Sunday, June 19, 2011

SUMBERDAYA MANUSIA UNTUK PEMBANGUNAN NILAI TAMBAH Bag. I



SUMBERDAYA MANUSIA
UNTUK PEMBANGUNAN NILAI TAMBAH 
 


 


Persoalan pembangunan nasional pada dasarnya adalah persoalan pengembangan, pemeliharaan dan pemanfaatan sumberdaya manusia Indonesia secara terarah, yang ditujukan pada sasaran-sasaran perjuangan bangsa.

Pengembangan sumberdaya manusia merupakan suatu bagian pokok dari usaha pembangunan nasional. Usaha ini meliputi pendidikan dan pembinaan, serta kemampuan untuk menangani, menggunakan dan mengendalikan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan maksud untuk meningkatkan nilai tambah di dalam usaha memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa yang dapat bersaing di pasaran dalam dan luar negeri. 

(B.J. Habibie)



Apabila kita letakkan imajinasi kita pada titik awal kemerdekaan Bangsa Indonesia, lalu bergerak ke depan, untuk memotret kinerja pembangunan hingga saat ini, segera akan muncul sebait pertanyaan di benak kita: Apa sesungguhnya yang telah terjadi dalam proses pembangunan di negeri ini?

Sebuah negeri "untaian zamrut khatulistiwa", dengan rangkaian kepulauannya yang membentang dari 95 BT hingga 142 BT, dan jumlahnya tak kurang dari 17.000 pulau. Jika peta kepulauan Indonesia itu dibentangkan pada peta Eropa dengan skala yang sama, kita dapat melihat bahwa Banda Aceh berada di Barat Laut Skotlandia sedangkan Merauke hampir-hampir mencapai daratan Ukraina; pada peta Amerika Serikat kita lihat Banda Aceh berada di Barat Laut California sedangkan Merauke berada di Samudra Atlantik.

Di tengah-tengah sebaran pulau yang luas itu, proses-proses geologi yang telah berjalan puluhan, bahkan ratusan juta tahun telah memungkinkan terjadinya berbagai mineral logam, batu-batuan untuk bahan bangunan, jebakan-jebakan batu bara, minyak dan gas bumi. Rangkaian pegunungan volkanik telah memberikan tanah pertanian yang subur, disamping sumber-sumber daya geothermal dengan potensi yang amat besar. Sungai dan danau merupakan potensi sumber tenaga air ribuan MW. Hutan belantara di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya dan lain-lain merupakan gudang bagi sumber daya hutan yang kaya raya.

Di samping itu, negeri ini mempunyai lautan yang luas; isinya merupakan sumber pangan yang tak habis-habisnya jika dipelihara dan diolah dengan bijaksana. Tidak ada satu negara pun di dunia ini yang mempunyai garis pantai sepanjang garis pantai kepulauan Indonesia. Dan di antara lautan ini ada yang berkedalaman beberapa puluh dan bahkan beberapa ratus meter. Di kawasan Indonesia bagian Timur, terdapat cekungan-cekungan dengan kedalaman yang mencapai sampai 5000 meter.

Alam Indonesia beraneka ragam; dari dataran alluvial seperti pantai utara pulau Jawa hingga ke pegunungan yang ditutupi salju abadi dan ratusan puncak gunung berapi de-ngan ketinggian beribu meter.

Singkat kata, ini negeri benar-benar tanah sorga. Tapi di negeri sekaya ini, kehidupan warganya belum sepenuhnya terbebas dari belenggu kemiskinan. Tantangan pembangunan di negeri ini masih berkisar pada persoalan-perso- alan mendasar seperti; keperluan untuk menampung pertambahan penduduk yang belum sepenuhnya dapat dikendalikan. Tantangan untuk mengusahakan terhapusnya kemiskinan yang melanda bagian besar masyarakat, dan kebutuhan untuk menjaga keseimbangan antara permintaan sumber-sumber alam yang kian meningkat dengan keseimbangan ekosistem dan pembangunan yang berkelanjutan.

Tantangan utama yang dihadapi perekonomian Indonesia dengan penduduknya pada tahun 2000 nanti diperkirakan berjumlah sekitar 216 juta jiwa, adalah tantangan untuk mengentaskan orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Meskipun dalam 25 tahun PJPT I jumlah mereka yang tergolong ke dalam kategori ini bisa ditekan secara signifikan, jumlah mereka masih cukup banyak (sekitar 27 juta). Sementara kita masih berjuang untuk mengatasi hal ini, kita juga dihadapkan pada tantangan untuk menyediakan kesempatan kerja bagi sekitar 11,9 juta orang yang diperkirakan akan memasuki pasaran kerja selama periode lima tahun ini.

