Tuesday, February 7, 2012

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA DAN PEDESAAN II

Upaya Indonesia 
Memang benar bahwa pendidikan tinggi formal berdasarkan beasiswa di negara-negara yang maju akan dapat memperdalam pengetahuan teori dan aneka metode ilmiah. Namun bila berbagai teknologi itu hendak dialihkan dari negara maju ke negara yang berkembang, maka akan jelas bahwa praktek yang kongkrit dalam hal menerapkan teknologi itu di lokasi di mana terdapat masalah kongkrit sungguh khusus diperlukan. Dalam contoh khusus ini, akan diperlukan praktek bagi ilmuwan Indonesia untuk menentukan melalui eksperimen jenis-jenis isotop, rentang intensitas radiasi serta dosis yang cocok bagi serangga serta ciri-ciri khas ekologi daerah di mana perlu dilakukan pengendalian atau pembasmian jenis hama tertentu.

Sekalipun masih terbatas jumlah serta kemampuan masing-masing pada dasarnya kalangan ilmuwan dan ahli teknologi di negara-negara ASEAN sudah mampu untuk mengetahui masalah yang dihadapinya dan untuk merancang proyek-proyek guna menanggulangi masalah-masalah itu. Yang kurang hanyalah pengalaman serta peluang untuk melakukan percobaan dengan teknologi, aneka prosedur, alat-alat, perlengkapan dan mesin jenis mutakhir. Maka pengalaman serta peluang bereksperimen itulah yang dibutuhkan.

Pengalaman serta peluang untuk mengujicoba aneka teknologi mutakhir yang telah dikembangkan di negara-negara yang maju dibutuhkan agar para ilmuwan, para ahli teknologi, manajer produksi serta para insinyur, di negara-negara yang berkembang akan mampu dengan lebih efektif dan efisien menanggulangi segala masalah kongkrit yang kami hadapi dalam memberi sumbangan kepada usaha pembangunan bangsa dan negara.

Sungguh akan mengesankan bahwa pengelolaan semacam ini penting, negera saya dapat mengirim para ilmuwan dan insinyur Indonesia ke luar negeri untuk mempelajari cara bagaimana teknologi maju diterapkan untuk memecahkan masalah di negeri-negeri asing itu. Namun akan me-ngesankan pula dan akan lebih besar manfaatnya bila untuk tujuan yang sama pemerintah kami dalam rangka bantuan teknis dalam berbagai bidang, kaum ilmuwan dan insinyur luar negeri bersama dengan pengalaman, aneka alat perlengkapan, mesinnya datang ke negeri kami untuk bersama-sama dengan para ilmuwan serta insinyur Indonesia mengadakan eksperimen dengan penerapan serta untuk mengembangkan penerapan teknologi mutakhir itu untuk turut menanggulangi aneka masalah serta bereksperimen dengan menerapkan teknologi itu dalam menanggulangi masalah yang serupa di luar negeri.

Saya yakin pula bahwa akan menarik hati bagi kaum ilmuwan Indonesia bila mereka akan mampu pula menerapkan teknologi yang baru untuk menanggulangi masalah samacam itu. Dan saya yakin pula atas kegunaan pengalaman yang diperolehnya dalam membina kemampuan bangsa Indonesia untuk menanggulangi masalah, sebagaimana yang diperolehnya melalui proyek-proyek penelitian bersama, akan jauh lebih besar daripada pengetahuan yang diraihnya melalui pendidikan formal.

Sebagaimana telah saya tegaskan tadi untuk pengalihan teknologi harus dilakukan secara efektif, teknologi itu diterima lalu diterapkan. Artinya proses alih teknologi itu hanya dapat kita pandang telah selesai bila di negeri yang menerima pergaulan kaum ilmuwan mendapat pengalaman dalam menerapkan teknologi itu untuk menanggulangi aneka masalah yang kongkrit serta telah dibina kemampuan ilmuwan di negeri itu untuk lebih lanjut mengembangkan teknologi yang diterima pengalihannya itu.

Saya beranggapan bahwa suatu program penelitian bersama akan merupakan mekanisme alih-teknologi yang sungguh efektif dan seharusnya diselenggarakan lebih sering serta pada skala yang cukup besar dalam rangka program bantuan luar negeri yang berlansung sampai dewasa ini. Dan inilah hasil yang dianut negara kita sekarang.

Kami menghimbau negara-negara maju agar mereka menyerahkan kepada kami masalah-masalah yang kami pandang perlu ditanggulangi dalam rangka keseluruhan upaya pembangunan negeri kami, dan janganlah tergoda untuk memaksakan jenis teknologi tertentu yang telah terbukti sangat sesuai untuk menanggulangi masalah-masalah yang telah mereka alami dalam lingkungan negeri sendiri. Dalam pada itu, kami telah menganjurkan kepada kaum ilmuwan dan teknisi bangsa kami bahwa bila mereka ingin agar suatu jenis teknologi tertentu dialihkan ke Indonesia, mereka harus bersedia secara konsisten berupaya memecahkan aneka masalah tertentu dengan menerapkan teknologi itu agar memperoleh pengalaman yang diperlukan untuk menguasai dan mengembangkan lagi teknologi bersangkutan.

Namun, bagi kita sebagai ilmuwan dan ahli teknologi, adalah sangat penting untuk menyadari betapa perlunya teknologi harus diselaraskan dengan kebudayaan. Jika hal ini kita renungkan, akan tampak bahwa memang sewajarnya demikian karena pada dasarnya, teknologi merupakan sebagian dari kebudayaan. Ini berarti bahwa dalam usaha kita meningkatkan serta mengalihkan teknologi perlu pula kita kembangkan serta memantapkan kemampuan derap kebudayaan lingkungannya.

Dalam berusaha demikian, kita harus sadar bahwa justru karena teknologi merupakan sebagian dari keseluruhan suatu bangsa, upaya-upaya kita dalam mengembangkan serta mengalihkan teknologi itu akan mengalami hambatan-hambatan yang bersifat kultural. Hal ini harus diperhitungkan serta diatasi secara seksama karena jika tidak, maka pengembangan teknologi akan membawa keretakan-keretakan dalam keutuhan kebudayaan tersebut yang mungkin akan dapat menimbulkan keresahan-keresahan dalam rnasyarakat.

Selanjutnya saya beralih pada aspek lainnya dari pendekatan kita terhadap pengembangan teknologi sebagai bagian dari pembangunan nasional pada umumnya.

Kita semua adalah ilmuwan. Apapun bidang spesialisasi kita masing-masing. Sebagai ilmuwan kita mempunyai satu hal yang sama, yaitu: sistematika dalam melakukan penelitian ilmiah dan sistematika dalam mengadakan analisa secara obyektif. Dan kita sama-sama mengetahui bahwa dalam mencari penyelesaian suatu analisa, kita harus dapat mem- beda-bedakan antara masalah-masalah yang merupakan problem lingkungan.

Ini berarti, bahwa sebagai ilmuwan, kita harus dapat membedakan masalah-masalah mana memerlukan suatu jawaban yang bersifat umum atau menyeluruh ("General Solution") dan problema-problema yang menghendaki penyelesaian yang bersifat spesifik ("Solution at the boundary"). Berlandaskan pada kesadaran itu, kita juga mengetahui bahwa penyelesaian umum yang kita dapati pada suatu problema yang bersifat umum pada prinsipnya betul tidak hanya untuk Indonesia, tetapi akan berlaku umum sebagai kebenaran universal pada problema-problema yang serupa di manapun ia timbul, seperti problema di bidang teknologi energi, teknologi alat-alat angkutan, teknik-teknik pembatasan kelahiran dan sebagainya.

