Saturday, August 28, 2010

Kebijakan Teknologi Maju untuk Keamanan Nasional dan Pembangunan Ekonomi

Kebijakan Teknologi Maju untuk Keamanan Nasional
dan Pembangunan Ekonomi
(Konperensi Pertahanan Asia Pasifik di Singapura, 6 Pebruari 1996 dan
Konperensi Internasional Masa Depan Asia di Tokyo, 17 Mei 1996)


Sebelum membahas mata bahasan mengenai kebijakan teknologi maju untuk keamanan nasional dan pem bangunan ekonomi, lebih dahulu ingin dijelaskan definisi-definisi kami sendiri tentang teknologi tinggi dan teknologi maju, dan bahkan definisi teknologi itu sendiri. Kita dapat berawal dari pemahaman bahwa, inti dari suatu produksi sebagai kegiatan ekonomi adalah menambah nilai kepada bahan mentah, komponen, atau apapun yang dijadikan bahan awal proses itu. Proses nilai tambah ini dapat dilakukan terhadap perangkat keras, perangkat lunak atau pun perangkat otak.

Buku dengan katakanlah seratus halaman dapat memiliki harga yang lebih tinggi daripada buku lain dengan jumiah halaman yang sama, tergantung pada nilai informasi yang terkandung dalam seratus halaman tersebut. Ada beberapa hal yang perlu diingat dalam hubungan ini. Pada umumnya, orang akan mencoba memperoleh nilai tambah sebesar-besarnya, serta biaya dan risiko sekecil-kecilnya. Selanjutnya, tiada satu pun proses nilai tambah yang dapat berlangsung tanpa teknologi. Jelasnya, semua proses nilai tambah, apakah membuat pesawat terbang atau melakukan bedah jantung jalan-pintas (by-pass), adalah bersifat multidisiplin.

Dalam kasus bedah jantung, ilmu-ilmu yang bersangkutan adalah teknologi umum bedah, pengetahuan tentang urat nadi, tentang pembiusan, dan lain-lain. Begitu pula, teknologi membuat undang-undang menyangkut pengetahuan komunikasi, informatika, pengetahuan hukum termasuk perumusan hukum, ilmu-ilmu kemasyarakatan, dan lain-lain. Setelah proses produksi atau nilai tambah selesai, maka barang-barang jadi yang telah dihasilkan diserahkan kepada para pengguna barang-barang tersebut. Hal ini menyangkut serangkaian proses-proses lainnya yang kita dapat sebut jasa-jasa, seperti misalnya pemasaran, penyimpanan, logistik, dan sebagainya. Kesemuanya ini juga perlu dilakukan dengan biaya serendah mungkin. Jasa-jasa inipun memerlukan teknologi-teknologi untuk melaksanakannya. Perusahaan-perusahaan yang mampu menggunakan teknologi-teknologi yang tepat dan berguna untuk menyajikan produk-produk yang sama-sama bernilai-tinggi dengan biaya yang serendah-rendahnya akan lebih berdaya saing daripada perusahaan lainnya. Ada suatu spektrum teknologi-teknologi yang berhubungan dengan besamya pasar. Beberapa jenis teknologi penggunaannya sangat terbatas, dengan nilai tambah sangat tinggi, yang disebut teknologi maju (advanced technology). Dengan berkembangnya waktu, teknologi-teknologi maju ini dapat memperoleh aplikasi yang lebih luas, dan karena itu, pasarnya lebih besar dan skala ekonomi produksinya lebih besar pula.

Pada saat itu mereka akan disebut teknologi tinggi dengan dampak nilai tambah yang tinggi. Apabila di kemudian hari, ilmu pengetahuan telah maju sedemikian rupa hingga teknologi-teknologi ini dapat digunakan oleh semua orang, maka mereka akan kehilangan eksklusivitasnya, dan akan disebut teknologi (biasa) saja. Pada awal revolusi industri, produksi tekstil dianggap teknologi tinggi. Dewasa ini tidak lagi demikian. Sama halnya dengan produksi minuman anggur yang tadinya penguasaan teknologinya terbatas pada beberapa negara saja tetapi dewasa ini telah tersebar ke banyak negara lain yang tadinya bukan produsen minuman anggur.

Namun pada beberapa teknologi tertentu, eksklusivitasnya dapat dipertahankan hingga jangka waktu jauh lebih lama apakah karena kesukaran penguasaannya atau karena adanya perlindungan hak atas kekayaan intelektualnya. Teknologi-teknologi ini disebut teknologi maju untuk jangka waktu lebih lama. Eksklusivitasnya akan memberikan pemiliknya keunggulan berdaya saing (keunggulan kompetitif) terhadap pihak lainnya.

Tekonologi dan Ekonomi Kita patut bersyukur bahwa secara bertahap kita telah menjadi lebih canggih dan karena itu kita mungkin menjadi lebih mampu daripada pada masa lampau untuk bersaing dan menangani ancaman-ancaman baru. Kita telah mengembangkan teknologi-teknologi baru dalam arti kata yang seluas-luasnya. Teknologi-teknologi yang pernah dianggap teknologi maju kini telah menjadi teknologi tinggi atau bahkan teknologi-teknologi madya. Kita telah mengembangkan cara-cara baru untuk menangani kesukaran-kesukaran kita. Perkembangan-perkembangan ini mencakup:

  1. sistem-sistem informasi; sistem-sistem proses dan evaluasi data;
  2. prasarana ekonomi makro dan mikro: mekanisme-mekanisme pengembangan manusia dan sumber daya alam dengan biaya rendah;
  3. mekanisme-mekanisme bermutu tinggi dan biaya rendah untuk pengembangan ilmu dan teknologi;
  4. penyempurnaan-penyempurnaan dalam standardisasi yang meningkatkan produktivitas dan efisiensi ekonomi nasional dan global.
Semua perkembangan ini telah lebih memudahkan tercapainya peningkatan berlanjut dalam kesejahteraan, pembagian adil kekayaan yang terhimpun, dan persepsi bahwa dewasa ini keadaan lebih baik daripada sebelumnya. Seperti sudah pernah saya kemukakan sebelumnya, saya dapat membedakan dua jenis kegiatan ekonomi. Pertama adalah; produk manufaktur dan jasa dari bahan mentah dan barang-barang vendor yang saya sebut proses nilai tambah. Dan yang kedua adalah menyampaikan barang-barang jadi dan jasa pada konsumen akhir yang saya sebut proses jasa.

