Wednesday, April 28, 2010

Iptek Berwawasan Moral

Iptek Berwawasan Moral
Disampaikan dalam Seminar Nasional Iptek Berwawasan Moral
yang diselenggarakan oleh IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 6 Agustus 1996
Ketika saya sedang berlibur di Eropa pada bulan Juli 1996 lalu, saya mendapat telepon dari kawan lama, Prof. Dr. Ir. Erbakan. Ia kebetulan baru beberapa bulan menjadi Perdana Menteri Turki. Saya sudah mengenalnya, sejak 40 tahun yang lalu, ketika sama-sama masih muda dan beliau adalah pimpinan dari Partai Kesejahteran. Ia memiliki Imtaq kuat sekali, dengan menggunakan tolok ukur Al Quran dan Sunnah. Ia lebih tua dari saya. Ia berumur tujuh puluh tahun dan saya enam puluh tahun. Saya memang berhubungan dengannya secara teratur. Saya mengenal ia di Aachen, ketika meng-ambil S-1, S-2 dan S-3 di Aachen dalam bidang mesin, dan guru besar dalam Institut Teknologi Istambul di Turki. Ia juga asisten dari Prof. Smith.
Ketika masih muda, saya bersama-sama dengan beliau. Saya bukan ahli agama, tetapi dididik beragama. Saya produsen dalam bi-dang konstruksi pesawat terbang, tetapi konsumen dalam bi-dang agama yang menunjukkan tolok-tolok ukur yang di-bu-tuh-kan untuk moral.
Waktu muda itu, silit sekali kami harus shalat. Aachen daerah yang seratus persen Katolik. Di Aachen tidak ada masjid. Saya dan teman-teman termasuk dengan Erbakan, susah sekali mencari tempat shalat berjamaah. Akibatnya kami berusaha mendapatkan ruangan untuk shalat. Dalam memperjuangkannya, beliau dengan saya dan beberapa kawan, mendirikan organisasi mahasiswa internasional  Islam di Jerman. Saya termasuk salah satu pendirinya. Tetapi bukan untuk politik hanya mau melanjut-kan agar supaya Imtaq bagi anggotanya tetap kuat. Di situ saya selalu terkenang dengan Erbakan.
Ketika Erbakan menelpon, beliau menyatakan bahwa ia telah menjadi Perdana Menteri sekarang dan meminta saya untuk da-tang. Tetapi saya tidak bisa, karena saya sedang cuti. "Mampir sajalah," katanya. Beliau mau bertanya mengenai pembangunan umat Islam dan sebagainya. Ini penting untuk kerjasama bilateral umat Islam. Dan lagi pula katanya, ia ingin sekali datang ke negara Anda (Indonesia -red.) bulan Agustus 1996.
Saya menelepon Erbakan lagi, dan saya katakan saya akan berangkat ke Turki. Saya tiba di Ankara untuk selama 7 jam. Saya diterima oleh seorang menteri, langsung ke tempat Perdana Menteri Erbakan. Beliau  didampingi lengkap beberapa menteri yang pen-ting. Setelah itu, saya bertemu dengan Pangab selama satu jam. Setelah itu bertemu dengan tim menteri-menterinya yang berkaitan dengan pembangunan.
Waktu saya berbicara, saya menjelaskan tentang Imtaq dan Iptek, sebagai dasar dari pembangunan. Begitu juga saya men-je-las-kan tentang banyak hal yang saya kira tidak bisa saya jelaskan satu persatu di sini. Tetapi yang jelas, setelah itu beliau mengambil tanda Partai Kesejahteraan yang hanya beliau seorang yang memakainya. Terus beliau  bilang, ini yang namanya Imtaq. Tetapi beliau tidak bilang Imtaq, beliau hanya bilang iman dan ini na-ma-nya Iptek. Ada juga simbolnya.
Apa yang saya jelaskan di atas, tidak lain untuk menjelaskan bahwa Imtaq dan Iptek itu tidak bisa tidak bergandengan tangan. Dan kaitannya Imtaq dengan etik dan moral sangat dekat. Kita tidak tahu, apa itu moral apa itu etik. Tetapi kalau kita lihat etik kadang-kadang disamakan dengan moral. Tetapi saya melihatnya dari sudut scientific, sedangkan pendekatan terhadap moral didasarkan pada analisis etik, moral adalah aplikasi. Berdasarkan etika, kita melaksanakan kehidupan dengan memanfaatkan tolok-tolok ukur moral yang datanya secara ilmiah melalui analisis dari etika. Tetapi kadang-kadang etika dan moral dipandang sebagai identik.
Oleh karena itu, kehidupan sehari-hari tidak bisa terlepas tanpa moral yang sebenarnya berasal dari analisis etika. Untuk apa tolok-tolok ukur itu kita butuhkan? Untuk proses pembangunan.
Sekarang saya akan bicara sedikit mengenai pembangunan, ke-mudian nanti kita carikan kaitannya dengan moral. Dan moral kaitannya dengan pembangunan, begitu sebaliknya. Kemudian kita bagi pekerjaan. Saya sebagai salah satu seorang pembantu Bapak Presiden, tentunya harus membantu beliau agar seluruh spektrum dari A sampai Z dari kehidupan itu harus bisa dilaksanakan sesuai dengan sasaran dan jadwal, dan juga dengan tolok-tolok ukur yang mencerminkan budaya, dan budaya tidak bisa ter-lepas dari agama. Tolok-tolok ukur itulah yang nanti Anda ha-rus tentukan, karena Anda lebih tahu, bukan saya. Kalau saya menentukan tolok-tolok ukur teknik, misalnya standar ISO 9000, standar-standar bagaimana membuat mesin jet, bagaimana mem-buat gedung yang tinggi, jembatan. Semua itu saya yang menentukan tolok ukurnya. Tetapi, kehidupan bukan hanya itu, itu hanyalah prasarana dari kehidupan. Kehidupan lebih besar dari sekedar itu. Ada bagian terpadu dari kehidupan, bagian ter-pa-du dari budaya. Sedangkan budaya tidak bisa dilepaskan dari agama.
