Sunday, November 28, 2010

Perencanaan yang Berakar Budaya

Perencanaan yang Berakar Budaya
 
Disampaikan dalam Seminar Nasional Peningkatan Peranserta Masyarakat
dalam Penataan Ruang dan Pembangunan Perkotaan,
di Jakarta pada 7 Mei 1996.

Ekonomi tidak lain proses meningkatkan nilai tambah. Setelah produk atau jasa dibawa ke pasar, baru didapat nilai nya-ta yang dibayar, kalau masih ada di gudang belum bisa didapat nilai nyata. Begitu pula perencanaan yang dibuat kalau tidak mampu dibawa ke pasar, nilainya hanya semu saja. Karena itu yang harus dilakukan pertama kali rencana produk harus dibuat dengan biaya yang serendah mungkin dan harus sesuai dengan kehendak pasar. Kalau tidak, maka tidak akan ada nilainya. Dalam perencanaan kota, kita harus tahu lebih dahulu apa dasar-dasar rakyat dan masyarakat yang ber-ada di kota itu, baru kita bisa mulai memikirkan. Kalau seorang perencana itu khususnya arsitek dapat mem-bujuk seseorang membeli rumah pada sebuah real estate, tetapi setelah dibeli ternyata tidak sesuai dan pemiliknya tidak betah, akhir-nya tidak sering pulang ke rumah, berarti si perencana itu tidak bisa menerjemahkan teknologi sesuai dengan selera atau budaya orang yang menghuninya itu. Tetapi kalau seorang perencana yang baik, ia tidak mau me-maksakan kepada orang yang akan membayarnya, tetapi ia akan mendengarkan dulu, berdasarkan itu ia terjemahkan keinginan pemesannya. Kalau pe-sanan sudah selesai, ternyata pemesan itu tidak keluar dari rumah yang dipesannya berarti ia bisa hidup lebih efisien dan pres-tasinya pun menjadi tinggi.
Dapat disimpulkan, bahwa kita harus menyadari prinsip dasar bangsa kita sendiri sebagai bangsa berbudaya, bangsa yang hidup sudah ratusan tahun di Benua Maritim. Orang yang datang dari luar Jawa atau dari desa masuk ke Jakarta, kalau generasi pertama, masih saja ada akar budaya daerah asalnya. Mungkin pada generasi kedua, generasi ketiga sudah dibentuk perilaku baru karena pengaruh yang diperolehnya di kota. Pengaruh global di kota lebih besar dari di desa, karena jaringan-jaringan yang mempengaruhi budaya di desa-desa itu paling tidak dari kota. Kota sudah merupakan filter itu sendiri. Jaringan-jaringan yang masuk ke kota Jakarta, Surabaya atau Ujung Pandang, Medan atau kota kecil Cikampek tidak bisa terlepas dari pengaruh global kunjungan orang yang datang ke situ yang mempunyai budaya dan life style yang berbeda. Oleh karena itu pertama, kita harus sangat memahami masalah-masalah ini, titik tolaknya harus kita ketahui karena kita membangun untuk rakyat dan bangsa kita. Membangun untuk rakyat dan bangsa harus bertolak dari prinsip dasar dari budaya perilaku manusia In-donesia itu sendiri. Dan kedua, pembangunan yang kita laksanakan itu tidak lain adalah satu-satunya cara untuk mengamalkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan dalam arti yang luas, bukan hanya pembangunan materi, tetapi juga pembangunan non materi, spritual dan ma-te-rial. Oleh karena itu, pembangunan tidak bisa terlepas dari to-lok ukur budaya kita, visi dan gaya hidup kita yang bersifat secara langsung dan tidak langsung ada di dalam Pancasila dengan segala interpretasinya, baik UUD 1945 serta mukadimahnya. Dalam hal itu kita harus pandai-pandai menerjemahkan itu sebagai sesuatu yang rasional ke dalam prinsip-prinsip yang terencana.
Tata ruang jaman sekarang tanpa disadari diubah, bukan tata ruang, tetapi jadi tata uang. Tata ruangnya benar, tetapi karena permainan bisnis dan keuntungan, tata uangnya yang mengubah, kita harus membuat konsensus kalau kita benar-benar melaksanakan perencanaan itu secara profesional dengan memperhatikan tolok-tolok ukur budaya yang tidak bisa dikuantifikasi melainkan hasil dari budaya itu, karena saya percaya Pancasila itu tidak direkayasa tetapi digali dari budaya bangsa Indonesia. Kita tahu budaya tidak bisa kita kuantifikasi. Sulit Anda merencanakan sesuatu kalau tidak ada kuan-tifikasi, tetapi juga susah kalau hanya kuantitas tetapi tidak ada kualitas, tidak mungkin membuat rencana hanya berdasarkan angka rasional kalau tidak ada perasaan emosional yang ada kaitannya dengan estetika, tolok-tolok ukur moral dan sebagainya.