Tujuan dalam membuat barang dan jasa adalah untuk memaksimumkan nilai tambah dengan biaya yang minim, sedangkan tujuan menyampaikan barang dan jasa kepada konsumen adalah untuk meminimumkan biaya tambah dengan pembelanjaanyang minim. Dua jenis aktifitas ini dilakukan dalam segala jenis sistemekonomi baik yang terencana secara sepusat maupun ekonomi pasar atau variasiantara keduanya. Untuk memaksimumkan nilai tambah dan meminimumkan biayatambah, seseorang harus menggunakan teknologi yang semakin canggih serta meningkatkan produktivitas dan efisiensi.

Dalam pengertian itu, untuk menghasilkan satu produk tertentu, seorang manufaktur memerlukan 50 poin material, jam mesin dan overhead dan menambahkan pula 15 poin biaya dan keuntungan. Jika konsumen ingin membayar 100 poin untuk mengirim barang itu langsung dari bengkel pabrik, dapat kita katakan nilai tambah melalui proses manufaktur itu senilai 35 poin, nilai ini disebabkan teknologi. Namun, tidak banyak orang siap mengirimkan secara langsung dari bengkel pabrik, dan biasanya mereka mengharapkan pabrik untuk melakukan aktifitas lain untuk pengiriman produk-produk di lokasi-lokasi yang lebih berkenan bagi konsumen. Untuk melakukan aktifitas ini, seseorang harus memasukkan biaya tambah seperti, biaya transportasi, biaya gudang, biaya pameran, pemasaran, promosi dan sebagainya, serta berbagai tahap distribusi dalam penjualan partai besar atau eceran. Seandainya demikian, maka untuk seluruh biaya tambah plus keuntungan distributor serta pengecer ditambahkan lagi 80 poin, dengan begitu harga yang harus dibayar konsumen akan menjadi 180 poin.

Untuk bersaing secara berhasil, pabrik dapat menentukan tujuannya. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah, katakanlah dari 100 poin menjadi 120 poin; dan untuk mengurangi biaya pengiriman, katakanlah dari 80 poin menjadi 50 pon. Dengan begitu, ia akan mendapatkan peningkatan nilai produk (sampai 120 poin) dan penurunan harga final yang harus dibayar oleh konsumen dari 180 sampai 170 poin (120+50). Kemudian konsumen akan membayar harga yang lebih rendah untuk produk dengan nilai lebih tinggi. Agar hal ini terjadi, pabrik harus meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan pemanfaatan teknologi yang terus meningkat.

Sebelumnya saya sudah membicarakan hubungan antara spektrum teknologi dikaitkan dengan luasnya penggunaan dan ukuran pasar. Dan saya juga telah membedakan antara teknologi maju, tinggi dan rendah. Sekarang ingin saya menunjukkan fokus pandangan saya bahwa ada hubungan erat antara eksklusifitas teknologi dan kemampuan untuk bersaing dengan banyak teknologi maju, eksklusifitas dapat dipelihara selama periode yang cukup panjang, boleh jadi karena kesulitan menguasainya atau karena proteksi hak milik intelektual. Karena ini dalam istilah yang saya gunakan, produksi barang dan jasa berdasarkan teknologi maju dan eksklusif selalu merupakan usaha yang berkeunggulan kompetitif. Dengan kata lain, produk teknologi maju eksklusif merupakan produk yang memiliki keunggulan kompetitif; sebaliknya apabila teknologi yang semula maju itu sudah menjadi tersebar luas dan menjadi teknologi biasa atau teknologi rendah, maka kompetisi tidak akan lagi didasarkan pada eksklusiftas melainkan pada biaya. Pabrik yang dapat menggunakannya dengan biaya paling rendah akan memiliki keunggulan di atas yang lainnya. Dan lagi menurut istilah yang saya gunakan, produk tersebut memiliki keunggulan komparatif di atas pesaingnya.

Contoh yang saya gunakan di sini menunjukkan pengertian bahwa kemampuan pabrik untuk meningkatkan daya saingnya (dari 180 poin menjadi 170 poin) terdiri dua elemen:
  1. Penambahan dalam keunggulan kompetitifnya (dari 100 poin menjadi 120 poin);
  2. Peningkatan dalam keunggulan biaya komparatif (dari 80 poin menjadi 50 poin).
Selanjutnya akan berguna bagi kita yang berkecimpung dengan kebijakan-kebijakan teknologi yang menunjang keamanan nasional dan pembangunan ekonomi, untuk memperhatikan ancaman baru ini dan menanganinya. Jika tidak, ancaman ini seperti halnya semua ancaman lainnya, akan hilang bersamaan dengan menghilangnya umat manusia itu sendiri. Namun ancaman-ancaman baru dan perkembangan-perkembangan baru hanya merupakan dua sisi mata uang yang sama, dan hal ini merupakan proses pembangunan manusia. Pada akhirnya, manusialah yang merupakan pemeran utama dan menjadi fokus perhatian utama kita. Dengan demikian, sampailah pada mata bahasan utama kita.

Ancaman-ancaman Pertama-tama, sangat penting untuk diingat bahwa keamanan nasional dan pembangunan ekonomi serta ancaman-ancaman terhadapnya hanya timbul dalam rangka interaksi antara sumber daya manusia dan sumber daya alam. Kami akan memusatkan bahasan kami pada analisis reaksi manusia pada ancaman terhadap keamanan nasional dan pembangunan ekonominya.

Dalam hubungan ini, ada gunanya untuk membedakan antara ancaman-ancaman "internal" yang timbul dari dalam suatu masyarakat itu sendiri, dan ancaman-ancaman "eksternal" yang bersumber dari luar masyarakat. Terlepas dari sumbernya, ancaman-ancaman tersebut dapat berakumulasi dan bereskalasi menjadi konflik, dan bahasan reaksi manusia terhadap konflik itulah yang akan merupakan pokok analisis kami.

Ancaman Internal Ancaman-ancaman internal terhadap keamanan suatu masyarakat dapat timbul dari sekurang-kurangnya tiga sumber. Yang pertama berhubungan dengan ada atau tiadanya pembangunan ekonomi yang berlanjut. Dalam hubungan ini kita dapat mengenali rasio antara laju pertumbuhan ekonomi dan laju pertumbuhan penduduk sebagai salah satu indikator konflik yang disebabkan oleh kebijakan ekonomi. Dalam hubungan ini kita catat bahwa apabila rasio tersebut jauh lebih besar dari satu, maka konflik dalam masyarakat karena sebab-sebab ekonomi akan lebih kecil karena laju pertumbuhan pendapatan per-kapita cukup tinggi sehingga dapat memberikan peningkatan yang berlanjut dalam kesejahteraan bagi masyarakat. Sebaliknya, juga merupakan pengalaman kita bersama bahwa apabila rasio tersebut hanya sedikit di atas satu atau kurang dari satu maka akan timbul ancaman-ancaman terhadap keamanan nasional.