Ada yang pernah bertanya pada saya, mana yang dahulu, budaya atau agama. Mana duluan, budaya atau agama. Kalau dengan definisi budaya, budaya adalah suatu perilaku dari kelompok manusia, kalau ia berkelompok lebih dari satu atau dua orang, ia sudah mulai membudaya. Kalau ia sendiri berarti, individualis. Kalau ia berdua, tidak boleh, tidak ia harus share, berdua bertiga harus share. Di situ hidup budaya. Tetapi kalau kita lihat usia aga-ma samawi berapa tahun, mungkin sudah puluhan ribu tahun. Kita lihat teori dari adanya manusia, kita berbicara bukan puluhan ribu, ratusan atau bahkan jutaan tahun.
Dengan definisi budaya tersebut, konklusinya, budaya itu lebih tua dari agama, kalau kita teliti secara rasional. Tetapi itu tidak benar yang benar adalah agama itu lebih tua dari budaya. Saya selalu memberikan contoh, Anthony Libble (nama seorang ahli) pertama kalinya menemukan mikroba-mikroba, makhluk-makhluk kecil, bakteri dan sebagainya, ia mengenalnya dengan mikroskop. Mulai saat itu, rupanya dikenal ada bakteri, dan se-ba-gainya. Karena data mikroskop menunjukkan begitu. Tetapi, tidak berarti bahwa sejak Anthony Libble baru ada bakteri, sebelumnya sudah ada. Cuma manusia belum menemukannya. Jadi Tuhan, Allah SWT, sudah ada. Cuma manusia belum memiliki "mikroskop", belum mampu untuk menemui-Nya.
Oleh karena itu, kalau kita mengatakan mana yang lebih tua, budaya dengan definisi tadi itu atau agama, mungkin ajaran agamanya, maka budaya lebih tua. Tetapi agama tidak bisa terlepas dari Allah SWT. Oleh karena itu secara tidak langsung, walaupun agama adalah suatu ajaran, kepercayaan, ada yang mengatakan dogmatis, tetapi kita harus percaya itu. Tidak ada agama atau teologi, jikalau tidak ada asumsi tentang adanya Allah. Jadi, Allah itu adalah pokok dari semua ajaran agama tersebut. Jadi, berarti secara tidak langsung agama lebih tua dari budaya, dengan mengaitkannya dengan adanya Allah. Di sinilah timbul perkataan moral.
Maaf saya tidak mau memberi kuliah. Saya hanya mau menjelaskan bagaimana seorang konsumen seperti Habibie yang mem-buat pesawat terbang, satelit, dan sebagainya itu apa tolok yang di-gunakannya terhadap moral. Saya konsumen dan Anda pro-du-sen. Dalam hubungan ini, kita pertama kali menghadapi persoalan moral. Manusia itu satu-satunya secara the first atau tidak the first tahu adanya Allah. Itu bagi saya sebagai konsumen. Oleh karena itu dalam segi pertama kesadaran manusia, bahwa Allah itu ada dan dengan begitu ia sudah bermoral, karena ia harus bermoral secara mutlak. Untuk mempereteli kaitan itu kedudukan manusia tersebut, men-"serve" Allah yang absolut dan tahu eksistensinya. Itu tidak tergantung pada monopoli dalam satu abad. Itu monopoli dari umat manusia. Itu saya rasa juga ada dalam Al Quran, ada ayat yang mengatakan "lakum dinukum waliyadin".
Dalam hal itu saya berkesimpulan secara mutlak atau secara ilmiah, dari etika plus penerapannya pada moral, ialah bagaimana kaitan kedudukan manusia secara absolut yang sadar atau tidak sadar tahu mengenai eksistensi Allah, kaitan itu menunjukkan bah-wa Allah adalah sentral figur yang sebenarnya kita harus "serve" kepada-Nya mutlak total. Itu adalah pertanyaan umum yang harus kita jawab melalui analisis pada etik dan penerapannya pada moral. Oleh karena itu saya ambil kesimpulan sekarang, saya yakin para pakar Islam sudah mempunyai  program tersebut. Saya minta program tersebut harus dirinci, dan Insya Allah saya akan memperjuangkan untuk membiayainya sampai hal manusia ini bisa menjadi pegangan bagi seluruh bangsa Indonesia. Satu, me-ngenai kedudukan dan soal moral yang khusus, dua, ada grup yang memikirkan hal umum yang berlaku untuk budaya manusia In-donesia yang berdasarkan Pancasila. Lima agama besar di dalamnya secara eksplisit mendapat perhatian khusus, ialah Budha, Hindu, Kristen Katolik, Protestan dan Islam.
Tetapi ada moral khusus, bagaimana perilaku individu Indonesia dengan segala kendala yang kelihatan dan tidak kelihatan yang langsung dan tidak langsung, yang juga ditentukan oleh umat Islam, oleh Al Quran dan Sunnah. Bagaimana etika dan mo-ral? Bagaimana konteks "compatibility"-nya dengan yang lain-nya?
Tetapi yang umum itu harus ada kunci yang bisa berinterface dengan yang lain. Saya sudah mengambil suatu konsklusi, bah-wa kita harus membentuk suatu kelompok. Saya berbicara begini tidak sebagai Bacharuddin Jusuf Habibie, tetapi sebagai Menristek, dan Ketua Dewan Riset Nasional. Jadi, adalah wajar jika saya bukan hanya berbicara, tetapi juga memberikan arahan dan kebijaksanaan yang Insya Allah bisa diterima. Saya tidak mau mendalami, saya hanya mengilhami karena Saudara lebih pakar dalam bidang tersebut.
Dalam hal itu, persoalan yang penting untuk diangkat adalah, apa hubungannya dengan pembangunan, dan bagaimana kaitannya dengan pembangunan. Apa hubungannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi? Baiklah, saya akan memberikan pandangan dari kacamata pembangunan.