Jadi keterpaduan dari keduanya itu harus tercermin dalam produk yang bernilai lebih tinggi dan nanti kalau dibawa ke pasar menjadikannya dari nilai yang semu menjadi nilai yang nyata.
Perencana produktif, bukan konsumtif
Kalau kita melihat kehidupan di mana saja manusia ada, normal bi-la mereka memerlukan rumah, kalori. Tiap manusia membutuhkan 2000 kalori tiap hari tergantung dari umurnya. Dua ribu kalori yang dibutuhkan itu bisa berupa setengah gelas penuh dengan lemak. Kalori yang dimasuk-kan ke dalam tubuh dalam bentuk karbohidrat, selulose, protein yang datangnya dari tanaman, dari hewani dari minyak, karena di situ mengandung zat-zat yang lain kalorinya rendah, tetapi penting untuk pencernaan. Kalori untuk badan kita itu bentuknya berbeda-beda begitu juga kadarnya tergantung pada kemam-pu-an kita untuk membayar atau membeli kalori itu. Kita mengetahui, bahwa kalau rakyat kecil rata-rata GNP perkapita-nya rendah, maka kalori yang ia masukkan sebagian itu datang dari karbohidrat, tetapi kalau misalkan yang sudah GNP nya tinggi, rata-ra-ta yang dikonsumsi dari protein, ada yang penuh lemak ada yang sama sekali tidak mengandung lemak, bahkan ada yang su-dah lebih canggih. Tetapi semua sasarannya hanya 2.000 kalori. Untuk perencanaan kota, perumahan sama saja, ada standar minimumnya dan ada standar maksimalnya, itu bisa saling berlebihan, tetapi harus ada standar yang wajar.
Rakyat itu bekerja, menghasilkan uang, rata-rata kita tahu mungkin sudah US$ 1.000 per kapita dan itu meningkat terus, tetapi ada yang dapat banyak sekali, ada yang sedikit, bahkan mi-nus terus. Yang sudah canggih membuat mekanisme atau agregat kehalalan sesuai undang-undang yang dalam kaca mata seorang insinyur — tidak lain daripada agregat memindahkan uang dari rakyat itu ke kantongnya.
Kalau agregat rusak berarti perusahaannya bangkrut, kalau agre-gatnya itu tidak bisa dipertanggungjawabkan karena biaya lebih ba-nyak, maka perusahaan itu bangkrut. Tetapi fungsinya tidak lain adalah bagaimana memperoleh agregat secara halal, karena sesuai ketentuan permainan ia bisa mengumpulkan hasil dari seluruh bangsa itu, bahkan dari bangsa-bangsa yang lain melalui agregat tersebut, ke dalam pengendalian dan kontrolnya. Yang bisa merusak agregat itu mekanismenya sendiri, pelakunya sendiri atau lingkungannya yang tidak bisa menerima masalah ini.
Tidak ada seorang ekonom yang mampu berdiri sendiri, seorang ekonom selalu membutuhkan suatu pertumbuhan yang sebagian besar dinikmati untuk dirinya sendiri dan sebagian kecil diekspor untuk mendapatkan cadangan. Dari cadangan diimpor un-tuk membawa produk-produk yang tidak mampu dibuat dengan biaya dan harga yang rendah.
Di dalam skenario yang demikian, peranan perencana sangat penting, jangan sampai tata ruang itu menjadi — tanpa disadari — suatu produk hasil perencanaan yang menjurus ke konsumtif, melainkan harus dibuat sedemikian rupa agar su-pa-ya tata ruang itu men-jurus ke produktif. Produktif secara tidak langsung meningkatkan produktivitas total da-ripada orang yang hidup di dalam tata ruang itu, karena masalah ekologi, masalah sosial, kesenjangan so-sial, masalah limbah dan se-bagainya, budaya dan keadilan itu secara terpadu dimasukkan.
Kesimpulannya kita harus berani membuat tata ruang dengan menjadikan perencanaan tata ruang itu produktif atau menunjang meningkatkan sesuatu yang bisa bergerak dengan efisiensi dan produktivitas tinggi. Kalau kita membuat sesuatu yang tidak menunjang sistem yang produktif, itu berarti men-jadi kontra produktif, bahkan konsumtif. Produktif artinya memasukkan uang dan uang itu menghasilkan uang lagi, dan yang sebaliknya adalah konsumtif.
