SDM: Faktor Menentukan
Tetapi
di balik itu semua, siapa yang berada dan menentukan adalah manusia.
Tanpa manusia yang menguasai teknologi di balik proses nilai tambah dan
biaya tambah, atau dengan perkataan lain, manusia yang tidak pernah
mengalami pendidikan atau mengalami proses nilai tambah pribadi, manusia
itu tidak mungkin dapat melaksanakan apa yang saya maksudkan dalam
uraian saya tadi itu.
Seseorang tamat SMA, lalu masuk program
pendidikan Sl, S2, atau S3 melalui beberapa cara ujian. Ujian itu dalam
hal ini, tidak lain merupakan quality control dari proses nilai tambah
pribadi. Karena manusia yang masuk dan tamat baru merupakan raw material, proses nilai tambah pribadi
diberikan melalui informasi dari dosen yang memberikan input data kepada
mahasiswa. Untuk bisa menghasilkan dengan baik maka diadakan ujian,
ujian itu adalah sebagian dari proses nilai-tambah pribadi atau dalam
hal ini adalah quality control, seperti saya laksanakan pada proses
nilai tambah materi di pesawat terbang atau satelit atau apa saja hingga
keluar sertifikat. Setelah diwisuda Sl, S2, S3, berarti mahasiswa itu
sudah diberi jaminan oleh Universitas bahwa dia memiliki potensi ekonomi
dalam bentuk manusia yang canggih yang mengerti suatu masalah secara
profesional. Itu proses nilai tambah pribadi pula.
Jika
mahasiswa itu lulus walaupun dari program S3 tetapi setelah itu tidak
terjun di dalam proses nilai tambah materi, jangan heran lima tahun
paling terlambat setelah itu dia sudah luntur, dan ketinggalan zaman.
Hanya mereka yang terjun dalam proses nilai tambah materi dengan biaya
tambah materi dan terus memberikan dharma baktinya atau sumbangannya
dalam pembangunan nasional atau internasional. Merekalah yang bisa terus
berkembang nilai tambah pribadinya dan menjadi unggul dalam bidangnya
masing-masing. Karena itu, suatu masyarakat membutuhkan dua hal: sekolah
dan pabrik/perusahaan yang melaksanakan proses nilai tambah dan biaya
tambah.
Tetapi jangan setelah lulus Sl, S2, S3, lantas dia menonjolkan gelar doktornya atau dengan S2nya lalu banyak bicara, menjadi pegawai negeri atau tinggal diam begitu saja. Bukan begitu. Dia harus turut aktif untuk meningkatkan materi bangsanya menjadi lebih tinggi kalau secara makro ialah dengan meningkatkan GNP per kapita. Untuk hal itu kita harus meyediakan tempat untuk mereka dalam proses nilai tambah di bidang yang dibutuhkan untuk mengoptimasikan nilai tambah dan biaya tambah.
Tetapi jangan setelah lulus Sl, S2, S3, lantas dia menonjolkan gelar doktornya atau dengan S2nya lalu banyak bicara, menjadi pegawai negeri atau tinggal diam begitu saja. Bukan begitu. Dia harus turut aktif untuk meningkatkan materi bangsanya menjadi lebih tinggi kalau secara makro ialah dengan meningkatkan GNP per kapita. Untuk hal itu kita harus meyediakan tempat untuk mereka dalam proses nilai tambah di bidang yang dibutuhkan untuk mengoptimasikan nilai tambah dan biaya tambah.
Sebagaimana tadi sudah saya katakan
bahwa kita sudah memanfaatkan teknologi canggih, kalau tidak mana
mungkin kita berkembang. Sekarang kita lihat masalahnya, kalau kita
belum membangun apa yang kita namakan prasarana ekonomi tadi (itu
semuanya sebagai turn key), kita bayar dengan ekspor minyak dan gas atau
membayar dari harga ekspor kelapa sawit, kelapa atau kayu lapis ataupun
rotan dan sebagainya, sedangkan harga barang yang harus dibayar itu
berlipat ganda dari nilai tambah rotan, maka jangan heran jika kita
mengalami suatu masalah di mana kita keluarkan banyak tenaga dan upaya
mengekspor produk-produk migas dan produk-produk tradisional untuk
membiayai satelit, pesawat terbang, telex, telefax, kereta api,
generator, kapal dan sebagainya, sedangkan orang yang membuat produk
tersebut memanfaatkan manusia-manusianya yang menguasai teknologi
tinggi. Kalau Indonesia merupakan suatu negara yang besarnya hanya
sebesar Singapura, mungkin impor barang teknologi canggih bisa
dimengerti. Tapi tidak demikian halnya.
