Thursday, April 28, 2011

ISLAM dan PENGENTASAN KEMISKINAN

ISLAM dan PENGENTASAN KEMISKINAN

( Pengarahan Pada Silaknas ICMI )


Pada waktu Orde Baru memulai dengan Repelita, bangsa Indonesia hanya memiliki volume perdagangan sebanyak US$ 1,6 milyar. Dan dari US$ 1,6 itu sekitar 5% boleh dikatakan hasil dari selisih ekspor dan impor, berarti neraca dari perdagangan kita adalah positif. Dua puluh lima tahun kemudian, bangsa Indonesia bekerja keras, bangsa Indonesia sudah bisa menghasilkan volume perdagangan lebih dari 44 kali, yakni lebih dari US$ 70 milyar, sedangkan neraca perdagangan itu positif, kurang lebih 8% dari seluruh volume perdagangan bangsa. Pemerataan dengan segala kekurangannya itu telah tercermin pada kenyataan bahwa jikalau pada awal pembangunan hanya 35% saja yang bisa hidup di atas garis kemiskinan, maka setelah 25 tahun, 85% dari rakyat Indonesia hidup di atas garis kemiskinan. Dan, jikalau 85% itu benar-benar merata, dan 85% itu adalah umat Islam 85% dari 90% umat Islam maka jangan heran jikalau sekitar 72% lebih dari umat Islam Indonesia itu adalah yang bernafaskan al-Qur'an dan Sunnah, yang hidupnya di atas garis kemiskinan dan menonjol dalam tingkat menengah dan menuju kepada pimpinan. Itu adalah suatu pembangunan yang berorientasi kepada sumber daya manusia yang kita kehendaki. Kenapa pembangunan pada awal dengan US$ 1,6 milyar volume perdagangan itu, 80% adalah kontribusi dari SDM, sedangkan hanya 20% dari sumber daya yang lain. Sebaliknya, sekarang 80% datang dari SDM dan hanya 20% datang dari sumber daya alam. Itu berarti telah terjadi suatu transformasi di dalam skenario pembangunan bangsa, yang tadinya mengandalkan sumber daya alam, sekarang yang diandalkan adalah SDM. Oleh karena itulah, maka ICMI mempunyai program tunggal ialah 5K, 5K itu kaitannya hanya dengan SDM.



Karena hanya dengan kualitas iman dan taqwanya, kualitas pikirnya, kualitas kerjanya, kualitas karyanya, dan kualitas hidupnya SDM bisa dikaitkan dengan pembangunan, dan bukan tanaman atau robot. Oleh karena itu, ICMI hanya mengenal satu program yaitu program utama 5K. Mengenai demokrasi, saya minta jangan disalah artikan, bahwa saya datang mengambil tugas orang lain untuk menjelaskan.



Telah saya jelaskan karena saya diminta dengan hormat oleh Presiden dari suatu bangsa yang terhormat. Saya jelaskan mengenai politik, saya sampaikan bahwa bangsa Indonesia sudah berumur 51. Dalam 51 tahun umur bangsa Indonesia, kita masih tetap berada pada Presiden RI yang kedua, mencerminkan sekaligus kenapa 21 tahun pertama dari pada usia bangsa Indonesia merdeka itu, bangsa Indonesia telah memiliki dan sampai pada hari ini konsisten pada dasar negara Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Dalam 21 tahun pertama, mencari penerapannya yang paling intens untuk dijadikan dasar dari kehidupan dan pembangunan bangsa Indonesia yang berorientasi kepada kepentingan manusia Indonesia. Karena bangsa kita pada periode awal belum berpengalaman. Dalam 21 tahun pertama, ternyata parta-partai di bumi Indonesia hanya bisa bertahan rata-rata 10 bulan saja. Siapa yang bisa merencanakan dan mengimplementasikan suatu rencana dalam 10 bulan? Tidak ada. Oleh karena itu, dalam 21 tahun pertama itu, dengan tidak mampu mengamankan suatu perencanaan yang berkesinambungan apalagi pelaksanaannya yang berkesinambungan, maka pertumbuhan dari GNP kita lebih kecil daripada pertumbuhan penduduk kita. Karena penduduk kita pertumbuhannya lebih cepat, maka akibat dari itu bangsa Indonesia belum dapat menikmati proses kesejahteraan, yang dialami adalah proses kemelaratan. Sejarah mencatat kenyataan itu bukan karangan dari Bacharuddin Jusuf Habibie, Ketua Umum ICMI, ataupun MENRISTEK, itu fakta. Oleh karena itu, bangsa kita dalam 21 tahun yang pertama, hanya mampu melaksanakan satu kali saja Pemilu. Saudara bisa bayangkan bagaimana dengan hanya melaksanakan satu kali Pemilihan Umum kita hendak melaksanakan Demokrasi Pancasila yang memang kita kehendaki sesuai dengan budaya bangsa kita. Sungguh sulit. Sekarang, dalam waktu 29 tahun dari Orde Baru atau hampir 30 tahun Orde Baru apa yang terjadi? Kita telah melaksanakan Pemilihan Umum sebanyak 5 kali. Kita melaksanakan pembangunan 5 tahun yang berkesinambungan, sudah lima kali, kini dalam proses keenam kali, bahkan sudah mampu menetapkan bersama-sama Garis Garis Besar Haluan Negara untuk 25 tahun yang akan datang sampai tahun 2009. Bukan itu saja, tidak lama kita sudah bisa menjadikan Pemilihan Umum suatu mekanisme dari Demokrasi Pancasila yang dijadikan bagian terpadu dari budaya bangsa Indonesia.



Namun, yang penting kita harus belajar, demikian penjelasan saya kepada Presiden Chirac. Yang penting bukan saja mekanisme demokrasi, melainkan adalah pelaku dalam demokrasi itu sendiri.



Dan justru di sinilah pembangunan di Indonesia itu, menghasilkan manusia-manusia lebih banyak yang berkualitas tinggi, kehidupan di atas garis kemiskinan. Bahkan, sesuai dengan data-data yang masuk, sudah lebih dari 400 juta manusia Indonesia dapat digolongkan hidup dalam tingkat menengah. Tingkat menengah adalah tulang punggung dari demokrasi. Dan kita mencatat bahwa pertumbuhan dari GNP dan pertumbuhan penduduk itu bukan satu atau kurang dari satu, tetapi 4-5, itu berarti bangsa Indonesia benar-benar telah mampu melaksanakan proses kesejahteraan.

Oleh karena itu, dengan adanya manusia Indonesia yang telah melampaui critical mass, dalam arti jumlah manusia Indonesia yang telah mendapatkan pendidikan yang wajar dan telah mampu mendapatkan informasi yang tepat dan berkualitas tinggi, maka Demokrasi Pancasila berjalan sesuai dengan cita-cita yang telah ditetapkan bersama atau dijadikan dasar dari kehidupan bangsa Indonesia melalui konstitusi bangsa kita sendiri. Kesimpulannya ialah tidak ada alasan bagi kita untuk prihatin mengenai kesinambungan kehidupan politik di bumi Indonesia dan tidak ada alasan untuk menjadi pesimis. Tidak ada alasan pesimis terhadap post Soeharto. Atau dalam bahasa Indonesia, pasca Soeharto dan abad yang akan datang, karena tidak ada manusia yang hidup kekal. Yang hidup adalah cita-cita, pemikiran, filsafat, strategi dan pemikiran manusia itu ribuan tahun. Manusia-manusia yang memiliki cita-cita dan memikirkan yang hidup seperti demikianlah dan di dalamnya adalah mandataris MPR, Bapak Presiden Republik Indonesia, bersama-sama dengan seluruh rakyat telah mampu melaksanakan kenyataan-kenyataan yang saya sebutkan tadi. Jika benar-benar bangsa kita cinta tanah air dan bertekad bulat untuk terus melaksanakan pembangunan tidak ada alasan untuk meragukan kesinambungan dari pembangunan kehidupan politik, stabilitas politik maupun ekonomi di bumi Indonesia dan tidak ada alasan untuk memikirkan atau memprihatinkan bagaimana jikalau mandataris MPR atau Generasi '45 itu tidak ada lagi di kalangan bangsa Indonesia. Karena yang abadi dari Generasi '45 bukan tubuhnya, bukan keberadaaannya, tetapi jiwanya yang selalu mekar dan hidup dari genarasi ke genarasi penerus; dan Bapak Presiden Soeharto adalah salah satu tokoh dan pada waktu itu tokoh di ujung tombak berpegang tangan mewakili Generasi '45 yang telah melaksanakan suatu karya nyata menjadikan Indonesia yang seperti kita alami sekarang ini. Bangsa Indonesia siap untuk memasuki abad akan datang sesuai dengan jadualnya dan sesuai dengan kekuatan yang dipersiapkan oleh bangsa itu sendiri. Ini saya jelaskan kepada Presiden Chirac. 