Kita harus berjuang keras untuk menyediakan kesem-patan kerja bagi rata-rata 2,4 juta orang calon pekerja baru setiap tahun. Dan itu sungguh mendesak dipandang dari sudut keadilan sosial yang juga merupakan suatu asas dalam usaha pembangunan nasional.

Jika ledakan penduduk dan kesempatan kerja ini kurang mendapatkan perhatian yang memadai, maka konsekuensinya akan merembet pada kehidupan sosial, politik, budaya dan juga ancaman pada kelestarian lingkungan.

Ini menuntut perhatian kita semua. Karena bumi yang terbatas ini memang terasa makin padat dan usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya telah makin memberi tekanan pada lingkungan alam. Apabila kebaikan lingkungan hidup ini kita abaikan, bukannya mustahil, bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama kita akan dikejutkan oleh kenyataan bahwa kita sendirilah yang pertama-tama menjadi korban dari pembangunan yang kita kerjakan dan bukannya merasakan kebahagiaan seperti yang diidam-idamkan.

Hal ini menyadarkan kita semua. Di satu sisi kita patut bersyukur bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam dan sumber daya energi yang sangat berlimpah. Meskipun de- mikian, kita harus pandai menggunakan sumber daya yang tersedia ini agar benar-benar dapat dipupuk sebagai modal pembangunan.

Tanpa kapandaian yang memadai, sumber daya yang berlimpah bukannya jaminan bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat. Bahkan bisa jadi alasan bagi hidup malas sambil menghambur-hamburkan sumberdaya secara tidak efisien, sekadar untuk memunuhi desakan hidup jangka pendek. Yang pada ujungnya akan menjadi bumerang yang mengancam kelangsungan hidupnya sendiri. Sebaliknya sejarah menunjukkan, tak sedikit negara yang miskin dalam pemilikan sumber daya alamnya bisa mencapai tingkat kemajuan yang mencengangkan, karena kemampuannya dalam mengelola dan menggerakkan sumberdaya manusia yang ada.


Ini menjadi pelajaran betapa besarnya peranan sumber daya manusia demi tercapainya tujuan pembangunan suatu negara. Dapat dikatakan bahwa tumpuan dasar keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat ditentukan oleh mutu sumberdaya manusia yang dimilikinya. Dilihat dari sudut ini, persoalan pembangunan nasional pada dasarnya adalah persoalan pengembangan, pemeliharaan dan pemanfaatan sumberdaya manusia Indonesia secara terarah, yang ditujukan pada sasaran-sasaran perjuangan bangsa.

Kondisi Sumberdaya Manusia Indonesia

Arti pentinya sumber daya manusia sebagai modal pembangunan, dibuktikan antara lain oleh Robert Solow, penerima hadiah Nobel dalam bidang ilmu ekonomi tahun 1987. Dalam penelitiannya ia membuktikan bahwa meskipun faktor "kapital" memiliki kontribusi dalam pertumbuhan ekonomi, namun faktor tenaga kerja dengan keterampilan dan teknologi yang dikembangkan dan digunakannya, serta kemampuan manajemennya, merupakan variabel yang lebih signifikan dalam proses peningkatan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Sementara itu, dalam kasus negara-negara industri baru di Asia, banyak studi yang menunjukkan bahwa, perubahan teknologi dan kapabilitas sumberdaya manusianya merupakan faktor sentral dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut.

Akumulasi modal manusia dapat menggeser keunggulan komparatif suatu negara ke arah produk bersifat padat modal manusia sebagaimana akumulasi modal fisik menggeser keunggulan komparatif suatu negara menjadi produk padat fisik. Ketidakpastian dalam perekonomian internasional dapat lebih meyakinkan dihadapi dengan peningkatan pendidikan dan latihan yang dapat menciptakan fleksibilitas dan kemungkinan mempunyai expected rates of return yang relatif tinggi. Karena itu pendidikan umum semestinya menciptakan keterampilan tertentu (termasuk kemampuan berhitung, komputer dan kemampuan bahasa), tetapi yang lebih penting adalah harus menciptakan dasar bagi fleksibilitas di masa depan. Tujuannya adalah menciptakan kemampuan untuk belajar pengetahuan umum yang fleksibel tidak menciptakan kemampuan khusus yang akan cepat tidak terpakai lagi. Sedangkan latihan di tempat pekerjaan adalah bersifat spesifik bagi kebutuhan industri atau perusahaan bersangkutan.

