Tuesday, September 28, 2010

PEMBANGUNAN BERORIENTASI NILAI TAMBAH I

PEMBANGUNAN
BERORIENTASI NILAI TAMBAH 


Perekonomian yang dikelola secara baik dan mampu berdaya saing secara internasional adalah perekonomian dimana nilai tambahnya secara konsisten selalu lebih tinggi daripada biaya tambah. 1

Dalam mempersiapkan dirinya menghadapi tantangan abad yang akan datang, semua negara harus mencamkan apa yang diajarkan oleh ilmu ekonomi dan apa pula yang ditunjukkan oleh sejarah ekonomi belakangan ini; bahwa peningkatan kekayaan dan kemakmuran berakar pada peningkatan produktivitas, dan bahwa kunci bagi produktivitas adalah ilmu pengetahuan dan rekayasa. 2

(B.J. Habibie)




Dalam uraian terdahulu telah disinggung bahwa keberhasilan pembangunan negara-negara berkembang dalam tiga dekade terakhir, ternyata tidak menyurutkan ketergantungannya pada negara-negara maju. Lemahnya infrastruktur ilmu pengetahuan dan teknologi serta rendahnya kapabilitas sumberdaya manusia negara-negara tersebut dipandang sebagai penyebab utama rendahnya daya saing mereka di pasar global. Kenyataan ini memaksa kita untuk mengkaji ulang tentang apa sesungguhnya yang menjadi tolok-ukur keberhasilan pembangunan suatu bangsa.


Selama ini, jika orang ditanya ikhwal keberhasilan suatu perekonomian, jawaban yang lazim diberikannya adalah angka-angka yang menunjukkan tingkat GNP atau PDB suatu negara.

Jika itu ukurannya maka tak ayal lagi, pembangunan Indonesia selama 25 tahun terakhir ini telah menunjukkan prestasi yang sangat mengesankan. Angka-angka yang menunjukkan produk nasional bruto (GNP) kita mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Demikian pula pendapatan perkapitanya. Bahkan lebih daripada itu, pembangunan ekonomi selama PJPT I, telah berhasil mengurangi jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan, dari sekitar 60% pada paruh 1960-an menjadi sekitar 17% pada akhir 1980-an sehingga tak seorang pun dapat menafikan kenyataan yang menggembirakan itu. 3


Namun demikian, kendati terlihat bahwa strategi dan pengukuran pembangunan yang digunakan dewasa ini dapat merefleksikan gerak ekonomi yang ada, hal itu bisa jadi bersifat relatif dan bahkan cenderung menyesatkan jika kita benturkan dengan konteks yang lebih mikro sifatnya. Baiklah saya berikan contoh. Seseorang yang hidup di New York dengan pendapatan US$ 600 per bulan besar kemungkinan akan mengalami kewalahan. Dan ia dianggap berada di bawah garis kehidupan normal, karena GNP perkapita di Amerika jauh lebih tinggi. Tetapi, jika orang dengan pendapatan yang sama tinggal di Jakarta jelas orang tersebut akan hidup secara berkecukupan. 4


Marilah bergeser ke contoh lain. Saya ditanya orang dari luar negeri, berapa turn over dari industri strategis (BPIS) pada 1991? Jika dihitung dalam US$, jumlahnya kurang lebih mencapai US$ 2,8 milyar. Bandingkan dengan turn over MBB, perusahaan pesawat terbang Jerman, yang kurang lebih mencapai US$ 12 milyar. Dari sudut lain, jumlah pekerja BPIS adalah 47.000; sedangkan MBB mempunyai pekerja sebanyak 60.000 orang. Lantas jika kita tanya, apakah MBB pada tahun 1990 laba atau rugi? Jawabannya ternyata rugi.


