Industri Strategis dan Industrialisasi
Oleh : B.J. Habibie
Tugas Industri Strategis tidak lain adalah menjadi ujung tombak bagi industri-industri yang lain dan direncanakan akan berkembang di bumi Indonesia dalam proses industrialisasi. Strategis yang dimaksud bukanlah dalam arti militer saja, namun juga dalam arti ekonomi.
Proses industralisasi yang sudah dialami negara-negara industri maju, termasuk Jepang, berlangsung lebih dari 200 tahun, sedangkan proses industrialisasi di Indonesia baru dimulai sejak masa Orde Baru.
Apa yang terjadi sebelum masa Orde Baru tidak dapat dikategorikan dalam pengertian proses industrialisasi, tetapi hanya proses konsolidasi, yaitu proses pengontrolan dan penguasaan prasarana ekonomi belum sampai prasarana industri. Prasarana ekonomi tersebut meliputi prasarana perhubungan, pendidikan, kesehatan, yang berkaitan dengan perdagangan. Dalam konteks ini, komoditas perdagangan yang juga strategis tapi tradisional, seperti teh, lada, dan kopi, tetap penting dan diutamakan di Indonesia. Usia perdagangan komoditas ini sudah berlangsung lebih dari 200 tahun.
Jadi, bukan proses pengontrolan dan penguasaan prasarana ekonomi semacam ini yang dimaksudkan dengan proses industrialisasi.
Proses industrialisasi adalah proses mengembangkan industri untuk commodity consumption dan kapital untuk pasar dalam negeri serta untuk ekspor tanpa mengabaikan agroindustri. Agroindustri tetap merupakan aktivitas utama dan prioritas utama. Industrialisasi itu harus berkembang di atas industri agrikultur dalam arti yang seluas-luasnya.
Dengan memiliki kesadaran tersebut, bangsa Indonesia, yang jumlah penduduknya terus bertambah, tidak mungkin bisa hidup hanya dengan nilai tambah dari agroindustri.
Oleh sebab itu, tak ada pilihan lain bagi bangsa ini selain mengembangkan dan memantapkan kemandirian serta kemajuan agroindustri yang berorientasi pasar, baik dalam negeri atau ekspor, untuk selanjutnya melangkah setahap demi setahap menuju pada proses industrialisasi.
Dalam proses industrialisasi, prioritas utama harus diberikan pada komoditas yang export-oriented dan import-substitutioned.
Pada komoditas tersebut terdapat dua prioritas. Prioritas pertama adalah komoditas yang memanfaatkan bahan baku dari dalam negeri sendiri atau yang seminimal mungkin menggunakan bahan baku impor. Prioritas kedua adalah komoditas yang masih harus memanfaatkan bahan baku impor, namun secara sistematis bahan baku tersebut dapat disubstitusi dengan bahan baku dari dalam negeri.
Industri-industri yang termasuk kategori prioritas kedua adalah yang menghasilkan komoditas yang tidak hanya berorientasi ekspor dan substitusi impor, tapi yang lebih penting lagi adalah dapat menghasilkan pertumbuhan kapital (capital growth).
Komoditas ini dapat dipergunakan sebagai modal untuk sekurang-kurangnya mengembangkan pasar domestik dan juga kalau bisa untuk ekspor. Kalau ini sudah berhasil, prioritas berikutnya diberikan kepada commodity consumption atau apa saja yang lain, tergantung pada permintaan pasar.
Berdasarkan hal tersebut, ciri khas industri strategis sebagai ujung tombak industrialisasi adalah export-oriented, import-substitution, dan capital growth.
Diharapkan dalam proses berkembangnya industri strategis itu, bahan baku yang dibutuhkan, yang masih diimpor secara sistematis, akan disubstitusi dengan cara mengembangkan vendoor company. Jadi, nilai tambah bahan baku impor nantinya makin lama makin berkurang, karena sudah dikembangkan oleh industri-industri penunjang yang mengintegrasikan teknologi dan sistem.
Industri strategis yang berjumlah sepuluh itu tidak lain merupakan industri yang mengintegrasikan teknologi dan sistem.
Krakatau Steel (KS),
Pindad,
Industri Kereta Api (INKA),
PT PAL,
Boma Bisma Indra (BBI),
PT INTI,
LEN Industri, dan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN),
PT Barata, PT Dahana, pada dasarnya adalah technology and system integrated.
Mereka mengintegrasikan sistem enjin, sistem elektornik, dan sebagainya. Setiap sistem tersebut merupakan integrator kecil, integrator lebih besar adalah produk yang dihasilkan, dan yang lebih besar lagi adalah industri itu sendiri.
Berdasarkan hal tersebut, kita bekerja untuk menjadikan diri kita mandiri dan mampu menghasilkan produk unggulan serta bisa diandalkan.
Ini ditopang oleh kesadaran bahwa tidak mungkin sebuah negara atau suatu sistem ekonomi akan bisa menghasilkan produk unggulan dan produk andalan jika negara atau sistem ekonomi tersebut hanya bermain sendiri.