Dalam melihat proses pembangunan, sebagaimana orang mengatakan, kita mengenal pembangunan material dan spiritual. Tetapi yang sebenarnya adalah pembangunan yang menghasilkan perangkat keras, perangkat lunak, dan perangkat otak. Ketiganya punya nilai meningkat atau bertambah, sebagai akibat dari rentetan proses yang mengakibatkan nilainya, dan yang menentukan ni-lai itu umat manusia. Kalau dalam ekonomi kita mengatakan market oriented economy. Yang market itu yang mana? Market berarti orang yang menentukan, karena ia yang membeli. Jadi, kalau market economy identik dipandang dari kacamata sosial politik, adalah berorientasi kepada kepentingan rakyat. Kalau dilihat dari orientasi budaya dan agama berorientasi kepada market economy harus dipandang dari sudut budaya dan agama ini. tidak lain berorientasi kepada kepentingan masyarakat yang berbudaya dan mau meningkatkan kualitas hidup berdasarkan analisis etika dan tolok-tolok ukur moral yang ditentukan oleh masyarakat itu sendiri.
Moral itu ada yang absolut dan ada yang relatif, ada yang na-manya variant dan invariant. Saya punya fungsi dalam matematika, di mana suatu fungsi ditentukan oleh sistem koordinat dari permasalahan atau benda tersebut yang berada di dalam suatu sistem koordinat dari ruangan tertentu. Kalau ruangan ini tiba-tiba diubah, sistem koordinat diubah dari ruangan satu ke ruangan dua, fungsi-fungsi dalam matematika itu tidak berubah tetap sama, itu namanya invariant. Adakalanya berubah wajahnya. Itu na-manya invariant. Jadi, invariant dan variant tidak identik dengan relatif.
Orang bisa memiliki fungsi invariant atau variant, tetapi relatif tidak sama dengan budaya. Contoh yang invariant tidak berubah dari ruangan apa pun juga, ialah misalnya dalam kehidupan sehari-hari manusia termasuk ia orang Jerman, Afrika, Amerika, Indonesia, dan sebagainya membutuhkan, katakanlah 1.000 atau 2.000 kalori. Itu sistem biologis. Ia butuhkan air 1 liter atau mungkin 2 liter. Nilai kalori untuk kehidupan itu adalah sesuatu yang invariant. Di mana-mana ia butuhkan. Tetapi bentuknya di mana-mana berlainan. Di Jerman, orang mendapatkan 2.000 kalori itu dari roti, pakai mentega. Di tempat kita lain. Bukan saja dari budaya, tetapi juga dari keadaan sosial. Orang yang pemasukannya lebih rendah, memperoleh kalori dari karbohidrat, karena karbohidrat itu lebih murah. Banyak nasi, misalnya tetapi lauknya hanya sedikit. Tetapi orang yang uangnya lumayan, nasinya mungkin se-dikit saja yang banyak dagingnya dan sebagainya. Daging pun ada bermacam-macam. Ada daging yang penuh dengan lemak, ada daging yang tidak ada lemak. Itupun dalam ruangan keadaan sosial berbeda. Di sini kita melihat yang namanya variant dan invariant. Tetapi juga yang relatif. Ini penting, karena ada kait-an-nya dengan pembangunan.
Tadi sudah diperlihatkan, bahwa moral dari analisis etika moral sangat tergantung bisa pada variant, invariant dan relatif. Itu ti-dak lain merupakan tolok-tolok ukur di dalam masyarakat yang berbudaya dan beragama yang ia harus patuh, tunduk pada tolok ukur tersebut supaya kehidupannya harmonis dan berkualitas ting-gi. Tetapi untuk mencapainya tidak bisa, kita tidak perlu setiap menit sholat. Cukup lima kali. Tidak perlu 50 kali. Jangan kira kalau kita shalat limapuluh kali, terus tidak mampu memberikan hasil yang nyata untuk masyarakatnya, bahwa ia nanti lebih dihargai oleh Allah SWT. Lebih baik kita shalat cukup lima kali, se-telah itu kalau perlu, tambah tahajud dua kali, tetapi yang lain asal sesuai dengan jadwalnya, sesuai dengan cara-caranya yang sudah ditentukan.
Saya katakan terus terang kalau saya disuruh hafal Al Quran, saya tidak hafal, tetapi hafalan saya cukup untuk melaksanakan shalat. Tetapi, saya tahu apa yang saya laksanakan. Saya ucapkan itu berdasarkan keyakinan. Lima kali shalat sehari. Setelah itu saya bekerja. Menekuni bidang saya untuk memberikan sumbangan yang nyata kepada masyarakat yang kualitas hidupnya harus ditingkatkan. Kualitas itu, bukan hanya materi, juga non materi. Di dalam non materi itulah terletak etika, moral, dan sebagainya.
Di sini sudah terlihat, bahwa sebenarnya moral, etika, bukan saja merupakan tolok ukur, tetapi juga sasaran. Seperti saya sampaikan sebelumnya, bahwa etika biasa dicampuradukkan dengan moral, tetapi sebenarnya etika dalam proses, di mana orang mau berusaha untuk mengerti bahwa aplikasinya untuk mendapatkan moral. Setidaknya kita mempunyai lima kacamata dalam melihat moral dalam pembangunan. Pertama dari kacamata teologi. Dan bagi kita, umat Islam, ialah Al Quran dan Sunnah. Bagi saya, Al Quran dan Sunnah itu tidak lain adalah formula persamaan kebenaran kehidupan yang diberikan oleh Allah SWT yang diturunkan melalui nabi Muhammad SAW.
Bedanya ada seorang ilmuan Inggris dan seorang Prancis, mungkin 250 tahun atau 300 tahun yang lalu. Keduanya berkeinginan untuk mengetahui kondisi gas atau materi di dalam ke-adaan apapun juga, tergantung dari tekanan, kecepatan, temperatur, dan sebagainya. Untuk hal itu ia membuat percobaan. Ada satu kubik meter gas atau cairan, terus ia masukkan energi un-tuk melihat bagaimana perubahan yang ditimbulkan, ia gerakkan dengan berbagai cara. Ia menulis persamaannya. Persamaan tersebut selesai dan ia bisa. Ia bisa menggambarkan semua perilaku dari molekul-molekul dalam bidang alam semesta yang berkaitan dengan gerakan, tekanan, temperatur, kecepatan, dan apapun juga. Anehnya, persamaannya dari kedua ilmuan itu sama walaupun mereka tidak saling mengenal dan mengeluarkan penemuan pada waktu yang sama, masalah itu menjadi isu dan pertanyaan dari ilmu pengetahuan. Semua itu tentunya akan timbul juga pada Anda semua nanti, isu atau pertanyaan mengenai moral dan etika dari demokrasi Pancasila.
