"Bila
kita berbicara tentang teknologi canggih, bukan teknologi canggih yang
kita kejar. Salah kalau dikira bahwa saya sebagai seorang insinyur
kebetulan ahli konstruksi pesawat terbang hanya cinta teknologi canggih.
Karena itu, apakah lantas hanya teknologi canggih yang ingin
dikembangkan, dan hanya itu yang disasari untuk pembangunan bangsa? Itu
tidak benar, yang saya sasari adalah proses nilai tambah, proses nilai
tambah dari materi yang harganya rendah, dengan segala ketrampilan
dengan usaha dari manusia, bisa dijadikan produk yang nilainya lebih
tinggi, itu proses nilai tambah.
Atau dengan perkataan lain
memanfaatkan teknologi dan ilmu pengetahuan yang tepat dan berguna tanpa
memilih apakah itu canggih atau tidak canggih yang lebih penting bahwa
teknologi yang tepat dan berguna itu dapat dimanfaatkan untuk proses
nilai tambah, dapat mengubah materi itu dengan cepat untuk mendapatkan
nilai yang setinggi-tingginya dengan mengontrol kualitas, biaya, dan
jadual secara terus menerus agar produksi lancar jalannya"
~Prof. B.J.
Habibie~
Sebagaimana
telah dikemukakan pada bab sebelumnya, bahwa jalan yang paling rasional
untuk keluar dari ke-tergantungan secara terus-menerus kepada negara
maju adalah dengan cara mengembangkan dimensi baru dalam perekonomian
Indonesia: yakni mengusahakan kemungkinan ekspor teknologi tinggi.
Dasar
pertimbangannya sangat logis. Upaya mengandalkan keunggulan komparatif
berupa melimpahnya sumberdaya alam dan rendahnya upah buruh, tidak bisa
dipertahankan lagi. Pembuatan celana jean misalnya yang memanfaatkan
teknologi yang relatif rendah, menghasilkan nilai tambah yang rendah
pula. Karena persaingan proses yang menentukan harga maka produk jenis
ini sulit pula bukan barang lain dengan satelit, kapal terbang yang
harganya ditentukan oleh pembuatnya, tidak banyak yang menguasai, karena
itu tidak banyak mengalami hambatan pasar.
Perlu saya jelaskan, keunggulan komparatif dan nilai tambah berkaitan dalam ekonomi secara keseluruhan. Hanya yang harus diperjuangkan adalah nilai tambah yang mana, yang membuat jeans atau kapal terbang. Itu pertayaannya.
Perlu saya jelaskan, keunggulan komparatif dan nilai tambah berkaitan dalam ekonomi secara keseluruhan. Hanya yang harus diperjuangkan adalah nilai tambah yang mana, yang membuat jeans atau kapal terbang. Itu pertayaannya.
Saya
ingin menegaskan untuk tidak mempertajam perbedaan antara ekonomi yang
berdasarkan keunggulan komparatif, karena kedua-duanya bergandengan.
Itulah ekonomi, setiap ekonom berkisar pada dua unsur yang penting itu.
Bedanya ialah kita harus kembali dengan eksperimen "mobil kijang",
apakah kita tetap hanya teknologi-teknologi yang rendah dan menengah,
atau kita lari ke yang tinggi.
Kita harus dapat
memfokuskan pemikiran-pemikiran kita dan mengarahkan kepada
target-target mikro, yang harus secara terpadu dan serentak kita
selesaikan, sehingga insya Allah kita tidak kalah dengan negara tetangga
kita. Untuk itu saya mulai dengan hal yang makro, bahkan hal yang
sangat makro dari dunia ini. Seharusnya kita bertanya dan memikirkan mau
kemana arah perkembangan dunia ini, karena kita tidak bisa melepaskan
diri dari perkembangan dunia.
Sebagai contoh,
perhatikan saja masalah antara Amerika Serikat dan Jepang. Masalahnya,
hanya satu komoditi yaitu mobil. Kita mengetahui AS menaikkan harga
mobil mewah yang dampaknya merugikan Jepang, lebih kurang US$ 6 miliar.
Ini permulaannya. Jadi dari hal itu, kita melihat bahwa tidak ada lagi
suatu masyarakat di dunia ini yang bisa mengisolasi diri .
Saya
ingin mengajak berpikir mengenai bagaimana keadaan dunia, katakanlah
tidak sampai 50 tahun mendatang tapi 25 tahun lagi, sampai akhir Pelita X
tahun 2019. Untuk hal itu, saya telah memperoleh data-data mengenai GDP
dunia pada tahun 1994. Dalam perhitungan GDP dunia itu dipakai
pengertian bahwa seluruh umat manusia di dunia bekerja, dan total
hasilnya dinyatakan dalam dolar AS. Ternyata pada tahun 1994, GDP dunia
yang diperoleh lebih kurang US$ 27 triliun. Tentunya angka ini telah
mengalami perubahan karena ada beberapa negara yang mata uangnya agak
sulit dihitung dengan dolar AS sebagai akibat fluktuasi.