Lalu beliau bertanya bagaimana mengenai Islam, beliau mengatakan: "Saya menaruh banyak perhatian kepada umat Islam, mengapa? Karena umat Islam di Perancis cukup besar jumlahnya dan Perancis sendiri erat kaitannya dengan negara-negara di Timur-Tengah dan Afrika dan mereka sebagian besar adalah negara Islam". Beliau sangat peduli terhadap keadaan nasib dan wawasan dari umat Islam. Saya sampaikan, bahwa kami menyadari 25% dari umat manusia seluruh dunia adalah umat Islam dan 25% itu bisa menghasilkan kurang 5% dari GNP dari umat manusia. Kalau kita mau proporsionalkan, maka umat Islam yang 25% jumlahnya dari umat manusia seharusnya memberikan kontribusi sebanyak 25% dari GNP dunia. Oleh karena itu, ICMI harus berorientasi kepada pengembangan SDM, harus berorientasi kepada pelaksanaan program tunggal dari ICMI, 5K, harus mengembangkan prasarana dari pengembangan SDM, prasarana dari ilmu pengetahuan dan teknologi dan umat Islam harus bersatu dan sama-sama hidup sejajar, bertanggung jawab, sayang-menyayangi dan tidak mengenal pula SARA dan bekerja secara efisien untuk bisa menghasilkan karya-karya nyata yang bisa dinikmati oleh umat manusia pada umumnya, khususnya umat Islam yang ternyata prihatin dibandingkan dengan umat yang lain itu karena kehidupan GNP per kapitanya jauh lebih rendah.



Mengenai ICMI, mengenai program tunggal ICMI, bahwa ICMI hanya punya satu program adalah 5K dan itu diperuntukkan untuk memerangi kemiskinan dan ketidakpedulian. Atau ICMI telah menyatakan perang dan akan berperang melawan kemiskinan dan ketidakpedulian terhadap umat. Bahwa ICMI telah mengambil prakarsa bersama ikatan cendekiawan dari umat-umat yang lain untuk menandatangani suatu pernyataan cendekiawan Indonesia yang mutiara-mutiara pemikirannya seperti disampaikan tadi, tersirat di dalamnya secara eksplisit dan implisit. Dan itu memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia yang berbudaya Pancasila benar-benar tidak mengenal SARA dalam bentuk apapun juga. Dan kalau diperhatikan lebih dalam memang umat Islam yang nafasnya al-Qur'an dan Sunnah, tidak mengenal SARA dalam bentuk apapun juga. Ini saya sampaikan kepada Presiden Chirac. Kita berhasil pula bersama umat Islam yang lain mendirikan suatu "International Islamic Forum for Science Technology and Human Resources Development" dan saya jelaskan bahwa sasarannya tiada lain adalah pengembangan SDM untuk memberikan darma bakti kepada terjadinya peningkatan kesejahteraan di antara umat yang hidup dalam perdamaian dan kesejahteraan di dunia ini.



Sekarang saya minta perhatian terhadap beberapa isu. Pertama-tama, kita sebentar lagi menghadapi Pemilihan Umum dan SU-MPR, kita sebagai organisasi Cendekiawan Muslim se-Indonesia dan juga menjadi anggota organisasi-organisasi yang lain, baik yang politik maupun tidak politik, yang ikut mendirikan ICMI dan memanfaatkan ICMI sebagai katalisator untuk lebih meningkatkan produktivitas dan efisiensi organisasi, hendaklah kita berkarya di bumi Indonesia ini, apakah itu organisasi Islam Muhammadiyah, ulama ataupun yang lain seperti pesantren atau LSM di mana pun Anda berada, ICMI tempatnya di mana kita datang bersama bertukar pikiran untuk meningkatkan keterampilan kita dan menghindari adanya distorsi dari informasi yang mengakibatkan mengadu domba antara kita satu sama lain dan kita meningkat terus efisiensi dan produktivitas kita bekerja dan berkarya. ICMI adalah tempatnya kita berada bersama untuk tukar pikiran dan bersama-sama meningkatkan kualitas dari SDM itu sesuai dengan program 5K. Oleh karena itu melalui jaringan ICMI Orwil-Orsat dan organisasi-organisasi yang lain, kita harus bersama-sama mensukseskan pemilihan umum dan Sidang Umum MPR. Kita harus mendukung langkah-langkah. Di dalam penjelasan saya kepada Presiden Perancis, saya telah berusaha menjelaskan bahwa bangsa Indonesia dalam 28 tahun terakhir ini sudah berhasil menjadikan mekanisme Demokrasi Pancasila sebagai bagian terpadu daripada budaya bangsa. Dan manusia yang berada di dalam mekanisme itu ternyata sebagian besar adalah umat Islam dan sebagian besar pula adalah tokoh-tokoh dari masyarakat. Tapi jangan lupa sebagian besar pula yang masih hidup di bawah garis kemiskinan adalah juga bagian dari umat Islam. Oleh karena itu kita sebagai ICMI tidak bisa melakukan pengkhianatan, kita jangan lupa asal kita dari mana? Dari bawah. Dari bawah naik ke atas, itu prosesnya. Bukan dari atas turun ke bawah, malah turun dan jadi negatif. Jadi kita tidak lupa bahwa 90% rakyat adalah umat Islam, maka tokoh-tokohnya sebagian besar umat Islam. Tapi yang dhuafa yang membutuhkan bantuan juga adalah sebagian besar umat Islam.
Dan justru merekalah yang harus kita perhatikan, supaya mereka dapat hidup dan menikmati kehidupan di atas garis kemiskinan. Bukan itu saja, tetapi umat Islam harus bisa memasuki masyarakat tingkat menengah sebanyak mungkin. Karena sasaran kita adalah 95% dari rakyat, insya Allah suatu hari nanti termasuk golongan tingkat menengah. Oleh karena umat Islam itu sebagian besar adalah pribumi, maka jangan heran kalau yang hidup di bawah garis kemiskinan itu justru adalah pribumi dan adalah umat Islam itu sendiri.
Bilamana kita melaksanakan perjuangan, lebih banyak lagi memperhatikan yang lemah dan membutuhkan perhatian khusus, jangan dianggap sikap itu sikap salah. Sikap itu adalah sikap demokrasi. Oleh karena itu, kalau saya mengatakan bahwa program ICMI bukan saja mempersiapkan kader untuk pimpinan tetapi juga mengambil peran secara luas untuk ikut meningkatkan kualitas hidup seluruh bangsa Indonesia yang masih hidup di bahwa garis kemiskinan. Dan kalau ia sudah ke luar dari garis kemiskinan, maka manusia itu kita tingkatkan agar supaya mereka bisa menganggap dirinya hidup dalam tingkat menengah. Itu adalah satu-satunya i'tikad keberadaan kita di dalam organisasi ICMi. Dan oleh karena itu kita sudah menggarisbawahi, sudah membuat komitmen untuk menyukseskan
Demokrasi Pancasila dan Demokrasi Pancasila itu berlandaskan pada adanya Pemilihan Umum dan Sidang Umum MPR.