Rasio pertumbuhan ekonomi terhadap pertumbuhan penduduk yang besarnya hanya sedikit lebih tinggi dari satu akan menimbulkan kestabilan yang tidak mantap dalam proses pertumbuhan kesejahteraan masyarakat yang sangat peka terhadap goncangan-goncangan yang kecil sekalipun. Dan rasio yang sangat banyak di bawah satu akan berarti suatu kemunduran yang berlanjut dalam kesejahteraan orang seorang yang selanjutnya akan mengakibatkan kerawanan dan ketidakstabilan masyarakat yang berlanjut. Sumber kedua ancaman internal adalah keadilan dalam pembagian kekayaan nasional yang terhimpun. Persepsi adanya keadilan akan jauh lebih sedikit menimbulkan ancaman-ancaman internal terhadap keamanan daripada persepsi ketidakadilan. Tentu, kadar keadilan yang dirasakan berbeda dari negara satu ke negara lainnya dan ditentukan oleh faktor-faktor khusus suatu masyarakat seperti: kebudayaan; keharusan-keharusan menurut hukum sebagaimana ditentukan oleh undang-undang dasar; sifat mekanisme yang menerjemahkan dan melaksanakan kepentingan orang-seorang; mekanisme ini berbeda tergantung apakah negara yang bersangkutan merupakan suatu demokrasi konstitusional, suatu kerajaan konstitusional atau absolut, atau suatu diktator; sifat mekanisme pelaksanaan skenario ekonomi masyarakat; dan ketrampilan dan kemampuan manusia.