Kita juga mengetahui bahwa terdapat problema yang bersifat timbul karena dan melekat pada suatu lingkungan ("environment specific"). Pada problema-problema ini maka dalam proporsi tertentu, sifat dari lingkungannya dapat sangat menentukan penyelesaiannya.

Teknologi untuk Menjawab Kebutuhan 

Penyelesaian problema yang bersifat spesifik lingkungan tersebut dengan sendirinya mempunyai nilai kebenaran yang terbatas pada problema yang mempunyai kondisi-kondisi lingkungan yang identik. Sebaliknya, dengan sendirinya problem-problem yang mempunyai kondisi lingkungan yang berbeda menghendaki jawaban-jawaban yang bersifat spesifik dan berlainan. Misalnya, masalah pencukupan beras di Sulawesi Selatan mempunyai penyelesaian yang berlainan dari masalah pencukupan beras di Jawa Tengah.

Lebih daripada itu, masalah pencukupan beras di Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah kalau dibayangkan sebagai suatu kesatuan teoritis akan mempunyai penyelesaian yang secara kualilatif berbeda dari penyelesaian masalah pencukupan beras di daerah itu masing-masing. Ini menjadi demikian karena sistem yang berlaku antara Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah sebagai suatu kesatuan mempunyai kondisi lingkungan yang secara kualitatif berbeda dari kondisi bagi Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah masing-masing. Sebabnya adalah harus diperhitungkan pula interaksi antara kondisi-kondisi di Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah.

Ini berarti bahwa masalah beras di Indonesia, atau lebih luas lagi masalah pangan di Indonesia, dan masalah-masalah nasional lainnya, tidak dapat diselesaikan secara terperinci dengan menyelesaikan masalah-masalah tersebut sebagaimana muncul di setiap satu lokasi atau daerah, tetapi harus diselesaikan secara integral.

Bersambung

Friday, January 6, 2012

TRANSFORMASI TEKNOLOGI DAN INDUSTRI III

Transformasi Teknologi dan Struktur Ekonomi 


Perkembangan semua industri yang disebutkan tadi bersama-sama dengan sektor-sektor ekonomi lainnya, melalui peningkatan keterampilan teknis, akan meningkatkan penghasilan masyarakat. Meningkatnya penghasilan masyarakat akan meningkatkan daya belinya.

Melalui proses yang diawali dengan peningkatan kemahiran teknologi, mula-mula di berbagai sektor kunci, lalu kemudian meluas ke seluruh bidang ekonomi, kemakmuran masyarakat akan meningkat dan pasar dalam negeri akan meluas dan berkembang menjadi daya penggerak bagi perkembangan dan kemajuan ekonomi selanjutnya secara mandiri tanpa tergantung pada pasar luar negeri. Transformasi demikian itulah yang terjadi di negara-negara industri.

Duaratus tahun yang lalu, sekitar sembilan puluh persen penduduk di Ameriha Serikat baik secara langsung atau pun tidak langsung, bekerja di sektor pertanian. Di tahun 1980, hanya dua persen saja dari angkatan kerja Amerika Serikat secara langsung bekerja di sektor pertanian. Tingkat produktivitas sektor pertanian Amerika Serikat sangat tinggi.

Produk sektor ini tidak hanya mencukupi kebutuhan pangan masyarakatnya sendiri. Ekspor hasil pertanian Amerika Serikat di tahun 1980 adalah sekitar duapuluh tiga persen dari total ekspor barangnya. Peningkatan produktivitas ini terjadi karena proses transformasinya, dari negara agraria menjadi suatu negara industri dengan sebagian besar tenaga kerjanya ada di sektor industri dan jasa. Semua ini dimungkinkan karena tumbuhnya pasar domestik Amerika Serikat.

Transformasi dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri itu kini boleh dibilang sudah selesai dan dilanjutkan menjadi transformasi Amerika Serikat menuju masyarakat pascaindustri, dengan titik beratnya pada teknologi jasa dan teknologi informatika. Dalam proses transformasi masyarakat ini, teknologi sektor pertanian semakin maju dalam arti makin mengandalkan diri pada mesin dan alat pertanian.

Melalui proses ini, kemakmuran penduduk yang terlibat dalam sektor pertanian semakin meningkat. Kualitas hidupnya makin tinggi: mutu perumahannya makin baik, tingkat konsumsi barang dan jasanya meningkat, kesehatannya makin baik, tingkat pendidikannya makin maju. Semua ini menjadikan penduduk pertanian Amerika Serikat kian terampil dan produktif nilai ekonominya meningkat sejalan dengan makin tingginya nilai ekonomi masyarakat Amerika Serikat pada umumnya.

Melalui transformasi tersebut potensi manusia masyarakat Amerika Serikat makin dikembangkan. Daya gerak transformasi tersebut adalah semangat orang Amerika untuk membangun hidup yang lebih baik. Semangat itu memberi motivasi untuk bekerja, berproduksi, menjual, dan meluaskan pasar serta ekonomi nasionalnya. Kongkretnya, ekonomi nasional yang digerakkan semangat nasional itulah yang menjadi penggerak transformasi.

Kendala Transformasi 

Dalam pelaksanaan proses pengalihan dan pengemba- ngan teknologi tadi, kita menghadapi beberapa keterbatasan yang pertama, keterbatasan dana; kedua; keterbatasan dalam teknologi maju dan tinggi yang dikembangkan di dalam negeri kita sendiri; dan ketiga, keterbatasan dalam tenaga manusia terdidik, terampil dan berpengalaman untuk menyerap, menggunakan dan mengembangkan teknologi modern lebih lanjut.
Dari ketiga kendala tersebut, masalah tersedianya tek- nologi merupakan masalah yang relatif paling mudah dia- tasi. Masalah pembiayaan pengadaan dan pengembangan teknologi serta masalah pembudayaan teknologi relatif membutuhkan usaha perjuangan yang relatif lebih besar.

Saya akan menyinggung persediaan teknologi yang dibutuhkan untuk pembangunan bangsa Indonesia terlebih dulu sebelum membahas dua kendala lainnya.

Tersedianya Teknologi 

Dewasa ini, kita terbatas dalam kemampuan kita me- ngembangkan sendiri teknologi yang diperlukan untuk melaksanakan segala apa yang kita inginkan. Untunglah pasar teknologi internasional cukup terbuka. Sementara itu, kredibilitas bangsa Indonesia sebagai pembeli teknologi pun sudah mulai tampak.
Perkembangan teknologi telekomunikasi dan perhu-bungan kini memungkinkan dilakukannya transasaksi ilmu pengetahuan dan teknologi dari tempat asalnya ke tempat penerapannya yang paling menguntungkan dalam waktu sesingkat-singkatnya.



Tidak ada masalah teknis bagi penga- lihan teknologi apa pun dari luar negeri ke Indonesia yang kita perlukan untuk menyelenggarakan proses nilai-tambah yang secara ekonomis ditunjang oleh pasar domestik dan regional. Di samping itu, persaingan teknologi antar negara maju makin besar. Karena itu, tidak ada negara yang berkeinginan menanggung risiko tertinggal oleh lawannya dalam menawarkan pengalihan teknologinya ke Indonesia.