Pemikiran Dasar Seorang Kader Persiapan-persiapan yang dilaksanakan bertujuan agar kita berkualitas lebih tinggi. Sekarang ini kita sebagai kader, kader untuk pimpinan bangsa ini, pimpinan yang tertinggi, pimpinan yang tinggi, pimpinan yang paling menengah atas, paling menengah bawah, pimpinan di mana pun, sampai golongan dhua'fa juga memerlukan kita. Dalam hal itu kita munculkan kader ICMI, kaderisasi harus dilaksanakan di masjid-masjid, bukan kaderisasi untuk satu partai atau satu golongan. Tapi apakah nanti ia lebih suka memilih partai apa saja ataupun tidak berpartisipasi atau hanya mau jadi profesor, tetapi sikapnya tetap sama saja. Kita persiapkan ini karena kita melaksanakan program 5K. 


Catatan saya mengenai pemikiran dasar untuk sikap kader dari ICMI. Saya sebutkan dasar pemikiran untuk sikap kader, adalah sebagai berikut: 


Pertama, pentingkanlah berdialog dan bukan monolog.


Kedua, perhatikan pimpinan kolektif dan bukan pimpinan kelompok atau pimpinan perorangan. 


Ketiga, tanggung jawab kolektif dan bukan tanggung jawab kelompok atau perorangan. 


Keempat, jangan lupa musyawarah dan mufakat dan bukan konflik, atau pertentangan yang dibuat-buat dan hasilnya pun harus melalui pemungutan suara, tetapi harus musyawarah dan mufakat. 


Kelima, pemerataan yang kita pentingkan dan bukan monopoli.


Keenam, kerjasama yang kita utamakan dan bukan konfrontasi. 


Ketujuh, saling ketergantungan dan saling mengisi dan bukan dalam hal ini individualistik. 


Kedelapan, keadilan yang berdasarkan satu tolak ukur yang sama dan bukan keadilan berdasarkan tolak ukur yang ganda.



Kita merasakan memperjuangkan keadilan, tapi untuk bertindak adil kadang-kadang kita lupa tolak ukurnya. Kadang-kadang sudah biasa bertolak ukur yang tidak konsisten. Di sinilah kita bekerja saling menguntungkan dan bukan diskriminasi dan eksploitasi satu sama lain, ini yang kesembilan. Dan kesepuluh, demokrasi yang kita perjuangkan adalah Demorkasi Pancasila dan bukan demokrasi liberal komunisme atau demokrasi ala budaya orang Barat. 

Wednesday, April 27, 2011

Kebijakan Teknologi dan Nilai Tambah II


Dalam jangka waktu tertentu teknologi itu bisa berubah dari canggih menjadi menengah atau rendah atau dengan kata lain "to be advanced is a function of time". Oleh karena itu, agar suatu perusahaan dapat survive maka harus terus dikembangkan hitech agar tetap leading dengan memperhatikan perubahan proses nilai tambah teoritis ke nilai tambah riil. Berdasarkan penjelasan ini kita dapat melihat, bahwa pada pesawat komersil, nilainya akan selalu riil sepanjang teknologinya canggih atau advanced technology. Sekalipun demikian dalam melaksanakan pembangunan kita hanya membatasi diri pada advanced technology saja, tetapi semua macam teknologi (termasuk teknologi yang sekarang mungkin tidak canggih lagi ka-rena telah dikuasai banyak orang). Hal ini di-maksudkan untuk mendapatkan devisa atau substitusi impor. Perlu diketahui,  di dunia ini hanya ada 8 negara yang mampu membuat pesawat komersil dengan muatan teknologi canggih. Dan pa-tut kita syu-kuri, satu-satunya dari negara Asia hanya Indonesia.



Dalam kesempatan ini perlu saya tekankan lagi, bahwa pengembangan teknologi dirgantara di Indonesia bukanlah kemauan saya semata-mata. Pengembangan itu sudah merupakan komitmen nasional sejak Presiden RI yang pertama. Pada wak-tu pemerintah telah menyatakan akan mengembangkan tek-nologi dirgantara dan maritim, berdasarkan pertimbangan luasnya negara kita yang merupakan benua maritim itu. Jadi saya ini hanya meneruskan cita-cita para pendiri negara ini. Saya ingin menyampaikan dalam kesempatan ini, bahwa cita-cita para pendiri negara ini adalah tepat sekali, karena tidak ada jalan lain bagi kita selain menguasai teknologi dir-gan-tara dan maritim. Pengembangan teknologi dirgantara itu suatu keharusan supaya kita tidak tergantung pada negara lain. Di samping itu untuk mengembangkan teknologi canggih memang membutuhkan waktu yang lama dan mahal biayanya.