Sekarang tanyakan, apakah BPIS laba atau rugi? Menurut hasil pemeriksaan BPKP dan BPK tahun 1992, BPIS ternyata meraih laba sebanyak 325 milyar rupiah. Dalam US $ berarti sekitar 150 juta. Orang mungkin berkata, ini adalah suatu kebohongan besar. Mana mungkin MBB dengan turn over-nya yang begitu besar bisa merugi, sementara BPIS dengan turn over-nya yang begitu kecil bisa menangguk laba?. Mengapa demikian? Jawabannya, karena biaya satu orang karyawan di MBB sekitar US$ 200.000 per tahun, sedangkan biaya seorang pekerja di IPTN, misalnya, sekitar RP 300.000 per bulan; kurang lebih US$ 150, atau katakanlah sekitar US$ 200 dengan segala-galanya. Jika dihitung per tahun, berati 200 x 12 bulan = US$ 2.400. Jadi dari human resources cost-nya saja hanya 10% dari biaya yang dikeluarkan MBB. Belum lagi dari segi over head. Untuk IPTN, over head cost ditambah human resources cost saja baru mencapai US$ 6.000 per tahun. Bandingkan dengan jumlah biaya untuk seorang karyawan MBB yang mencapai US$ 200.000 per tahun. 5


Bila kedua contoh tersebut belum cukup, tambahkan pula fakta ini. Menurut para pakar ekonomi, perekonomian Taiwan saat ini sudah tidak mempunyai utang lagi. Karena itu sudah tidak dipusingkan lagi dengan persoalan DSR (Debt Service Ratio). Cadangan devisanya mendekati US$ 90 milyar. Jika dilihat dari kriteria ini, maka Taiwan tergolong negara kaya di dunia. Tapi, jika dilihat dari angka GDP atau GNP per kapita, Taiwan kalah dari Amerika. Padahal, Amerika mempunyai beban utang yang sangat besar. 6




Contoh-contoh di atas menegaskan bahwa kita tidak bisa mengukur keberhasilan pembangunan dari kacamata GNP atau PDB semata. Sekalipun angka-angka yang menunjukkan besarnya turn over, jumlah pekerja dan GNP per kapita memberikan informasi yang sangat menarik, tetapi hal itu tidak menggambarkan kenyataan yang sesungguhnya. Bahkan dapat memberikan kesimpulan-kesimpulan yang salah.


Sebagai contoh, selama tahun 1992, 200 pengusaha terbesar di Indonesia meraup omset sebesar Rp 130 trilyun atau sekitar 60 persen dari GNP atas harga berlaku. Jika diciutkan lagi, 10 pengusaha terbesar menguasai 30 persen GNP. Data lainnya menunjukkan, 20 persen penduduk berpendapatan tertinggi memperoleh 50 persen dari pendapatan nasional, sementara 40 persen penduduk berpenghasilan rendah hanya mendapat 20 persen dari pendapatan nasional. Jika distribusi pendapatan nasional dihitung atas dasar penghasilan penduduk, maka ketimpangan akan tampak kian lebar. Yang pada gilirannya akan menyebabkan semakin terkonsentrasinya penguasaan sumber daya ekonomi pada sekelompok kecil masyarakat.


Oleh karena itu, bagi saya, pembangunan itu bukan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pemerataannya. Kalau masalahnya hanya pertumbuhan ekonomi, maka pada masa kolonial, economic growth kita mungkin lebih tinggi dari sekarang. Pemerintah kolonial melaksanakan skenario ekonomi yang bertujuan untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tapi hasilnya disedot masuk ke kas Belanda. Akibatnya, orang-orang Indonesia sendiri tidak mendapatkan apa-apa, beri saja orang Indonesia uang sebenggol untuk makan. Maka, di tengah-tengah angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu, rakyat Indonesia hidup dalam penderitaan yang panjang.7




Semuanya itu berarti bahwa strategi pembangunan yang mengutamakan sisi pertumbuhan ekonomi dan keunggulan komparatif harus dipertimbangkan kembali. Ukuran-ukuran baku seperti GNP atau GDP harus kita perlakukan hanya sebagai salah satu di antara berbagai indikator yang dapat digunakan untuk menilai kemampuan membangun suatu bangsa, sebagai suatu satuan ekonomi makro. Salah satu indikator lainnya yang bisa dikedepankan adalah "produk- tivitas prestasi nasional" (PPN) dan "pertumbuhan produktivitas prestasi nasional" (PPPN). Yang merupakan perpaduan dari produktivitas tenaga kerja dan produktivitas modal dalam bentuk prasarana, sarana dan mesin.