Sementara itu makin terbukti bahwa dalam beberapa bidang tertentu, misalnya pesawat terbang dan kapal, bangsa Indonesia semakin mampu menghasilkan produk proses nilai tambah teknologi tinggi (high technology value added processes) dengan baik. "Baik" di sini berarti mampu mengendalikan jadwal, biaya, dan kualitas. Dengan makin tumbuhnya kemampuan ini, bangsa Indonesia makin memiliki kredibilitas di dalam rekayasa industri, di samping kredibilitas yang tinggi di bidang ekonomi dan keuangan yang telah dapat ditumbuhkan.

Kepercayaan dunia internasional pada kedua kemampuan bangsa Indonesia ini perlu dipelihara dan ditingkatkan. Yang satu menyangkut mantapnya kemampuan bangsa Indonesia menyediakan dana. Kemampuan menyerap dan menggunakan teknologi secara berdaya guna dan berhasil guna menyangkut keterampilan dan sikap mental.

Bersambung


Sumber: Prof. B.J. Habibie
Foto oleh: Arip Nurahman
Lokasi: Desa Bangunharja

Monday, January 2, 2012

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA DAN PEDESAAN I


Dalam keadaan mendesaknya masalah-masalah kehidupan kongkrit yang dihadapi bagian dunia yang masih terbelakang, tidak banyak gunanya menggolong-golongkan teknologi ke dalam 'teknologi sederhana,' 'teknologi menengah,' dan 'teknologi tinggi'. Jauh lebih berguna mempertanyakan teknologi manakah yang dapat memecahkan suatu masalah yang kongkrit, tanpa memperdulikan apakah teknologi yang tepat itu adalah teknologi primitif, menengah atau canggih, dan tanpa mempersoalkan di mana teknologi tersebut pertama kali dikembangkan. 

Meskipun peluang ke arah transfer dan penguasaan aneka teknologi sangat dimungkinkan, tidak berarti bahwa semua teknologi akan dikembangkan di Indonesia. Setiap teknologi yang ditransfer dan dikembangkan harus di-sesuaikan dengan preferensi budaya, keadaan sosial, dan kondisi-kondisi lingkungan lainnya.
(Prof. B.J. Habibie) 

Manusia tidak dapat dipisahkan dari teknologi. Teknologi terkandung di dalam dirinya dan di dalam cara-cara hidupnya dalam masyarakat. Teknologi tidak dapat terlepas dari manusia: teknologi itu hanya ada karena diciptakan oleh manusia. Kemampuan berpikir manusia yang sistematis, analitis, mendalam dan jangka panjang menghasilkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan melahirkan teknologi, yaitu cara-cara berdasar ilmu untuk menghasilkan barang atau jasa. Manusia memanfaatkan teknologi untuk menyempurnakan proses nilai-tambah, yaitu proses mengubah bahan mentah dan barang-barang setengah jadi menjadi barang-barang jadi yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Teknologi penting karena merupakan penggerak utama proses nilai tambah tersebut.

Sedangkan proses nilai tambah itu sendiri merupakan proses kompleks yang berjalan terus-menerus dan hanya dapat dikatakan berhasil jika pemanfaatan mesin, keterampilan manusia, dan material sepenuhnya dapat diintegrasikan oleh teknologi sehingga menghasilkan produk barang dan jasa yang bernilai lebih tinggi dari nilai material dan masukan lainnya. Karena sifat integratif inilah maka dalam suatu proses ekonomi apa pun juga, teknologi merupakan unsur yang paling menentukan dalam proses nilai tambah.

Semakin efisien dan produktif proses nilai tambah, semakin meningkat taraf hidupnya. Taraf hidup manusia yang meningkat melahirkan cara-cara berpikir, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang lebih maju lagi. Dan demikian seterusnya. Maka lahirlah suatu lingkaran peningkatan antara tingkat perkembangan teknologi karena taraf kehidupan manu- sia dan karena tingkat perkembangan teknologi.

Dari apa yang dikemukakan tadi dapat ditarik suatu kesimpulan sederhana tetapi cukup penting. Bahwa hadirnya teknologi dalam kehidupan manusia berarti hadirnya kemungkinan peningkatan kemampuan berproduksi dan peningkatan taraf kehidupan suatu masyarakat.

Ini berlaku bagi setiap manusia di semua masyarakat, baik di Eropa maupun di Asia, di Jepang maupun di Afrika, di Amerika Utara maupun di Amerika Latin, di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang. Dengan demikian, setiap masyarakat di muka bumi ini memiliki kesempatan membangun dirinya sebagai bangsa, selama padanya disediakan teknologi. Karena itulah dalam berbagai kesempatan lain, saya kemukakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah kunci penyempurnaan proses nilai tambah yang diperlukan setiap masyarakat dalam melaksanakan pembangunan bangsa.

Pengertian Teknologi "Tepat-Guna" 

Seperti kita ketahui, teknologi dapat didefinisikan de-ngan berbagai cara. Namun dipandang dari maknanya yang terlebih umum istilah itu mencakup setiap pengetahun yang diperlukan untuk memproduksi barang dan jasa. Pengetahuan ini dapat memacu kepada pengetahuan khas yang terkandung dalam suatu formula dalam rancang-bangun, cetakan-biru instrumen serta dalam mesin tertentu. Ia juga dapat bermakna pengetahuan serta pengelolaan umum pada berbagai tingkat, termasuk misalnya prosedur akuntansi, teknik-teknik pemasaran, aneka motode dan teknik organisasi, dan sebagainya yang relevan terhadap rancang-bangun dan pengoperasian garis-garis serta jaringan produksi.

Dua unsur yang mutlak penting dalam definisi teknologi secara umum, ialah :

Yang satu ialah pandangan bahwa bagaimana pun juga batasannya, teknologi berarti penjelmaan atau wujudnya pengetahuan manusia. Yang kedua ialah gagasan bahwa berbeda dari aneka jenis pengetahuan manusia lainnya, teknologi berarti pengetahuan terapan yang khusus berkait- an dengan produksi. Kedua gagasan itu membawa dua implikasi yang amat penting.

Yang satu ialah bahwa pengembangan dan pengalihan teknologi berarti pengembangan serta pengalihan pengetahuan serta ketrampilan manusia yang relevan dengan produksi barang dan/atau jasa. Yang kedua ialah bahwa karena produksi barang dan jasa sangat dipengaruhi oleh kebutuhan manusia serta pandangan manusia mengenai bagaimanakah rupanya kehidupan yang menyenangkan maka jenis-jenis teknologi yang dikehendaki manusia dan juga untuk dikembangkan, terutama ditentukan oleh budaya, tradisi serta tingkat kemajuan bendawi serta pandangan manusia bersangkutan berkenaan dengan kehidupan.

Saya ingin secara luas membincangkan kedua tema tersebut, karena keduanya merupakan dorongan utama bagi kebijakan kami berkenaan dengan soal alih teknologi dalam rangka program bantuan.

Karena yang menjadi inti teknologi adalah pengetahuan, ketrampilan manusia dalam menanggulangi masalah praktis berkenaan dengan produksi maka intisari dari pengembangan dan pengalihan teknologi adalah pengembangan dan pengalihan pengetahuan itu. Memang benar kemampuan manusia untuk memecahkan aneka masalah banyak akan bertambah dengan penggunaan mesin serta alat-alat. Namun mesin serta alat-alat itu tidak dapat secara tersendiri meningkatkan volume serta mutu barang dan jasa yang dihasilkan. Jangan lagi akan menentukan barang atau jasa yang manakah akan dihasilkannya serta berapa jumlahnya atau bagaimanakah mutunya, melainkan hanyalah ketram-pilan dan manusia yang menggunakan alat-alat dan mesin itu yang dapat menentukan apakah jumlah dan mutu barang atau jasa yang dihasilkan akan ditingkatkan.

