Perkembangan Pesat PT IPTN
Semua
itu telah dituangkan dalam suatu skenario dengan konsepsi yang jelas.
Saya yakin bahwa semua tantangan dapat diatasi dan segala kemacetan
dapat didobrak dalam pembangunan nasional. Konsepsi yang jelas itu dapat
saya berikan contoh dengan rencana perkembangan PT IPTN. Dimulai dengan
karyawan sebanyak 500 (lima ratus) orang, dan dalam kurun 17 tahun,
jumlah karyawannya meningkat menjadi 16.000 orang, atau 32 kali lebih
besar dari tahun pertama. Dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang
menjadi tanggungjawab PT IPTN, Direktorat Teknologi badan usaha milik
negara ini telah dapat mengembangkan sejumlah 1200 orang karyawan.
Begitu
pun juga investasinya terus berkembang. Sarana produksinya secara
bertahap telah juga diperluas sesuai dengan tuntutan masa depan. Ini
merupakan pencerminan cepatnya laju pertumbuhan dalam kesempatan kerja
yang dapat diperoleh di dalam lapangan usaha ini. Dan ini berarti bahwa
PT IPTN nantinya akan lebih besar daripada pabrik pesawat terbang Fokker
di Belanda.
Empat tahun setelah berdiri, tepatnya
pada tanggal 21 Februari 1980 didirikan sebuah perusahaan patungan
bernama AIRTEC, berkedudukan di Madrid, Spanyol dengan saham 50%
dimiliki oleh PT IPTN dan 50% oleh CASA. Tujuan perusahaan ini adalah
melakukan rancangan pesawat CN-235 dan melakukan pengembanggan lebih
lanjut hingga pesawat tersebut memperoleh sertifikat internasi-onal dan
dapat dipasarkan secara nasional dan internasional.
Melalui
program-program kegiatan itulah putera-puteri Indonesia dalam kurun
waktu kurang lebih 13 tahun (1986, red) telah membuktikan dirinya mampu
mengalihkan, menyerap, dan mengembangkan teknologi-teknologi yang paling
mutakhir; tidak saja di dalam industri pesawat terbang tetapi juga di
dalam industri-industri pembuatan kompo- nen-komponen pesawat terbang;
tidak saja teknologi di bidang rekayasa (engineering), tetapi juga di
bidang manajemen, bidang pemasaran, bidang sistem, bidang komputer, dan
sebagainya.
Dan semua teknologi ini diserap,
dikembangkan, dan dikuasai secara serasi dan seimbang satu dengan
lainnya sesuai dengan keperluan-keperluan nyata untuk mewujudkan suatu
produk yang utuh dengan misi tertentu yang jelas dalam batas-batas waktu
yang telah ditentukan.
Melalui Pameran Kedirgantaraan
Indonesia 1986 yang telah diselenggarakan di Jakarta dan hasil-hasil
karya lainnya, kemampuan produksi dan organisasi produksi PT IPTN dan
perusahaan-perusahaan Indonesia lainnya dalam wahana industri
penerbangan telah memperoleh pengakuan dunia internasional.
Pengakuan
itu meliputi berbagai segi yaitu pertama, pengakuan kemampuan membuat
atas dasar lisensi produk-produk teknologi canggih; kedua, pengakuan
kemampuan merancang dan membuat pesawat-pesawat baru; dan ketiga,
pengakuan kemampuan membuat bagian pesawat, baik dalam bentuk
imbal-produksi (off-set) maupun
untuk ekspor.
Dengan pengakuan itu maka ruang gerak
Bangsa Indonesia di dalam pengadaan barang-barang hasil produksi
teknologi tinggi semakin diperluas.
Kini, pilihan
Indonesia tidak lagi hanya terbatas pada alternatif-alternatif yang
menyangkut teknologi, harga, dan kemungkinan pembelanjaan.
Selama
ini, kepada Bangsa Indonesia juga sudah dipercayakan oleh perusahaan
terkemuka dari negara maju untuk menangani program produksi sebagian dan
produksi atas dasar subkontrak, baik berupa imbal-produksi (offset) dalam menghasilkan produk-produk yang
dibeli Bangsa Indonesia antara lain dengan perusahaan Amerika Serikat
General Dynamics, dengan Messerschmitt Bolkow Blohm dari Jerman Barat
dan perusahaan Inggris British Aerospace, maupun di dalam produksi
barang-barang untuk dipasarkan di pasar luar negeri, sebagaimana sedang
dirundingkan dengan perusahaan Amerika Serikat, Boeing.