Sekarang kalau teknologi itu sudah tidak canggih lagi dan sudah dikuasai oleh semua orang, maka kebijaksanaan investor menanamkan modalnya pada suatu negara tidak lagi tergantung pada penguasaan teknologinya, melainkan manusia yang ada di belakang-nya, berapa biaya dan prasarana ekonomi makro dan mikro yang dibutuhkan. Oleh karena calon investor hanya membandingkan pembiayaannya dalam melakukan suatu proses produksi antara negara satu dengan negara yang lain, maka kita menyebutnya sebagai comparative advantage.
Muatan teknologi terkandung dalam comparative advantage dimaksudkan untuk meningkatkan daya tarik, apabila dibandingkan dengan produk lain yang serupa. Masyarakat lebih menyenangi walkman buatan Sony dibandingkan dengan buatan Siemens karena lebih menarik. Sedangkan pada competitive advantage muatan teknologinya mampu meningkatkan daya saing. Jadi pada comparative advantage keunggulan produksinya tergantung pada penampilannya sehingga menarik minat pembeli, sedangkan pada competitive advantage keunggulannya tergantung pada kualitas dan harga. Muatan teknologi yang dipilih di sini didasarkan atas orientasi pasar.
Dewasa ini masih saja ada yang berpendapat, bahwa teknologi itu adalah prasarana atau wahana. Pendapat itu tidak benar, sebab teknologi itu sebenarnya adalah kapital atau modal. Modal memang bukan saja terdiri dari uang tetapi juga sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya teknologi. Uang kalau tidak ada sumber daya manusia, atau tidak ada teknologinya bisa saja ia lari ke tempat lain. Suatu perusahaan akan mendapat dukungan dana untuk dapat tumbuh dan berkembang apabila di tempat itu ada sumber daya manusianya, ada teknologinya, dan ada prasarana makro dan mikro ekonomi apabila ditambah stabilitas politik yang menunjang low cost economy nya sehingga ia bisa meningkatkan competitive advantage dan comparative advantage daripada masyarakat tersebut. Prasarana adalah informasi, transportasi, energi dan sistem yang dikembangkan sendiri yang tidak kelihatan, tetapi merupakan prasarana untuk melaksanakan integration of technology.
Dalam situasi sekarang ini Indonesia harus memikirkan competitive dan comparative advantage karena kita memiliki proses nilai tambah yang mekanismenya rendah menengah dan ting-gi, dan juga yang nilai tambahnya tinggi, tetapi tidak diklasifikasikan sebagai ad-vanced technology melainkan teknologi biasa misalnya tekstil dan pakaian jadi yang memiliki prasarana dan sistem yang menghasilkan nilai tambah yang rendah. Oleh karena itu, agar teknologi biasa tersebut menjadi unggul maka perlu dimasukkan kuantum hitech. Contoh pada industri tekstil dan pakaian jadi kita berusaha me-ngem-bangkan kuantum hitech, seperti cara mem-buat, bentuk-bentuk yang indah, warna-warna modern sehingga nilai tambahnya menjadi tinggi dengan biaya yang rendah dan sesuai jadwal.
Seandainya saat ini saya telah menguasai teknologi canggih dengan keunggulan hitech-nya, atau appropriate technology dengan keunggulan hitech-nya, tetapi saat ini saya belum melaksanakan produksi secara massa atau mass production, maka saya belum melakukan kegiatan industri. Sekarang saya ambil con-toh seorang pelukis ternama yang membuat sebuah lukisan ekslusif belum bisa dikatakan sebagai hasil industri. Tetapi kalau produk ekslusif dari pelukis yang ternama tersebut dicetak secara massa dan dijual, dalam hal ini kita bisa mengatakannya terjadi kegiatan industri, meskipun harga sebuah lukisannya menjadi merosot. Tetapi, dalam kegiatan industri yang terpenting bukan harganya, tetapi labanya. Ada pertemuan antara harga dan scale of economic. Kita tahu kalau n = jumlah, dan h = harga, maka jumlah uang yang diperoleh adalah n x h. Dengan demikian laba adalah fungsi dari n, h dan biaya (cost). Industri akan berlaba bila produktivitasnya dan efisiensinya tinggi, dan peningkatan laba dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Produktivitas tinggi tidak datang begitu saja, tetapi ha-rus direkayasa dan direncanakan. Ini kalau kita mau melaksanakan industrialisasi. 
Indonesia sangat membutuhkan industrialisasi karena kita butuh penyediaan lapangan kerja yang cukup. Setelah pendidikan formal, lapangan pekerjaan itu adalah satu-satunya tempat yang mungkinkan manusia mengalami proses nilai tambah pribadi yang bersifat apresiasi selama ia terus bekerja. Oleh karena pemerintah harus menciptakan lapangan pekerjaan yang dapat membuat h (harga) dan biaya yang selalu positif. Jadi tidak usah heran kalau GDP suatu negara akan selalu meningkat kalau banyak tercipta lapangan pekerjaan. Pelaksanaannya disebut sebagai industrialisasi. Dengan demikian industrialisasi berarti produksi massa  memberi lapangan kerja kepada banyak orang.
Industrialisasi terjadi di semua sektor pembangunan. Misalnya, di sektor pertanian, kita kenal dengan tanaman padi. Pada tanaman padi, kalau kegiatannya bersifat big scale (misalnya produksinya telah menghasilkan 50 juta ton/tahun), maka di sini telah terjadi kegiatan industrialisasi. Karena untuk memproduksi padi harus disediakan dalam jumlah besar berupa pupuk, bibit unggul, pestisida, sistemnya, juga harus mengadakan riset agar tetap unggul. Meskipun teknologi penanaman padi tidak tergolong advanced lagi tetapi di dalamnya ada kuantum yang bersifat hitech sehingga menjadi competitive. Karena itu kegiatan riset harus dilaksanakan oleh Departemen Pertanian dari tingkat rendah sampai tinggi harus dilaksanakan untuk meningkatkan produktivitas. 
Proses industrialisasi di Indonesia bukan saja terjadi pada bidang ma-nufaktur, tetapi sejak lama telah luas mencakup industri pertanian, perkebunan, kehutanan dan jasa. Hanya saja di luar bidang manufaktur, bidang-bidang tersebut tidak dapat membuka lapangan kerja seperti yang diharapkan. Hasil-hasil pertanian dan perkebunan kita misalnya belum mampu mengubah nilai tambah yang teoritis menjadi riil, atau belum mam-pu memindahkan dari lumbung sendiri ke tempat halaman orang di negara-negara lain. Berbeda halnya di negara Jepang yang harga padinya 20 kali lebih mahal dibandingkan harga padi di Indonesia. Sebenarnya bagi Jepang lebih menguntungkan kalau padi tersebut mereka impor dari luar negeri. Tetapi, ini tidak mereka lakukan karena dua hal penting. Per-tama, secara strategis kalau ia impor beras seluruhnya, maka kalau negara tersebut di embargo maka beras tidak bisa masuk lagi ke Jepang, sementara itu tanaman padi di negaranya sudah tidak ada lagi. Contoh negara Rusia kalah perang bukan karena dihantam roket, tetapi kekurangan kroket untuk dimakan. Negara tersebut bangkrut dan kekurangan makanan. Kedua, secara politik para petani mempunyai hak memilih untuk menanam padi.
Kita sendiri harus mengakui memang tidak bisa lagi hanya mengandalkan pembangunan kita pada pertanian, bukan karena pertanian itu tidak merupakan hitech tetapi disebabkan oleh kenyataan, bahwa sektor ini dalam waktu sesingkat-singkatnya tidak mampu mengubah nilai tambah padi teoritis menjadi riil sesuai jad-wal, biaya rendah dan kualitas tinggi sehingga diperoleh laba banyak untuk dapat terus menyediakan lapangan kerja. Padahal penciptaan lapangan kerja ini penting bagi Indonesia, karena jumlah pen-duduk yang selalu me-ningkat. Dalam era Orde Baru masalah penduduk ini telah diatasi dengan program keluarga berencana sehingga pertumbuhannya berhasil ditekan 3% menjadi 1,6% per ta-hun sehingga GDP berhasil dinaikkan menjadi 7%. Secara makro kenaikan GDP menunjukkan adanya proses peningkatan kesejahteraan, meskipun secara mikro masih muncul masalah pemerataan karena masih ada keluarga yang belum sejahtera hidupnya. Dengan demikian satu-satunya jalan adalah penyediaan lapangan kerja yang sesuai dengan pendidikan. Pendidikan itu harus market oriented. Untuk itu perlu ada yang merekayasa yaitu pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Ke-bu-dayaan harus bekerja sama dengan Depindag dan Bappenas, serta Departemen-Departemen terkait lainnya sehingga tercipta lapangan kerja yang sesuai dengan pendidikan manusia Indonesia.
Industrialisasi di Indonesia sudah ada sejak jaman VOC, tetapi bentuknya hanya pertanian, perkebunan (misalnya: teh, gula, kopi, kelapa sawit) dan jasa nilai tambahnya rendah sehingga belum dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagaimana yang diharapkan. Apabila lapangan kerja tidak ada, dan banyak anak muda yang menganggur, maka secara politik akan menjadi ancaman stabilisasi atau destabilization.
Pertanyaan lebih lanjut, sekarang siapa yang membiayai pendidikan? Siapa yang membiayai proses keunggulan sumber da-ya manusia bangsa Indonesia? Jawabnya terletak pada pasarnya sendiri yaitu domestic market. Karena pasar itu yang akan menjadi produk-produk industri dalam negeri, dan ini berarti menjamin penyediaan lapangan kerja yang juga berarti membantu pendidikan sumber daya manusia bangsa Indonesia. Tanpa ada lapangan kerja maka sumber daya manusia akan mengalami proses depresiasi. Sumber daya manusia menjadi tidak produktif. Sebaliknya, kalau industri misalnya tidak ada pembelinya maka industri tersebut akan gulung tikar yang berakibat mengurangi kesempatan kerja. Jadi kalau ada orang Indonesia yang lebih suka membeli produk luar negeri sebenarnya orang itu tidak memberikan kontribusi terhadap pro-ses ke-se-jahteraan dan keunggulan daripada bangsanya sendiri. De-ngan de-mikian dukungan rakyat Indonesia untuk mencintai dan membeli produk dalam negeri sangat diperlukan, baik produk di bidang manufaktur, pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan, peternakan, mau-pun jasa. Kenyataan semacam ini sangat disadari oleh masyarakat Jepang. Mereka sangat mencintai produk bangsanya sendiri, sehingga sulit untuk dipaksa membeli produk luar negeri. Itulah sebabnya neraca pem-ba-yar-an atau neraca perdagangan mereka dengan negara lain selalu positif.
Saya sering mengulang-ulang masalah ini, bukan karena hendak menggurui mereka yang memang sudah pakar di bidangnya masing-masing, tetapi sekedar ingin menginformasikan kembali, agar kita satu bahasa dalam hal ini. Kita harus satu bahasa dalam mendukung produksi dalam negeri agar terjadi apresiasi nilai tambah, muncul industri-industri pendukungnya, akhirnya bisa menciptakan kesempatan kerja yang luas bagi generasi penerus bang-sa.
Proses industrialisasi yang kita sedang laksanakan bukan berarti kita hendak mengalihkan pertanian ke manufaktur. Kita tetap akan mempertahankan pertanian, dan tidak akan meninggalkannya. Industri pertanian atau agro industri dan jasa yang telah kita kuasai itu akan terus dikembangkan melalui teknologi tinggi agar bangsa kita tetap di garis depan di bidang ini. Dan rakyat kita bisa me-nik-mati keunggulan dan keandalan-nya. Namun, karena rakyat Indone-sia ingin ditingkatkan kualitas hidupnya dan kita tidak punya peluang lagi untuk meng-ubah nilai tambah teori bidang pertanian dan jasa menjadi nilai tam-bah riil, akibat kendala-kendala yang tidak mungkin saya rubah. Maka saya harus mencari peluang di sektor lain, an-tara lain manufaktur, agar terjadi pe-ningkatan kualitas hidup yang lebih baik dan merata. Melalui proses demikian diharapkan produk-produk kita bisa masuk ke pasaran regional dan global, sehingga dapat meningkatkan ca-dang-an devisa, kekuatan eko-nomi dan ketahanan nasional.
Dalam upaya meningkatkan cadangan devisa. Kekuatan ekonomi, dan ketahanan nasional, ternyata masih banyak masalah eksplisit dan implisit yang harus dihadapi. Masalah yang kaitannya dengan produktivitas dan efisiensi ternyata tidak bisa dilepaskan dari tingkah laku sumber daya manusia itu sendiri serta terkait dengan prasarana ekonomi mikro dan makro yang ada dalam upaya memanfaatkan teknologi yang tersedia untuk dirinya. Oleh karena itu saya sering mengatakan, bahwa produktivitas gabungan adalah gabungan dari produktivitas sumber daya manusia itu sendiri dengan teknologi dan prasarana yang diberikan kepadanya.
Masalah produktivitas gabungan sudah sepatutnya dikaji oleh pakar kebudayaan. Mengapa orang itu sangat efisien bekerjanya, sebenarnya terletak pada budayanya. Terus terang belun lama ini saya telah mengubah pola kerja di IPTN untuk meningkatkan produktivitas. Saya merasakan, bahwa selama ini di IPTN ada sekitar 20 bagian yang bekerja sendiri-sendiri. Ini tidak bisa dibenarkan lagi. Mereka harus bekerja secara team work. Tidak dibenarkan yang satu bagian berlari ke bagian keamanan atau kualitas. IPTN memerlukan Quality Insurance dan Quality Control, perlu langkah-langkah yang lebih detil dengan dukungan team work (kerjasama). Team work sangat dibutuhkan dalam melakukan suatu proses yang terdiri dari rangkaian dari berbagai kuantum teknologi yang sesuai. Padahal bagaimana orang bisa bekerja sama dalam suatu team work sangat erat terkait dengan masalah budaya, sikap, perilaku, dan sebagainya.
Kita ketahui bersama, bahwa budaya bersumber pada falsafah dan falsafah bersumber pada agama. Baik secara implisit maupun eksplisit dalam falsafah dan agama terdapat tolok ukur moral. Membicarakan moral atau system moral atau etika yang berakar kepada teologi dan filosofi itu lebih sukar dibandingkan membuat pesawat terbang. Karena kita memanfaatkan nilainilai yang tidak berdasarkan pemikiran-pemikiran yang rasional tetapi di dalamnya ada kuantum daripada emosi dan perasaan. Kita pun juga tidak tahu relasi antara rasio dan kuantum emosi. Itu merupakan problem dalam mempelajari masalah budaya.
Berbeda halnya dengan masalah ekonomi. Menurut saya masalah ekonomi sebenarnya simpel tetapi pelaku-pelaku ekonominya itu yang unpredictable. Meskipun perilaku para ekonom tidak bisa diperkirakan, namun kita bisa mempelajari dengan mempergunakan teori termodinamika. Misal, kalau kita mempunyai material, apakah itu merupakan rantai dari molekul atom atau rantai dari molekul atom yang menjadi materi itu secara mikro memang berbeda, tetapi secara makro reaksinya sama. Misalnya, gelas air pada temperatur 1000C, di manapun kita taruh, air dalam gelas tersebut akan mendidih.