Sumber ketiga ancaman internal adalah persepsi mengenai kecendenungan (trend) kenyataan dewasa ini dibandingkan terhadap situasi pada awal proses realisasi atau pelakasanaan cita-cita bersama mengenai masa depan yang lebih baik diukur dari sudut keadilan dalam pembagian pendapatan dan tanggungjawab sosial, dari sudut keadilan hukum, dan dari sudut kesejahteraan ekonomi dan sosial. Apabila kenyataan hari ini dipersepsikan jauh di atas kecenderungan ke arah realisasi cita-cita bersama ini, kemungkinan timbulnya ancaman-ancaman akan lebih kecil daripada apabila kenyataan-kenyataan hari ini dinilai jauh kurang daripada yang seharusnya. Dalam hubungan ini kita perlu pula mencatat bahwa masyarakat negara-negara tertentu di Eropa bertendensi melakukan redefinisi garis awal proses ini dengan merubah cita-cita bersamanya sebagaimana terkandung dalam undang-undang dasar mereka.
Ancaman Eksternal Mengenai ancaman-ancaman eksternal terhadap keamanan nasional suatu negara, kita temukan sekurang-kurangnya dua sumber. Yang pertama adalah kestabilan keamanan nasional negara-negara tetangga.
Apabila ancaman-ancaman intemal terhadap keamanan nasional tetangga suatu negara tidak dapat ditanggulangi dengan berhasil, ancaman-ancaman tersebut akan menimbulkan ancaman-ancaman eksternal terhadap negara tersebut. Kedua, pertanyaannya adalah apakah tetangganya mengalami ancaman-ancaman intemal terhadap keamanannya sebagaimana dibahas di muka tadi yang disebabkan karena adanya ketidakseimbangan antara sumber daya alam dan sumber daya manusianya. Apabila ancaman-ancaman tersebut ada dan tidak berhasil diselesaikan, maka ancaman-ancaman internal terhadap keamanan tetangga suatu negara dapat menjadi ancaman eksternal terhadap keamanannya sendiri. Karena itu, sumber kedua ancaman eksternal terhadap suatu negara adalah ketidakstabilan tetangganya yang disebabkan oleh kendala-kendala terhadap sumber daya manusia dan sumber daya alamnya. Ada kemungkinan, misalnya, bahwa suatu negara tanpa sumber daya alam yang berarti dan yang sumber daya manusianya telah jenuh (saturated), mengalami kesukaran-kesukaran dalam pembangunan ekonomi nasionalnya yang dapat berkembang menjadi suatu sumber ancaman eksternal terhadap keamanan tetangganya. Contoh lain adalah suatu negara dengan sumber daya manusia yang sangat maju dan canggih tetapi dengan sumber daya alam yang sangat marjinal dan yang karena itu memiliki ratio laju pertumbuhan ekonomi terhadap laju pertumbuhan penduduk hanya sedikit di atas satu. Apabila bersamaan dengan itu, laju pertumbuhan penduduk nol atau negatif, maka negara ini akan memiliki masalah tambahan berupa penduduk yang semakin menua, yang bebannya akan semakin harus ditanggung oleh penduduk berusia muda yang proporsinya semakin kecil. Karena tingkat kesejahteraan ekonomi telah cukup tinggi, negara ini akan memiliki biaya ekonomi yang sangat tinggi dengan dampak negatif pada kemampuan daya saingnya.
Contoh ketiga adalah suatu negara yang telah maju dengan sumber daya manusia yang bersifat campuran (mixed) tetapi yang sumber daya alam kurang lebih habis terpakai.
Kendala-kendala terhadap pembangunan ekonomi yang disebabkan oleh ketidakseimbangan ini juga merupakan suatu ancaman eksternal terhadap keamanan tetangganya. Jelas kiranya bahwa dalam pandangan kami, ancaman-ancaman internal terhadap suatu keamanan suatu negara yang tidak teratasi merupakan sumber utama ancaman-ancaman eksternal terhadap keamanan tetangganya, khususnya tetangga-tetangga dekatnya.
Apabila ancaman-ancaman ini dibiarkan berakumulasi dan bereskalasi menjadi konflik, maka mereka akan menjadi ancaman-ancaman eksternal terhadap keamanan negara lain, khususnya tetangga dekatnya. Saya juga membedakan antara ancaman internal yang timbul dari dalam masyarakat itu sendiri dan ancaman eksternal yang berasal dari luar masyarakat.
Dan saya sudah mengenali sumbernya masing-masing. Tiga sumber ancaman internasional yang telah teridentifikasi yaitu:
  1. tidak adanya peningkatan kesejahteraan yang berkesinambungan;
  2. adanya persepsi ketidak-adilan dalam distribusi kekayaan nasional yang telah terakumulasikan;
  3. adanya pendapat umum yang tersebar luas bahwa tidak ada kemajuan dalam mewujudkan pandangan bersama tentang masa depan yang lebih baik.
Ada dua sumber ancaman eksternal terhadap keamanan nasional suatu negara ialah:
1. Ketidak-stabilan keamanan nasional negara tetangga yang tidak terpecahkan terus menerus disebabkan tiga alasan tersebut di atas baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama; 2. Upaya negara tetangga untuk mengeluarkan pertumbuhan ekonomi perkapita yang secara marjinal negatif atau positif yang disebabkan oleh ketidak-seimbangan dalam sumber-sumber alam atau sumber daya manusia (SDM), dengan melakukan tekanan atau menampilkan ancaman pada negara lain. Ada tiga contoh ialah:
  1. Suatu negara yang tidak memiliki sumber daya alam dan SDM-nya jenuh dan dikarenakan ini negara tersebut memiliki kesulitan dalam pembangunan ekonominya lebih jauh;
  2. Suatu negara dengan SDM yang maju dan canggih tapi memiliki sumber daya alam yang sangat marginal dan dikarenakan ini negara tersebut memiliki rasio tingkat pertumbuhan ekonomi dan penduduk sedikit di atas satu. Sebab lainnya adalah tingkat pertumbuhan penduduknya adalah nol atau negatif maka negara ini mempunyai problem tambahan berupa keharusan membawa penduduknya yang berusia tua sebagai beban yang terus-menerus harus dipikul oleh meningkatnya proporsi orang-orang berusia muda yang lebih kecil di antara penduduknya. Karena tingkat kesejahteraan ekonominya yang sudah tinggi negara ini akan memiliki ekonomi biaya yang sangat tinggi dengan hasil yang negatif pada kemampuan bersaingnya;
  3. Suatu negara yang sudah maju dengan SDM yang canggih tapi SDA-nya sudah kurang-lebih menyusut.
Menurut observasi saya dua jenis tanggapan terhadap ancaman eksternal adalah mungkin:
1. Konflik militer atau konflik ekonomi;
2. Kompromi atau konsensus untuk memelihara status quo baik di bidang militer atau ekonomi.
Konflik pada giliran selanutnya akan dapat menjurus pada respons balik lebih jauh yaitu konfrontasi atau kerjasama. Dalam kompromi militer atau perang dingin, ancaman dicegah dari eskalasi perang atau konflik militer melalui konsensus untuk menjaga paritas (permusuhan) militer tanpa suatu peperangan. Dalam konpromi ekonomi, ancaman dicegah dari menjurusnya konflik terbuka dengan cara memelihara keseimbangan kekuatan antara kekutan-kekuatan ekonomi.
Respons balik terhadap kompromi ini juga ada dua, konfrontasi atau kerjasama. Dengan kata lain, dalam pandangan saya, baik konflik maupun kompromi keduanya dapat menjurus pada konfrontasi militer atau ekonomi atau kerjasama militer atau ekonomi. Apa yang dapat dilakukan negara-negara tetangga ini untuk menghadapi ancaman-ancaman eksternal ini? Pada dasarnya, terdapat dua macam reaksi yang mungkin dilakukan. Yang pertama adalah konflik, berupa konflik militer dan/atau ekonomi.
Reaksi kedua yang mungkin terjadi adalah konsensus, juga militer atau ekonomi. Konflik militer atau ekonomi dapat mengakibatkan reaksi-reaksi lain yang lebih lanjut. Konflik dapat menimbulkan konfrontasi, baik konfrontasi militer atau konfrontasi ekonomi. Atau mereka dapat justru menimbulkan kerjasama, juga militer atau ekonomi.
Konflik dan Konfrontasi Lazimnya konflik militer menimbulkan perang atau konfrontasi militer lainnya. Reaksi ini menimbulkan beban-beban yang berat, tidak hanya berupa kehilangan sumber daya manusia dan sumber daya alam dalam perang, tetapi juga beban berupa biaya pengembangan dan penggunaan senjata dan sistem-sistem senjata yang diperlukan dalam operasi-operasi militer.
Konfrontasi militer juga telah mengakibatkan pengembangan teknologi-teknologi maju dalam arti yang telah kami gunakan sebelumnya, yaitu teknologi-teknologi untuk suatu tujuan yang sangat terbatas, yaitu teknologi-teknologi untuk pengembangan senjata, sistem-sistem senjata dan prasarananya untuk memenangkan perang di darat, udara serta di atas dan di bawah permukaan laut. Karena tujuannya yang sangat terbatas, peralatan perang secara ekonomis sangat mahal.
Pertama dan terutama, peralatan perang memiliki "pasar" yang sangat terbatas: pasarnya terbatas pada anggaran militer negara yang bersangkutan sendiri dan anggaran-anggaran militer sekutunya serta lain negara yang tidak dipandang sebagai suatu ancaman oleh negara produsen senjata tersebut. Karena itu, skala ekonomi industri-industri yang terlibat dalam pengembangan dan produksi senjata dan sistem-sistem senjata, lazimnya kecil dan biaya satuan produk-produknya, lazimnya tinggi. Lagi pula sistem-sistem senjata tidak memiliki manfaat ekonomi karena maksud utamanya adalah penghancuran.