Bila hasil-hasil penelitian ini dihubungkan dengan konteks Indonesia, gambaran yang kurang menggembirakan akan segera tampak. Kendatipun menurut pengamatan UNDP sejak 1970 - 1990, Indonesia termasuk salah satu negara berkembang selain Saudi Arabia, Korea Selatan, Mauritius, Malaysia, Tunisia, Syria, Botswana, Turki, Gabon dan Aljazair yang mengalami peningkatan yang pesat dalam Human Development Index-nya (antara lain meliputi income nasional, harapan hidup, dan pencapaian pendi-dikan), akan tetapi pencapaian tersebut tidak sama seperti jalan yang ditempuh oleh Malaysia dan Korea Selatan (Korsel). Jika Malaysia dan Korsel mencapai perkem-bangan yang mengesankan berkat investasinya dalam masyarakat (SDM), maka bagi Indonesia seperti halnya Saudi Arabia, kemajuan itu diraih lewat "rezeki nomplok", berupa menjulangnya harga minyak pada tahun 1970-an.

Semata-mata mengandalkan keunggulan komparatif lewat "kekuatan minyak" pada kenyataannya amat rapuh. Selain sangat rentan terhadap perubahan situasi pasar internasional, cadangannya pun mulai menyusut. Pertumbuhan konsumsi dalam negeri lebih tinggi daripada laju pertumbuhan produksinya. Sehingga diperkirakan dalam 10 atau 20 tahun lagi, Indonesia sudah mulai harus mengimpor minyak bumi. Padahal dengan eksploitasinya yang berlimpah dan harganya yang tinggi sekalipun, kepesatan HDI kita belum mampu mengimbangi kepesatan HDI Malaysia dan Korsel -- berkat investasinya yang sungguh-sungguh dalam pengembangan sumberdaya manusia.

Menyadari hal ini, jauh-jauh hari, sejak anjloknya harga minyak pemerintah lebih memfokuskan perhatiannya pada sektor non-migas. Dan hasilnya cukup menggemberikan. Sejak awal tahun 1980-an, ekspor non-migas kita sudah melebihi ekspor migas. Akan tetapi, kekuatan sektor non-migas ini terutama pada paruh awal 1980-an lebih bertumpu pada ekspor komoditi primer hasil-hasil pertanian. Kalaupun ada keluaran industri yang bisa diekspor, unggulan kompetitifnya lebih banyak mengandalkan pada upah buruh yang murah. Padahal kekuatan inipun sebenarnya amat rentan. Selain nilai tambahnya kecil, negara-negara industri di masa depan kemungkinan akan mengurangi kebutuhannya akan impor komoditi primer dari negara-negara berkembang, karena temuan-temuan baru dalam bahan-bahan yang dapat mensubstitusi komoditi tersebut. Sedangkan upah buruh yang murah juga akan segera terbentur pada keterbatasan pasar dan adanya persaingan keras dari negara-negara berkembang lainnya yang berpenduduk lebih padat.

Mempertimbangkan hal ini, terutama pada paruh kedua tahun 1980-an, berbagai kebijakan seperti deregulasi dan debirokratisasi telah digulirkan oleh pemerintah dalam rangka memacu pertumbuhan dan produktivitas sektor industri. Hasilnya bisa dirasakan. Sumbangan sektor industri terhadap produksi nasional kian bertambah. Jika pada tahun 1970, sektor pertanian menghasilkan 46% dan industri pengolahan 8,4% dari PDB. Maka pada tahun 1990, peranan sektor pertanian menurun menjadi kurang dari sete-ngahnya, yakni sekitar 20%, sedangkan peranan industri pengolahan meningkat lebih dari 2 kali lipatnya, yaitu sekitar 19%.

Namun demikian, pesatnya laju pertumbuhan industri ini, ternyata tidak diikuti oleh pesatnya daya serap industri terhadap tenaga kerja. Sampai tahun 1989, ketika laju pertumbuhan industri mencapai 9,09%, laju penyerapan tenaga kerjanya hanya 3,78%, sehingga pada tahun 1990, sektor industri hanya menyediakan kontribusi sebesar 10,14% dari total angkatan kerja (lihat Tabel). Sementara itu, hampir dalam waktu bersamaan, meskipun pertumbuhan sektor pertanian terus menurun, tapi daya serap tenaga kerjanya masih tinggi walaupun cenderung menurun. Dalam kurun waktu 1968 - 1988 sektor pertanian mencerap 40% dari total tambahan angkatan kerja. Ini berarti pipa alir tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri arusnya sa-ngat kecil. Masalahnya adalah, selain keterbatasan yang melekat pada sektor industri pengolahan Indonesia, terutama karena angkatan kerja pertanian pada umumnya kurang mempunyai keterampilan yang dapat dimanfaatkan langsung oleh sektor industri dan jasa.