Kesempatan selanjutnya kami pergunakan untuk mengemukakan pengertian teknologi dalam hubungannya dengan aspek masyarakat. Kita artikan teknologi sebagai penerapan ilmu pengetahuan untuk memproduksi barang-barang dan jasa yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia, teknologi juga menunjukkan cara-cara penggunaannya secara lebih efektif dan efisien. Suatu pengetahuan yang berhubungan dengan alat-alat, bahan-bahan, mesin atau perlengkapan yang sebenarnya untuk mendapatkan hasil-hasil yang diinginkan disebut "hardware technology"; sedangkan di pihak lain "software technology" berhubungan dengan ketrampilan teknik, jasa, prosedur di dalam disain pembuatan dan penggunaan dari "hardware technology" dimaksud.

Teknologi sangat erat hubungannya dengan ilmu pengetahuan dan ilmu teknik khususnya yang menyangkut "engineering". Jelas bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan unsur pokok dalam proses kemajuan dan modernisasi masyarakat.
Untuk menuju ke arah modernisasi masyarakat antara lain kita harus membuka diri terhadap berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dari yang sederhana dan konservatif sampai pada teknologi yang tinggi sekalipun.

Pada hakekatnya ada dua jenis teknologi. Pertama, jenis teknologi yang berhubungan dengan pengembangan jenis industri di mana harus mengutamakan penyerapan tenaga kerja dan bahan-bahan setempat, maka teknologi industri harus disesuaikan dengan pertimbangan faktor produksi yang tersedia dalam masyarakat. Artinya harus diadakan adaptasi dengan pertimbangan kenyataan dalam masyarakat sendiri (adaptasi teknologi).

Kedua, jenis teknologi maju (advanced technology) yang oleh masyarakat ilmiah kita sendiri belum dapat dilakukan pengembangan dan penguasaannya secara menyeluruh; sedangkan jenis teknologi inipun sangat kita perlukan. Sebabnya tak lain karena berbagai bidang yang vital untuk pembangunan kita hanya dapat digarap dengan teknologi maju.

Hal yang demikian sudah tentu berlaku dalam pengembangan sumber-sumber energi, sumber-sumber alam dan lain-lain peralatan teknik yang diperlukan bagi peningkatan kemampuan manusia dan penggunaan panca inderanya (umpamanya sensory, capability, power control) dan lain-lainnya lagi.

Arti Penting Teknologi 

Bagi negara-negara berkembang, arti pentingnya teknologi kian terasa jika dikaitkan dengan adanya ledakan penduduk di satu sisi, dengan kenyataan masih tertinggalnya taraf hidup sebagaian besar rakyatnya dibandingkan dengan negara-negara maju.

Penduduk dunia saat ini telah melampaui angka lima milyar. Tetapi dari angka sebanyak itu, hanya sekitar 600 juta saja penduduk yang tinggal di negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Maka dapat dikatakan bahwa tidak lebih dari 12 persen penduduk dunia kini hidup di negara-negara maju berteknologi canggih dan menikmati tingkat hidup yang tinggi, sedangkan sebagian besar sisanya (88%) justru bercokol di negara-negara yang berpenghasilan menengah dan rendah.

Sementara itu, teknologi komunikasi dan pengangkutan modern telah menjadikan dunia semakin kecil. Teknologi telah menjadikan prasarana ekonomi dunia semakin lengkap. Jaringan informasi memungkinkan mengalirnya informasi dengan cepat dari satu bagian dunia ke bagian lain. Apa saja yang terjadi di dunia secara cepat dapat diketahui di mana pun. Sarana-sarana pengolah data dan analisa informasi memungkinkan dibuatnya kebijakan-kebijakan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi perkembangan ekonomi dan taraf hidup masyarakat bagian dunia tertentu.


Di samping itu, meluasnya jaringan perhu- bungan dan saling terkaitnya kehidupan bangsa yang satu dengan bangsa lainnya; dan dengan semakin terkaitnya kehidupan orang satu sama lainnya, kejadian perang, bencana alam, atau kejadian penting apa pun di sudut-sudut dunia tertentu akan mempengaruhi kehidupan di sudut dunia lainnya.

Perkembangan ini telah menjadikan delapan puluh delapan persen penduduk dunia, termasuk yang hidup di negara-negara berkembang, setidak-tidaknya lebih mengetahui mengenai apa yang dapat dimungkinkan oleh teknologi masa kini.

Di dalam dunia yang semakin mengecil ini semakin tidak realistis, dan bagi manusia berpendidikan dan beradab tinggi, dunia tersebut semakin tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk menganggap bahwa di dunia ini seolah-olah tidak ada orang atau bangsa yang miskin dan untuk menyaksikan kesengsaraan mereka dengan acuh tak acuh. Karena taraf hidup dan budaya manusia di negara-negara maju makin tinggi, seyogyanya makin besar pula rasa tanggungjawab mereka atas nasib manusia di negara-negara yang kurang maju, tanpa memandang warna kulit, kelamin, keturunan, dan agama.

Karena itu tidak ada alasan yang kuat untuk membatasi kesempatan penduduk dunia yang masih terkebelakang ini untuk menjangkau teknologi masa kini serta memanfaatkannya untuk mengatasi masalah kehidupan yang dihadapinya sekarang dan di masa depan. Kecuali teknologi yang berhubungan dengan masalah pertahanan-keamanan, tidak ada alasan yang kuat bagi masyarakat negara maju untuk bersikap tidak senang hati mengalihkan teknologinya pada negara lain, terutama pada negara sedang berkembang.

Dalam kondisi kian mendesaknya masalah kehidupan kongkrit yang dihadapi bagian dunia yang masih terkebelakang, tidak banyak gunanya menggolong-golongkan teknologi ke dalam "teknologi sederhana", "teknologi menengah", "teknologi tinggi" atau "teknologi tepat" dan "teknologi canggih" sebagaimana sering dilakukan oleh orang yang sehari-harinya justru tidak bekerja dengan teknologi dan yang mendasarkan klasifikasinya semata-mata berdasarkan observasi mereka terhadap pekerjaan orang lain yang setiap harinya bergelut dengan teknologi.

Kesimpulan bahwa teknologi yang tepat bagi bangsa-bangsa tertentu di Asia, Afrika atau Amerika Latin yang taraf hidupnya sekarang relatif masih primitif adalah teknologi yang primitif pula, juga tidak banyak menolong bangsa-bangsa yang masih "primitif" itu.

Mengatakan bahwa untuk pemetaan dan inventarisasi sumber daya alamnya, bangsa bertingkat hidup "primitif" tidak boleh menggunakan penginderaan jarak jauh karena terlalu maju baginya adalah menghukum bangsa tersebut untuk tetap primitif. Mengatakan bahwa bagi mereka teknologi yang cocok untuk menanggulangi penyakit adalah teknologi kesehatan yang primitif berarti mengekalkan kesengsaraannya. Mengatakan bahwa untuk meramalkan cuaca, memberantas hama, mengatasi bencana alam, memperoleh air bersih, meningkatkan produktivitas pertanian pangan, dan sebagainya, bangsa bertingkat hidup primitif sebaiknya hanya menggunakan teknologi primitif pula justru memperkuat lingkaran setan ketidaktahuan dan kemiskinan.