Saya ditanya oleh orang Jerman, kenapa kamu shalat menggunakan bahasa Arab, sedang kamu bukan orang Arab. Saya jawab, persamaan yang diberikan Allah adalah persamaan yang tertulis di da-lam Al Quran dengan kata-kata dan huruf-huruf yang sama. Karena, saya tidak mau memberikan kesempatan kepada siapa pun juga untuk memanipulasi persamaan dari Allah, maka saya mengucapkan dalam bahasa yang telah diturunkan. Itu pendapat saya sebagai konsumen agama.
Karena itu wajar, dalam mencari moral dan etika khusus bagi umat Islam, kita harus mempunyai disiplin teologi moralnya yang berdasarkan dan berpegangan kepada Al Quran dan Sunnah. Namun itu tidak cukup, seperti tadi telah saya sampaikan, bahwa dalam hal ini, mana yang lebih dulu, budaya atau agama. Seperti saya katakan budaya duluan. Tetapi kalau saya teliti lebih dalam, itu tidak benar.
Saya katakan, bahwa agama tidak bisa terlepas dengan adanya eksistensi Allah. Cuma kita baru bisa menemui-Nya setelah kita melampaui critical mass, bisa berpikir dan bisa mengerti, baru kita menemui eksistensi Allah. Oleh karena itu, budaya dan agama bergandengan karena manusia waktu ia mulai berbudaya sebenarnya sudah dalam lindungan Allah cuma ia belum sadar. Dari situ mulai dikembangkan etika dan moral. Oleh karena itu, adalah wajar selain dari teologi moral atau etika, kita harus juga me-mi-kirkan filosofi etika dan moral. Di sini ada persamaan, terjadi invariant dan relativity dari pertanyaan moral dan etika tersebut. Karena itu, kita juga hidup ber-Pancasila dan Pancasila itu sebenarnya kental bernafaskan Al Quran dan Sunnah.
Orang yang benar-benar nafasnya kental Al Quran dan Sun-nah, ia ber-Pancasila. Lihat saja dalam sejarah. Bung Karno mengatakan, bahwa Pancasila itu tidak ditemui, tetapi ia gali dari tubuh bangsa Indonesia yang sebagian besar budayanya dipengaruhi oleh agama Islam.
Jadi, kita umat Islam dan bangsa Indonesia yang bukan umat Islam juga tidak ada alasan sama sekali untuk mempersoalkan  Pan-casila dan UUD 1945. Namun, tidak ada salahnya mengenai etika dan moral kita melakukan pendekatan juga bukan saja dari teologi, tetapi dari filosofi. Karena apa yang disebut di dalam Pancasila itu adalah dasar-dasar negara dan filosofi. Misalnya, mengenai keadilan dan  kebenaran yang pengertiannya bisa kita temukan seribu satu macam. Ada yang mengatakan yang benar adalah yang kuat. Oleh karena itu, kita berusaha supaya yang ku-at itu tidak hanya suatu minoritas, yang kuat itu harus diratakan. Namanya juga kita hidup berdemokrasi, di mana kedaulatan ada di tangan rakyat. Tetapi kalau rakyatnya saja tidak mampu, tidak mengetahui dan menyadari, juga tidak mampu mengimplementasikan kesadaran itu menjadi kenyataan maka kekuatannya berkurang. Karena itu kita melaksanakan pembangunan dan hasil pembangunan itu tidak bisa disulap dalam sekejap mata, membutuhkan proses. Oleh karena itu, nilai-nilai moral dan etika tidak boleh hanya dari teologi saja, tetapi kita harus lihat dari sisi filosofi. Tetapi itu belum selesai.
Karena itu, kita akan menghadapi juga bukan hasil kajian dari sudut teologi dan hasil kajian dari sudut filosofi suatu masyarakat yang berbudaya dan mempunyai dasar-dasar hukum, tetapi kita harus juga lihat dari sudut aplikasi pengaruh secara psikologi. Bagaimana selanjutnya tentang individu, atau kelompok-kelompok yang beraneka ragam, tetapi pemikirannya sudah mengarah ke tolok-tolok ukur tertentu yang ditentukan sendiri, tetapi mungkin jauh dari hasil kajian teologi moral maupun filosofi moral. Untuk memperhitungkan itu, kita membutuhkan kelompok yang memikirkan psikologi moral. Kita memasuki wilayah etika dan moral, dan paedagoginya. Jangan kita hanya hafal saja, untuk apa hafal tetapi tidak mengerti?Dan untuk apa hafal dan mengerti, tetapi dalam prakteknya hidupnya lain? Jadi, di situ harus kita perhatikan, dan bagaimana paedagoginya. Jangan campur aduk.
Kita tadi sudah membahas hal-hal yang umum, sekarang bagaimana penerapannya dari sudut sunnah, teologi, budaya, dan filosofi. Setelah kita mengetahui dampak kedua-duanya dari sudut psikologi dan moral, kita meningkatkan kualitas bangsa. ICMI punya program meningkatkan kualitas iman dan taqwa. Bagaimana kalau itu hanya slogan. Tanpa ada analisis mengenai etika mo-ral, dan lain-lain? Di sini terasa pentingnya persoalan keempat: paedagogi dan pemasyarakatan dan yang kelima adalah sistem moral. Karena dalam kehidupan sehari-hari kita tidak bisa, apalagi dalam dunia yang mengecil yang penuh dengan sistem informasi, mendapat infiltrasi dan pengaruh-pengaruh dari berbagai macam hasil analisa etika dan penerapan dalam bentuk moral yang variant dan relatif. Bagaimana kita menghadapi semua itu? Itu bisa dihadapi  dengan suatu system approach, dalam hal ini ialah moral system untuk memelihara stabilitas.
