Pada tahun 1974 kami pernah mendiskusikan dengan Bapak Presiden dua masalah yang sangat aktual.
Pertama, mengenai pemanfaatan satelit Palapa; dan kedua, mengenai pendirian pabrik pupuk.
Dipandang dari makro ekonomi, mendirikan pabrik pupuk itu tidak ada gunanya karena pada waktu itu lebih murah kalau kita beli karena harga pasar lebih murah. Tetapi kita tidak hanya melihat dari segi ekonomi tetapi juga dampak sosial-politik, dan dampak lapangan pekerjaan.
Pembangunan itu harus dilaksanakan dengan proyeksi pandangan yang jauh ke depan. Karena itu diambil dua-duanya, kita mendirikan industri pabrik pupuknya dan juga kita membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Kita ambil langkah demikian karena kita ingin sektor pertanian kita itu swasembada karena tersedianya pupuk yang memadai. Kita berani memberi subsidi pada pupuk karena pupuk itu dibuat dari sumber daya alam, dan menurut undang-undang adalah milik rakyat.
Pada tahun 1971, saya mendapatkan pertanyaan dari bapak Presiden tentang satelit Palapa. Apakah benar menguntungkan kalau kita punya Palapa? Saya jawab ya benar.
Memang kelihatannya satelit palapa itu mahal, tapi kalau dihitung-hitung akhirnya jadi murah. Lagi pula satelit itu menentukan bagi berkembangnya kualitas sumber daya manusia. Dengan begitu, pada waktu itu kita menjadi bangsa yang ketiga di dunia yang memiliki satelit telekomunikasi setelah Amerika Serikat dan Kanada. Dipandang dari sudut ekonomi waktu itu it's a big non-sense.
Begitu juga dilihat dari sudut sosial-politik waktu itu, sama it's a big non-sense. Sampai pakar-pakar berkata kepada saya: "Apakah saya mimpi?.
Eropa saja tidak punya satelit telekomunikasi, kenapa saya berani ikut menyarankan kepada Presiden untuk membeli satelit." Tetapi sekarang itu semua dilupakan. Ya, itu kebijaksanaan bapak Presiden, demikian pula dengan industri pesawat terbang, industri kapal, industri kereta api, industri baja, elektronik dan sebagainya.
Oleh karena itu, ketika kita sedang sibuknya memikirkan suksesi, wapres, moneter, dan sebagainya, saya harus memberikan pengarahan pada silaknas ICMI di Bogor.
Sebelumnya memang terus-menerus hal itu dipertanyakan oleh politisi, maka saya berikan hasta krida (delapan janji/karya):
Krida pertama, ICMI atau seorang cendekiawan harus proaktif memperjuangkan hak asasi manusia diimbangi dengan kesadaran tanggung jawab terhadap apa yang diperjuangkan itu.
Contoh, saya tidak bisa mengatakan saya punya hak untuk menikmati pembangunan, tetapi saya tidak mempunyai kewajiban untuk mengamankan pembangunan sehingga berkesinambungan. Jadi, hak asasi manusia itu baru merupakan sebagian dari sesuatu yang seharusnya bersifat lebih luas. Bagian yang lain adalah kesadaran dan kewajiban atas tanggungjawab manusia itu sendiri.
Tetapi tanggungjawab itu sering dilupakan, mereka hanya menonjolkan hak asasi. Apakah tidak sebaiknya sebelum itu mereka juga menonjolkan kesadaran dan kewajiban atas tanggung jawab asasi manusia? Ini penting, sebab untuk apa kita hidup kalau tidak untuk hak asasi dan kewajiban yang kita perjuangkan dengan tolok-tolok ukur dan nilai-nilai yang tersurat baik langsung maupun tidak langsung dalam budaya dan agama kita.
Apa gunanya hidup tanpa perjuangan utama seperti yang saya jelaskan tadi itu?
Namun, untuk melaksanakannya itu dengan menerjemahkan hak asasi dan kewajiban asasi manusia dalam suatu sistem yang mencerminkan budaya, khususnya budaya bangsa Indonesia.
