yang akan dapat dilakukan oleh suatu lembaga penelitian seperti ICEAR di waktu-waktu yang akan datang. Indonesia juga mendukung upaya ini.
Indonesia siap menyambut baik kerjasama dalam penyusunan model perhitungan cuaca dunia, untuk prakiraan cuaca yang dapat dipecah menjadi model perhitungan cuaca regional dan model perhitungan cuaca bagi suatu negara, yang didasarkan pada idealisasi fisika cuaca dilengkapi dengan data empirik untuk menjadikan model perhitungan cuaca tersebut mendekati kenyataan.

Tujuan pembuatan model-model ini adalah penyusunan prakiraan-prakiraan yang tepat mengenai cuaca, jika mungkin untuk enam bulan bahkan satu tahun ke depan. Menurut hemat saya, sangat urgen perhatian lebih besar diberikan pada pengembangan model-model prakiraan cuaca ini, khususnya untuk kawasan khatulistiwa. Kita juga tertarik pada teknik-teknik prakiraan terjadinya kekeringan dan jatuhnya hujan secara berlebihan.
Indonesia bersedia berpartisipasi di dalam formulasi model-model matematik semesta ini dan dalam menyumbang data terpercaya seperti data mengenai pembentukan awan, komposisi gas-gas, profil-profil suhu di dalam laut kepulauan Indonesia, dan data lain yang relevan.

Berhubungan erat dengan penelitian cuaca semesta sepanjang khatulistiwa adalah penelitian lingkaran tropika bumi ditinjau dari konsentrasi energi yang bersumber pada radiasi matahari dan produksi biomassa bumi.

Karena sangat langkanya data, bidang penelitian ini seyogyanya diberi perhatian khusus. Perlu pula diberi perhatian pada perlunya pembuatan suatu rekonstruksi secara hati-hati dari semua perubahan lingkungan yang telah mempengaruhi kawasan tropika selama satu juta tahun yang telah lewat, khususnya selama beberapa ribu tahun yang silam.

Masalah lain yang menjadi keperdulian Indonesia adalah letusan dahsyat gunung-gunung api, khususnya yang terletak pada pinggiran lempengan yang berdampingan, yang dapat berdampak sangat besar pada lingkungan hidup, baik pada skala lokal maupun skala semesta.
Letusan terbesar di dalam catatan sejarah letusan Gunung Tambora, di Pulau Sumbawa, pada tahun 1815, yang mengeluarkan 100 km3 debu gunung api di atmosfir. Letusan besar lainnya adalah letusan gunung api Krakatau pada tahun 1883 yang mengeluarkan 18 km3 debu gunung api.
Gunung-gunung api juga mengeluarkan belerang, chlorine dan elemen bahan kimia dan partikel-partikel lainnya di troposfir dan stratosfir, yang bisa menimbulkan gangguan-gangguan sepanjang jangka waktu yang cukup berarti.
Indonesia, tempat dimana terdapat 129 buah gunung api yang aktif dan terdapat pula gunung api tertinggi di dunia, emisi gas-gas yang berlangsung terus-menerus ini mungkin merupakan suatu faktor lingkungan yang sangat penting. Pengetahuan yang tersedia dewasa ini menunjukkan bahwa setiap gunung berapi aktif di Indonesia mengeluarkan kira-kira 50 ton belerang murni setiap hari.

Dengan demikian, maka jumlah keseluruhan belerang yang dikeluarkan oleh gunung-gunung api aktif di Indonesia adalah 2.354.250 ton per tahun. Jumlah ini dapat dibandingkan dengan pencemaran belerang Swedia yang setelah dilakukan investasi cukup besar telah diturunkan dari 232.000 ton setahun pada tahun 1980 menjadi 116.000 ton per tahun, di tahun 1987.

Kajian-kajian yang berhubungan dengan proses gunung api dapat mencakup: studi tentang sifat emisi vulkanik dan bagaimana emisi ini bervariasi menurut waktu, dan proses fisika, kimia, dan dinamika yang dijalani bahan-bahan yang dikeluarkan oleh gunung berapi dalam melakukan modifikasi atmosfir. Untuk memantau jumlah dan penyebaran bahan-bahan yang dikeluarkan serta untuk memantau emisi S02 dan gas-gas lain dapat dipergunakan penginderaan jarak jauh melalui satelit.

Sementara itu mengenai jajaran pulau-pulau di tanah air, saya tidak mau lagi menggunakan istilah kepulauan Indonesia, tetapi saya menggunakan istilah Benua Maritim Indonesia. Istilah itu bukan saya yang membuatnya melainkan para pakar di NASA dan NOAA, yang saya dengar sendiri ketika penandatangan MOU antara LAPAN dengan NOAA, 27 Oktober 1992. Pakar dari NASA tersebut mengatakan dalam bahasa Inggris the Indonesian Maritime Continental (Benua Maritim Indonesia). Mengapa? Karena wilayah Indonesia di dalam kaca mata seorang ilmuwan adalah benua yang 70% tertutup air dan sisanya 30% adalah daratan.