Di sini kalau saya berbicara mengenai iptek berwawasan mo-ral, saya harus berpikir apa itu sebenarnya. Maafkan saya tidak   mam-pu mendalami lebih mendetail, dan tidak mungkin selesai di dalam waktu yang diberikan kepada saya. Saya harus berdis-ku-si dengan Anda berbulan-bulan.
Contoh yang konkrit, masalah SARA saja harus kita hadapi dan selesaikan dengan analisis  etika dan moral dari kelima sudut pandang tadi. Masalah demokrasi Pancasila, masalah mekanisme dari semua yang berkembang di sini. Saya mengajak tokoh-tokoh yang ada di sini, bentuklah kelompok-kelompoknya. Tidak usah terlalu banyak, cukup lima kelompok saja dan harus ada dasarnya baik yang umum maupun yang khusus untuk menjadi pegangan bagi tiap kelompok filosofi, teologi, umum dan khusus. Bentuklah kelompok-kelompok yang bisa mencerminkan sesuatu yang realistis.
Saya sering mengatakan kita membutuhkan Imtaq, iman dan taqwa. Saya selalu gampang menjelaskan hal itu, tetapi tanpa ada latar belakang seperti yang saya berikan tadi. Sekarang dengan kacamata itu, Anda tahu bahwa saya mempunyai pemikiran seperti itu tentang moral, Imtaq, dan Iptek.
Ketika saya berdiskusi dua jam dengan Perdana Menteri Er-bakan, ketika itu saya ditanya mengenai dasar-dasar pembangunan. Definisi yang saya katakan adalah, orang yang beriman adalah orang yang senantiasa mencari secara mandiri terobosan dan usaha-usaha untuk membantu sesama manusia pada umumnya, khu-susnya umat Islam. Tetapi kalau disebut analisis  iman, kita bisa mencari sampai moral tadi. Tetapi, bukankah kalau Anda mau membuat terobosan-terobosan timbul pertanyaan halal atau haram? Edy Tanzil membagi-bagi uang banyak sekali. Banyak yang menerima. Dalam hal itu, mungkin ia sangat beriman, tetapi ternyata apa yang ia kumpulkan itu haram. Jadi ia mungkin bermaksud baik, beriman dalam definisi yang tadi saya katakan, mencari terobosan-terobosan dan usaha untuk membantu sesama manusia, ia laksanakan, ia beriman, tetapi itu tidak cukup, itu harus didasarkan pada tolok ukur yang menentukan halal atau haram. Haram atau halal ditentukan oleh tiga hal. Satu undang-undang yang berlaku; kedua, tolok-tolok ukur dari adat dan kebudayaan yang berlaku; ketiga adalah tolok-tolok ukur yang tersirat di dalam Al Quran dan Sunnah, secara langsung atau tidak langsung. Persamaan antara agama lain dan Islam adalah mungkin pada tolok ukur undang-undang, dan tolok ukur adat, mes-ki sedikit dan tidak semua, di situ ada pendekatan relatif, variant dan invariant. Tetapi yang jelas berbeda adalah tolok ukur dalam ajaran agama masing-masing, walaupun ada banyak sekali persamaan.
Oleh karena kita membutuhkan tolok ukur, maka kita harus bertaqwa berdasarkan Al Quran dan Sunnah. Karena itu iman tidak bisa dilepaskan dengan taqwa. Semua itu saya katakan pada Perdana Menteri Erbakan, kita tidak hanya bicara iman, tetapi juga harus bertaqwa. Karena itu saya mengerti dengan Seminar Nasional Iptek Berwawasan Moral, perkataan moral disinggung banyak sekali. Jadi, dalam hal ini, iman dan taqwa harus menjadi satu nafas.
Iman dan taqwa itu satu. Prosesnya harus berlangsung sedini mungkin, mulai lahir sampai nafas terakhir. Proses itu adalah proses pembudayaan. Tetapi, orang yang hanya kualitas Imtaqnya yang meng-akibatkan perilaku yang ideal di dalam gerakan masyarakat yang ber-moral tinggi, tidak cukup kalau ia tidak mampu menghasilkan karya-karya nyata dan itu pun sudah ada di dalam AlQuran yang mengatakan, tidak usah shalat 100 atau 500 kali, cukup lima kali, berarti secara implisit dikatakan, bahwa waktu yang lain hendaknya digunakan un-tuk bekerja secara halal. Jadi, dalam hal ini kita tidak bisa hanya memi-liki Imtaq saja, tetapi juga harus memikirkan Iptek, ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi bisa meningkatkan ketrampilan kita.
Saya berikan contoh. Ada orang terkenal sekali, namanya Theodore Von Karman. Ia sudah meninggal dan jika masih hidup umurnya sekarang sekitar 150 tahun. Ia guru besar dalam bidang konstruksi pesawat terbang. Bergelar doktor honoris causa lebih dari seratus. Dan tidak ada satu bidang di dalam ilmu dirgantara yang tidak dimulai dari Theodore Von Karman. Ia memberikan banyak sumbangan, an-tara lain mendirikan ICAS (International Council of Aero Space). Umur ICAS mungkin sudah mencapai 60 tahun. Waktu ia menjadi guru besar di Aachen ada pabrik yang membuat tekstil, pabrik itu selalu retak. Ia perbaiki retak yang kena getaran-getaran itu. Biayanya banyak, orang menyampaikan kepada Theodore Von Karman yang ahli mekanika. Setelah Theodore Von Karman datang melihat-lihat ruangan itu hanya sekitar setengah jam. Lalu ia mengatakan, semua barang dikeluarkan, kemudian semua mesin-mesin diberi bantal karet. Setelah meng-hasilkan kebenaran, in-dustri tersebut merasa senang. Lalu Theodore Von Karman memberikan rekening DM 200 ribu lebih dari US $ 100 ribu sebagai jasa konsultasinya. Perusahaan industri tadi protes, karena Theodore Von Karman hanya masuk ke pabrik setengah jam dan minta DM 200 ribu. Theodore Von Karman kemudian berkata, kalau tidak mau membayar, keluar-kan semua karetnya dan susun barang-barangmu seperti semula dan Anda tidak usah membayar.