Sekarang kalau ada informasi yang sama diberikan kepada 2 pelaku ekonomi yang berbeda saya yakin reaksinya juga akan berbeda satu sama lain. Dua hari lagi saya yakin juga masih berbeda. It’s not predictable. Selanjutnya bagaimana memasukkan tokoh-tokoh pelaku ekonomi yang demikian banyak (dalam jutaan) dalam satu equation, seperti dalam termodinamika di mana kalau saya beri te-kanan maka reaksinya akan sa-ma di semua tempat. Kemudian saya mulai mencoba mengkuantifisir rasio dan emosi. Bagaimana? Ternyata tidak mudah. Akhirnya diambil kebijaksanaan satu-satunya yang saya bisa yaitu mengkuantifisir emosi dan rasio dari data-data statistik yang saya miliki sebelumnya. Misalnya, untuk mengetahui kinerja ekonomi tahun 1997, harus dikuantifisir data tahun 1992 dan 1994. Karena tidak ada suatu kebijaksanaan ekonomi yang ditangani pemerintah, dalam satu bulan kemudian akan selesai masalahnya. Itu secara statistik bisa dikuantifisir dengan mempergunakan fungsi-fungsi yang mempengaruhi. Misalnya, dalam ekonomi yang bisa di-buat oleh manusia sebagai action adalah suku bunga yang ditentukan oleh yang mencetak uang tersebut yaitu bank sentral atau Bank Indonesia. Dengan memanfaatkan teori-teori termodinamika kita bisa menghitung bunga, inflasi. Dari situ nampak kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter. Dengan memanfaatkan pendekatan tersebut kita bisa mempelajari kebijaksanaan ekonomi yang telah dan diperkirakan akan terjadi.

Saya ingin menjelaskan ini semua karena kita harus kembali kepada platform yang sama supaya kita tidak menghasilkan sesuatu yang kira-kira sempurna, tetapi sebenarnya ada hidden values yang bisa mengakibatkan kebijaksanaan yang kita inginkan bersama.

Pada saat ini wakil-wakil rakyat di DPR sedang memperjuangkan lahirnya Undang Nuklir. Apabila Undang Undang ini telah disahkan, maka berikutnya kita akan mengajukan Rancangan Undang Undang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Kita berdoa agar semua proses tersebut dapat berjalan dengan lancar.

Monday, April 18, 2011

INDUSTRIALISASI DAN PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN IV


Faktor Indonesia dalam Pemeliharaan Lingkungan Global 

Sebagaimana dikukuhkan pada konperensi puncak ARCHE di Paris pada tahun 1989, kurangnya informasi dalam bidang ilmu pengetahuan bumi ini seyogyanya untuk sebagian ditanggulangi dengan peningkatan pemantauan dan pengamatan atmosfir.

Indonesia memiliki beberapa ciri geografik yang khas sehingga dapat memenuhi persyaratan bagi suatu observatorium atmosfir khatulistiwa.

Pertama, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.

Kedua, Indonesia terletak pada khatulistiwa, antara dua benua dan dua lautan besar. Karena alasan itu Indonesia merupakan tempat berlangsungnya proses dasar bagi cuaca semesta.