Karena di lingkungan Benua Maritim Indonesia airnya sangat dalam yaitu antara 3000 - 4000 Meter, sedangkan terbaca oleh satelit di Laut Jawa dan laut di seputar Suma-tera kedalaman airnya hanya 150 Meter, kelihatan dangkal. Seperti halnya di Benua Afrika ada daerah gurun pasir dan juga ada daerah hijau, di Benua Maritim Indonesia tidak ada gurun pasir tetapi laut.

Kita tahu ada teori ban berjalan, seperti di pabrik Matsushita yang membuat produk elektronika. Kalau kita mempunyai air laut dengan volume sebesar ruang ini dan anggaplah air itu berada di Atlantik, maka orang tahu dia berada di Atlantik dan setelah kurang lebih 200 tahun dia akan kembali lagi, setelah air yang sebesar itu bergerak berkeliling seperti ban berjalan di atas permukaan laut di dekat Green Land, masuk ke dalam laut, ke dasar laut dia bergerak menuju ke Afrika, lalu dia naik ke permukaan di dekat India dan dia belok melalui Benua Maritim Indonesia di dekat Pulau Batam dan berjalan terus sampai ke Pasifik, setelah itu masuk ke dasar laut dan muncul lagi ke permukaan, dan kembali lagi ke Green Land, begitulah rute perjalanan dan siklusnya dalam 200 tahun, kata pakar dari NASA.
Saya bertanya: dari mana dia tahu itu memerlukan waktu 200 tahun, sedangkan teorinya saja baru diketahui 5 tahun lalu? Itu bisa diketahui dengan menggunakan komputer, dengan menghitung gerakan bulan, matahari dan putar- an bumi, dan juga perbedaan temperatur; semua itu dihitung dan dibuat modelnya sampai didapatkan penemuan seperti itu.

Lucunya dia tahu bahwa di bawah air laut terdapat banyak mineral, tapi ikan mati dan mahkluk lain pun mati mengendap, di situ susunan kadar CO2 berbeda dengan susunan kadar CO2 di permukaan. Menurut komputer, air yang tiba-tiba muncul banyak sekali di permukaan laut tidak membuat kadar CO2-nya begitu tinggi, kalau sampai tinggi maka dia menjadi jenuh dan tidak mau lagi menyedot CO2 di atmosfir. Akibatnya, jika air laut tidak menyedot CO2, jumlah CO2 di atmosfer meningkat sehingga temperatur bisa meningkat pula, dan akibat selanjutnya peningkatan temperatur itu bisa mencairkan es di Kutub Utara dan Kutub Selatan.

Kalau misalnya permukaan air kurang sekali dengan CO2 sehingga dia menyedot CO2 dari atmosfir, akibatnya temperatur turun dan terjadilah zaman es, ini bisa diketahui lagi-lagi dengan menggunakan model matematik. Sekarang kita ingin membuktikan apa itu benar atau tidak, dan untuk itu kita melaksanakan kerjasama dengan Amerika dan Jepang untuk mengadakan riset. Apa manfaatnya? Agar dengan begitu kita bisa ikut mengetahui kapan persisnya musim kemarau atau musim hujan, dan dari situ keuntungan bisa diberikan kepada para petani dan nelayan.

Selanjutnya, dalam rangka menjamin kelangsungan pembangunan secara lebih "bersahabat", Indonesia juga tengah serius mengembangkan energi alternatif. Indonesia memang belum mengalami krisis energi seperti halnya negara-negara berkembang lainnya, yang tidak memiliki sumber-sumber minyak bumi seperti negara kita. Tetapi, kita tidak boleh menutup mata kepada dua gejala perkembangan di sektor energi yang dapat menimbulkan suatu krisis di kemudian hari, apabila tidak diatasi secara tepat sedini mungkin.

Di satu pihak kita merasakan, bahwa penemuan sumber-sumber minyak baru semakin langka. Namun demikian, pada saat ini kita baru menggali 2.000 sumur minyak di seluruh Indonesia yang apabila dibandingkan dengan daerah potensial yang mungkin mengandung cadangan minyak bumi, belum dapat kita anggap sebagai gambaran final. Sampai saat ini kita masih mempunyai neraca energi mi-nyak yang menguntungkan.