Ketika
Alvin Tofler datang ke Indonesia, orang begitu membesar-besarkan
idenya, seakan-akan kita harus menjadi information
society. Saya katakan bahwa masyarakat informasi sebenarnya
bukan problem ekonomi. Salah satu masalah Amerika pada waktu ini ialah
bahwa dahulu mereka meninggalkan nilai tambah dan hanya berkonsentrasi
pada meminimumkan proses biaya tambah dan Amerika berusaha mengambil
keuntungan dari proses nilai tambah dan hal itu diserahkan kepada Jepang
dan Eropa dan mereka hanya melakukan proses nilai tambah pada produk
canggih dirgantara serta alat-alat perang yang tidak produktif.
Sementara
itu negara lain mulai menyerahkan teknologi kamera dan sebagainya,
semuanya diserahkan kepada negara lain dan mereka kemudian membuat
produk yang tanpa risiko banyak. Memang dalam waktu singkat kita bisa
melihat keuntungannya, mungkin paling cepat kembali kapitalnya, risiko
berkurang dan cepat bisa menguntungkan perusahaan, itu benar, tetapi hal
itu bagi suatu bangsa bisa menjadikan malapetaka dan itu terjadi di
Amerika.
Mereka mengabaikan riset teknologi, baik
dalam bidang teknologi video, teknologi otomotive, dalam bidang baja
dan sebagainya. Kita yakin Amerika itu adalah negara yang besar dan
mempunyai domestik pasar yang tertutup. Amerika bisa menutup pasarannya
dan bisa hidup makmur tanpa ikut campur orang lain. Lain halnya dengan
Jepang, negara ini tidak bisa tertutup karena masih membutuhkan input
dari luar. Sekarang Amerika yang saya saksikan telah mengalami banyak
perbedaan. Mereka sekarang melakukan konsentrasi kedalam proses nilai
tambah hardware dan software, mereka mengadakan konsentrasi dan
berlebih-lebihan.
Dalam bulan Oktober yang lalu saya
bertemu Presiden General Electric kolega saya karena kebetulan saya
adalah anggota National Academy of Engineering USA dan Doktor Willam F.
Ballhaus Chairman dan President National Academy of Science di
Washington, saya secara teratur bertemu dan berkonsultasi dengan mereka.
Dari situ saya dibawa ke the manufacturing of
the future.
Saya lihat manufacturing plate besar tertutup dan tidak ada jendelanya. Semua dibuat otomatis dan pegawainya bekerja 24 jam dalam tiga shift tidak ada satu pegawai diperuntukkan untuk satu mesin. Mereka bekerja sebagai satu tim, tetapi yang aneh mereka semua memakai pakaian seragam sama seperti Jepang, pakai topi dan pakai bendera Amerika. Itu semua karena mereka mendapatkan suatu shock dari Jepang, mungkin juga ibarat masa Perang Dunia II, Amerika sebelumnya tidak mau ikut campur dalam perang, tetapi kemudian mendapatkan serangan di Pearl Harbour. Sejak itu Amerika membangun diri sebagai raksasa dan dia memenangkan Perang Dunia II.
Saya lihat manufacturing plate besar tertutup dan tidak ada jendelanya. Semua dibuat otomatis dan pegawainya bekerja 24 jam dalam tiga shift tidak ada satu pegawai diperuntukkan untuk satu mesin. Mereka bekerja sebagai satu tim, tetapi yang aneh mereka semua memakai pakaian seragam sama seperti Jepang, pakai topi dan pakai bendera Amerika. Itu semua karena mereka mendapatkan suatu shock dari Jepang, mungkin juga ibarat masa Perang Dunia II, Amerika sebelumnya tidak mau ikut campur dalam perang, tetapi kemudian mendapatkan serangan di Pearl Harbour. Sejak itu Amerika membangun diri sebagai raksasa dan dia memenangkan Perang Dunia II.
Karena itu, normal bilamana hari ini
suatu produk sulit memasuki pasaran Jepang dan pasaran Amerika. Produk
Amerika yang masuk ke Jepang harus sesuai dengan kuota, masa lantas kita
membuka pasaran Indonesia begitu saja dan boleh sembarang orang masuk
sedangkan mereka yang sudah 100 tahun mendapatkan kesempatan untuk
menguasai teknologi dan menjadi unggul menutup pasarnya?
Bersambung.
Bersambung.
No comments:
Post a Comment