Sepanjang khatulistiwa di Indonesia terdapat laut dengan suhu tertinggi di dunia. Dalam kombinasi dengan atmosfir di atasnya, air laut panas ini mempengaruhi gerakan-gerakan atmosfir yang disertai awan, distribusi gas-gas rumah kaca, dan bahkan gejala El Nino yang merupakan penyebab terjadinya cuaca dan iklim yang abnormal pada skala semesta.

Walaupun telah dilakukan cukup banyak upaya ilmiah untuk mengamati dan memantau kawasan-kawasan kutub, penelitian yang dilakukan pada atau di atas khatulistiwa relatif sedikit, sungguhpun fakta menunjukkan bahwa atmosfir di atas khatulistiwa justru merupakan faktor penentu bagi lingkungan hidup semesta.
Kepulauan Indonesia telah dijuluki sebagai "air mancur stratosferik", karena adanya kenyataan bahwa atmosfir pada ketinggian yang lebih besar berasal dari kawasan ini.
Anehnya, salah satu dari kawasan bersuhu terdingin di atmosfir sebelah atas ditemukan di atas Indonesia. Kawasan bersuhu rendah ini dipandang memainkan peranan penting dalam gejala berkurangnya ozon. Oleh karena cara berlangsungnya pengaruh timbal-balik kuat antara atmosfir rendah dan atmosfir tinggi di atas Indonesia mengandung sebagian dari jawaban terhadap pertanyaan praktis mengenai cuaca semesta, maka hal ini pun merupakan mata ba-hasan pengkajian ilmiah tersendiri.
Pengamatan atmosfir semacam ini menyangkut skala waktu yang bervariasi antara menit sampai tahunan, bahkan puluhan tahunan, dan memerlukan observatoria daratan semi-permanen yang melengkapi pengamatan satelit.
Mempertimbangkan faktor tersebut, sejak tahun 1983, Persatuan Internasional Geodesi dan Geofisika (IUGG), secara resmi telah menyarankan agar untuk mendirikan lembaga penelitian khatulistiwa yang dilengkapi dengan berbagai sarana bagi keperluan pengamatan atmosfir tinggi, sebaiknya berada di kawasan Pasifik Barat atau Timur di mana telah ada rangkaian cukup panjang stasiun-stasiun pengamatan pada latituda menengah dan tinggi. Indonesia dan Jepang telah melakukan upaya kerjasama erat untuk merealisasikan sasaran pendirian sarana ini yang akan dinamakan Pusat Internasional Penelitian Atmosfir Khatulistiwa atau International Center for Equatorial Atmospheric Research (ICEAR).

Beberapa waktu lalu, Indonesia juga menjadi tuan rumah untuk Simposium Internasional Kedua, mengenai Pengamatan Atmosfir Ekuatorial di atas Indonesia (Second International Symposium on Equatorial Atmospheric Observations over Indonesia). Di dalam simposium tersebut, ilmuwan dari sepuluh negara melaporkan hasil-hasil ter-akhir penelitiannya dan secara bulat berkesimpulan bahwa sarana pengamatan atmosfir khatulistiwa yang mampu melakukan pengamatan sangat terperinci pada ketinggian antara delapanpuluh hingga seribu kilometer mutlak diper- lukan untuk penelitian cuaca semesta dan lingkungan hidup semesta.

Semua peserta setuju bahwa berdasarkan banyak pertimbangan geografis, pulau Sumatra di Indonesia akan merupakan lokasi yang optimum untuk International Center for Equatorial Atmospheric Research atau ICEAR.

Kita sangat sadar pada kenyataan bahwa Indonesia merupakan salah satu dari lokasi yang sangat sedikit di bumi ini yang merupakan kunci bagi pemahaman lingkungan hidup dunia.

Atas dasar kesadaran ini, Presiden Soeharto telah memberikan kewenangan kepada Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia untuk mendirikan suatu ICEAR di Indonesia, dalam upaya memberi sumbangan pada sasaran dunia untuk menemukan suatu keseimbangan antara perlindungan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi yang dapat dipertahankan melalui pengamatan dan pemantauan yang disempurnakan terhadap atmosfir semesta kita.

Dalam pada itu, orang Indonesia juga semakin sadar akan pentingnya posisi laut Indonesia sebagai tempat lalu lintas perairan antara Lautan Hindia dan Lautan Pasifik; dan paham terhadap dampak kenyataan ini pada arus laut dan cuaca.

Simposium Internasional Kedua mengenai Pengamatan Atmosfir Ekuatorial di atas Indonesia mencatat pentingnya pengamatan radar yang dilakukan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat sebagai bagian program yang dinamakan TOGA atau Trop-ical Ocean and Global Atmosphere (Lautan Tropika dan Atmosfir Semesta), suatu upaya yang diprakarsai Amerika Serikat untuk mengamati atmosfir dan lautan pada khatulistiwa.

Konperensi juga mencatat komplementaritas antara pe-ngamatan NOAA dengan pengamatan yang akan dapat dilakukan oleh suatu lembaga penelitian seperti ICEAR di waktu-waktu yang akan datang. Indonesia juga mendukung upaya ini.
Indonesia siap menyambut baik kerjasama dalam penyusunan model perhitungan cuaca dunia, untuk prakiraan cuaca yang dapat dipecah menjadi model perhitungan cuaca regional dan model perhitungan cuaca bagi suatu negara, yang didasarkan pada idealisasi fisika cuaca dilengkapi dengan data empirik untuk menjadikan model perhitungan cuaca tersebut mendekati kenyataan.

Tujuan pembuatan model-model ini adalah penyusunan prakiraan-prakiraan yang tepat mengenai cuaca, jika mungkin untuk enam bulan bahkan satu tahun ke depan. Menurut hemat saya, sangat urgen perhatian lebih besar diberikan pada pengembangan model-model prakiraan cuaca ini, khususnya untuk kawasan khatulistiwa. Kita juga tertarik pada teknik-teknik prakiraan terjadinya kekeringan dan jatuhnya hujan secara berlebihan.
Indonesia bersedia berpartisipasi di dalam formulasi model-model matematik semesta ini dan dalam menyumbang data terpercaya seperti data mengenai pembentukan awan, komposisi gas-gas, profil-profil suhu di dalam laut kepulauan Indonesia, dan data lain yang relevan.

Berhubungan erat dengan penelitian cuaca semesta sepanjang khatulistiwa adalah penelitian lingkaran tropika bumi ditinjau dari konsentrasi energi yang bersumber pada radiasi matahari dan produksi biomassa bumi.

Karena sangat langkanya data, bidang penelitian ini seyogyanya diberi perhatian khusus. Perlu pula diberi perhatian pada perlunya pembuatan suatu rekonstruksi secara hati-hati dari semua perubahan lingkungan yang telah mempengaruhi kawasan tropika selama satu juta tahun yang telah lewat, khususnya selama beberapa ribu tahun yang silam.

Masalah lain yang menjadi keperdulian Indonesia adalah letusan dahsyat gunung-gunung api, khususnya yang terletak pada pinggiran lempengan yang berdampingan, yang dapat berdampak sangat besar pada lingkungan hidup, baik pada skala lokal maupun skala semesta.
Letusan terbesar di dalam catatan sejarah letusan Gunung Tambora, di Pulau Sumbawa, pada tahun 1815, yang mengeluarkan 100 km3 debu gunung api di atmosfir. Letusan besar lainnya adalah letusan gunung api Krakatau pada tahun 1883 yang mengeluarkan 18 km3 debu gunung api.
Gunung-gunung api juga mengeluarkan belerang, chlorine dan elemen bahan kimia dan partikel-partikel lainnya di troposfir dan stratosfir, yang bisa menimbulkan gangguan-gangguan sepanjang jangka waktu yang cukup berarti.
Indonesia, tempat dimana terdapat 129 buah gunung api yang aktif dan terdapat pula gunung api tertinggi di dunia, emisi gas-gas yang berlangsung terus-menerus ini mungkin merupakan suatu faktor lingkungan yang sangat penting. Pengetahuan yang tersedia dewasa ini menunjukkan bahwa setiap gunung berapi aktif di Indonesia mengeluarkan kira-kira 50 ton belerang murni setiap hari.