Jauh lebih berguna untuk mempertanyakan teknologi manakah yang dapat memecahkan suatu masalah kongkret tanpa memperdulikan apakah teknologi yang tepat, dalam arti berguna untuk memecahkan masalah itu, adalah teknologi primitif, menengah, maju atau canggih; dan tanpa mempersoalkan di mana teknologi tersebut pertama kali dikembangkan.

Jauh lebih baik membangun untuk percaya bahwa de-ngan persiapan dan pembinaan yang matang, kemampuan masyarakat mana pun dapat ditingkatkan sehingga sanggup melakukan lompatan dalam daya penalaran dan daya kha-yalnya untuk menguasai ilmu dan teknologi yang paling canggih sekalipun; yang tepat dan berguna baginya untuk memecahkan persoalan-persoalan kongkrit yang dihadapinya dalam kehidupannya sehari-hari, dan untuk menyempurnakan proses nilai tambahnya.

Jelas dari apa yang telah dikemukakan tadi bahwa teknologi canggih bukan suatu hak istimewa yang diperuntukkan bagi bangsa-bangsa yang telah maju.

Terlebih lagi jika diingat bahwa skenario pembagian kerja dunia sekarang ini telah berubah dari apa yang berlaku sebelum munculnya negara merdeka baru sekitar akhir Perang Dunia Kedua. Pada zaman itu, pembagian kerja dunia relatif sederhana. Di daerah-daerah terkebelakang, tenaga kerja murah dimanfaatkan untuk mengolah sumber daya alam menjadi bahan baku bagi industri di belahan negara maju, yang kemudian diolah menjadi produk-produk yang dipasarkan ke negara atau daerah lain termasuk penyedia bahan mentah tadi. Pengolahan bahan mentah menjadi produk final dilakukan dengan teknologi yang lebih maju dan menggunakan tenaga kerja yang lebih terampil dan karenanya, lebih mahal.

Sebagian nilai tambah yang terbentuk digunakan untuk penelitian dan pengembangan dalam rangka menyempurnakan teknologi dan mengembangkan teknologi baru. Melalui teknologi baru dan yang disempurnakan itu produktivitas dan efisiensi proses nilai tambah dapat ditingkatkan, biaya produksi dapat ditekan, ragam produk dapat diperluas dan mutunya dapat semakin ditingkatkan.

Baiklah saya ajukan suatu contoh dalam sektor pertanian. Untuk mengembangkan teknologi pertanian di Indo- nesia tidaklah cukup pemanfaatan sesempurnanya beasiswa untuk belajar di negara-negara maju mempelajari ilmu pertanian di perguruan tinggi. Jenis pendidikan formal semacam ini memang penting.

Namun yang mutlak perlu untuk pengembangan teknologi pertanian di Indonesia adalah kemampuan para ahli ilmu dan teknologi pertanian untuk menerapkan serta mengembangkan metoda misalnya mengenai penggunaan radio-isotop untuk memandulkan serangga yang digiarakan bersama dengan insektisida, obat pemandulan kimiawi (chemosterilants) dan feromon kelamin dalam suatu program menyeluruh untuk pemantrasan serangga dalam rangka penyelengaraan program produksi bahan pangan, serta untuk mengembangkan aneka teknologi dan prosedur yang kompatibel dengan karakteristik arah dimana hendak diterapkan aneka teknologi yang serba canggih itu.


Bersambung




Thursday, December 8, 2011

TRANSFORMASI TEKNOLOGI DAN INDUSTRI II


TRANSFORMASI TEKNOLOGI DAN INDUSTRI UNTUK HARI DEPAN BANGSA Bag II
 
Wahana Transformasi: Penerapannya di Indonesia. 

Penentuan produk atau golongan produk yang memenuhi persyaratan untuk menjalankan fungsinya sebagai wahana transformasi suatu negara dilakukan atas dasar per- timbangan kondisi geografis, kekayaan alam, laju perkembangan ekonomi, luas pasar dalam negeri dan faktor-faktor lainnya.

Di Indonesia sendiri, pemilihan produk dilakukan de-ngan mengingat sifat geografi negara kita, lokasinya yang strategis, luas pasaran domestiknya baik dewasa ini maupun di masa depan, serta persepsi kita mengenai skenario politik di Asia Tenggara sekarang dan di waktu-waktu yang akan datang.

Dengan mengingat luas serta komposisi geografis negara Indonesia serta perlu ditingkatkannya keutuhan politik dan ditumbuhkannya kesatuan ekonomi, maka keseluruhan industri alat-alat pengangkutan memenuhi syarat untuk berperan sebagai wahana transformasi teknologi dan industri Indonesia.
Ini meliputi industri dirgantara
(1); industri maritim dan perkapalan
(2); industri transportasi darat: kereta api dan otomotif
(3). Setiap industri wahana transformasi mencakup berbagai sub-industri. Industri pembuatan baling-baling pesawat terbang, kerangka roda pesawat terbang dan avionik merupakan bagian dari wahana industri dirgantara. Di samping meliputi industri pembuat mobil berbagai jenis serta industri pembuat gerbong kereta api, wahana industri transportasi darat juga mencakup industri ban mobil, accu, peredam kejut, pegas daun, chassis, mesin bensin dan solar, sistem kemudi, transmisi, gandar, serta industri poros penggerak. Industri berikutnya yang memenuhi persyaratan adalah industri elektronika dan telekomunikasi (4).

Keempat jenis industri inilah yang merupakan wahana paling tepat untuk pengalihan serta pengembangan semua teknologi yang diperlukan dalam jangka waktu duapuluh tahun melalui ketiga tahap sebagaimana telah dilukiskan di muka, bahkan melalui tahap keempat.

Dengan dikembangkannya industri-industri ini maka kesempatan kerja pun akan meluas. Pendapatan masyarakat akan ditumbuhkan. Pasar dalam negeri akan meluas dan membesar. Potensi manusiawi bangsa Indonesia akan dikembangkan. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, permintaan akan energi juga akan bertambah. Dengan demikian, maka sektor industri energi dapat diidentifikasi sebagai wahana kelima (5). Ini meliputi pembuatan turbin, generator, alat pertukaran panas, serta alat-alat angkut dan transmisi energi.

Dalam pada itu, seiring dengan makin tumbuhnya kebutuhan terhadap alat dan mesin untuk memproses sumberdaya energi dan mineral serta hasil-hasil produksi pertanian Indonesia seperti gula, minyak kelapa sawit, bahan petrokimia, semen kertas dan bahan lainnya, maka industri rekayasa (engineering industry) merupakan industri beri- kutnya yang memenuhi kedua persyaratan sebagai wahana (6).

Wahana ketujuh (7), adalah industri alat-alat dan mesin-mesin pertanian. Dengan semakin langkanya lahan pertanian di pulau Jawa, semakin perlu dilakukan ekstensifikasi pertanian di daerah-daerah di luar Jawa yang memiliki lahan-lahan pertanian yang kurang subur dibandingkan dengan lahan pertanian di pulau Jawa. Keadaan ini ditambah dengan kepadatan penduduknya yang lebih rendah memerlukan tingkat mekanisasi pertanian yang lebih tinggi. Ini meliputi peralatan dan mesin pertanian baik untuk pra maupun pasca-panen.