Krida kedua, cendekiawan harus proaktif terus-menerus memperjuangkan peningkatan kualitas pelaksanaan demokrasi Pancasila sesempurna-sempurna mungkin. Tidak bisa dalam 5 tahun, tidak bisa dalam 10 tahun, karena tolok ukurnya selalu berubah sesuai dengan perkembangan keadaan dunia yang selalu akan mempengaruhi setiap masyarakat, baik di kawasan nasional, regional, maupun global.
Krida ketiga, demokrasi Pancasila tidak bisa berdiri sendiri, harus ada yang menggerakkan sebagai faktor penggerak juga sebagai motivator dan penyandang biayanya, yang pada akhirnya tercermin pada hak asasi dan tanggungjawab itu.
Apakah itu? Ialah pembangunan bangsa Indonesia yang berkesinambungan, perlu digarisbawahi, bahwa yang dimaksudkan bukan sembarang pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi yang saya sasari adalah pembangunan ekonomi dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Tapi kalau saya bicara tentang pembangunan nasional, saya berani mengorbankan 3% pertumbuhan ekonomi, jika saya yakin bahwa dengan begitu terjadi pemerataan kesempatan kerja terjamin.
Karena itu saya tidak pernah selama 20 tahun atau 25 tahun terpesona dengan pertumbuhan ekonomi, melainkan saya selalu berbicara tentang pertumbuhan pembangunan nasional. Jadi, krida ketiga itu ialah pertumbuhan pembangunan nasional yang bekesinambungan.
Krida keempat, kita harus proaktif menegakkan hukum, menegakkan aturan main. Kalau berdemokrasi, produk dari wakil-wakil rakyat adalah UU, tolok-tolok ukur, kendala-kendala yang perlu diciptakan tetapi yang tidak counter productive justru yang membantu sehingga bisa berkembang roda pembangunan nasional itu.
Karena itu, setelah kita mengambil napas untuk menjelaskan apa yang namanya pertumbuhan pembangunan yang berkesinambungan itu, kita harus berani mengatakan kita memperjuangkan proaktif kesadaran pada UU. Dan menegakkan UU sesuai dengan hak azasi dan kewajiban manusia itu sendiri.
Krida kelima, karena kita membangun bukan untuk sekadar membangun tetapi membangun untuk SDM bangsa Indonesia sendiri. Maka pada krida kelima ini kita memperjuangkan agar manusia Indonesia seutuhnya mengalami proses nilai tambah pribadi sehingga meningkat profesionalismenya, ditingkatkan nilai dan kualitasnya, tanpa membedakan apa dia itu berpendidikan S1, S2, atau S3. Tetapi dalam hal itu bagaimana karya nyata kita, niat dan itikadnya dalam memberikan sumbangan kepada rakyat kita sendiri.
Krida keenam, kita sadari proses nilai tambah bukan saja ada pada barang, bukan saja ada pada pemikiran, bukan saja hanya pada perangkat lunak, tapi yang paling penting proses nilai tambah pribadi pada otak, kesadaran batin dari manusia, harus meningkat terus. Itu yang saya namakan nilai tambah pribadi.
Karena itu silaturahmi selalu disarankan semua agama, khususnya Islam dan saya yakin agama yang lain juga. Saya yakin dengan bersilaturahmi itu kita meningkatkan wawasan dan nilai pribadi masing-masing yang saling menguntungkan demi kepentingan kita hidup dalam masyarakat yang damai dan sejahtera.
Oleh karena itu, kita harus memperjuangkan krida yang keenam itu, proaktif menyediakan lapangan pekerjaan untuk manusia Indonesia. Karena kita mengalami proses nilai tambah pribadi melalui pendidikan masing-masing yang disebut proses nilai tambah formal.
Tetapi yang tidak kalah penting, bahkan lebih besar nilai tambahnya adalah proses nilai tambah non-formal, dan itu hanya dimiliki melalui bekerja pada profesi masing-masing bila disediakan lapangan pekerjaan.