N-250:
Kemandirian Pengembangan Teknologi
Sekarang
mari kita berbicara tentang N-250. Seperti kita ketahui, lama sekali
kita mempersiapkan pesawat itu. N-250 tidak jadi dalam satu hari saja.
Bahkan secara fisik tidak bisa dikatakan dipersiapkan baru dengan
beridirinya IPTN. Pertama, berdasarkan keputusan Presiden Soekarno, atau
pemerintahnya, banyak yang ditugaskan untuk belajar ilmu dirgantara
serta ilmu maritim yang high-tech ke luar negeri pada tahun 1950an. Dan
Mandataris MPR Presiden Soeharto yang mengamankan dan mengembangkannya.
Seperti
halnya Bung Karno dan generasinya adalah penggali Pancasila. Setelah
Pancasila mendapat gangguan berapa kali, yang mengamankannya kalau saya
boleh katakan adalah Pak Harto. Pak Harto bukan saja mengamankan tetapi
juga mengamalkan, memasyarakatkan dan menerapkan serta mengembangkan
yang berarti juga menyempurnakannya. Saya jelaskan tentang Pancasila ini
karena ada kesejajaran dengan teknologi.
Kita
tahu bahwa dalam anatomi kebudayaan, teknologi itu adalah bagian
terpadu dari budaya. Dalam hal ini, ma- nusia Indonesia juga mempunyai
bibit-bibit unggul. Namun belum mempunyai kesempatan untuk mekar dan
berkembang. Karena 350 tahun ada yang memanipulasinya untuk mekar. Dalam
350 tahun itu kita begitu dikocok dan begitu dihina secara langsung
atau tidak langsung, sehingga kita sendiri dan orang tua kita
hampir-hampir saja tidak percaya lagi bahwa kita ini sama dengan
bangsa-bangsa lain.
Atas dasar pemikiran itulah maka
pimpinan bangsa ini tahun 1950 langsung menugaskan putra-putri Indonesia
untuk belajar di bidang dirgantara dan maritim. Saya bukan gelombang
pertama, gelombang pertama dikirim tahun 1950, gelombang kedua tahun
1951, gelombang ketiga tahun 1952, gelombang keempat tahun 1954. Saya
gelombang keempat.
Gelombang sebelum saya sudah berusaha
mendirikan industri dirgantara Lembaga Industri Pesawat Terbang. Saya
ditugaskan sepuluh tahun setelah perintisnya meninggal. Tetapi juga ada
Komando Pelaksana Industri Pesawat Terbang.
Setelah
lulus saya tidak boleh pulang dulu. Presiden Soeharto memerintahkan
untuk tetap tinggal di Jerman. Tapi pada 1971 Presiden Soeharto
mengingatkan agar saya siap-siap. Baru pada akhir Pelita I diperintahkan
untuk pulang. Lalu mulai Repelita II April 1974 telah membantu Presiden
dalam bidang yang saya tekuni. Dan dengan hal ini penting untuk melihat
bahwa hasil karya ini bukan hasil tujuh tahun atau 19 tahun dengan
adanya IPTN. Datangnya bukan mulai dari adanya Kepres sejak saya
kembali, tapi mulai saat bangsa ini bisa berpikir di luar konteks
sekadar memerdekakan bangsa.
Orang-orang dari luar negeri mengakui
bahwa karya ini bukan hanya karya bangsa Indonesia melainkan karya umat
manusia yang datang dari Indonesia. Ini sebabnya mengapa ketika kita
hendak membuka perakitan di Amerika Serikat, 26 kota melamar untuk bisa
dipilih menjadi tempat perakitan N-250. Mengapa? Karena mereka yakin
pesawat tersebut pesawat unggul. Karena mereka berbicara produk unggul
itu bukan produk satu bangsa tapi seluruh umat manusia.
N-250
ini hendaklah dilihat sebagai karya generasi penerus. Mereka merekayasa
dan membuat N-250. Usia mereka rata-rata di bawah 40 tahun. Jika media
massa menokohkan The Man of Indonesia
Merdeka 50 Tahun, yang layak menerima penokohan itu adalah mereka yang
membanggakan dan menjadi harapan bangsa.
Banyak
di antara mereka tidak pandai berbicara, tapi otaknya dinamis. Misalnya
yang ahli masalah fly-by-wire atau yang lainnya. Mereka bekerja sampai
jam 2 malam, mereka tidur hanya 2 jam dalam 24 jam. Itu terjadi bukan
hanya satu hari tapi berbulan-bulan. Karena itu saya makin yakin pada
mereka. Bila perlu saya pasang badan saya untuk dijadikan perisai bagi
pejuang-pejuang yang kita banggakan itu.