Terakhir, mengingat letak Indonesia yang strategis serta kekayaan alamnya yang berlimpah, dengan makin ba-nyaknya dilakukan investasi dalam industri-industri yang telah disebutkan tadi, serta dengan semakin tumbuhnya pendapatan masyarakat, semakin meningkat pula kebu-tuhan untuk mempertahankannya terhadap gangguan dan ancaman terhadap ketertiban dan keamanannya. Untuk itu perlu ditumbuhkan kemampuan nasional di bidang industri pertahanan dan keamanan (8).

Sementara itu, industri-industri pesawat terbang, perkapalan dan alat transportasi darat merupakan industri-industri pembuatan landasan bagi senjata dan sistem senjata. Kapal, pesawat terbang, mobil serta kereta api sama-sama merupakan suatu landasan atau tempat dapat dipasangnya senjata dan sistem senjata. Karena itu, perkembangan ketiga industri tersebut di atas akan pula membuat pengembangan industri pertahanan lebih layak ekonomi.

Dengan makin berkembangnya kedelapan industri tersebut di atas sebagai wahana bagi transformasi teknologi dan industri Indonesia, dan seiring dengan kian meningkatnya pendapatan dan daya beli industri itu beserta karyawannya, sektor-sektor kegiatan ekonomi lainnya pun akan tumbuh melalui tarikan dan dorongan melewati berbagai kaitan ke depan dan ke belakang. Ini tidak saja meliputi pemba-ngunan jalan, perumahan, jembatan, serta industri jasa-jasa.

Tetapi industri-industri yang tadinya bukan merupakan wahana yang tepat karena terbatasnya permintaan terhadap hasil produksinya, seperti industri pembuatan baling-baling pesawat terbang, kerangka roda untuk pesawat terbang dan gerbong kereta api, sistem hidrolik dan sebagainya, akan pula berkembang karena meluasnya pasar untuk hasil produksinya. Semua industri ini secara bersama-sama dapat dinamakan wahana kesembilan (9) yang tidak terlihat, atau dapat pula disebut wahana yang timbul karena dampak wahana-wahana sebelumnya. 

Di dalam usaha mempertinggi kemampuan teknologi Indonesia di dalam industri-industri yang telah disebutkan tadi, maka kebanyakan program pengembangan tahap pertama dan kedua dilakukan oleh pihak perusahaan, sedang- kan sebagian terbesar program pengembangan tahap ketiga dan bahkan keempat diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK) di Serpong, serta lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan lainnya.

Jika telah selesai seluruhnya, maka fasilitas-fasilitas PUSPIPTEK akan meliputi laboratorium uji konstruksi; laboratorium aerodinamika, gasdinamika dan getaran; laboratorium termodinamika dan propulsi; laboratorium teknologi proses; laboratorium fisika; laboratorium kimia; laboratorium kalibrasi dan instrumentasi; laboratorium energi; laboratorium metalurgi; serta sebuah reaktor penelitian ser- ba-guna dengan beberapa laboratorium penunjangnya.

Dikembangkannya semua industri tadi serta dengan dibangunnya fasilitas-fasilitas penelitian dan pengembangan di Serpong, ditujukan pada terciptanya sebuah skenario bagi transformasi Indonesia menuju negara industri dan teknologi maju di kemudian hari.

Dengan pelaksanaan skenario tersebut akan diciptakan kesempatan kerja serta pendapatan yang lebih meningkat lagi. Maka akan ditumbuhkan potensi manusiawi bangsa Indonesia. Dengan demikian, di samping memiliki keka-yaan alam yang berlimpah, bangsa Indonesia akan dikaruniai dengan sejumlah besar sumber daya manusia yang dapat diperbaharukan.

 
Sumber:

Prof. Habibie


Sumber Foto:

Arip Nurahman

"Aspek Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Mesti menyentuh Semua Lapisan Rakyat Indonesia"
~Arip, Universitas Pendidikan Indonesia~ 

Tuesday, November 15, 2011

SUMBERDAYA MANUSIA UNTUK PEMBANGUNAN NILAI TAMBAH Bag. II



Proses Pengembangan Nilai Tambah Pribadi 


Upaya untuk mencapai kualitas sumber daya manusia seperti yang diharapkan itu dalam proses pengembangannya meliputi dua aspek; yaitu pengembangan formal dan pengembangan non-formal. Dan di dalam kedua wilayah pengembangan itu perlu dibedakan antara dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu pengajaran dan pelatihan (opleiding atau onderwijs) yang berlangsung di sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya, serta proses pembudayaan (opvoeding), yang berlangsung sedini mungkin di dalam lingkungan keluarga.

Kedua-duanya merupakan sisi yang berbeda dari keping yang sama. Pembudayaan menyangkut upaya menjadikan manusia sebuah pribadi yang baik, yang taat pada agama, seorang warga masyarakat yang baik, anggota bangsa yang baik, dan warga negara yang baik. Pembudayaan bermaksud menjadikan manusia yang berbudi baik, mengetahui budaya dan tradisi daerahnya dan dapat menghayati keanekaragaman budaya-budaya sebagai unsur redundansi yang merupakan sumber kekuatan kebudayaan Indonesia.

Sedangkan pengajaran langsung berkenaan dengan upaya untuk menjadikan manusia mampu berpikir secara analitis, sistematis, logis, pragmatis dan bergerak berdasarkan prinsip dan falsafah ilmiah yang telah teruji dan dibuktikan benar sesuai dengan hukum alam. Apakah di dalam bidang sosiologi, rekayasa, pertanian, biologi, elektronika, ataupun dirgantara.

Kedua-duanya perlu memperoleh perhatian yang sama besarnya. Kedua-duanya perlu berada dalam keadaan keseimbangan. Tanpa pembudayaan yang baik, manusia yang memperoleh pengajaran yang setinggi apapun sehingga merupakan manusia yang sangat pandai dan terampil tidak akan tergerak untuk mengamalkan ilmunya untuk kepentingan masyarakat dalam siklus peningkatan taraf hidup manusia dan peningkatan mutu ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sebaliknya, tanpa pengajaran yang sepadan, seseorang yang telah memperoleh pembudayaan yang sangat tinggi sekalipun sehingga tumbuh menjadi manusia yang sangat sopan dan berbudi luhur tidak akan sanggup menjalankan peranan sesuai dengan yang diharapkan.

Itu berarti, setelah melewati proses pembudayaan ma- nusia harus memasuki proses pengajaran (pelatihan). Dalam kaitannya dengan proses yang terkahir ini, upaya pengembangan sumberdaya manusia perlu ditujukan kepada peningkatan mutu sumber daya tersebut dengan mem-pertinggi pengetahuan dan keterampilannya, baik di dalam mengelola maupun dalam menerapkan dan mengintegrasikan teknologi.

Keterampilan ini tidak cukup diperoleh hanya dengan observasi, partisipasi dalam seminar, lokakarya, ataupun dengan membuat satu-dua buah produk saja. Keterampilan yang langgeng dan semakin tinggi hanya dapat diraih melalui pelaksanaan secara terus-menerus proses-proses nilai tambah dengan mendesain dan memproduksi barang yang secara teknologis bermutu dan secara ekonomis layak jual.