Tabel : Laju Pertumbuhan PDB (atas dasar harga konstan 1983) dan Laju Penyerapan Tenaga Kerjanya Menurut Sektor Tahun 1988/1990





Tahun





1988





1989





1990








SEKTOR





PDB





TK





PDB





TK





PDB





TK
Pertanian
Industri Pengolahan
Perdagangan
Jasa Kemasyarakatan
Sektor lainnya
Tak Terjawab
4,90
11,99
9,06
4,32
2,68
-
4,53
7,59
-1,27
-0,34
2,73
55,67
3,69
9,09
9,95
6,19
8,04
-
1,54
3,78
4,35
5,05
11,65
1,35
2,77
12,30
8,31
5,01
7,28
-
3,12
18,42
2,69
-22,65
48,07
6,42
Sumber: Diolah dari Data BPS

Sementara itu, di sisi lain bisa dilihat, kendatipun produktivitas dan pertumbuhan sektor industri terus meningkat, namun tidak demikian halnya dengan nilai tambah yang dihasilkan tenaga kerja. Jika diukur berdasarkan rasio upah terhadap nilai tambah, maka pada awal tahun 1990-an ini justru terjadi penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas sektor industri selama ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi lainnya, terutama faktor mesin atau peralatan produksi yang lain. Sedangkan nilai tambah yang diberikaan oleh masukan te-naga kerjanya tampak masih rendah.

Semua tanda-tanda yang mengemuka tadi sebenarnya mengisyaratkan betapa pentingnya memperhatikan masalah pengembangan sumber daya manusia yang memiliki kapabilitas Iptek dalam PJP II nanti. Arti pentingnya hal ini kian terasa bila memperhatikan trend perkembangan industri menjelang akhir abad ini, dimana terjadi pergeseran mendasar pada struktur pekerjaan yang menghasilkan nilai tukar, dari pekerjaan yang padat mesin pengolah sumber daya alam menuju padat tenaga ahli dengan kemampuan multi dan super spesialis yang menggerakkan peralatan teknologi canggih. Pergeseran ini kemudian dikenal sebagai pergeseran basis bisnis, dari resources base ke knowledge base.

Jika begitu soalnya, kita berkepentingan untuk memeriksa lebih jauh tentang kondisi objektif SDM Iptek Indonesia secara umum, terutama dalam kaitannya dengan tingkat dan kualifikasi pendidikan angkatan kerja Indonesia. Tapi di sini pun sekali lagi kita dihadapkan pada gambaran yang kurang menggembirakan.

Manusia sebagai Potensi Pembangunan

Apa yang bisa kita tangkap dari pernyataan-pernyataan di atas adalah kesepakatan nasional bahwa mulai Repelita VI, dengan tetap berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Bangsa Indonesia secara sistematis dan bertahap akan mentransformasikan dirinya menjadi bangsa modern, bangsa yang menguasai teknologi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, menyediakan prasarana ekonomi dan untuk menghasilkan barang dan jasa lainnya dalam rangka semakin meningkatkan kualitas hidupnya.

Dalam proses ini, tumpuan pembangunan nasional akan semakin berpindah dari pemanfaatan sumberdaya alam ke pengandalan pada kekuatan yang terkandung dalam sumberdaya yang selalu terbarukan, yaitu sumberdaya manusia Indonesia.

Sejalan dengan itu, strategi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan kita jalankan bertumpu pada pendirian bahwa kemajuan lestari suatu bangsa tidak terutama tergantung pada dimilikinya sumber-sumber kekayaan alam. Kemajuan lestari suatu bangsa tergantung pada ketangguhan, keuletan dan keterampilan sumberdaya manusia yang dimilikinya.

Untuk itu, adalah tugas kita bersama untuk melatih tenaga kerja, memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan meningkatkan kemampuan menggunakan teknologi maju dengan memakai potensi penduduk yang tersedia. Usaha ini merupakan upaya yang penuh tantangan, yang dalam mengatasinya memerlukan ketekunan. Selain itu kita harus berpacu dengan waktu, karena pembangunan tidak dapat menunggu. Tindakan ini tidak semuanya harus dilakukan oleh pemerintah tetapi dapat juga dilaksanakan oleh para pengusaha swasta kita.