Biasanya
penerbangan perdana merupakan rahasia per- usahaan. Tapi karena
maknanya jauh lebih luas daripada persoalan teknis, maka kami buka untuk
masyarakat. Ba-nyak anggota kabinet menyampaikan komentar spontan bahwa
setelah N-250 berhasil terbang, mereka akan berdiri tegak ke manapun.
Banyak
kalangan yang kurang percaya dengan N-250. Tapi dengan suksesnya
penerbangan perdana, saya kira mereka akan berbondong-bondong kemari
untuk mengeta- hui lebih jauh.
Kelahiran N-250
diwarnai kontroversi karena masyarakat kita sangat heterogen. Mereka
yang mendapatkan kesempatan menikmati pendidikan tinggi terbatas. Saya
kira hal itu juga disebabkan tidak diberinya kesempatan selama
penjajahan 350 tahun. Kontroversi itu normal saja. Buat saya hal itu
bukan ancaman tapi tantangan.
Masalah dana untuk
pengembangan N-2130, berdasarkan perkiraan saat ini, total investasi
untuk proyek N-2130 mencapai US$ 2 milyar. Pembiayaannya tidak berasal
dari pemerintah. Kami mengandalkan penjualan saham perusahaan yang akan
membuat pesawat N-2130 tersebut kepada orang Indonesia. Kalau misalnya
harga persaham US$ 1.000, kami hanya perlu menjual dua juta saham. Harus
diingat bahwa jumlah orang Indonesia yang termasuk kelas menengah ke
atas makin banyak.
Kami berupaya untuk mendapatkan
sertifikasi dari berbagai badan penerbangan, baik dalam negerimaupun
inter- nasional. Diperkirakan Juni 1997 N-250 mendapatkan ser- tifikasi
dari lembaga penerbangan dalam negeri dan akhir Desember 1997
memeperoleh sertifikasi FAA. Dengan demikian, diharapkan pada kuartal
pertama 1998 sudah bisa dilaksanakan penyerahan pertama.
Produksi
N-250 di AS tidak akan mendahului produksi di Bandung. Karena di AS
hanya ada fasilitas perakitan. Karena itu, AMRAI sangat tergantung pada
Bandung. Ka- mi akan memperluas fasilitas produksi dengan tambahan lahan
10 hektar.
Untuk AMRAI kami mendapatkan lahan 15
hektar di Alabama yang prasarananya seperti listrik, telepon dan
sebagainya sudah disediakan. Bukan itu saja, di sana bahkan penghargaan
diberikan kepada kami dengan memberi nama khusus sebuah tempat:
Gatotkoco Drive. Dan kami hanya bayar sewa tanah US$1 permeter pertahun.
Tentang pemasaran pesawat ini
persoalannya bukan terletak pada pesawatnya melainkan pada dukungan
pembia- yaannya. Karena itu Departemen Keuangan, Bank Indone- sia, dan
BPIS sedang merancang pembentukan sebuah per- usahaan leasing tidak
hanya untuk penjualan pesawat tapi juga seluruh produk BUMNIS seperti
Palindo Jaya atau Argo Bromo.
Yang perlu
dimengerti adalah bahwa perusahaan leasing itu bukan institusi sosial.
Perusahaan itu tidak mensubsidi industri pesawat terbang melainkan
merupakan perusahaan pencari untung. Sebagai contoh, kami kini sedang
berunding dengan Gulf Stream Airline dari AS yang ingin membeli 10 unit
N-250. Persoalannya bukan pada pesawat tapi pada tidak adanya
pembiayaan. Untuk mengekspor N-250 bantuan perusahaan leasing sangat penting.
Kembali
pada rencana pembentukan perusahaan leasing, apakah nanti seluruh
sahamnya dimiliki swasta, itu tergantung pada pemerintah. Buat kami yang
terpenting bukan siapa yang memiliki saham melainkan kami bisa
mendapatkan cash money. Kalau
ditanya: mengapa Menteri Keuangan terlibat dalam proses itu, karena dia
merupakan wakil pemerintah sebagai pemegang saham BUMNIS.
Perusahaan
leasing ini didirikan untuk memberikan fasilitas kepada customer untuk
membeli produk dari BPIS. Sebagai contoh, Mitsubishi Corporation yang
punya bank untuk wadah dalam memberikan pelayanan kredit bagi holdingnya
itu sendiri. Nama bank itu Mitsubishi Bank. Sedangkan Daimler Benz,
walaupun tidak punya bank, tapi sebagian besar sahamnya dimiliki oleh
Deutsche Bank. Jadi, sama saja. Yang memberikan pelayanan kredit ke
Daimler Benz adalah Deutzsche Bank.