Bahkan jika mereka dapat dikembangkan lebih lanjut untuk penggunaan non-militer, penggunaan ini akan terpaksa dibebani biaya pengembangan awal yang tinggi dari tujuan-tujuan militernya semula. Karena itu teknologi-teknologi maju yang dikembangkan untuk tujuan-tujuan militer sangat mahal, tidak hanya karena mereka kecil skala ekonominya dan tidak bermanfaat ekonomi secara langsung, tetapi juga karena sumber daya yang diperlukan untuk pengembangan dan penggunaan alat-alat perang merupakan beban terhadap produktivitas dan efisiensi ekonomi negara. Dengan demikian, konfrontasi militer menciptakan atau memperparah defisit neraca pembayaran dan neraca berjalan, menguras cadangan devisa dan menimbulkan stagnasi dan keruntuhan ekonomi. Karena alasan-alasan itulah maka konfrontasi militer sebagai suatu reaksi lebih lanjut terhadap konflik yang disebabkan oleh ancaman-ancaman eksternal. harus dihindarkan. Sebagaimana halnya dalam "konfrontasi perang atau militer", di sini pun pihak-pihak yang bertikai didorong untuk mengembangkan teknologi-teknologi maju berorientasi pada senjata, sistem-sistem senjata dan prasarana militer untuk mempertahankan suatu visi tentang keseimbangan militer pada tingkat yang semakin tinggi sambil mempertahankan status quo. Akibatnya serupa dengan yang terjadi dalam konfrontasi militer. Sumber daya ekonomi dialihkan pada pengembangan teknologi-teknologi maju untuk senjata, sistem-sistem senjata dan prasarana militer yang tidak bermanfaat untuk ekonomi, dan menumbuhkan ekonomi biaya tinggi. Bahkan apabila teknologi-teknologi ini diadaptasi untuk penggunaan non-militer, mereka telah terlanjur berbiaya tinggi karena biaya-biaya pengembangan militer sebelumnya.
Memang benar bahwa dalam rangka perluasan pasar, peningkatan skala ekonomi dan penurunan biaya satuan, selalu diupayakan dilakukannya adaptasi teknologi-teknologi maju militer menjadi teknologi-teknologi non-militer tinggi dalam waktu sesingkat mungkin. Tetapi sebagaimana halnya dalam kasus perang, juga dalam kompromi militer, hal ini dibatasi oleh biaya pengembangan awal dan luas pasar yang terbatas oleh sumber daya yang tersedia bagi sekutu dalam Perang Dingin. Kesemuanya ini menimbulkan beban berat pada ekonomi negara yang dapat menjurus pada stagnasi dan keruntuhan ekonomi. Inilah yang terjadi pada Uni Soviet dan sekutu-sekutunya dalam Perang Dingin. Oleh karena itu, konsensus militer semacam ini bukan merupakan suatu reaksi yang baik terhadap konflik dan perlu dihindarkan. Konfrontasi militer sebagai respons balik terhadap konflik menyebakan beban yang berat tidak hanya berupa hilangnya sumber daya manusia dan sumber daya alam dalam peperangan tapi juga dalam bentuk biaya untuk pengembangan dan penggunaan senjata dan sistem senjata yang diperlukan dalam pelaksanaa operasi militer. Memang benar bahwa konfrontasi militer dapat menggerakkan pembangunan teknologi maju - menurut terminologi yang saya gunakan di sini. Namun senjata dan sistem senjata adalah sangat mahal dan juga tidak memiliki keuntungan ekonomis karena tujuan utamanya adalah pengrusakan atau penghancuran. Lagi pula, diversi (beragamnya) penggunaan yang tidak ekonomis terhadap sumber-sumber daya merupakan beban terhadap efisiensi dan produktivitas ekonomis suatu negara. Konfrontasi militer menciptakan atau memperbesar defisit dalam neraca pembayaran maupun dalam defisit transaksi berjalan, berkurangnya cadangan devisa luar negeri dan dapat menjurus pada stagnasi dan kebangkrutan ekonomi; karena alasan ini konfrontasi militer sebagai respons lebih jauh terhadap konflik yang disebabkan oleh ancaman eksternal harus dihindarkan. Jenis kedua konflik yang disebabkan oleh ancaman-ancaman eksternal terhadap keamanan adalah konflik ekonomi.
Di sinipun, reaksi lebih lanjut dapat berupa konfrontasi, Dalam hal ini, konfrontasi ekonomi dapat mendorong negara-negara tertentu menutup pasarnya bagi produk-produk negara-negara lain. Sebagaimana halnya di dalam perang, juga dalam konfrontasi ekonomi, negara akan mengorbankan produktivitas dan efisiensi ekonominya dengan membatasi skala ekonomi industrinya.
Sebagaimana halnya di dalam konfrontasi militer, konfrontasi ekonomi juga memerlukan pengembangan teknologi-teknologi tinggi. Namun berbeda dari konfrontasi militer, militer atau konfrontasi militer, pengembangan teknologi-teknologi tinggi dalam konfrontasi ekonomi memiliki manfaat ekonomi dan sosial yang lebih tinggi dan karena itu skala ekonominya lebih besar dengan biaya yang relatif lebih rendah. Lazimnya, konfrontasi ekonomi menimbulkan produktivitas dan efisiensi yang tinggi. Namun karena konfrontasi, pengembangan teknologi-teknologi tinggi juga dapat menimbulkan biaya ekonomi tinggi. Dan dalam jangka panjang, konfrontasi ekonomi akan menimbulkan biaya tinggi dalam ekonomi pihak-pihak yang bertikai. Karena itu, konfrontasi ekonomi bukan merupakan reaksi yang paling optimal terhadap konflik.
Konflik dan Kerjasama Reaksi yang sama sekali lain terhadap konflik adalah konsensus atau kompromi. Sebagaimana kompromi militer, dalam kompromi ekonomi pun bisa ada respons balik konfrontasi. Dalam skenario konfrontasi di bawah kompromi militer pihak-pihak yang bermusuhan juga didorong untuk mengembangkan teknologi maju yang berorientasi pada senjata, sistem senjata dan infrastruktur militer untuk memelihara persepsi keseimbangan militer pada tingkat yang selalu lebih tinggi. Akibat respons ini adalah serupa dengan akibat konfrontasi militer.
Dalam skenario konfrontasi di dalam kompromi ekonomi yaitu upaya untuk memelihara keseimbangan kekuatan antara kekuatan-kekuatan ekonomi, kedua pihak yang bertikai akan menolak untuk memperluas pasar jika hal ini diperkirakan akan dapat meningkatkan kekuatan ekonomi pihak lainnya. Dan karena itu tidak menyeimbangkan status quo. Lagi, respons balik yang lebih baik adalah kerjasama ekonomi. Di sinipun terdapat dua versi, kompromi militer atau kompromi ekonomi. Dalam "kompromi militer", situasinya adalah konflik menuju perang, tetapi perang atau konfrontasi militer dihindari oleh konsensus untuk mempertahankan status quo tanpa suatu perang. Hingga akhir-akhir ini, contoh terbaik kompromi militer ada!ah Perang Dingin.
Contoh-contoh masa kini dalam kawasan kita adalah konflik di Semenanjung Korea dan yang terjadi antara Republik Rakyat Cina dan Cina Taipei. Konsensus ekonomi adalah upaya mempertahankan status quo, yaitu keseimbangan kekuatan antara adidaya ekonomi. Dalam reaksi terhadap konflik semacam ini, pihak-pihak yang bertikai menolak memperluas pasar dalam rangka kerjasama apabila hal ini dipandang akan meningkatkan kekuatan ekonomi pihak lawan sehingga mengganggu status quo. Karena itu, alternatif ini dibatasi oleh kesukaran-kesukaran yang disebabkan oleh kendala-kendala yang terlihat dan tidak terlihat yang sukar diatasi. Meskipun demikian, dalam kompromi/konsensus ekonomi pun dapat diperoleh kemajuan, yaitu dengan pelaksanaan evolusi yang dipercepat yang dapat dikendalikan dan berisiko rendah. Hal ini menyangkut pelaksanaan cepat suatu proses akselerasi langkah-demi-langkah yang memperhitungkan sifat ekonomi dan teknologi proses yang bersangkutan, yang tekendali dan berisiko rendah. Reaksi lain terhadap konflik adalah kerjasama: ekonomi atau militer. Benar bahwa dewasa ini orang lebih mudah membayangkan dan memberikan contoh mengenai kerjasama ekonomi daripada kerjasama militer karena reaksi yang lebih lazim terhadap ancaman militer dan konflik militer adalah konfrontasi militer. Namun, sebelum runtuhnya Uni Soviet dan Blok Soviet, terdapat kerjasama militer pada skala global antara sekutu masing-masing pihak dalam Perang Dingin. Dewasa ini, dengan berakhirnya perang dingin, tidak ada kerjasama militer pada skala global dengan tingkat kemapanan pengaturan-pengaturan keamanan di kedua belah pihak seperti yang terdapat terdahulu. Sebaliknya, dapat diberikan contoh-contoh kerjasama militer pada skala yang lebih terbatas. Juga menarik untuk dicatat bahwa Perang Dingin terselesaikan bukan karena berhasilnya pihak tertentu mengalahkan lawannya tetapi karena keruntuhan ekonomi Uni Soviet dengan akibat disintegrasi sistem interdependensi ekonomi antara Uni Soviet dan sekutunya dalam Perang Dingin.