Dalam kaitan ini, hal mendasar yang harus dihayati secara sungguh-sungguh adalah bahwa kita harus mulai berhenti melihat manusia sebagai suatu problema nasional, sebagai orang yang memerlukan belas kasihan tetapi tidak banyak gunanya bagi masyarakat. Ini suatu pandangan yang keliru. Kita harus mulai melihat manusia Indonesia sebagai potensi nasional yang mempunyai nilai ekonomi dan pembangunan. Manusia yang merupakan potensi ekonomi dan pembangunan itu kemudian perlu kita bina. Ia harus kita kembangkan. Ia harus kita penuhi kebutuhannya. Ia harus kita lengkapi dengan sumber-sumber daya lainnya sehingga nilai ekonominya meningkat. Ia harus diantarkan ke dalam proses industrialisasi untuk menghasilkan barang dan jasa yang bermanfaat bagi masyarakatnya sendiri maupun bagi dunia luar, sehingga ia memperoleh penghasilan yang layak melalui pertukaran barang dan jasa. Ia harus dapat mempertahankan dirinya, hasil-hasil karya serta segala keka-yaannya yang lain pada setiap saat: ia membutuhkan ketahanan. Dan karena manusia bukanlah benda mati, karena ia memiliki perasaan etika, tradisi, agama dan kebudayaan, maka haruslah pula dipelajari, dipahami serta dilestarikan dan dikembangkan segi-segi itu dari kehidupannya, sebagai landasan bagi pengembangan aspek-aspek yang telah di- sebutkan terdahulu.

Dengan kata lain, pengembangan sumberdaya manusia harus diarahkan pada upaya peningkatan nilai tambah materi dan nilai tambah pribadinya sendiri. Usaha peningkatan nilai tambah materi diorientasikan untuk mengoptimalkan nilai guna suatu barang sehingga mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi. Sedangkan upaya peningkatan nilai tambah pribadi (individu) dimaksudkan untuk menambah kapasitas pengetahuan, tingkat keterampilan dan kepekaan nilai seseorang sehingga bisa bertindak sebagai pribadi yang produktif dan berguna.

Terdapat suatu perbedaan yang sangat penting antara barang hasil proses nilai tambah materi, dan manusia terdidik sebagai hasil proses nilai tambah pribadi. Karena waktu dan keausan dalam penggunaan, produk-produk hasil proses nilai tambah materi selalu akan menurun nilainya setelah diproduksi dan akhirnya akan aus. Sebaliknya, ma-nusia terdidik yang dilibatkan secara aktif di dalam proses-proses nilai tambah materi, akan semakin meningkatkan kemampuan dan ketrampilannya, sehingga nilai tambah pribadinya akan semakin meningkat. Dengan demikiaan, proses nilai tambah materi yang ditekuninya sekaligus merupakan proses pendidikan atau proses nilai tambah pribadi. Dan peningkatan nilai tambah pribadi manusia itu akan berlangsung terus-menerus kecuali dihambat atau dihentikan karena sakit atau meninggal.

Jadi hubungan antara kedua proses nilai tambah tersebut sangat erat. Tidak ada proses nilai tambah materi tanpa proses nilai tambah pribadi manusia. Sebaliknya, akan sia-sia untuk meningkatkan nilai tambah pribadi manusia kecuali jika ditujukan untuk melaksanakan proses-proses nilai tambah materi yang sedang berlangsung atau akan berlangsung di masa depan. Di samping itu, perkembangan di dalam proses-proses nilai tambah materi akan mendorong terjadinya perkembangan dan peningkatan di dalam proses nilai tambah pribadi manusia. Suatu masyarakat yang statis di dalam perkembangan proses-proses nilai tambah materinya dan selama-lamanya menghasilkan produk-produk dengan cara-cara yang itu-itu juga, akan statis pula di dalam perkembangan proses-proses nilai tambah pribadinya: pendidikannya tidak dikembangkan.

Manusia Indonesia seperti yang saya gambarkan ini harus memiliki karakteristik peningkatan kualitas, yang meliputi:
1). Percaya kepada Tuhan YME dan berkelakuan baik;
2).Terampil dalam bidangnya berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi;
3). Bertekad mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
4). Berakar pada nilai-nilai budaya Indonesia;
5). Bertekad pada kepentingan nasional;
6). Bertekad pada kesatuan dan persatuan nasional.

Sumber:

Prof. B.J. Habibie


Foto:
Oleh: Arip Nurahman

"Pembangunan Sumber Daya Manusia di Indonesia Harus Selalu menjadi Priorotas Utama Setiap Masa Pemerintahan"
~Arip, Universitas Pendidikan Indonesia~

No comments:

Post a Comment