Manusia dalam alam semesta ini adalah satu-satunya mahluk yang dimungkinkan mengalami apresiasi nilai atau mengalami relatif depresiasi.
Karena apa?
Karena iptek berkembang secara fungsional. Sedangkan kalau kita tidak bekerja karena tidak disediakan lapangan pekerjaan, maka ilmu kita, profesi kita, tidak mengalami perkembangan progresif dan tidak pula mengalami perkembangan linear. Akibatnya, seseorang akan mengalami relativitas penurunan nilai tambah pribadi.
Oleh karena itu krida keenam itu menghendaki agar kita proaktif menciptakan lapangan pekerjaan, caranya? Cintailah produk dalam negeri, jangan lecehkan karya bangsanya sendiri.
Kita harus rela berkorban membayar kepentingan anak sendiri untuk maju, yang bisa diketahui melalui proses demikian. Masa depan cucu kita harus lebih cerah.
Krida ketujuh, kita harus memelihara bahwa kehidupan yang sejahtera dan penuh dengan kesayangan dan juga perdamaian antara keluarga yang harus kita ciptakan adalah status quo, tempatnya di desa.
Tetapi tidak status quo tingkat nilai GDP di desa. Biarkan mereka hidup di desa.
Tetapi yang harus kita usahakan adalah bahwa kehidupan di desa itu tidak indentik dengan GNP yang rendah. Oleh karena itu, kita harus proaktif membawa teknologi masuk desa. Tetapi teknologi masuk desa tak cukup, melainkan harus dibarengi juga dengan microeconomic linkage system yang memasuki desa. Dengan cara demikian kita akan memberikan pemerataan pembangunan.
Dengan demikian kita akan menyegarkan kehidupan Indonesia berbudaya sepanjang masa.
Krida kedelapan, adalah kita harus proaktif mengembangkan pemerataan --saya tak mau lagi membicarakan pemerataan pendapatan, untuk apa kita memperjuangkan pemerataan pendapatan yang satu pihak mendapat 80% sedangkan yang sebagian besar memperoleh 20%, saya tidak menghendaki perjuangan bangsa Indonesia dengan cara demikian. Bukan demikian perjuangan bangsa-bangsa di muka bumi.
Karena itu ada sistem perpajakan yang progresif.
Namun kita juga tak bisa memusuhi orang yang sudah berhasil. Yang berhasil, harus bersyukur kepada Allah dan berterimakasih kepada bangsanya yang telah memungkinkan mereka bisa menjadi demikian. Oleh karena itu tanggungjawabnya lebih besar. Dia harus membayar pajak. Karena itu yang kita perjuangkan bukan pemerataan pendapatan tetapi pemerataan kesempatan. Kesempatan berkembang sebagai manusia dengan segala krida-kridanya yang delapan itu, dan selain itu kesempatan untuk memberikan darma baktinya bagi bangsa, yang juga diimbangi dengan tanggung jawab, bukan saja hak.
Dengan satu catatan, dalam melaksanakan hal tersebut harus berdasarkan demokrasi Pancasila.
Oleh karena itu krida kedelapan itu harus kita laksanakan pemerataan dengan tidak mentoleransi SARA dalam bentuk apapun juga. Kita harus memberikan kesempatan berkarya, berkarya dalam pembangunan Indonesia, kepada siapa saja yang berbakat tanpa mengenal SARA.
SARA itu tidak lain perbedaan antar suku, agama dan ras. Bukan suatu jaminan kalau saya lahir di Pare-Pare di Sulawesi Selatan, semua orang Pare-pare itu mendapat sesuatu. Tidak benar. Tentunya kita harus pula mempertimbangkan budaya, saya tak bisa ke Pare-Pare, terus mengatakan kepada semua orang Bugis bahwa saya masukkan budaya orang Jepang, orang Yogya.