Menurut pendapat saya, PPN dan pertumbuhan PPN (PPPN) malah merupakan alternatif yang lebih tepat untuk menilai kemampuan membangun suatu bangsa dan peru- sahaan serta untuk memperkirakan kinerjanya di masa depan. Sebab mungkin saja terjadi, karena GDP-nya besar, suatu negara dinilai memberikan kesempatan investasi yang cukup baik, dan berkat volume investasinya yang besar, laju pertumbuhan GDP negara tersebut cukup tinggi, walaupun PPN dan pertumbuhan PPN-nya rendah. Namun dalam jangka panjang, sebagai akibat rendahnya PPN dan PPPN negara itu, keunggulannya dalam mengembangkan dan menghasilkan produk-produk baru untuk pasar yang mempunyai arti besar dalam menentukan pertumbuhan Produk Domestik Bruto akan dilampaui oleh negara-negara yang tadinya mempunyai PDB yang relatif rendah, akan tetapi memiliki pertumbuhan PPN yang sangat tinggi melampaui PPN negara ber-PDB tinggi tadi. 8




Akibatnya, negara yang Produk Domestik Bruto-nya tinggi itu secara sistematis akan mengalami kesulitan untuk memasarkan produk hasil proses nilai tambahnya, baik di pasar dalam negeri, apalagi di pasar internasional, maka tahap demi tahap, negara tersebut akan mengalami defisit dalam neraca perdagangannya; yang akan bereskalasi dengan terjadinya masalah ekonomi yang kompleks dan menyulitkan pertumbuhan PDB negara yang bersangkutan. Inilah yang tampaknya terjadi di Amerika Serikat dalam hubung- annya dengan Jepang dan Jerman Barat. 9




Oleh karena itu, siapa saja yang melakukan perencanaan dan pelaksanaan proses nilai tambah, perlu untuk tidak hanya memperhatikan GNP atau PDB saja, tetapi harus juga memperhatikan Produktivitas Prestasi Nasional dan pertumbuhan PPN-nya.


Dengan kata lain, kita memerlukan suatu strategi pembangunan alternatif yang berorientasi pada optimalisasi kemampuan sumberdaya manusia dalam memanfaatkan teknologi dan aneka sumberdaya yang tersedia. Dengan demikian, hal itu diharapan bisa menjamin pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan dengan nilai tambah yang tinggi; yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.


Pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pengembangan sumberdaya manusia dan pengembangan teknologi untuk meraih nilai tambah yang lebih tinggi ini kita sebut saja dengan strategi "Pembangunan Berorientasi Nilai Tambah". Secara lebih mendalam hal ini akan kita bahas pada uraian berikut.



Pengertian Nilai Tambah


Dari sudut pandang ekonomi, pembangunan suatu negara tidak lain merupakan optimasi dari dua prinsip yang dianggap ekstrem: yaitu ekstrem added cost (biaya tambah) dan ekstrem added value (nilai tambah). Dalam usaha mencari titik optimum tersebut kita selalu berusaha untuk mencapai minimum proses biaya tambah dan maksimum proses nilai tambah. Kita selalu berusaha untuk menekan biaya tambah dalam memenuhi kebutuhan kita akan barang-barang. Biaya-biaya yang akan terjadi diusahakan sekecil-kecilnya sehingga proses pembangunan berjalan dengan seefisien dan seproduktif mungkin. Sedangkan nilai tambah yang tercipta dalam proses pembangunan perlu dimaksimalkan. Perlu diusahakan pertambahan nilai yang setinggi-tingginya pada bahan mentah. Karena dengan memaksimalkan nilai yang ditambahkan pada materi bernilai rendah, penghasilan manusia yang melaksanakan proses nilai tambah tersebut akan mencapai titik maksimum pula. Dengan demikian, taraf hidupnya akan meningkat.