Di lain pihak, kita menghadapi peningkatan konsumsi energi dalam negeri, misalnya dari tahun 1970 sampai de-ngan 1979 meningkat dari 50 juta BOE (barrel of oil equivalent) minyak menjadi 150 juta BOE. Pertambahan penduduk dan makin luasnya penggunaan bahan bakar minyak di seluruh negeri yang diikuti dengan pesatnya perkembangan industrialisasi akan mendorong mempercepat pertambahan konsumsi energi minyak di dalam negeri. Hal ini akan menjadi masalah besar di masa yang akan datang apabila tidak kita pikirkan dari sekarang cara pemecahannya .

Untuk mengurangi ketergantungan kita pada minyak bumi, memang terdapat beberapa cara, misalnya melalui penggunaan Hydroelectric, Geothermal, Batubara, Nuklir, Tenaga Surya dan lain-lain. Tetapi dari semua alternatif tersebut harus benar-benar diperhitungkan pilihan mana yang paling tepat berdasarkan kemungkinan kapasitas dukung dan dampaknya pada kondisi lingkungan.

Ada pemikiran untuk mencari alternatif energi dengan mengembangkan reaktor atom. Hal ini sangat menarik. Tetapi dalam mengembangan energi ini kita dihadapkan pada persediaan uranium yang terbatas jumlahnya. Di samping keterbatasan bahan baku ini, harus dikeluarkan pula biaya yang cukup besar untuk teknologi pengamanannya, sehingga tidak akan membahayakan masyarakat.

Belum lagi masalah pengolahan limbah reaktor itu sendiri yang harus ditangani secara begitu teliti, yang pada gilirannya juga memerlukan biaya banyak. Menghasilkan energi dengan turbin gas atau turbin uap, bahan baku yang diperlukannya juga terbatas. Demikian juga halnya dengan kemungkinan menghasilkan energi dengan tekanan air, hidroelektrik, lokasinya juga terbatas; misalnya di tempat-tempat air terjun atau bendungan-bendungan. Pilihan terakhir ini juga sangat tergantung pada curah hujan. Kalau curah hujan kurang maka akan terjadi pengurangan energi listrik yang dihasilkan.

Satu-satunya sumber energi yang tidak terbatas jumlahnya ialah sinar matahari. Kalau sinar matahari tidak ada lagi maka dunia pun habislah. Di samping ketidakterbatasan sumber energi, pembangkitan energi dari matahari tidak menimbulkan bahaya polusi, dan bahan bakunya tersedia di mana-mana. Sekarang ini kita sedang berusaha untuk me-ngembangkan teknologi yang dapat memanfaatkan sinar matahari dalam pembangkitan energi.

Dalam kaitan ini, agaknya perlu diingat, bahwa teknologi di negara lain belum tentu cocok untuk diterapkan di Indonesia. Demikian halnya dengan penggunaan energi surya. Kebutuhan terhadap energi tergantung kepada alam lingkungan, tingkat sosial dan sarana yang telah ada.

Sesuai dengan keadaan alam lingkungan di negara-negara Eropa dan Jepang, energi surya yang mereka butuhkan, terutama untuk pemanasan waktu musim dingin dan untuk air condition waktu musim panas. Tapi untuk masyarakat kita hal ini tidak perlu atau dianggap belum perlu; misalnya air condition. Yang kita perlukan adalah energi surya untuk pembangkitan tenaga listrik, penggerak pompa dan memanaskan air. Berhubung perbedaan kebutuhan di atas maka teknologi yang kita perlukanpun jelas berbeda pula.

Kalau di negara Jepang atau Eropa sistem kolektor saja cukup baik, untuk kita sistem ini kurang memadai, karena energi ini justru kita butuhkan pada waktu malam hari, di mana matahari tidak ada lagi. Maka dari itu, energi tersebut pada siang hari harus kita simpan untuk pemakaian di malam hari. Sebenarnya kita dapat mengubah energi surya menjadi listrik secara langsung, yaitu melalui sel-sel, misalnya silicon.

Silicon dalam dosis tertentu kalau disinari matahari sinar matahari mempunyai infra merah, ultra violet dan cahaya berupa gelombang-gelombang magnetik akan mengeluarkan beberapa elektron dari material yang dapat menimbulkan arus listrik. Tetapi harga silikon mahal sekali. Untuk 1 watt saja berharga sekitar US$ 20 sampai US$ 30. Sehingga belum cocok untuk dipakai di Indonesia. Diharapkan dalam waktu 5 - 10 tahun lagi, dengan perkem-bangan teknologi, untuk 1 watt silicon kemungkinan akan berharga US$ 1.

Selain rintisan ke arah penggunaan energi surya, saat ini Indonesia juga telah membentuk suatu Tim Interdepartemental, yang membahas kemungkinan penggunaan alkohol sebagai alternatif bahan bakar pengganti minyak, yang dihasilkan dari sumber-sumber yang dapat diperbaharui (renewable resources).