Dengan demikian, maka jumlah keseluruhan belerang yang dikeluarkan oleh gunung-gunung api aktif di Indonesia adalah 2.354.250 ton per tahun. Jumlah ini dapat dibandingkan dengan pencemaran belerang Swedia yang setelah dilakukan investasi cukup besar telah diturunkan dari 232.000 ton setahun pada tahun 1980 menjadi 116.000 ton per tahun, di tahun 1987.

Kajian-kajian yang berhubungan dengan proses gunung api dapat mencakup: studi tentang sifat emisi vulkanik dan bagaimana emisi ini bervariasi menurut waktu, dan proses fisika, kimia, dan dinamika yang dijalani bahan-bahan yang dikeluarkan oleh gunung berapi dalam melakukan modifikasi atmosfir. Untuk memantau jumlah dan penyebaran bahan-bahan yang dikeluarkan serta untuk memantau emisi S02 dan gas-gas lain dapat dipergunakan penginderaan jarak jauh melalui satelit.

Sementara itu mengenai jajaran pulau-pulau di tanah air, saya tidak mau lagi menggunakan istilah kepulauan Indonesia, tetapi saya menggunakan istilah Benua Maritim Indonesia. Istilah itu bukan saya yang membuatnya melainkan para pakar di NASA dan NOAA, yang saya dengar sendiri ketika penandatangan MOU antara LAPAN dengan NOAA, 27 Oktober 1992. Pakar dari NASA tersebut mengatakan dalam bahasa Inggris the Indonesian Maritime Continental (Benua Maritim Indonesia). Mengapa? Karena wilayah Indonesia di dalam kaca mata seorang ilmuwan adalah benua yang 70% tertutup air dan sisanya 30% adalah daratan.

Karena di lingkungan Benua Maritim Indonesia airnya sangat dalam yaitu antara 3000 - 4000 Meter, sedangkan terbaca oleh satelit di Laut Jawa dan laut di seputar Suma-tera kedalaman airnya hanya 150 Meter, kelihatan dangkal. Seperti halnya di Benua Afrika ada daerah gurun pasir dan juga ada daerah hijau, di Benua Maritim Indonesia tidak ada gurun pasir tetapi laut.

Kita tahu ada teori ban berjalan, seperti di pabrik Matsushita yang membuat produk elektronika. Kalau kita mempunyai air laut dengan volume sebesar ruang ini dan anggaplah air itu berada di Atlantik, maka orang tahu dia berada di Atlantik dan setelah kurang lebih 200 tahun dia akan kembali lagi, setelah air yang sebesar itu bergerak berkeliling seperti ban berjalan di atas permukaan laut di dekat Green Land, masuk ke dalam laut, ke dasar laut dia bergerak menuju ke Afrika, lalu dia naik ke permukaan di dekat India dan dia belok melalui Benua Maritim Indonesia di dekat Pulau Batam dan berjalan terus sampai ke Pasifik, setelah itu masuk ke dasar laut dan muncul lagi ke permukaan, dan kembali lagi ke Green Land, begitulah rute perjalanan dan siklusnya dalam 200 tahun, kata pakar dari NASA.
Saya bertanya: dari mana dia tahu itu memerlukan waktu 200 tahun, sedangkan teorinya saja baru diketahui 5 tahun lalu? Itu bisa diketahui dengan menggunakan komputer, dengan menghitung gerakan bulan, matahari dan putar- an bumi, dan juga perbedaan temperatur; semua itu dihitung dan dibuat modelnya sampai didapatkan penemuan seperti itu.

Lucunya dia tahu bahwa di bawah air laut terdapat banyak mineral, tapi ikan mati dan mahkluk lain pun mati mengendap, di situ susunan kadar CO2 berbeda dengan susunan kadar CO2 di permukaan. Menurut komputer, air yang tiba-tiba muncul banyak sekali di permukaan laut tidak membuat kadar CO2-nya begitu tinggi, kalau sampai tinggi maka dia menjadi jenuh dan tidak mau lagi menyedot CO2 di atmosfir. Akibatnya, jika air laut tidak menyedot CO2, jumlah CO2 di atmosfer meningkat sehingga temperatur bisa meningkat pula, dan akibat selanjutnya peningkatan temperatur itu bisa mencairkan es di Kutub Utara dan Kutub Selatan.

Kalau misalnya permukaan air kurang sekali dengan CO2 sehingga dia menyedot CO2 dari atmosfir, akibatnya temperatur turun dan terjadilah zaman es, ini bisa diketahui lagi-lagi dengan menggunakan model matematik. Sekarang kita ingin membuktikan apa itu benar atau tidak, dan untuk itu kita melaksanakan kerjasama dengan Amerika dan Jepang untuk mengadakan riset. Apa manfaatnya? Agar dengan begitu kita bisa ikut mengetahui kapan persisnya musim kemarau atau musim hujan, dan dari situ keuntungan bisa diberikan kepada para petani dan nelayan.

Selanjutnya, dalam rangka menjamin kelangsungan pembangunan secara lebih "bersahabat", Indonesia juga tengah serius mengembangkan energi alternatif. Indonesia memang belum mengalami krisis energi seperti halnya negara-negara berkembang lainnya, yang tidak memiliki sumber-sumber minyak bumi seperti negara kita. Tetapi, kita tidak boleh menutup mata kepada dua gejala perkembangan di sektor energi yang dapat menimbulkan suatu krisis di kemudian hari, apabila tidak diatasi secara tepat sedini mungkin.

Di satu pihak kita merasakan, bahwa penemuan sumber-sumber minyak baru semakin langka. Namun demikian, pada saat ini kita baru menggali 2.000 sumur minyak di seluruh Indonesia yang apabila dibandingkan dengan daerah potensial yang mungkin mengandung cadangan minyak bumi, belum dapat kita anggap sebagai gambaran final. Sampai saat ini kita masih mempunyai neraca energi mi-nyak yang menguntungkan.

Di lain pihak, kita menghadapi peningkatan konsumsi energi dalam negeri, misalnya dari tahun 1970 sampai de-ngan 1979 meningkat dari 50 juta BOE (barrel of oil equivalent) minyak menjadi 150 juta BOE. Pertambahan penduduk dan makin luasnya penggunaan bahan bakar minyak di seluruh negeri yang diikuti dengan pesatnya perkembangan industrialisasi akan mendorong mempercepat pertambahan konsumsi energi minyak di dalam negeri. Hal ini akan menjadi masalah besar di masa yang akan datang apabila tidak kita pikirkan dari sekarang cara pemecahannya .

Untuk mengurangi ketergantungan kita pada minyak bumi, memang terdapat beberapa cara, misalnya melalui penggunaan Hydroelectric, Geothermal, Batubara, Nuklir, Tenaga Surya dan lain-lain. Tetapi dari semua alternatif tersebut harus benar-benar diperhitungkan pilihan mana yang paling tepat berdasarkan kemungkinan kapasitas dukung dan dampaknya pada kondisi lingkungan.

Ada pemikiran untuk mencari alternatif energi dengan mengembangkan reaktor atom. Hal ini sangat menarik. Tetapi dalam mengembangan energi ini kita dihadapkan pada persediaan uranium yang terbatas jumlahnya. Di samping keterbatasan bahan baku ini, harus dikeluarkan pula biaya yang cukup besar untuk teknologi pengamanannya, sehingga tidak akan membahayakan masyarakat.