Keterampilan yang saya maksudkan di juga dalam arti yang luas, meliputi semua bidang keahlian dan semua tingkat keahlian; mencakup keterampilan seseorang professor dalam mempraktekkan dan mengajarkan keahliannya; mencakup keterampilan seseorang dokter umum, ahli bedah, manajer, ahli hukum, ahli bahasa, ahli komputer; mencakup ahli penjualan, ahli pendidikan, ahli psikologi, ahli ilmu sosial, ahli komunikasi, insinyur, ahli las; dan mencakup juga tukang jaga, tukang sapu dan sebagainya.

Pengelolaan sumberdaya manusia dengan tujuan meningkatkan kemampuan dan keterampilan itu perlu dilakukan secara pragmatis dengan memberikan kesempatan untuk terus-menerus berkembang dalam bidangnya masing- masing. Pengelolaan sumber daya manusia dengan cara demikian harus didasarkan pada landasan pendidikan yang kuat.

Pendidikan ini harus mempunyai relevansi yang nyata dengan program-program yang dilakukan di dalam laboratorium dan pusat penelitian serta dengan proses-proses nilai tambah yang berlangsung di pabrik-pabrik dan satuan-satuan usaha lainnya, baik di sektor industri, sektor pertanian maupun di sektor-sektor yang mengkaitkan kedua sektor tersebut.

Lebih penting lagi, pendidikan tersebut sangat perlu untuk tidak berhenti setelah tenaga terdidik tersebut meninggalkan lembaga pendidik formal baik lembaga pendidikan dasar, menengah maupun lembaga pendidikan tinggi. Harus diusahakan agar para tenaga terdidik tetap mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi di bidang spesialisasinya, sekalipun mereka telah keluar dari lingkungan lembaga pendidikan.

Oleh karena itu, proses pengembangan SDM dalam kerangka peningkatan nilai tambah itu terdiri dari dua tahap. Yaitu (a) proses persiapan, yang lazimnya dikenal dengan proses pendidikan, mulai dari sekolah dasar sampai pendidikan keahlian rendah dan menengah atau ke perguruan tinggi; dan (b) proses penyempurnaan, yang berlangsung semenjak ia bekerja.

Untuk tahap persiapan proses nilai tambah individual, dibutuhkan suatu sistem pendidikan yang rasional dan efektif. Sedangkan untuk tahap penyempurnaan dibutuhkan apa yang dinamakan "wahana-wahana transformasi teknologi dan industri".

Marilah kita kupas setiap tahap proses nilai tambah individual manusia itu satu persatu.

Dalam proses persiapannya menjadi pekerja produktif, setiap orang manusia harus menjalani suatu proses untuk melatih interaksi antara panca indera dengan otaknya; interaksi antara panca indera dan otaknya dengan sistem dan lingkungannya; dan untuk melatih reaksi manusia terhadap problema-problema dan masyarakatnya.

Proses ini lazimnya dimulai sejak manusia itu berumur lima tahun, dan berlangsung terus selama sekitar duapuluh sampai duapuluh empat tahun jika yang bersangkutan berkeinginan memperoleh gelar doktor dalam bidang tertentu.

Kecuali bagi orang-orang yang luar biasa pandainya, proses ini tidak dapat diperpendek secara berarti. Lama proses tidak dapat diperpendek dengan menuntut orang bekerja lebih keras sampai, katakanlah, 24 jam sehari. Dan mutu proses itupun tergantung pada berbagai faktor yang mempengaruhinya, baik langsung seperti kurikulum serta perlengkapan pendidikan, maupun tidak langsung seperti keadaan ekonomi, lingkungan sosial, keadaan gizi, falsafah hidup, kehidupan beragama, bernegara dan sebagainya.

Setelah tahap persiapan, maka manusia Indonesia harus menjalani tahap kedua, yaitu tahap penyempurnaan proses nilai tambah individualnya. Ia harus bekerja. Di dalam tahap inilah seseorang menyempurnakan dirinya, mengaktualisasikan potensinya dan berproduksi. Tahap inilah yang menjadikannya sempurna atau optimum dalam mental, ke-terampilan, dan keahliannya sehingga menjadi unggul dalam bidangnya.

Pengetahuan yang diperoleh manusia di dalam proses persiapan hanyalah memberikan landasan baginya untuk berkembang lebih lanjut menjadi manusia yang terampil di dalam bidangnya. Ini meliputi keterampilan baik di dalam menerapkan dan mengintegrasikan teknologi, maupun di dalam mengelola penerapan dan integrasi teknologi itu.

Di samping manusia menginginkan pengakuan prestasinya berupa pangkat, status dan penghargaan non-material lainnya, ia juga membutuhkan penghargaan material berupa penghasilan yang memuaskan. Dan hal ini hanya dapat dilaksanakan bila hasil kerjanya sebagai tenaga ahli secara langsung atau tidak langsung terkait dengan proses nilai-tambah.

Orang berbeda satu sama lain dalam kemampuannya menjalani tahap penyempurnaan ini. Ada yang berhenti berproduksi dan melakukan inovasi pada saat ia berumur empatpuluh tahun. Hanya sampai disitulah penyempurna- annya. Ia sudah jenuh pada umur semuda itu. Sebaliknya, ada orang yang tidak henti-hentinya berpikir, bekerja, berproduksi, dan menghasilkan bahkan sampai berusia sangat lanjut. Usaha dan karyanya tidak berhenti pada saat pensiun.

Masalah pendidikan sangat kritis. Usaha menjadikan seseorang terdidik bertaraf sarjana, apakah ahli ekonomi, atau ahli pemerintahan, atau seorang insinyur, atau ahli hukum, atau dokter, membutuhkan suatu usaha berkualitas yang konsisten tinggi sepanjang waktu bertahun-tahun; sekurang-kurangnya 16 atau 18 tahun.

Ada kalanya terdapat anak-anak yang sangat pandai, dan dapat menyelesaikan proses ini dalam waktu lebih singkat dari itu. Namun pada umumnya, proses ini tidak mungkin dipersingkat menjadi katakanlah, sembilan atau sepuluh tahun saja.

Seandainya proses ini membutuhkan waktu selama 18 tahun, maka proses tahap kedua dapat dimulai pada saat seseorang berumur 24 tahun. Dan jika orang tersebut bekerja sampai katakanlah, umur 64 tahun, yakni batas usia kerja, maka proses tahap kedua berjalan selama 40 tahun.

Dalam waktu 40 tahun ini, rata-rata, orang hanya mampu terus-menerus meningkatkan produktivitasnya dalam masa 25 tahun pertama saja. Dalam waktu 15 tahun berikutnya, produktivitasnya akan mendatar kalau tidak menurun, walaupun ada kalanya seseorang dapat mempertahankan produktivitasnya hingga umur 70 tahun.

Kenyataan sekarang adalah bahwa kita bahkan tidak mampu mencapai rata-rata itu. Banyak orang baru selesai menjalani tahap pertama pada umur 28 atau 30 tahun. Banyak orang yang sudah mulai mendatar produktivitasnya mulai umur 40 atau 45 tahun. Ini berarti, banyak orang yang tidak produktif.

Justeru karena itu, kita harus melaksanakan proses pendidikan atau proses persiapan nilai tambah individual ma-nusia itu dengan produktifitas dan dengan mutu yang tinggi. Kita tidak boleh bereksperimen. Kita tidak boleh ber-eksperimen dalam pendidikan. Dan kita tidak boleh ber-eksperimen di dalam memilih bidang-bidang industri tempat manusia Indonesia menyempurnakan dirinya menjadi ma-nusia yang unggul.