Yang menjadi pegangan dalam persoalan biaya tambah ialah, apakah tidak lebih murah bagi kita untuk membeli barang dari negara lain (impor) daripada memproduksi sendiri? Pemegang peranan dalam masalah ini adalah para pedagang. Dalam hal ini, para pedagang akan berusaha untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan menaikkan harga jual setinggi mungkin. Harga yang tinggi ini pada gilirannya harus dipikul oleh rakyat, sebagai konsumen barang-barang itu. Sebagai pedagang, mereka akan memperhitungkan semua biaya yang dikeluarkan dan akan dibebankan kepada pembeli. Dalam hal di mana para pedagang mengambil untung yang banyak, maka pengembangan dari bidang-bidang lain akan terhambat.

 
Seringkali terjadi bahwa pedagang tidak memperdulikan apakah perusahaan-perusahaan yang bergerak di suatu sektor dapat berkembang atau tidak. Pokoknya yang penting baginya adalah keuntungan hasil perdagangan. Hal ini sering terjadi pada perusahaan asing yang bergerak di Indonesia, yang hanya bermotifkan keuntungan, dan kemudian mentransfer keuntungannya ke luar negeri. Akibatnya hanya sebagian kecil rakyat yang bisa memperoleh pekerjaan dan menikmati hasil perdagangan tersebut. 10




Pembangunan negara dalam bidang industri tidak akan berkembang selama perhatian kita hanya tertuju pada pe-ngurangan biaya produksi. Efisiensi memang diperlukan. Namun, jika fokus perhatian hanya berhenti pada penekanan efisiensi jangka pendek, dengan mengabaikan dinamika pengembangan teknologi dalam jangka panjang, hal itu akan menjadi jebakan bagi pembangunan di masa depan, karena dengan demikian, upaya untuk meningkatkan teknologi dan pengembangan sumberdaya manusia yang hasilnya hanya bisa dirasakan dalam jangka panjang akan terabaikan.


Untuk itu perlu diimbangi dengan proses peningkatkan nilai tambah. Yang dapat diartikan sebagai rangkaian proses menambah nilai kegunaan material tertentu dengan mengubahnya menjadi suatu barang atau jasa yang lebih bermanfaat, dan karena itu, mempunyai nilai dan harga yang lebih tinggi dari materialnya semula. Secara sederhana prinsip optimasi nilai tambah tersebut bisa digambarkan melalui contoh-contoh sebagai berikut. Ambillah misalnya mobil Kijang. Mobil ini, katakanlah harganya Rp 25 juta, dan beratnya 1.000 kg. Dengan demikian harga per kilo gramnya sama dengan Rp 25.000,-. Bandingkan dengan Baby Benz, walaupun beratnya sama, 1.000 kg, tapi harganya mencapai sekitar Rp 250 juta. Berarti harga per kilo gramnya mencapai Rp 250.000,-. Sekarang kalau Kijang dan Baby Benz itu bertabrakan di tol Cikampek, yang selalu rawan kecelakaan, dan hancur menjadi besi tua, maka harganya bukanlah Rp 25.000,- per kg untuk Kijang dan Rp 250.000,- per kg untuk Baby Benz, tetapi semuanya sama, 250 rupiah per kg.


Dari situ bisa diambil kesimpulan bahwa nilai 250 rupiah per kg besi (logam) tersebut bisa mengalami beberapa kali proses engineering, sehingga nilai tambahnya bisa menjadi 25.000 rupiah per kg untuk Kijang dan 250.000 rupiah untuk Baby Benz (untuk perbandingan nilai tambah antar beberapa produk, lihat tabel-1: Perbandingan Nilai Tambah). Ini dapat terjadi karena, kadar ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kualitas manusia yang menciptakan nilai tambah untuk kedua jenis produk tersebut bobotnya ber-lainan. Dengan demikian, nilai tambah itu tiada lain merupakan fungsi dari teknologi, ilmu pengetahuan dan sumberdaya manusia.