Belum lagi masalah pengolahan limbah reaktor itu sendiri yang harus ditangani secara begitu teliti, yang pada gilirannya juga memerlukan biaya banyak. Menghasilkan energi dengan turbin gas atau turbin uap, bahan baku yang diperlukannya juga terbatas. Demikian juga halnya dengan kemungkinan menghasilkan energi dengan tekanan air, hidroelektrik, lokasinya juga terbatas; misalnya di tempat-tempat air terjun atau bendungan-bendungan. Pilihan terakhir ini juga sangat tergantung pada curah hujan. Kalau curah hujan kurang maka akan terjadi pengurangan energi listrik yang dihasilkan.

Satu-satunya sumber energi yang tidak terbatas jumlahnya ialah sinar matahari. Kalau sinar matahari tidak ada lagi maka dunia pun habislah. Di samping ketidakterbatasan sumber energi, pembangkitan energi dari matahari tidak menimbulkan bahaya polusi, dan bahan bakunya tersedia di mana-mana. Sekarang ini kita sedang berusaha untuk me-ngembangkan teknologi yang dapat memanfaatkan sinar matahari dalam pembangkitan energi.

Dalam kaitan ini, agaknya perlu diingat, bahwa teknologi di negara lain belum tentu cocok untuk diterapkan di Indonesia. Demikian halnya dengan penggunaan energi surya. Kebutuhan terhadap energi tergantung kepada alam lingkungan, tingkat sosial dan sarana yang telah ada.

Sesuai dengan keadaan alam lingkungan di negara-negara Eropa dan Jepang, energi surya yang mereka butuhkan, terutama untuk pemanasan waktu musim dingin dan untuk air condition waktu musim panas. Tapi untuk masyarakat kita hal ini tidak perlu atau dianggap belum perlu; misalnya air condition. Yang kita perlukan adalah energi surya untuk pembangkitan tenaga listrik, penggerak pompa dan memanaskan air. Berhubung perbedaan kebutuhan di atas maka teknologi yang kita perlukanpun jelas berbeda pula.

Kalau di negara Jepang atau Eropa sistem kolektor saja cukup baik, untuk kita sistem ini kurang memadai, karena energi ini justru kita butuhkan pada waktu malam hari, di mana matahari tidak ada lagi. Maka dari itu, energi tersebut pada siang hari harus kita simpan untuk pemakaian di malam hari. Sebenarnya kita dapat mengubah energi surya menjadi listrik secara langsung, yaitu melalui sel-sel, misalnya silicon.

Silicon dalam dosis tertentu kalau disinari matahari sinar matahari mempunyai infra merah, ultra violet dan cahaya berupa gelombang-gelombang magnetik akan mengeluarkan beberapa elektron dari material yang dapat menimbulkan arus listrik. Tetapi harga silikon mahal sekali. Untuk 1 watt saja berharga sekitar US$ 20 sampai US$ 30. Sehingga belum cocok untuk dipakai di Indonesia. Diharapkan dalam waktu 5 - 10 tahun lagi, dengan perkem-bangan teknologi, untuk 1 watt silicon kemungkinan akan berharga US$ 1.

Selain rintisan ke arah penggunaan energi surya, saat ini Indonesia juga telah membentuk suatu Tim Interdepartemental, yang membahas kemungkinan penggunaan alkohol sebagai alternatif bahan bakar pengganti minyak, yang dihasilkan dari sumber-sumber yang dapat diperbaharui (renewable resources).

Pilihan energi alternatif ini juga secara cermat telah mempertimbangkan kenyataan bahwa di Indonesia pun terdapat biomassa yang melimpah. Biomassa ini dapat menjadi sumber energi alternatif yang terbarukan. Pemilihan tempat "pilot plant" dan Laboratorium BERDC di Lampung adalah tepat karena berada di tengah tempat produksi ubi kayu, yaitu Biomassa untuk bahan baku Ethanol.
Pengembangan biomassa untuk bahan baku ethanol ini memerlukan adanya perkebunan energi. Dan seperti kita ketahui, perkebunan energi tersebut membutuhkan lahan, tenaga kerja, modal dan teknologi. Sebagai suatu negara agraris yang memiliki tanah pertanian yang luas, Indonesia merupakan tempat yang ideal untuk pengembangan perkebunan energi yang dikaitkan dengan percepatan pengembangan wilayah transmigrasi.

Usaha-usaha pembangunan yang dilaksanakan oleh Bangsa Indonesia berbeda dengan usaha-usaha pemba-ngunan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa lain di dunia (atau usaha-usaha antara bangsa Indonesia sendiri)31, de-ngan ditandai oleh heterogennya tingkat serta pola kehidupan bangsa lndonesia, yang tersebar antara ribuan pulau di dalam wilayah Nusantara, serta ditandai pula oleh beraneka ragamnya wajah pembangunan yang terjadi di negeri ini.
Kita memang perlu memikirkan hal-hal yang menunjang kelestarian lingkungan dalam pembangunan yaitu :
  1. Kita harus menggunakan sistem analisis yang ampuh untuk membahas setiap persoalan lingkungan hidup yang dihadapi agar persoalan tersebut dapat dilihat dan diselesaikan secara menyeluruh dan terpadu untuk pembangunan.
  2. Dalam merencanakan penelitian perlu diperhatikan kebijaksanaan dan program sektoral yang serasi dengan kebijaksanaan nasional. Masalah manajemen lingkungan hidup merupakan masalah lintas sektoral yang sangat penting dan harus ditangani secara hati-hati serta teliti, untuk menjamin efisiensi dan efektivitas ke-giatan tersebut.
  3. Peranan penelitian sangat besar artinya bagi manajemen kelestarian lingkungan masa kini dan mendatang, baik untuk preventif, represif maupun kuratif. Karena keterbatasan dana dan sumber daya penelitian, maka perlu diberikan prioritas yang serasi pada pemenuhan kebutuhan masa kini dan mendatang.
  4. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas hasil penelitian, harus dibina jaringan kerjasama antar lembaga penelitian dan konsumen hasil penelitian. PUSPIPTEK merupakan penunjang efisiensi dan efektivitas tersebut.
  5. Manajemen penelitian pada tingkat kegiatan lernbaga dan antar lembaga perlu ditingkatkan agar penelitian itu sendiri dapat bermanfaat bagi pembangunan.
Semua langkah dan upaya yang telah disebutkan tadi, dan masih banyak lagi yang lainnya, merupakan bukti kesungguhan Negara Indonesia dalam turut menyeimbangkan antara kebutuhan terhadap peningkatan taraf hidup dan kemajuan ekonomi bangsanya di satu sisi, dengan upaya untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup demi pembangunan berkelanjutan pada sisi yang lain.

Dan di dalam semua itu, terdapat tanda-tanda yang bisa membuat kita tetap optimis untuk menuju masa depan yang lebih baik, lebih indah dan lebih sejahtera. Tentu saja dengan segala perhitungan, kerja keras dan kesabaran.
Indonesia, dengan susunan dan letak geografisnya yang merupakan kesatuan ribuan pulau dan menempati posisi strategis mengharuskan kita untuk selalu melihat segala sesuatu baik dari aspek darat, lautan dan dirgantara. Tidak kalah pentingnya perhatian kita yang harus bertambah besar terhadap perbaikan lingkungan hidup. Ini menuntut perhatian kita semua karena bumi yang terbatas ini memang terasa makin padat dan usaha manusia untuk memenuhi kebu- tuhannya telah makin memberi tekanan pada lingkungan alam.
Apabila kebaikan lingkungan hidup ini kita abaikan, bukan mustahil, bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama kita akan dikejutkan oleh kenyataan bahwa kita sendirilah yang pertama-tama menjadi korban dari pembangunan yang kita kerjakan dan bukan kita merasakan kebahagiaan seperti yang diidam-idamkan.

Sumber:

Prof.  Habibie

Foto:
Oleh: Arip Nurahman

"Menjaga dan melestarikan Lingkungan menjadi tanggung jawab kita semua"
~Arip, Universitas Pendidikan Indonesia~