Thursday, August 19, 2010

Islam dan Pengentasan Kemiskinan


Islam dan Pengentasan Kemiskinan

Disampaikan dalam Silaknas ICMI, di Surabaya pada Desember 1996.
 
Pada waktu Orde Baru memulai dengan Repelita, bangsa Indonesia hanya memiliki volume perdagangan sebanyak US$ 1,6 milyar. Dan dari US$ 1,6 itu sekitar 5% boleh dikatakan hasil dari selisih ekspor dan impor, berarti neraca dari perdagangan kita adalah positif. Dua puluh lima tahun kemudian, bangsa Indonesia bekerja keras, bangsa Indonesia sudah bi-sa menghasilkan volume perdagangan lebih dari 44 kali, yakni lebih dari US$ 70 milyar, sedangkan neraca perdagangan itu positif, kurang lebih 8% dari seluruh volume perdagangan bangsa.

Pemerataan dengan segala kekurangannya itu telah tercermin pada kenyataan, bahwa jikalau pada awal pembangunan hanya 35% saja yang bisa hidup di atas garis kemiskinan, maka setelah 25 tahun, 85% dari rakyat Indonesia hidup di atas garis kemiskinan. Dan, jikalau 85% itu benar-benar merata, dan 85% itu adalah umat Islam 85% dari 90% umat Islam maka jangan heran jikalau sekitar 72% lebih dari umat Islam Indonesia itu adalah yang bernafaskan Al Quran dan Sunnah yang hidupnya di atas garis kemiskinan dan menonjol dalam tingkat menengah dan menuju kepada pimpinan.


Itu adalah suatu pembangunan yang berorientasi kepada sumberdaya manusia yang kita kehendaki. Kenapa pembangunan pada awal dengan US$ 1,6 milyar volume perdagangan itu, 80% adalah kontribusi dari sumber daya manusia, sedangkan hanya 20% dari sumber daya yang lain. Sebaliknya, sekarang 80% datang dari sumber daya manusia dan hanya 20% datang dari sumber daya alam. Itu berarti telah terjadi suatu transformasi di dalam skenario pembangunan bangsa yang tadinya mengandalkan sumber daya alam, sekarang yang diandalkan adalah sumber daya manusia.

Oleh karena itulah, maka ICMI mempunyai program tunggal ialah 5K, 5K itu kaitannya hanya dengan sumber daya manusia. Karena hanya dengan kualitas iman dan taqwanya, kualitas pikirnya, kualitas kerjanya, kualitas karyanya, dan kualitas hidupnya sumber daya manusia bisa dikaitkan dengan pembangunan, dan bukan tanaman atau robot. Oleh karena itu, ICMI hanya mengenal satu program yaitu program utama 5K.


Mengenai demokrasi, saya minta jangan disalahartikan, bahwa saya datang mengambil tugas orang lain untuk menjelaskan. Telah saya jelaskan karena saya diminta dengan hormat oleh Presiden dari suatu bangsa yang terhormat. Saya jelaskan mengenai politik, saya sampaikan bahwa bangsa Indonesia sudah berumur 51.


Dalam 51 tahun umur bangsa Indonesia, kita masih tetap berada pada Presiden RI yang kedua, mencerminkan sekaligus kenapa 21 tahun pertama dari pada usia bangsa Indonesia merdeka itu, bangsa Indonesia telah memiliki dan sampai pada hari ini konsisten pada dasar negara Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Dalam 21 tahun pertama, mencari penerapannya yang paling intens untuk dijadikan dasar dari kehidupan dan pembangunan bangsa Indonesia yang berorientasi kepada kepentingan manusia Indonesia. Karena bangsa kita pada periode awal belum berpengalaman.

Dalam 21 tahun pertama, ternyata parta-partai di bumi Indonesia ha-nya bisa bertahan rata-rata 10 bulan saja. Siapa yang bisa merencanakan dan mengimplementasikan suatu rencana dalam 10 bulan? Tidak ada. Oleh karena itu, dalam 21 tahun pertama itu, dengan ti-dak mampu mengamankan suatu perencanaan yang berkesinambungan apalagi pelaksanaannya yang berkesinambungan, maka pertumbuhan dari GNP kita lebih kecil daripada pertumbuhan penduduk kita. Karena penduduk kita pertumbuhannya lebih cepat, maka akibat dari itu bangsa Indonesia belum dapat menikmati proses kesejahteraan yang dialami adalah proses kemelaratan. Sejarah mencatat kenyataan itu bukan karangan dari Bacharuddin Jusuf Habibie, Ketua Umum ICMI, ataupun Menristek, itu fakta.


Oleh karena itu, bangsa kita dalam 21 tahun yang pertama, hanya mam-pu melaksanakan satu kali saja Pemilu. Saudara bisa bayangkan bagaimana dengan hanya melaksanakan satu ka-li Pemilihan Umum kita hendak melaksanakan Demokrasi Pancasila yang memang kita kehendaki sesuai dengan budaya bangsa kita. Sungguh sulit.


Sekarang, dalam waktu 29 tahun dari Orde Baru atau ham-pir 30 ta-hun Orde Baru apa yang terjadi? Kita telah melaksanakan Pemilihan Umum sebanyak 5 kali. Kita melaksanakan pembangunan 5 tahun yang berkesinambungan, sudah lima kali, kini dalam proses keenam kali, bahkan sudah mampu menetapkan bersama-sama Garis Garis Besar Haluan Negara untuk 25 tahun yang akan datang sampai tahun 2019. Bukan itu saja, tidak lama kita sudah bisa menjadikan Pe-milihan Umum suatu mekanisme dari Demokrasi Pancasila yang dijadikan bagian terpadu dari budaya bangsa Indonesia.