Sumber:

Prof. B.J. Habibie


Foto:

Oleh: Arip Nurahman

"Pendidikan terbaik dimulai dari lingkungan keluarga dan masyarakat serta disempurnakan dalam proses pembelajaran di sekolah"
~Arip, Universitas Pendidikan Indonesia~ 

Wednesday, October 26, 2011

Can We Increase Gross National Happiness?



By: Prof. Peter Singer, Ph.D.
(Professor of Bioethics at Princeton University)


Patrick: "Berapa harganya?"
Mr. Crab: "5 dolar"
Patrick: "Aku hanya punya 7 dolar"
Mr. Crab: "Yasudah"
Patrick: "Patrick star kau adalah pembeli yang beruntung"
~Sponge Bob Movie~


PRINCETON – The small Himalayan kingdom of Bhutan is known internationally for two things: high visa fees, which reduce the influx of tourists, and its policy of promoting “gross national happiness” instead of economic growth. The two are related: more tourists might boost the economy, but they would damage Bhutan’s environment and culture, and so reduce happiness in the long run.

When I first heard of Bhutan’s goal of maximizing its people’s happiness, I wondered if it really meant anything in practice, or was just another political slogan. Last month, when I was in the capital, Thimphu, to speak at a conference on “Economic Development and Happiness,” organized by Prime Minister Jigme Y. Thinley and co-hosted by Jeffrey Sachs, Director of The Earth Institute at Columbia University and Special Adviser to United Nations Secretary-General Ban Ki-moon, I learned that it is much more than a slogan.

Never before have I been at a conference that was taken so seriously by a national government. I had expected Thinley to open the conference with a formal welcome, and then return to his office. Instead, his address was a thoughtful review of the key issues involved in promoting happiness as a national policy. He then stayed at the conference for the entire two and a half days, and made pertinent contributions to our discussions. At most sessions, several cabinet ministers were also present.

Since ancient times, happiness has been universally seen as a good. Problems arise when we try to agree on a definition of happiness, and to measure it.

One important question is whether we see happiness as the surplus of pleasure over pain experienced over a lifetime, or as the degree to which we are satisfied with our lives. The former approach tries to add up the number of positive moments that people have, and then to subtract the negative ones. If the result is substantially positive, we regard the person’s life as happy; if negative, as unhappy. So, to measure happiness defined in that way, one would have to sample moments of people’s existence randomly, and try to find out whether they are experiencing positive or negative mental states.

A second approach asks people: “How satisfied are you with the way your life has gone so far?” If they say they are satisfied, or very satisfied, they are happy, rather than unhappy. But the question of which of these ways of understanding happiness best captures what we should promote raises fundamental questions of value.

On surveys that use the first approach, countries like Nigeria, Mexico, Brazil, and Puerto Rico do well, which suggests that the answer may have more to do with the national culture than with objective indicators like health, education, and standard of living. When the second approach is taken, it tends to be the richer countries, like Denmark and Switzerland, that come out on top. But it is not clear whether people’s answers to survey questions in different languages and in different cultures really mean the same thing.

We may agree that our goal ought to be promoting happiness, rather than income or gross domestic product, but, if we have no objective measure of happiness, does this make sense? John Maynard Keynes famously said: “I would rather be vaguely right than precisely wrong.” He pointed out that when ideas first come into the world, they are likely to be woolly, and in need of more work to define them sharply. That may be the case with the idea of happiness as the goal of national policy.

Can we learn how to measure happiness? The Center for Bhutan Studies, set up by the Bhutanese government 12 years ago, is currently processing the results of interviews with more than 8,000 Bhutanese. The interviews recorded both subjective factors, such as how satisfied respondents are with their lives, and objective factors, like standard of living, health, and education, as well as participation in culture, community vitality, ecological health, and the balance between work and other activities. It remains to be seen whether such diverse factors correlate well with each other. Trying to reduce them to a single number will require some difficult value judgments.

Bhutan has a Gross National Happiness Commission, chaired by the prime minister, which screens all new policy proposals put forward by government ministries. If a policy is found to be contrary to the goal of promoting gross national happiness, it is sent back to the ministry for reconsideration. Without the Commission’s approval, it cannot go ahead.
One controversial law that did go ahead recently – and that indicates how willing the government is to take tough measures that it believes will maximize overall happiness – is a ban on the sale of tobacco. Bhutanese may bring into the country small quantities of cigarettes or tobacco from India for their own consumption, but not for resale – and they must carry the import-tax receipt with them any time they smoke in public.

Last July, the UN General Assembly passed, without dissent, a Bhutanese-initiated resolution recognizing the pursuit of happiness as a fundamental human goal and noting that this goal is not reflected in GDP. The resolution invited member states to develop additional measures that better capture the goal of happiness. The General Assembly also welcomed an offer from Bhutan to convene a panel discussion on the theme of happiness and well-being during its 66th session, which opens this month.

These discussions are part of a growing international movement to re-orient government policies towards well-being and happiness. We should wish the effort well, and hope that ultimately the goal becomes global, rather than merely national, happiness.

Peter Singer is Professor of bioethics at Princeton University and Laureate Professor at the University of Melbourne. His books includePractical Ethics, The Expanding Circle, and The Life You Can Save.
Copyright: Project Syndicate, 2011.
www.project-syndicate.org

Monday, September 26, 2011

How To Reform of the United Nations?


"Adanya Hak Veto dari Dewan Keamanan PBB adalah Bentuk Ketidakadilan terhadap semua warga Dunia"
~Arip Nurahman~

Since the late 1990s there have been many calls for reform of the United Nations (UN). However, there is little clarity or consensus about what reform might mean in practice. Both those who want the UN to play a greater role in world affairs and those who want its role confined to humanitarian work or otherwise reduced [1] use the term "UN reform" to refer to their ideas. The range of opinion extends from those who want to eliminate the UN entirely, to those who want to make it into a full-fledged world government.

On June 1, 2011 UN Secretary-General Ban Ki-moon appointed Atul Khare of India to spearhead efforts to implement a reform agenda aimed at streamlining and improving the efficiency of the world body.[2][3] Khare, will lead the Change Management Team (CMT) at the UN, working with both departments and offices within the Secretariat and with other bodies in the UN system and the 193 member states. The CMT is tasked with guiding the implementation of a reform agenda at the UN that starts with the devising of a wide-ranging plan to streamline activities, increase accountability and ensure the organization is more effective and efficient in delivering its many mandates.[4]

Reform of the United Nations Security Council (UNSC) encompasses five key issues: categories of membership, the question of the veto held by the five permanent members, regional representation, the size of an enlarged Council and its working methods, and the Security Council-General Assembly relationship. Member States, regional groups and other Member State interest groupings developed different positions and proposals on how to move forward on this contested issue.

The reform of the Security Council requires the agreement of at least two-thirds of UN member states and that of all the permanent members of the UNSC, enjoying the veto right.

Notes

1. Muravchik, Joshua (2005) The Future of the United Nations: Understanding the Past to Chart a Way Forward AEI Press ISBN 978-0-8447-7183-0.
2. "Ban appoints experienced UN official to lead change management team". United Nations. 1 June 2011.
3. "UN Secretary General Ban appoints Atul Khare of India to be the leader of his change management team". United Nations. 1 June 2011.
4. "UN change management team: Spearheaded by Atul Khare". Deccan