Itulah Iptek. Theodore Von Karman hanya butuh lima menit untuk mengetahui masalah untuk diselesaikan. Dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang penting ialah, mengidentifikasi dan menemukan permasalahan-permasalahan yang menentukan. Untuk menemukan itu, orang harus canggih. Kedua, tahu caranya bagaimana menyelesai-kan apa yang menjadi permasalahan. Itu harus canggih, tidak bisa main-main. Ada yang mengatakan, waktu Air Show 1996 N-250 jadi terbang, kapal jadi, kereta api jadi, saya bertemu dengan orang-orang seumur saya, mereka mengatakan bahwa Habibie itu bertangan dingin. Maksudnya semua yang dipegang bisa jadi. Saya bukan bertangan dingin, sa-ya bekerja keras. Pada 20 tahun yang lalu, saya sudah tahu bahwa saya mau membuat N-250 dan terbang pertama kali pada Air Show yang kedua. Itu berarti membutuhkan waktu yang lama untuk mengem-bangkan anak-anak muda. Saya bukan cuma bicara. Orang kerja karena bermoral, yang berasal dari proses pembudayaan iman dan taqwa. Dan juga diberikan bekal oleh orang tuanya untuk mandiri dan terus bergerak.
Ketika saya berumur 6 tahun, saya mengaji di Pare-pare. Yang mengajar saya mengaji itu orang Arab. Seperti Pak Kyai Ali Yafie. Saya khatam mungkin 5 atau 6 kali. Tetapi sa-ya mengaji dengan dituntun. Ada benarnya juga, karena waktu kecil saya mau main-main terus. Tetapi saya berterima kasih. Itu proses pembudayaan. Saya dulu pernah masuk ke SMA Khatolik, ka-rena sekolahnya paling baik dipandang dari sudut Iptek. Tatkala saya masuk ke situ, orang-orang bertanya kenapa masuk ke situ. Sedangkan, Bacharuddin Jusuf Habibie, mengaji sudah cukup, kuat iman, dan sebagainya.
Dalam sebuah hadists disebutkan tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Jadi, kalau memerlukan ilmu pengetahuan Cina, pergilah ke Cina. Di sekolah saya, SMA Katholik, ada seorang guru. Ia mengatakan kalau kita lagi membaca kitab Injil, kamu tidak perlu hadir, di luar saja. Saya sampaikan hal itu kepada ibu saya. Beliau menanggapi: "Itu tidak apa-apa, kamu bekalnya sudah cukup. Tidak usah takut, karena lakum-dinukum waliyadin". Ini bukan arogansi, tetapi sudah jadi suatu hal biasa.
Jadi, tidak mungkin kita memperjuangkan Imtaq sambil mengatakan agama itu tidak penting. Itu tidak benar. Dari tadi saya pisahkan moral, if not possible, dengan pertanyaan yang ma-na dulu, agama atau budaya, jawabnya nampaknya sekilas budaya, tetapi kalau kita mendalam dalam agama kita menjawab agama lebih dulu karena kaitannya langsung dengan Allah. Jadi, dalam hal ini kita membutuh-kan proses pembudayaan yang menghasilkan perilaku yang tinggi berdasarkan Imtaq yang kualitasnya tinggi, dan mandiri, terus berkem-bang. Dan, di situ tugas moral paedagogi. Di situ saya menyebutkan sistem moral, moral teologi, filsafat moral psikologi.
Ini satu proses pembudayaan sejak dini. Selain itu juga ada proses pendidikan. Saya tidak setuju anak kecil disuruh hafal. Ia disuruh menghafal itu benar, tetapi lebih sempurna kalau ia mengerti. Hafal Al Quran baik sekali. Tetapi, kalau ia tidak mengerti, itu susah. Lebih baik pada waktu kecil tidak usah disuruh menghafal, tetapi lebih banyak mendalami paedagogi dengan konsentrasi kepada pengertian. Supaya masuk ke dalam darah dagingnya. Kalau ia bisa hafal, seberapa penting hafalan untuk kehidupan. Jadi dalam hal itu, pendidikan manusia diproseskan sedemikian rupa, sehingga menghasilkan orang yang mandiri, bisa berpikir secara logik, sistematis, dan sebagainya. Dan tidak berdasarkan hafalan. Saya rasa dalam hal ini, bahwa proses pembudayaan dan proses pendidikan itu harus paralel jalannya dan berakar kepada budaya. Saya hanya mau memperlihatkan bagaimana kait-annya dengan apa yang tadi telah saya katakan.
Penguasaan Iptek
Sekarang tentang pembangunan. Perdana Menteri Erbakan mau bertemu dengan saya. Dan ia mengatakan, satu setengah milyar umat Islam ada di dunia. Angka saya 1,2; ia mengatakan 1,5. Sedangkan dari satu setengah milyar umat Islam di du-nia itu menghasilkan GDP dari dunia hanya 4 sampai 5%. Sebenarnya kalau kita mau merata, seharusnya sumbangan GDP atau hasil pembangunan dari sumber daya manusia yang bernafaskan Al Quran dan Sunnah itu, seharusnya 25%. Tetapi ternyata ku-rang dari 5%. Pertanyaannya kemudian: mengapa? Mengapa dan di mana terletak permasalahaannya? Padahal Islam mengandung dasar-dasar dan prinsip-prinsip dan tolok-tolok ukur ilmu pe-ngetahuan dan teknologi. Berapa kali ilmu pengetahuan dan  teknologi disebut di dalam Al Quran. Cara kita hidup saja sebagai umat Islam penuh dengan disiplin. Shalat lima kali, ditentukan bagai-mana arahnya, dan kapan, sebelum sholat kita harus berwudlu lebih da-hu-lu; kalau tidak dipenuhi, maka shalat itu tidak sah. Itu disiplin waktu yang ditanamkan sejak dini, sehingga anak-anak kita sudah mulai bisa mandiri. Jadi, sebenarnya Islam me-miliki prinsip-prinsip dasar untuk manusia agar bisa mengalami proses keunggulan menjadi penguasa Iptek yang potensial.