Tabel-1: Perbandingan Nilai Tambah 11


NO


Jenis Produk


(USD/K)


%
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Beras
Minyak Kelapa Sawit
Kapal Muatan
Mobil Standard
Kereta Api
Mobil Mewah
Peralatan Mesin NC
TV Berwarna
Kapal Selam
Semi Konduktor
Komputer Main Frame
Kamera Video
Advanced Turbo Prop
Jumbo-Jet
Mesin Pesawat
Super Computer
Jet Fighter
Satelit


0,24
0,39
2,2
11
16,1
22
24,2
35,2
99
220
352
616
660
770
1.980
3.740
5.500
44.00
100
163
917
4.583
6.708
9.167
10.083
14.667
41.250
91.667
146.667
256.667
275.000
320.833
825.000
1.558.333
2.291.667
18.333.333
Sumber: 1-2 Biro Pusat Statistik, 1991;
3-18 The Economist, 1989


Contoh di atas memberikan kesadaran kepada kita semua bahwa konsep peningkatan nilai tambah itu sebenarnya bukanlah konsep yang baru lahir. Kalau mau dilacak, sejak manusia menginjakkan kakinya di muka bumi, konsep ini telah ada. Hanya saja belum terumuskan secara ketat dan menggejala dalam bentuk persaingan pasar. Zaman batu dan perunggu merupakan contoh-contoh di mana manusia purba pun telah berkeinginan mengubah suatu bahan mentah menjadi benda yang lebih memiliki nilai guna. Setelah manusia mengenal pasar, barulah nilai guna tersebut dikapitalisasi menjadi nilai tukar, yang kemudian lebih berkembang ketika ditemukan uang sebagai alat tukar.


 
Titik Balik Transformasi


Statistik menunjukkan bahwa pada 1825, penduduk dunia total 1 milyar. Pada waktu itu, revolusi industri baru mulai di Eropa, AS, dan Jepang. Proses industrialisasi mulai dengan penemuan turbin uap yang menggantikan penggunaan daya kuda sebagai penggerak tenaga. Mesin ini ratusan kali lebih kuat daripada kuda dan memungkinkan manusia untuk mengerjakan pekerjaan yang lebih berat dalam waktu yang lebih singkat daripada sebelumnya. 12




Titik balik yang penting terjadi pada 1950 ketika penduduk dunia mencapai 3 milyar. Dalam 125 tahun, penduduk dunia berlipat tiga. Selama periode yang sama, peningkatan GNP dunia lebih kecil dari pertumbuhan penduduk. Situasi ini dapat digambarkan dengan menggunakan contoh kue. Jika jumlah orang yang menghendaki kue meningkat lebih cepat daripada ukuran kue, maka tidak seorangpun dapat menikmati sejumlah kue secara memuaskan. Hal ini dapat dijelaskan juga dalam terminologi thermodinamika. Jumlah panas matahari atau kalori yang datang ke bumi akan merusak manusia dan bumi sendiri, jika panas tidak dialihkan menjadi potensi energi berupa sumber yang terbarukan atau tak terbarukan. Ini baru permulaan masalah manusia di dunia.

Pada awal transformasi industri, bangsa-bangsa Eropa telah memiliki kehidupan agrikultur yang lebih baik daripada bangsa manapun di dunia. Hal itu menyebabkan penduduk bertumbuh sedikit lebih cepat, sedangkan tidak tersedia makanan bergizi yang cukup untuk pergi berkeliling. Mereka memiliki dua pilihan yaitu membuat kue lebih besar atau mengurangi penduduk. Ini menjurus pada proses imigrasi dari Eropa ke AS dan tempat-tempat lain untuk mengurangi penduduk dan juga untuk membuka pasar baru untuk memperoleh sumber-sumber terbarukan dan tak terbarukan lainnya yang sangat penting bagi pertumbuhan industrialisasi. Pada waktu yang sama, dengan momentum industrialisasi yang baik, mereka mengembangkan kue yang lain, yang berarti GNP ditingkatkan dengan pesat melalui mekanisasi.