Mengapa? Kalau kita membatasi diri pada kekuatan nasional saja, berarti kita membatasi atau hanya mengandalkan pada 200 juta orang, sedangkan di muka bumi ini terdapat enam milyar manusia.
Karena itu, kerja sama internasional yang saling menguntungkan yang dinamakan sinergi atau win-win cooperation adalah vision abad yang akan datang.
Globalisasi itu harus dibarengi dengan vision.
Vision yang sudah lama kita persiapkan adalah bagaimana mekanisme untuk mengimplementasikan sinergi tersebut, karena masa depan hanya dimiliki oleh bangsa yang mampu mengadakan sinergi dengan bangsa lain. Bangsa yang mampu menyadari bahwa dari enam miliar manusia itu sebut saja 25 persen yang potensial atau sekitar 1,5 miliar memanfaatkan potensi yang 1,5 miliar itu.
Kita harus mampu secara mandiri menjadikan mereka perusahaan yang sinergis, yang menghasilkan produk yang diintegrasikan secara teknologi dan sistem.
Hal itu dapat dicapai jika kita memiliki niat atau itikad, dan juga memiliki persiapan-persiapan, baik berupa undang-undang atau peraturan pemerintah yang juga merupakan sistem yang mandiri dan redundant .
Begitu pula penguasaan teknologi bukan saja secara teori, tapi sudah menyatu pada diri kita dengan segala konsekuensinya. Ini adalah masa depan, dan inilah pula sebabnya mengapa dalam menghadapi masalah moneter kita tidak bisa menyelesaikannya sendiri. Inilah peran dan tujuan Industri Strategis.
Jika bangsa lain sudah lebih dari 200 tahun mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan sumber daya manusianya, teknologinya, sistemnya, dan pusat-pusat unggulannya serta prasarana yang menunjang integrasi tersebut; sedangkan kita, bangsa Indonesia, baru 30 tahun.
Itu sebabnya, negara yang sudah berpengalaman 200 tahun cuma tahu rugi-laba ekonomi, sedangkan rugi-laba teknologi tidak mereka kenal, tidak ada dalam text-book mereka. Karena itu, IMF atau World Bank walapun saya yakin mereka sangat berkepentingan dengan majunya bangsa-bangsa di dunia dan saya pun yakin mereka sangat membantu Indonesia tidak mau mengenal rugi-laba teknologi, karena mereka tidak pernah berkecimpung di dalamnya.
Ini karena mereka adalah produk dari suatu masyarakat yang telah menikmati lebih dari 200 tahun perkembangan evolusioner mekanisme tersebut.
Berbeda dengan kita. Apakah kita harus berlari ke belakang mereka yang telah melewati waktu 200 tahun? Apa kita harus menunggu sampai ada yang mau datang membantu kita? Tidak.
Kita harus mampu mengembangkan SDM kita sendiri yang diilhami oleh rakyat dan lingkungan kita, yang penguasaan ipteknya sudah dijiwai dan hanya memiliki satu sasaran: rakyat, rakyat, rakyat, kebutuhan rakyat, dan keuntungan rakyat. Inilah yang harus kita persiapkan untuk masa depan bangsa Indonesia. Inilah tugas Industri Strategis, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan kita semua.
Industri Strategis sekarang usianya sudah sembilan tahun, tahun depan 10 tahun. PT IPTN sudah 22 tahun, PT PAL 15 tahun, PT LEN 8 tahun, PT INTI 22 tahun, dan PT KS 25 tahun.
Karena itu, kita harus melihat lebih dulu bagaimana rugi-laba dari sudut teknologi, bagaimana pula kemandiriannya. Kalau kita hanya melihat rugi-laba dari sudut ekonomi saja, kita tidak perlu Industri Strategis. Berikan saja pada Krakatau Steel untuk mengontrol ekspor dan impor baja yang lebih menguntungkan. Jadi, kita tidak perlu pusing-pusing. Itu yang kita laksanakan pada tahun 50-an.
Jika kita hanya melakukan perdagangan, bolehlah kalau kita hanya mengangankan rugi-laba dari sudut ekonomi. Begitu juga dengan kereta api, buat apa kita mendirikan PT INKA. Kita atur saja tanggal berapa kereta beroperasi, berapa untungnya, berapa pajaknya. Beres.
Tapi kalau demikian, berapa yang harus kita bayar jika kelak kita kehabisan sumber daya alam, minyak, dan gas?
Kita tidak merekayasa bangsa Indonesia hanya untuk satu abad, tapi sampai dunia kiamat.
Jadi, tidak bisa dibenarkan bahwa bangsa kita tidak punya dinamika atau kita tidak memperhatikan masalah-masalah tersebut di atas. Juga tidak bisa dibenarkan kalau kita menyerahkan semua ini pada penilaian orang lain, tidak berani mengambil inisiatif, dan tidak berani mengambil risiko. Satu hal yang harus kita sadari adalah bahwa kita tidak mengambil, tetapi memberi kepada bangsa Indonesia. Keuntungannya, insya Allah dapat dirasakan secara merata pada abad yang akan datang.