Lalu, mengapa umat Islam sekarang tidak demikian? Di mana terletak kesalahan? Menurut analisis saya, persoalannya terletak pada tradisi pembangunan dunia Islam itu yang pertama kali berkembang dari Timur Tengah. Bukan hanya Islam, Kristen juga dari situ. Yahudi juga dari situ. Tetapi mengapa Islam tidak berkembang? Hanya berkembang sampai mengalami zaman emas, lantas jenuh. Setelah kejenuhan itu dilampaui yang lain, maka kejenuhan yang dialami umat Islam menjadi negatif.
Mengisi Pembangunan
Pembangunan ada dua macam. Satu pembangunan yang meningkatkan nilai materi menjadi lebih tinggi, atau nilai pemikiran men-jadi lebih tinggi kualitasnya. Dan nilai yang lebih tinggi itu dipasarkan, market oriented, berorientasi kepada rakyat dan umat, dan sebagainya. Jadi, ini adalah nilai dari materi atau pemikiran, melalui suatu proses nilainya ditingkatkan.
Sebagai contoh Mercy Baby Benz anggaplah harganya se-ka-rang Rp 400 juta. Kijang harganya Rp 40 juta. Mercy beratnya 1.000 kg, Ki-jang beratnya 1.000 kg. Harga Mercy Rp 400 juta dibagi 1.000 sama de-ngan Rp 400 000,-/kg.. Kijang harganya Rp 40 juta dibagi seribu, harganya Rp 40 000,-/kg. Jika Mercy dan Kijang bertabrakan, keduanya sama-sama rusak. Harga besi tua bekas Mercy dan harga besi tua bekas Kijang sama saja, Rp 5.000,-/kg. Berat Ki-jang dan Mercy sebelumnya memanfaatkan materi yang sama. Baja, plastik, sama saja. Tetapi meningkatnya nilai Mercy yang menentukan bukan Mercedes, tetapi rakyat yang mau membeli juga pangsa pasar, karena di dalam proses meningkatkan nilai Mercy tersebut, dari baja sampai jadi mobil, proses nilai tambah yang berentetan lebih banyak ilmu pengetahuan dan teknologi pada Mercy, dibanding pada Kijang. Jadi, ilmu pengetahuan dan teknologi inilah yang mengakibatkan nilai itu penting.
Saya pernah sampaikan juga, satu pesawat terbang N-250 sa-ma dengan 1.000 Toyota, dalam dolar. Nilai tambah pesawat terbang lebih tinggi. Sesuatu yang lebih berat dari udara bisa terbang di udara, lebih susah membuatnya dari pada mobil. Kalau mobil stop karena bannya kempes bisa diperbaiki. Kalau pesawat begitu berhenti di udara bisa jatuh. Yang membuat pesawat sekelas N-250 di dunia hanya dua, yaitu Perancis bersama Italia menghasilkan ATR dan Indonesia sendiri. Yang lain tidak membuat bukan karena tidak ada pasarnya melainkan karena tidak mampu secara teknis bersaing dan bisa dipertangungjawabkan ekonominya. Fokker bangkrut karena IPTN maju. Orang Jerman bertanya: mengapa Fokker jatuh. Saya jawab, sudah saya sampaikan kepada Anda 8 tahun yang lalu, bahwa satu tahun setelah pesawat saya (N250) tinggal landas, Fokker akan gulung tikar. Ini bukan arogansi.
Pada tahun 1935, saya belum lahir, saya lahir 1936, ada pesawat ter-bang namanya Dakota DC3. Produksinya tinggi seperti produksi kacang saja. Tetapi pada tahun 1950, ada suatu perusahaan, Fokker namanya yang bisa menerapkan hasil ilmu pengetahuan yang lima belas tahun lebih canggih dari DC3. Belum tentu orang yang mengerti bisa menerapkan Iptek dengan hasil begitu canggih dibandingkan DC3, sehingga DC3 bangkrut. Fokker Belanda kemudian cepat-cepat menjual banyak sekali, sehingga pada tahun 1958 sudah kembali modalnya, sejak itu yang Fokker produksi itu hanya untungnya saja. Tahun 1958, ia sudah begitu tinggi efisiensi dan produktifitasnya. Perusahaan lain yang akan memulai tidak mungkin bisa mengalahkannya. Sehingga semua perusahaan-perusahaan di dunia dengan sumber daya manusianya kurang lebih sama dengan Belanda, tidak bisa tinggal landas. Inggris mulai dengan dua program, namanya Vikkers Fingers pada tahun 1950-an, tetapi program tersebut telat. Karena Fokker sudah kembali modalnya, produktivitas dan efisiensinya tinggi. Amerika dan Jepang juga begitu, karena harga dan sumber daya manusianya sama. Akibat dari itu, Belanda berpikir untuk apa mengubah pesawat terbang. Pesawat terbang itu hidup-matinya dari konfigurasi, sistem sains. Ia tidak mengubah itu. Ia bisa menjadi raja terus sampai datang IPTN dari Indonesia.
Tetapi mereka mengatakan, Habibie bermain seperti anak-anak, bagai-mana ia bisa mengembangkan pesawat terbang. Saya mengerti perkataan mereka, tetapi saya bekerja tidak sendirian, melainkan bersama tim. Ia tetap menertawakan. Bukan  main, sampai bangsa kita sen-di-ri tidak percaya pada dirinya sendiri. Mereka mengadakan pra-sangka-prasangka seribu satu macam. Teknologi Fokker 15 tahun umur-nya lebih muda bisa mematikan teknologi Dakota. N250 bertek-no-logi tahun 90-an, 40 tahun lebih tinggi. Saya mampu menerjemahkan gagasan menjadi kenyataan. Dan mutunya, harga sumber daya manu-sianya 10% lebih murah dari pada mereka. Oleh karena itu, Indonesia bisa tinggal landas.