Titik balik penting lainnya adalah tahun 2000 ketika penduduk diperkirakan akan mencapai tujuh milyar. Setelah tahun 2075, menurut data Bank Dunia, penduduk dunia akan distabilkan pada sekitar 11 milyar. Menurut kalangan pesimis, penduduk akan stabil pada 14 milyar. Penting dicatat bagaimana alam membantu menstabilkan kondisi. Misalnya, karena penyakit yang tengah berjangkit, misalnya AIDS, penduduk di Afrika mungkin berkurang sedikitnya 2% per tahun, sedangkan di tempat lain berkurang 1%. Fakta semacam ini menunjukkan kepada kita bagaimana alam secara aktual mempengaruhi eksistensi manusia. Peningkatan penduduk yang tinggi secara keseluruhan merupakan masalah yang meminta perhatian sebagaimana dapat dilihat dari hasil Konperensi PBB tentang penduduk di Kairo. 13




Masalah pertumbuhan penduduk menjadi makin urgen karena 95% pertumbuhan terjadi di negara berkembang. Karena peningkatan sektor agrikultur, sebagaimana terjadi di Eropa selama revolusi industri, penduduk negara berkembang tumbuh sangat cepat. Misalnya, kita dapat melihat perbandingan pertumbuhan penduduk di negara maju Eropa dan negara berkembang Afrika.

Pertanyaannya bagaimana mengatasi masalah ini?

Harus dimengerti, bahwa negara berkembang seperti Eropa, AS, dan Jepang telah mentransformasikan masyarakat mereka dari masyarakat agraris ke masyarakat industri melalui evolusi atau proses pada tempat yang sama dan masyarakat yang sama tanpa kendala budaya, bahasa, dan etnik. Bagi negara berkembang, transformasi ini berlangsung melalui alih teknologi dari beberapa tempat dan masyarakat industri yang berbeda sehingga isu budaya, bahasa, dan rasial menjadi hambatan besar. Mengatasi kendala ini tidak mudah. Alternatif terbaik adalah bahwa negara berkembang dapat mengadopsinya untuk mempercepat evolusi proses transformasi.


Evolusi yang dipercepat secara keseluruhan berbeda dari konsep leap frogging. Leap frogging itu bersifat acak dan tak dapat diperkirakan. Evolusi dipercepat tidak acak karena gerakannya dapat dikendalikan dan diperkirakan. Ini berarti risiko dan biaya transformasi dapat dikurangi.

Saya jelaskan bahwa transformasi industri di negara-negara berkembang mahal tidak hanya bagi masyarakat mereka sendiri tapi juga bagi masyarakat dan dunia lain. Negara-negara industri mengambil sumber daya alam dari kawasan dunia. Biaya eksploitasi ini tidak hanya ditanggung oleh negara maju tapi juga oleh umat manusia secara keseluruhan.


Sekarang kita dapat mengidentifikasi masalah yang dihadapi negara berkembang. Pertama, biaya transformasi industri bagi negara berkembang melalui evolusi yang dipercepat lebih tinggi daripada negara maju melalui evolusi. Kedua, waktu transformasi bagi negara berkembang lebih singkat daripada waktu bagi negara maju. Ketiga, jumlah orang yang terlibat dalam transformasi industri di negara berkembang lebih banyak daripada di negara maju.

Di pihak lain, beberapa keuntungan juga telah muncul sebagai hasil transformasi industri, misalnya:



  • Sistem prosesing data dan informasi cepat;







  • Biaya rendah prosesing data dan informasi;







  • Pemahaman lebih baik tentang infrastruktur ekonomi mikro dan makro;







  • Pemahaman lebih baik tentang mekanisme pembangunan sumber daya manusia;







  • Ekonomi berorientasi pasar dapat diterima;







  • Adanya organisasi internasional yang mengabdikan diri pada transformasi industri, seperti: Bank Dunia, IMF, ADB, IDB, dan sebagainya;





  • Adanya sarana ekonomi dan hukum bagi alih teknologi atas dasar saling menguntungkan. 14





  • Memahami infrastruktur ekonomi mikro dan makro merupakan hasil dari pertumbuhan pembangunan nasional berkesinambungan. Kombinasi pertumbuhan ekonomi nasional dan distribusi yang merata pembangunan mengakumulasikan kekayaan nasional. Di banyak negara, pertum- buhan ekonomi merupakan hasil sistem ekonomi berorientasi pasar, termasuk di negara ekonomi komunis lama se-perti Republik Rakyat Cina (RRC).