Kesimpulannya, semua Industri Strategis dan industri swasta sekalipun, yang harus kita lihat pertama-tama adalah sisi rugi-laba teknologinya. Apabila mereka rugi, kita tanya mengapa sampai merugi.
Mungkin karena terlalu banyak melakukan ekspansi atau terlalu berani mengambil inisiatif untuk mengamankan diri agar mandiri dan terus berkembang. Tetapi, alangkah indahnya jika suatu hari perusahaan tersebut mendapat laba teknologi dan laba ekonomi. Hanya saja, perlu kita ketahui bahwa hal itu tidak bisa dicapai hanya dalam satu Repelita.
Dari kacamata inilah, kita harus membaca proses industrialisasi yang berlangsung di Indonesia, di mana ujung tombaknya ditugaskan kepada Industri Strategis. Industri Strategis merupakan katalisator yang akan terus memberikan kesempatan kepada industri-industri yang lain untuk secara mandiri berkembang, memperoleh laba teknologi, dan laba ekonomi.
Karena industri swasta hidup-matinya tergantung pada rugi-laba ekonomi, maka sudah tentu dia tidak mampu mengambil risiko yang tinggi untuk melaksanakan kebijakan yang berorientasi pada laba teknologi.
Karena itu, kita harus memikirkan untuk memberikan insentif kepada mereka yang berani mengambil risiko dalam rugi-laba teknologi, misalnya insentif perpajakan, dan insentif yang lain. Mengapa mereka diberi insentif, sedangkan mereka bukan milik rakyat? Perusahaan swasta itu, katakanlah milik si Ali, yang sudah kaya. Sekalipun si Ali kaya, ia tetap makan tiga kali dalam sehari, dan mungkin karena kolesterolnya tinggi, ia hanya makan sehari dua kali. Yang jelas, si Ali yang kaya itu, telah menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan laba ekonomi dan laba teknologi.
Oleh karena itu, kita harus melihatnya dari kacamata yang bijak dan wajar. Tidak hanya terbatas sampai tahun 2000 atau 2002 atau 2020, tetapi secara bertahap, sampai jauh ke depan.
Mengenai IPTN, sebenarnya sudah banyak diulas di media massa. Hanya, perlu dijelaskan lagi agar tidak menimbulkan salah pengertian. Pada kurva yang dimuat Harian Republika (4/2/1998) terlihat adanya Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) di IPTN.
Konsep akumulasi PMP-nya sebagai berikut: akumulasi revenue berputar karena penjualannya meningkat. Pada 15 tahun pertama, kenaikan akumulasi investasi tidak sebanding dengan akumulasi penjualan, karena IPTN belum melampaui critical mass, belum sampai rugi-laba teknologi.
Sepuluh atau lima tahun yang lalu masih kelihatan akumulasi investasi PMP seperti itu, sedangkan yang lain meningkat, itu tidak berarti IPTN sudah mendapat laba ekonomi, melainkan hal itu sudah mencerminkan terjadinya laba teknologi yang melaju cepat, dan insya Allah akan terjadi laba ekonomi.
Bagi pesaing IPTN, jelas ini sangat menakutkan.
Selama investasi dan revenue IPTN, LEN, dan yang lainnya masih berpacu, masih belum sampai ke critical mass, mereka (para pesaing) belum takut.
Tapi, jika IPTN, LEN, INKA yang investasinya sudah demikian accessionic dan mulai masuk ke eksponen belanja secara eksponensial dari revenue dan turnover, maka itu berarti sinyalnya sudah melampaui critical mass. Laba teknologi, hanya soal waktu saja. Jika ditingkatkan lagi, maka akan diperoleh laba ekonomi.
Ini (skenario - Red) harus kita laksanakan pada setiap industri di bumi Indonesia, dengan catatan industri swasta harus terus-menerus menciptakan laba ekonomi, kalau tidak, mereka akan bangkrut.
Industri swasta harus dibantu supaya -- dengan laba ekonominya itu -- mereka berani menanamkan kembali modalnya (reinvest) untuk melakukan integrasi teknologi dan integrasi sistem, sehingga secara sistematis dapat menciptakan laba teknologi.
Oleh karena itu, kini industri strategis masih 100 persen dikuasai pemerintah, karena berisiko tinggi.
Kalau sudah sampai waktunya, tatkala laba teknologi dan laba ekonomi sudah match maka tidak ada alasan sahamnya tidak dijual di bursa. Dan, ini bisa terjadi jika kita mempunyai integrator yang kuat dan mandiri. Kita serahkan kepada manajemen untuk menjual saham di bursa, dan kalau dijual, kita yakin harga saham dan bunga yang diberikan kepada penanam modal itu sudah melampaui penjualan.
@
Disampaikan secara lisan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VIII DPR, tanggal 10 Februari 1998.
No comments:
Post a Comment