Kita harus realitis, jangan kita menyalahartikan SARA itu. Jangan kita memanfaatkan SARA untuk kepentingan tertentu. Misalnya ada kampung yang 100% penduduknya beragama Katholik, karena alasan tak mengenal SARA dan berdasarkan Pancasila, kemudian didirikanlah Masjid di sana, ini juga tidak benar. Mengapa? Karena tidak ada jama'ahnya. Tetapi di lain pihak juga bila 100% di situ adalah penduduknya beragama Islam, jangan datang ke situ untuk membuat rumah ibadah non-Islam hanya karena alasan Pancasila, ini juga tidak benar.
Kita harus realistis.
Pancasila tidak pernah diciptakan untuk membuat permasalahan di bumi Indonesia, Pancasila harus selalu diinterpretasikan sebagai angin sejuk yang memberikan kenyamanan dan kesejahteraan serta kehidupan yang tentram, sejahtera, damai, antara satu sama lain. Demikian jugalah mengenai pembangunan itu sendiri dan mengenai budaya. Saya sering menyampaikan kepada siapapun, bahwa kita harus tahu, di Indonesia tidak pernah terjadi perang antar-umat. Yang kita perangi adalah ketidakadilan, kemiskinan, kemasabodohan.
Dan untuk hal itu kita berpegang pada hasta krida.
Enak memang diucapkan tetapi tak semudah demikian dilaksanakan. Tetapi kita harus menyadari bahwa semua itu bukan isapan jempol. 20 tahun lalu tak mungkin saya bisa memformulasikan dengan detail demikian, karena belum ditempa oleh sejarah selama seperempat abad bisa menikmati kesempatan yang diberikan untuk berperanserta membantu bangsa yang kita cintai ini melaksanakan pembangunan. Jadi saya telah berusaha menjelaskan, di situ tampak implikasi peranan teknologi, peranan ekonomi, peran politik, dampak sosial bahkan ideologi, semua tersirat dalam 8 krida itu.
Mengenai Moneter Kita semua memang prihatin, tetapi bukan berarti dunia kiamat. Semua ini tidak secara kebetulan terjadi. Mulai dari Korea sampai Thailand, semuanya mengalami depresiasi mata uangnya terhadap dolar.
Itu sebenarnya tidak lebih dan tidak kurang daripada success story pembangunan di Asia. Yang sukses itu pemerintahnya. Pemeritah masing-masing membuat negaranya lebih kredibel. Pemerintah kredibel karena bisa mengontrol dan mengendalikan pembangunan dan memberikan prioritasnya pada produksi yang export-oriented, impor-substitution dan capital growth, dan seterusnya.
Dengan demikian, tiba-tiba seluruh negara tersebut menjadi kredibel, maka para banker hanya mau memberikan kepada pemerintah -- karena pertumbuhan ekonominya tinggi --
kenapa mereka tidak memberikan kepada rakyat? Juga, karena pembangunan di setiap negara bunganya relatif lebih tinggi daripada di negara maju. Sebagai seorang enterpreneuer, jika di situ bunganya lebih murah 20%, kenapa tidak mengambil pinjaman? Nah, selama pinjaman bisa dibayar dengan komoditi ekspor ataupun komoditi substitusi impor dan tidak marginal, maka hal itu aman.
Tetapi kalau pinjaman itu sama sekali tak ada kontribusinya terhadap ekspor dan hanya pada domestic market saja, kalau berupa capital goods pada domestic market masih lumayan, tetapi kalau berupa consumer goods, luxorious pada domestic market, maka tidak ada kontribusinya.
Kita harus menyadari memasuki abad mendatang, ada dua kejadian besar di dunia ini. Akibat kebijakan yang satu dibuat tahun 1980an, yang satu dibuat tahun 1950an.
Pada waktu itu diputuskan bahwa pada akhir abad ini harus dibentuk Uni Eropa. Sejak kemerdekaan AS, anggaran pembangunannya selalu seimbang. Pertamakali dalam sejarah AS, pada zaman John F. Kennedy terjadi anggaran pembangunan yang negatif kecil.