Negara-negara
maju yang saya perhatikan adalah PBE (Pasar Bersama Eropa), Jepang, dan
Amerika Serikat. Saya dengan sengaja tidak memasukkan Kanada, Meksiko,
dan NAFTA, karena walaupun Kanada ekonominya sama dengan AS tetapi
penduduknya sedikit. Selain itu, saya mengambil asumsi bahwa
negara-negara seperti AS, PBE, dan Jepang sudah jenuh terhadap
pertumbuhan modal (capital growth)
dan bukan dalam hal pembentukan modal (capital
formation). Kejenuhan itu disebabkan karena biaya sumber daya
manusia (SDM) dan prasarananya sudah tinggi sehingga modal yang masuk
tidak bisa lagi diserap. Kita analogikan saja modal itu seperti spons
(karet, red). Apabila kita mempunyai spons dengan bentuk dan besarnya
tetap, lalu dimasukkan ke dalam air, maka sesudah mencapai titik jenuh,
spons tersebut tidak bisa lagi menyerap air, kecuali bila spons itu
mempunyai kemampuan untuk tumbuh. Apabila spons itu tumbuh dengan
pertumbuhan tertentu dan air yang masuk ke dalam spons lebih kecil dari
pertumbuhan spons, maka bisa dibayangkan bahwa spons itu masih mampu
menyerap air.
Tetapi apabila jumlah air yang masuk ke
dalam spons lebih besar dari pertumbuhannya, maka air akan dipantulkan
karena tidak bisa diserap lagi oleh spons. Saya bayangkan bahwa ekonomi
dalam suatu masyarakat yang begitu kompleks merupakan spons, di mana
modal yang dimasukkan ke dalamnya hanya bisa di-serap selama tidak
jenuh, dan apabila tidak bisa diserap maka akan dipantulkan. Tetapi
modal berbeda dengan air yang masuk ke dalam spons, karena modal tidak
hanya harus bisa diserap tapi harus mampu pula menciptakan modal lagi.
Ini berarti bahwa modal yang masuk harus bisa mendorong atau memicu
adanya pertumbuhan modal itu sendiri sehingga menjadi besar.
Dengan
contoh di atas, sebagai seorang ilmuwan entah dalam bidang fisika atau
rekayasa, kita harus selalu menggunakan model; bahkan bidang sosial
ekonomi dan politik pun sekarang ini tidak bisa bekerja tanpa model
sebab sulit untuk mengontrol segala varian yang bekerja. Oleh karena
itu, modal (kapital) yang ada di dunia untuk gampangnya sebut saja uang
akan mencari kesempatan di mana kapital tersebut dapat masuk ke dalam
spons dan menciptakan spons itu menjadi tumbuh yang sekaligus
menumbuhkan modal itu sendiri. Selama kemungkinan itu tidak diberikan
maka modal tidak akan masuk. Tentunya semua itu dengan persyaratan
risiko yang rendah, seperti adanya stabilitas politik. Di sini tidak
akan dibicarakan masalah politik, tetapi kita akan membicarakan
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Bagi saya modal tidak hanya uang.
Modal itu meliputi SDM, prasarana ekonomi, prasarana iptek, dan
prasarana lainnya serta yang lebih penting adalah SDM yang menguasai
iptek.
Yang memungkinkan uang masuk dan diserap
serta terus bisa tumbuh, adalah adanya prasarana ekonomi, prasarana
pengembangan SDM, prasarana iptek dan yang lebih penting lagi adanya SDM
yang menguasai iptek. Apabila investasi hanya pada prasarana ekonomi
saja atau prasarana pengembangan iptek atau hanya pendidikan SDM, atau
de- ngan perkataan lain hanya dalam satu bidang saja, sebagai contoh
misalnya pertanian, atau pertanian plus pertamba- ngan plus energi, maka
bisa saya sebut uang tersebut berkembang sampai tiba-tiba jenuh dan
tidak bisa mekar lagi.
Banyak negara tadinya berkembang karena
ekspor sumber daya alam (SDA), misalnya Australia dan New Zealand, yang
hidup dari ekspor daging, wool, dan lain SDA yang diolah secara
industri. Kenyataan sekarang keadannya sudah jenuh karena
kendala-kendala di dunia yang tidak memungkinkan lagi negara tersebut
mengekspor produk SDA-nya. Oleh karena itu, apabila pengembangan ekonomi
hanya didasarkan dan berorientasi pada komoditi tertentu, maka berarti
sejak awal kita sudah membuat kendala bagi diri sendiri yang akan
membawa kita kepada suatu jalan buntu.
Apabila hal itu tetap dilaksanakan, di mana produksi, pengembangan iptek, pengembangan SDM dengan segala prasarananya untuk menguasai iptek, hanya diarahkan pada satu komoditi nisalnya pertanian atau perkebunan, maka kita akan menghadapi suatu kendala di mana kejenuhan akan cepat terjadi dan tidak mungkin lagi memasarkan produk-produk tersebut.
Apabila hal itu tetap dilaksanakan, di mana produksi, pengembangan iptek, pengembangan SDM dengan segala prasarananya untuk menguasai iptek, hanya diarahkan pada satu komoditi nisalnya pertanian atau perkebunan, maka kita akan menghadapi suatu kendala di mana kejenuhan akan cepat terjadi dan tidak mungkin lagi memasarkan produk-produk tersebut.
Saya
menjelaskan semua ini tidak dengan maksud menggurui tetapi untuk
mengajak semuanya sebagai orang yang harus merekayasa dan mengelola
iptek dengan penuh kesadaran bahwa kita harus selalu berorientasi pada
ekonomi.
Bersambung.
No comments:
Post a Comment