Namun yang penting kita harus belajar, demikian penjelasan saya kepada Presiden Chirac. Yang penting bukan saja mekanisme demokrasi, melainkan adalah pelaku dalam demokrasi itu sendiri. Dan justru di sinilah pembangunan di Indonesia, menghasilkan manusia-manusia lebih banyak yang berkualitas tinggi, kehidupan di atas garis kemiskinan. Bahkan, sesuai dengan data-data yang masuk, sudah lebih dari 100 juta manusia Indonesia dapat digolongkan hidup dalam tingkat menengah.

Tingkat menengah adalah tulang punggung dari demokrasi. Dan kita mencatat, bahwa pertumbuhan dari GNP dan pertumbuhan penduduk itu bukan satu atau kurang dari satu, tetapi 4-5, itu berarti bangsa Indonesia benar-benar telah mampu melaksanakan proses kesejahteraan. Oleh karena itu, dengan adanya ma-nusia Indonesia yang telah melampaui critical mass, dalam arti jumlah manusia Indonesia yang telah mendapatkan pendidikan yang wajar dan telah mampu mendapatkan informasi yang tepat dan berkualitas tinggi, maka Demokrasi Pancasila berjalan sesuai dengan cita-cita yang telah ditetapkan ber-sama atau dijadikan dasar dari kehidupan bangsa Indonesia melalui konstitusi bangsa kita sendiri.

Kesimpulannya ialah tidak ada alasan bagi kita untuk prihatin mengenai kesinambungan kehidupan politik di bumi Indonesia dan tidak ada alas-an untuk menjadi pesimis. Tidak ada alasan pesimis terhadap (Post Soeharto). Atau dalam bahasa Indonesia, pasca Soeharto dan abad yang akan datang, karena tidak ada manusia yang hidup kekal. Yang hidup adalah cita-cita, pemikiran, filsafat, strategi dan pemikiran manusia itu ribuan tahun. Manusia-manusia yang memiliki cita-cita dan memikirkan yang hidup seperti demikianlah dan di dalamnya adalah mandataris MPR, Bapak Presiden Republik Indonesia, bersama-sama dengan seluruh rakyat telah mampu melaksanakan kenyataan-kenyataan yang saya sebutkan tadi. Jika benar-benar bangsa kita cinta tanah air dan bertekad bulat untuk terus melaksanakan pembangunan tidak ada alasan untuk meragukan kesinambungan dari pembangunan kehidupan politik, stabilitas politik maupun ekonomi di bumi Indonesia dan tidak ada alasan untuk memikirkan atau memprihatinkan bagaimana jikalau mandataris MPR atau Generasi ’45 itu tidak ada lagi di kalangan bangsa Indonesia.

Karena yang abadi dari Generasi ’45 bukan tubuhnya, bukan keberadaannya, tetapi jiwanya yang selalu mekar dan hidup dari genarasi ke genarasi penerus; dan Bapak Presiden Soeharto adalah salah satu tokoh dan pada waktu itu tokoh di ujung tombak berpegang tangan mewakili Generasi ’45 yang telah melaksanakan suatu karya nyata menjadikan Indonesia yang seperti kita alami sekarang ini. Bangsa Indonesia siap untuk memasuki abad akan datang sesuai dengan jadualnya dan sesuai dengan kekuatan yang dipersiapkan oleh bangsa itu sendiri. Ini saya jelaskan kepada Presiden Chirac.

Lalu beliau bertanya bagaimana mengenai Islam, beliau mengatakan: "Saya menaruh banyak perhatian kepada umat Islam, mengapa? Karena umat Islam di Perancis cukup besar jumlahnya dan Perancis sendiri erat kaitannya dengan negara-negara di Timur-Tengah dan Afrika dan mereka sebagian besar adalah negara Islam". Beliau sangat peduli terhadap keadaan nasib dan wawasan dari umat Islam. Saya sampaikan, bahwa kami menyadari 25% dari umat manusia seluruh dunia adalah umat Islam dan 25% itu bisa menghasilkan kurang 5% dari GNP dari umat manusia. Kalau kita mau proporsionalkan, maka umat Islam yang 25% jumlahnya dari umat manusia seharusnya memberikan kontribusi sebanyak 25% dari GNP dunia.


Oleh karena itu, ICMI harus berorientasi kepada pengembangan sumber daya manusia, harus berorientasi kepada pelaksanaan program tunggal dari ICMI, 5K, harus mengembangkan prasarana dari pengembangan sumber daya manusia, prasarana dari ilmu pengetahuan dan teknologi dan umat Islam harus bersatu dan sama-sama hidup sejajar, bertanggung jawab, sayang-menyayangi dan tidak mengenal pula SARA dan bekerja secara efisien untuk bisa menghasilkan karya-karya nyata yang bisa dinikmati oleh umat manusia pada umumnya, khususnya umat Islam yang ternyata prihatin dibandingkan dengan umat yang lain itu karena kehidupan GNP per kapitanya jauh lebih rendah.


Mengenai ICMI, mengenai program tunggal ICMI, bahwa ICMI ha-nya punya satu program adalah 5K dan itu diperuntukkan untuk memerangi kemiskinan dan ketidakpedulian. Atau ICMI telah menyatakan perang dan akan berperang melawan kemiskinan dan ketidak pedulian terhadap umat. Bahwa ICMI telah mengambil prakarsa bersama ikatan cendekiawan dari umat-umat yang lain untuk menandatangani suatu pernyataan cendekiawan Indonesia yang mutiara-mutiara pemikirannya seperti disampaikan tadi, tersirat di dalamnya secara eksplisit dan implisit. Dan itu memperlihatkan, bahwa bangsa Indonesia yang berbudaya Pancasila benar-benar tidak mengenal SARA dalam bentuk apapun juga. Dan kalau diperhatikan lebih dalam memang umat Islam yang nafasnya al-Qur’an dan Sunnah, tidak mengenal SARA dalam bentuk apapun juga. Ini saya sampaikan kepada Presiden Chirac.

Kita berhasil pula bersama umat Islam yang lain mendirikan suatu "International Islamic Forum for Science Technology and Human Resources Development" dan saya jelaskan, bahwa sasarannya tiada lain adalah pengembangan sumber daya manusia untuk memberikan darma bakti kepada terjadinya peningkatan kesejahteraan di antara umat yang hidup da-lam perdamaian dan kesejahteraan di dunia ini.