Dalam kaitan ini,
ada beberapa alternatif. Bisa saja nanti BPIS memiliki bank sendiri.
Tapi persoalannya syarat untuk membuat bank itu macam-macam dan perlu
proses panjang. Padahal, saya perlu cepat-cepat menjual produk BPIS. Ada
cara lain, misalnya bank BUMN yang ada ikut dalam pembiayaan selaku leasing company. Kalau menjual produk dengan
nilai kecil-kecil umpamanya pembelian satu pesawat terbang yang
harganya cuma 15 juta dollar AS, ditangani oleh BPIS sendiri. Tapi kalau
pembelian satu armada yang harganya 140 juta dollar AS, BPIS bisa
membuat konsorsium dengan bank lain.
Inti persoalannya,
bahwa tidak ada satu pun pembeli saat ini yang mau membeli suatu produk
kalau itu harus dibayar tunai. Sekarang orang belanja di toko atau makan
di restoran saja sudah pakai kartu kredit. Coba saja satu res- toran
menulis di depannya "Harus Bayar Tunai", tak bakal laku. Tapi kalau
restoran itu menerima pembayaran dengan kartu kredit, banyak yang mau
makan di situ. Bayangkan beli makanan sekarang orang lebih suka pakai
kartu kredit, apalagi beli pesawat terbang atau kapal laut. Sebab, orang
belum tentu punya uang kontan. Mungkin orang hanya punya uang pas-pasan
sehingga untuk memperoleh satu produk dia hanya bisa membayar dengan
kredit bank. Masalah seperti ini yang menjadi kelemahan BPIS. Kita tidak
punya bank yang mau memberi pelayanan jasa seperti itu.
Untuk
mengatasi hal ini, sebenarnya saya sudah menulis surat kepada Menteri
Keuangan. Sudah ada jawaban dan sudah mendapatkan izin. Tapi tidak
bergulir, dalam arti, tidak ada inisiatif dari perbankan pemerintah atau
swasta nasional untuk siap mendukung penjaulan produk BPIS dengan
fasilitas kredit dari bank kita.
Kendati demikian,
tidak berarti BUMNIS rugi terus karena kesulitan penjualan. Bukan rugi.
Setiap pesawat terbang, kapal laut atau kereta api yang dibuat an sich
pada dirinya untung. Cuma jumlah penjualannya tidak mencukupi. Karena
konsumen tidak mau beli dengan bayar kontan. Konsumen mau beli dengan
fasilitas kredit. Karena itu, kalau BPIS punya bank yang menjadi finance service sebenarnya kita tidak punya
masalah. Apalagi, dilihat dari segi pasasar maupun teknologi, produk
BPIS pasti unggul. Saya yakin banyak yang meminatinya tapi terbentur
masalah dukungan bank. Dan saya sudah teriak-teriak tapi tidak ada yang
tertarik. Itulah sebabnya mengapa kita membuat pab- rik perakitan di
Amerika Serikat dan Jerman, sebab mereka membuat simbiose dengan
perbankan di sana.
Selain itu, sekarang ini IPTN sedang
bernegosiasi de- ngan Uni Emirat Arab untuk membuat joint venture. UEA yang pertama menawari.
Semula UEA minta offset, tapi karena UEA tidak punya pabrik dan SDM yang
memadai, akhirnya UEA tertarik untuk membentuk leasing
company. Bahkan tadinya UEA minta supaya kita mau memberikan
hak kepadanya untuk membiayai 100% seluruh produk yang dijual BPIS.
Kita tengah bernegosiasi dalam hal ini.
Daripada
saya sorak-sorak di sini tapi tidak ada tang- gapan, lebih baik saya
membuat patungan dengan UEA. Karena tidak ada jalan lain, terpaksa saya
mau patungan dengan UEA karena butuh uang cash untuk membuat dan menjual
pesawat. Kalau jalan ini tidak ditempuh kita rugi. Selain itu, belum
lama ini ada seorang teman Pak Bustanil Arifin dari Amerika Serikat yang
dulu membantu finance beras, dia mau ikut berpartisipasi dalam joint
venture dengan UEA. Bayangkan orang asing saja begitu. Tapi dari
Indonesia tidak ada.
Bersambung
Bersambung
No comments:
Post a Comment