Kalau kita pelajari moneter policy dan ekonomi AS, dalam keadaan perangpun selalu seimbang. Itu berkembang. Bukan saja karena AS punya anggaran bahkan neraca negatif. Tapi tak terasa karena jumlah ekonominya itu besar, 6.000 miliar US dolar dan volume perdagangan AS itu lebih kecil, sekitar 17% dari volume perdagangan dunia. Sedangkan kontribusi GDP AS adalah 21%.
Itu berarti AS tidak tergantung pada ekspor, karena pasar domestik besar. Sekarang dalam menghadapi semua ini, di tahun 1986 Ronald Reagen melaksanakan deregulasi yang diikuti oleh negara Asia. Apa yang terjadi? Tiba-tiba pertumbuhan ekonomi di AS terus meningkat, akibat dari deregulasi yang diimbangi dengan peraturan-peraturan yang sehat. Akibat pertumbuhan tinggi yang diikuti kebijakan, mulai Januari tahun depan (1999) di Eropa, hanya dikenal satu mata uang Euro, tetapi ada transisi -- di Jerman Euro dan Deucthmark, di Prancis Euro dengan Frank -- tetap akan ada floating hingga Januari 2001.
Kalau itu terjadi, orang bertanya, uncertainly. Bagaimana relasi antara dolar dengan Euro? Bagaimana sinerginya? Bagaimana kapital yang diparkir di Eropa itu pindah ke AS? Lalu permintaan terhadap dolar meningkat. Kalau permintaan terhadap dolar meningkat, maka harga dolar AS meningkat.
Oleh karena itu harga Deucthmark pun mengalami depresiasi antara 35% terhadap US dolar.
Ini yang menyedotnya semua -- karena GDP Eropa itu 93% dari AS -- belum termasuk Inggris dan Skandinavia. Kalau kedua negara itu masuk berarti mencapai 116% dari GDP AS.
Jadi GDP kita saat itu sekitar 225 miliar, dan GDP mereka 6.000. Dalam keadaan demikian, di Asia diikuti dengan terjadinya apresiasi dolar. Perusahan di Thailand yang sangat marginal dalam menghitung studi kelayakan dalam dolar AS menjadi nervous. Dan itu menjadikan permintaan dolar terus meningkat. Permintaan itu diikuti dengan yang lain. Hanya corak dan ekonominya berbeda.
Tapi saya tidak akan memberikan penjelasan lebih mendalam mengenai hal ini. Alangkah sedihnya kalau memilih pimpinan nasional itu berdasarkan harga dolar. Berapa harga saham di Singapura? Saham di Jakarta paling banyak melibatkan 200 ribu orang, dari 200 ribu orang itu paling banyak hanya 20% yang mengendalikannya. Kalau itu menjadi tolok ukur mengenai pimpinan nasional, GBHN, vision, masa depan anak cucu kita, apa artinya demokrasi itu.
Apakah artinya krida pertama HAM dan dimbangi oleh tanggungjawab kewajiban tanggung jawab dari manusia itu? Tetapi kita harus menyadari bahwa masa depan kita harus berada di pundak kita sendiri dan tidak pernah dan tak akan kita perkenankan lepas dari tangan dan pundak kita sendiri. GNP Brunei perkapita -- seperti saya baca -- adalah 28.000 US dolar per kapita.
Singapura 26.730 US per kapita, Batam 20.837 US per kapita.
Memang ada perbedaannya, pemerataan di Brunei lebih baik daripada di Batam, dan pemerataan di Singapura lebih baik daripada di Brunei. Ini bukan fantasi, bukan impian. Seorang yang mimpi kalau bangun tak ada isinya. Orang yang punya visi dan wawasan kalau dia bekerja tak menyadari, kalau disadarkan dia akan terkejut, dan akan mendapati lebih dari yang diharapkan.
Karena seorang yang visioner tak akan memikirkan dirinya, namun tetap terus melaju. Dan saya yakin ribuan bahkan jutaan manusia Indonesia yaang berwawaskan visioner, cuma belum diberikan kesempatan. Karena itu kita harus memperjuangkan krida ke delapan, pemerataan kesempatan bagi seluruh bangsa Indonesia dengan tak mentolelir SARA.
No comments:
Post a Comment