Sekarang saya minta perhatian terhadap beberapa isu. Pertama-tama, kita sebentar lagi menghadapi Pemilihan Umum dan SU-MPR, kita sebagai organisasi Cendekiawan Muslim se-Indonesia dan juga menjadi anggota organisasi-organisasi yang lain, baik yang politik maupun tidak politik yang ikut mendirikan ICMI dan memanfaatkan ICMI sebagai katalisator untuk lebih meningkatkan produktivitas dan efisiensi organisasi, hen-dak-lah kita berkarya di bumi Indonesia ini, apakah itu organisasi Islam Muhammadiyah, ula-ma ataupun yang lain seperti pesantren atau LSM di mana pun Anda berada, ICMI tempatnya di mana kita datang bersama bertukar pikiran untuk me-ning-katkan keterampilan kita dan menghindari ada-nya distorsi dari informasi yang mengakibatkan mengadu domba antara kita satu sama lain dan kita meningkat terus efisiensi dan produktivitas kita bekerja dan berkarya.

ICMI adalah tempatnya kita ber-ada bersama untuk tukar pikiran dan bersama-sama meningkatkan kualitas dari sumber daya manusia itu sesuai de-ngan program 5K. Oleh karena itu, melalui jaringan ICMI Orwil-Orsat dan organisasi-organisasi yang lain, kita harus bersama-sama mensukseskan pemilihan umum dan Sidang Umum MPR. Kita harus mendukung langkah-langkah.


Di dalam penjelasan saya kepada Presiden Perancis, saya telah berusaha menjelaskan bahwa bangsa Indonesia dalam 28 ta-hun terakhir ini sudah berhasil menjadikan mekanisme Demokrasi Pancasila sebagai bagian terpadu daripada budaya bangsa. Dan manusia yang berada di dalam mekanisme itu ternyata sebagian besar adalah umat Islam dan sebagian besar pula adalah tokoh-tokoh dari masyarakat. Tetapi, jangan lupa sebagian besar pula yang masih hidup di bawah garis kemiskinan adalah juga bagian dari umat Islam. Oleh karena itu, kita sebagai ICMI tidak bisa melakukan pengkhianatan, kita jangan lupa asal kita dari mana? Dari bawah. Dari bawah naik ke atas, itu prosesnya. Bukan dari atas turun ke bawah, malah turun dan jadi negatif.

 
Jadi kita tidak lupa, bahwa 90% rakyat adalah umat Islam, maka tokoh-tokohnya sebagian besar umat Islam. Tetapi yang dhuafa yang membutuhkan bantuan juga adalah sebagian besar umat Islam. Dan justru merekalah yang harus kita perhatikan, supaya mereka dapat hidup dan menikmati kehidupan di atas garis kemiskinan. Bukan itu saja, tetapi umat Islam harus bisa memasuki masyarakat tingkat menengah sebanyak mungkin. Karena sasaran kita adalah 95% dari rakyat, insya Allah suatu hari nanti termasuk golongan tingkat menengah.


Oleh karena umat Islam itu sebagian besar adalah pribumi, maka jangan heran kalau yang hidup di bawah garis kemiskinan itu justru adalah pribumi dan adalah umat Islam itu sendiri. Bilamana kita melaksanakan perjuangan, lebih banyak lagi memperhatikan yang lemah dan membutuhkan perhatian khusus, jangan dianggap sikap itu sikap salah. Sikap itu adalah sikap demokrasi. Oleh karena itu, kalau saya mengatakan bah-wa program ICMI bukan saja mem-per-siap-kan kader untuk pimpinan tetapi juga mengambil peran secara luas untuk ikut meningkatkan kualitas hidup seluruh bangsa Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Dan kalau ia sudah ke luar dari garis kemiskinan, maka manusia itu kita tingkatkan agar supaya mereka bisa menganggap dirinya hidup dalam tingkat menengah.


Itu adalah satu-satunya itikad keberadaan kita di dalam organisasi ICMI. Dan oleh karena itu kita sudah menggaris bawahi, sudah membuat komitmen untuk mensukseskan De-mokrasi Pancasila dan Demokrasi Pancasila itu berlandaskan pada adanya Pemilihan Umum dan Sidang Umum MPR.


Pemikiran Dasar Seorang Kader
 
Persiapan-persiapan yang dilaksanakan bertujuan agar kita berkualitas lebih tinggi. Sekarang ini kita sebagai kader, kader untuk pimpinan bangsa ini, pimpinan yang tertinggi, pimpinan yang tinggi, pimpinan yang paling menengah atas, paling menengah bawah, pimpinan di mana pun, sampai golongan dhuafa juga memerlukan kita. Dalam hal itu kita munculkan kader ICMI, kaderisasi harus dilaksanakan di masjid-masjid, bukan kaderisasi untuk satu partai atau satu golongan. Tetapi, apakah nanti ia lebih suka memilih partai apa saja atau-pun tidak berpartisipasi atau hanya mau ja-di profesor, tetapi sikapnya tetap sama saja.

Kita persiapkan ini karena kita melaksanakan program 5K. Catatan saya mengenai pemikiran dasar untuk sikap kader dari ICMI. Saya sebutkan dasar pemikiran un-tuk sikap kader, adalah sebagai berikut:

Pertama, pentingkanlah berdialog dan bukan monolog.

Kedua, perhatikan pimpinan kolektif dan bukan pimpinan kelompok atau pimpinan perorangan.

Ketiga, tanggung jawab kolektif dan bukan tanggung jawab kelompok atau perorangan.

Keempat, jangan lupa mu-syawarah dan mufakat dan bukan konflik, atau pertentangan yang dibuat-buat dan hasilnya pun harus melalui pemungutan suara, tetapi harus musyawarah dan mufakat.

Kelima, pemerataan yang kita pentingkan dan bukan monopoli.

Keenam, kerjasama yang kita utamakan dan bukan konfrontasi.

Ketujuh, saling ketergantungan dan saling mengisi dan bukan dalam hal ini individualistik.

Kedelapan, keadilan yang berdasarkan satu tolok ukur yang sama dan bukan keadilan berdasarkan tolok ukur yang ganda.

Kita merasakan memperjuangkan keadilan, tetapi untuk bertindak adil kadang-kadang kita lupa tolok ukurnya. Kadang-kadang sudah biasa bertolok ukur yang tidak konsisten. Di sinilah kita bekerja saling meng-un-tungkan dan bukan diskriminasi dan eksploitasi satu sama lain, ini yang kesembilan, Dan kesepuluh, demokrasi yang kita perjuangkan ada-lah demorkasi Pancasila dan bukan demokrasi liberal komunisme atau demokrasi ala budaya orang Barat.