Pernah saya bertanya kepada seseorang, kenapa ia membuat real estate di perkotaan. Jawab orang itu: karena tanahnya di situ tidak subur, karena itu mereka membuat perumahan. Tetapi kenapa dibuat perumahan tidak dibuat pabrik? Apalagi jika daerah pertanian diambil dibuat real estate, lapangan golf, apakah tidak sayang?
Kemudian ada yang menjelaskan bila lahan pertanian dijadikan lapangan golf, maka hasilnya per hektar lebih banyak, kalau diserahkan kepada petani maka hasilnya hanya 10%. Tetapi mereka lupa petani itu menghasilkan sesuatu keluaran yang dibutuhkan rakyat untuk substitusi impor atau kalau bisa diekspor. Memang penghasilan lapangan golf itu lebih besar daripada petani, tetapi bukankah hasilnya hanya untuk kantong orang yang terbatas saja, karena mereka memiliki perhitungan agregat untuk membuat real estate tersebut, menghasilkan uang dan masuk ke kantongnya. Dan sebenarnya seluruh volume dari GDP tidak ada penambahan, hanya peralihan dari hasil produksi tersebut. Dari kacamata ini saya anggap mereka konsumtif, karena kita mau meningkatkan GDP. Ma-rilah kita berikan contoh Taiwan. Dari lapangan terbang di Taipeh itu sampai ke pusat bisnisnya kita akan melihat satu pabrik berdampingan di sepanjang pemandangan dengan pabrik yang lain yang ada hanya pabrik-pabrik. Kalau kita lewat Bandara Cengkareng masuk kota, kita tidak melihat pabrik terus menerus, ada golf course, ada rumah mewah dan sebagainya. Di Taipeh ada juga real estate tetapi sangat sederhana, kalah kalau dibandingkan dengan beberapa real estate yang ada di Indonesia.
Di sini terlihat, bahwa uang itu tidak mereka manfaatkan untuk sesuatu yang produktif, di sini it is a matter of mentality. Ka-rena itu jangan tata ruang menjadi tata uang, saya mengatakan ini bukan karena anti. Tetapi janganlah kita membuat sesuatu, Pertama yang tidak produktif dan konsumtif. Kedua, tanpa kita sadari terus menerus merangsang terjadinya sesuatu yang tidak kita kehendaki seperti kesenjangan yang bisa meng-ganggu pertumbuhan pembangunan yang berkesinambungan dan sebenarnya itu tidak sesuai dengan tolok ukur dan sasaran dari perjuangan bangsa kita sendiri.
Ini sesuatu yang prinsipil, jangan heran, kita lihat saja negara Taiwan yang kecil itu, hutangnya nol, neraca perdagangannya positif, neraca pembayaran berjangkanya positif, cadangan devisa melampaui US$ 100 milyar, sebagai investor Taiwan ada di mana-mana. Ke-napa Taiwan berinvestasi, karena di Taiwan sendiri sudah jenuh (saturated). Jika diinvest di tempatnya sendiri maka mungkin dibutuhkan tiga kali lebih lama untuk menjadikan kapitalnya double, tetapi kalau invest di Indonesia yang sedang membangun, karena kita berlari ke arah situ, karena itu juga kita atraktif bagi penanaman kapital, pertumbuhannya besar dan kenyataan bunga perbankan juga lebih tinggi, bunga di sini dibandingkan dengan bunga yen berapa kali, tiga kali atau empat kali atau lima kali. Akibat inventasi Taiwan masuk saja, hanya sepertiga mungkin seperempat, 25% mung-kin 20% dari jenjang waktu dibutuhkan untuk berlipat ganda, dibandingkan dengan investasi di Taiwan.
Setelah mereka melipat gandakan itu, mereka bawa uangnya, dan membawa teknologinya. Mereka tidak punya orang, kalau membawa orang terlalu banyak kendalanya, karena itu mereka hanya membawa mekanisme pengembangan sumber daya manusia. Akibatnya mereka jadi unggul, mereka tiba-tiba mempunyai agregat di tengah-tengah kita, dan mereka memindahkan kapital secara halal.