Pilihan energi alternatif ini juga secara cermat telah mempertimbangkan kenyataan bahwa di Indonesia pun terdapat biomassa yang melimpah. Biomassa ini dapat menjadi sumber energi alternatif yang terbarukan. Pemilihan tempat "pilot plant" dan Laboratorium BERDC di Lampung adalah tepat karena berada di tengah tempat produksi ubi kayu, yaitu Biomassa untuk bahan baku Ethanol.
Pengembangan biomassa untuk bahan baku ethanol ini memerlukan adanya perkebunan energi. Dan seperti kita ketahui, perkebunan energi tersebut membutuhkan lahan, tenaga kerja, modal dan teknologi. Sebagai suatu negara agraris yang memiliki tanah pertanian yang luas, Indonesia merupakan tempat yang ideal untuk pengembangan perkebunan energi yang dikaitkan dengan percepatan pengembangan wilayah transmigrasi.

Usaha-usaha pembangunan yang dilaksanakan oleh Bangsa Indonesia berbeda dengan usaha-usaha pemba-ngunan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa lain di dunia (atau usaha-usaha antara bangsa Indonesia sendiri)31, de-ngan ditandai oleh heterogennya tingkat serta pola kehidupan bangsa lndonesia, yang tersebar antara ribuan pulau di dalam wilayah Nusantara, serta ditandai pula oleh beraneka ragamnya wajah pembangunan yang terjadi di negeri ini.
Kita memang perlu memikirkan hal-hal yang menunjang kelestarian lingkungan dalam pembangunan yaitu :
  1. Kita harus menggunakan sistem analisis yang ampuh untuk membahas setiap persoalan lingkungan hidup yang dihadapi agar persoalan tersebut dapat dilihat dan diselesaikan secara menyeluruh dan terpadu untuk pembangunan.
  2. Dalam merencanakan penelitian perlu diperhatikan kebijaksanaan dan program sektoral yang serasi dengan kebijaksanaan nasional. Masalah manajemen lingkungan hidup merupakan masalah lintas sektoral yang sangat penting dan harus ditangani secara hati-hati serta teliti, untuk menjamin efisiensi dan efektivitas ke-giatan tersebut.
  3. Peranan penelitian sangat besar artinya bagi manajemen kelestarian lingkungan masa kini dan mendatang, baik untuk preventif, represif maupun kuratif. Karena keterbatasan dana dan sumber daya penelitian, maka perlu diberikan prioritas yang serasi pada pemenuhan kebutuhan masa kini dan mendatang.
  4. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas hasil penelitian, harus dibina jaringan kerjasama antar lembaga penelitian dan konsumen hasil penelitian. PUSPIPTEK merupakan penunjang efisiensi dan efektivitas tersebut.
  5. Manajemen penelitian pada tingkat kegiatan lernbaga dan antar lembaga perlu ditingkatkan agar penelitian itu sendiri dapat bermanfaat bagi pembangunan.
Semua langkah dan upaya yang telah disebutkan tadi, dan masih banyak lagi yang lainnya, merupakan bukti kesungguhan Negara Indonesia dalam turut menyeimbangkan antara kebutuhan terhadap peningkatan taraf hidup dan kemajuan ekonomi bangsanya di satu sisi, dengan upaya untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup demi pembangunan berkelanjutan pada sisi yang lain.

Dan di dalam semua itu, terdapat tanda-tanda yang bisa membuat kita tetap optimis untuk menuju masa depan yang lebih baik, lebih indah dan lebih sejahtera. Tentu saja dengan segala perhitungan, kerja keras dan kesabaran.
Indonesia, dengan susunan dan letak geografisnya yang merupakan kesatuan ribuan pulau dan menempati posisi strategis mengharuskan kita untuk selalu melihat segala sesuatu baik dari aspek darat, lautan dan dirgantara. Tidak kalah pentingnya perhatian kita yang harus bertambah besar terhadap perbaikan lingkungan hidup. Ini menuntut perhatian kita semua karena bumi yang terbatas ini memang terasa makin padat dan usaha manusia untuk memenuhi kebu- tuhannya telah makin memberi tekanan pada lingkungan alam.
Apabila kebaikan lingkungan hidup ini kita abaikan, bukan mustahil, bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama kita akan dikejutkan oleh kenyataan bahwa kita sendirilah yang pertama-tama menjadi korban dari pembangunan yang kita kerjakan dan bukan kita merasakan kebahagiaan seperti yang diidam-idamkan.

Sumber:

Prof.  Habibie

Foto:
Oleh: Arip Nurahman

"Menjaga dan melestarikan Lingkungan menjadi tanggung jawab kita semua"
~Arip, Universitas Pendidikan Indonesia~ 

No comments:

Post a Comment