Rasio Perumahan dan Subsidi Silang
Di sini peranan perencana sangat menentukan. Saya berikan con-toh lain mengenai Pulau Batam yang kebetulan saya diberikan kesempatan untuk mengembangkannya 18 tahun berturut-turut. Ketika dimulai, Pulau Batam dengan kurang dari 30.000 manusia penghasilannya hanya US$ 10,70 tiap tahun per kapita. Tahun 1994 dengan jumlah manusia yang sudah hampir tujuh kali lebih banyak dari 18 tahun yang lalu tiap orang hasilnya (output) sudah melampaui US$ 13.500 tiap tahun.
Di situ kelihatan adanya pemanfaatan kapital nasional secara lebih efisien, dan kapital nasional itu tidak lari keluar, tetapi tetap berada di dalam karena dengan kapital itu, kita bisa ikut menikmati pertumbuhan dengan resiko yang rendah. Gejala demikian terjadi di bumi Indonesia dan insya Allah bila stabilisasi kapital yang diinvestasikan makin lama makin besar, tetapi dari luar akan menurun, mungkin sta-bil antara 15% sam-pai 20%. Tetapi semuanya ha-nya ada artinya jikalau perencanaannya, tata ruangnya itu benar-be-nar berorientasi bukan kepada konsumtif tetapi kepada yang pro-duk-tif. Untuk hal itu saya minta perhatian supaya kita memperhatikan prinsip-prinsip dasar tadi. Prinsip-prinsip dasar menyatakan supaya perencanaan tata ruang dari perkotaan itu mencerminkan budaya, dan membantu tidak terjadi ketidakstabilan di dalam kota tersebut karena adanya ke-senjangan. Jangan sampai terjadi mereka yang lebih mampu menikmati pembangunan dengan memasang dan mengembangkan secara agregat keuntungan untuk dirinya sendiri, sementara yang lain belum mendapatkan kesempatan. Oleh karena itu, dalam perekayasaannya kita harus membantu yang belum mampu, memikirkan keuntungan yang agregat itu, membantu melaksanakannya, caranya dengan subsidi silang. Di Batam sesuai dengan pengarahan Bapak Presiden kita tentukan 1: 3: 6. Semua real estate yang mengadakan pembangunan di Batam itu harus melaksanakan perencanaan pembangunan dengan perbandingan 1 rumah mewah diimbangi dengan 3 rumah sederhana dan 6 rumah sangat sederhana. Tetapi ketiganya itu mempunyai interface jangan menjadikan eksklusivitas, karena bukankah Pancasila itu tidak mengenal SARA dalam bentuk apapun juga. SARA bisa terjadi bila ada eksklusivitas, menghilangkannya misalnya dengan cara membangun prasarana ekonomi yang dibuatkan untuk seluruh tata ruang dalam kualitasnya sama bisa dinikmati merata dari semua yang tinggal dalam tata ruang itu sendiri dengan perbandingan 1: 3: 6. Yang 6 itu harus bisa menikmati subsidi dari yang 1 dan 3, dan yang 1 itu harus lebih banyak mensubsidi. Prasarana ekonomi yaitu energi, air, sistem informasi, penyaluran limbah di bawah tanah harus direncanakan. Se-mua prasarana itu harus dalam kualitasnya sama, listrik yang masuk di situ kualitasnya sama.
Kedua, harus dipikirkan interface dalam pengembangan sumber daya manusia misalnya di mana penghuni bertemu, dalam tempat sport, dalam sekolah. Tidak benar kalau anak sekolahnya dieksklusifkan. Sebaiknya di sekolah murid bergaul dengan siapa saja, tidak ada perbedaanya, apakah bapaknya menteri atau bukan.
Jadi dalam tata ruang Anda harus dibuat interface, harus menjadi katalis bahwa itu terjadi di kota-kota, di sekolah, di puskesmas, gelanggang olahraga, dibuatlah penghijauan untuk lingkungan. Jangan karena di sini ada mode membuat rumah susun, maka di tempat la-han yang harganya murah juga yang dibuat rumah susun. Jadi lihat biayanya. Rumah susun dibuat karena harga tanah per meter per-segi lebih tinggi.
Interface ini harus direkayasa karena merupakan investasi untuk anak cucu kita. Bila tidak ditempa sedini mungkin dengan diberikan perilaku dalam bidangnya, utamanya ditempa de-ngan Imtak sejak Balita, dan diserahkan begitu saja perkembangannya, proses penempaan itu tidak bisa diulangi. Karena itu sebagai perencana, kita harus ikut merencanakan adanya interface untuk bisa mengembangkan manusia kita sesuai dengan budaya dan perilaku dan cita-cita kita bersama. To-lok ukurnya kualitatif dan kuantitatif, tinggal cara kita melihat, tetapi jangan dikorbankan tata ruang karena tata uang.

No comments:

Post a Comment