Waktu kita tinggal landas pada tanggal 10 Agustus, 10 hari kemudian pada tanggal 20 Agustus bursa saham Fokker di Belanda ditutup, karena harga saham Fokker yang tadinya US$ 24, menurun menjadi kurang dari US$ 6. Setelah itu Fokker langsung disuntik dengan dana segar. Lalu saya katakan, Anda bisa manipulasi ekonomi, politik, dan sis-tem. Tetapi satu Anda tidak bisa manipulasi, yaitu hukum alam. Hukum alam berlaku di mana saja. Kalau ia harus  jatuh,  jatuh. Kalau ia harus terbang,  terbang. Dan apa yang kita laksanakan adalah state of the art dari teknologi.
Waktu itu Fokker datang mau mengajak kerjasama, tetapi saya ti-dak mau. Akibatnya disuntik dana, ia mengeluarkan uang dari pemerintah Jerman maupun Belanda, melalui perusahaan-perusahaannya, lebih banyak dari seluruh investor IPTN dalam jangka 20 tahun. Akibatnya, waktu kita memegang record kecepatan dari pesawat terbang pada ketinggian 17.000 feet, bulan Pebruari tahun ini, hanya seminggu setelah itu saham mereka anj-log lagi. Tadinya anjlog di bawah $6. Karena disuntik, ia naik lagi mendekati US$ 20. Setelah kita perhatikan dan ternyata semua terbukti memang hebat, saham mereka anjlog di bawah US$ 1.
Kendati demikian, jangan takabur. Kesimpulannya hanya satu. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan hak prerogatif dari bangsa atau umat siapa pun juga. Bukan merupakan hak prerogatif dari yang kaya, tetapi adalah hak prerogatif dari umat manusia. Itu ke-sim-pulannya. Teori-teori yang mengatakan, bahwa agama Islam meng-hambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berlaku lagi. Karena dari pimpinan sampai ke bawah, 95%, bahkan mungkin lebih, nafasnya adalah al-Qur’an dan Sunnah. Nafas ini telah meng-akibatkan kebangkitan nasional. Dan mungkin juga sedikit kebangkitan umat Islam. Itu yang disampaikan oleh Erbakan. Karena itu Erbakan (Turki—red.) mengejar saya (Indonesia—red.).
Dari situ kita melihat, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dibu-tuh-kan untuk nilai tambah. Ada satu grup yang me-ning-kat-kan nilai tambah materi. Tetapi walaupun satu grup, kalau grup ter-sebut membuat suatu pesawat terbang, atau membuat kursi, atau membuat suatu mobil, atau membuat kacang goreng, nilainya semua bertambah. Kacang harganya sedikit, saya goreng harganya lebih banyak. Mobil juga harganya sedikit, saya buat proses harganya bisa menjadi lebih tinggi. Tetapi, nilai tambah sebesar apapun selama barangnya masih di dalam gudang, nilai tambah itu bersifat fiktif. Tidak nyata. Harus ada yang bisa memindahkan barang Anda dari gudang ke tangan, ke dapur, ke rakyat. Baru ka-lau sudah dipindahkan, mobil sudah dipakai, atau sepatu yang di-buat sudah dipakai, kacang yang dibuat itu sudah bisa dibeli; dalam proses pemindahan dari gudang sampai ke pasar itu, nilai tambah yang fiktif menjadi riil (nyata).
Kita membutuhkan teknologi untuk meningkatkan nilai tam-bah yang rendah menjadi tinggi, dan kita membutuhkan nilai tam-bah untuk memindahkan yang fiktif menjadi realistik; dari gudang ke rumah tangga-rumah tangga yang lain, untuk memindahkan itu membutuh-kan teknologi pula; teknologi penjualan, pemasaran, financing, teknologi yang selalu saya sebut bukan nilai tetapi biayanya, atau technology services.
Masalahnya di sini, umat Islam dan juga umat Kristen semua berasal dari Timur Tengah dengan budayanya sejak sepanjang ma-sa selalu bergerak dalam services. Mekkah adalah tempat orang berhenti, setelah membawa produk-produk dari gudang di Cina, untuk dijual ke pasar. Dan sebaliknya. Ia bergerak secara tradisional, di dalam proses services biaya tambah, memiliki tek-no-logi secara canggih, ataupun menjadi budaya dengan moralnya, bagaimana memindahkan barang itu dari harga fiktif menjadi riil. Akibatnya, pada masa keemasan ia pindah dari harga ke-un-tung-an, ia bisa cepat melaksanakan pembangunan, dan oleh karena itulah terjadi banyak masalah kesenjangan sosial, masalah-ma-sa-lah etika, masalah-masalah moral. Mungkin disebabkan oleh pe-ni-tikberatan dan pengonsentrasian kepada budaya, menjadikan harga atau nilai yang fiktif menjadi riil akibat dari gerakan tersebut, hanya segelintir manusia yang bisa menikmati nilai tambahnya. Tidak banyak. Kita tahu dari perdagangan hanya sedikit yang me-nikmati nilai tambah, dan di dalamnya tidak terjadi pemerataan. Akibatnya timbul persoalan-persoalan mengenai keadilan, dan sebagainya. Silah-kan mengkaji benar tidaknya, itu salah satu se-bab mengapa semua nabi-nabi yang diutus untuk menghadapi ini semua, mulai dari Nabi Adam,nabi pertama sampai nabi Muhammad SAW, datangnya dari Timur Tengah, karena di situ penuh de-ngan masalah-masalah. Tetapi sebaliknya, agama Kristen melalui Roma masuk ke Eropa. Masyarakat Eropa sudah mengenal etika, moral dan prinsip-prinsip untuk mening-katkan nilai tambah, karena itu berkembangnya ilmu pengetahuan lebih banyak seperti yang telah dihasilkan untuk meningkatkan kualitas karya manusia, kualitas berpikir, dan kualitas bekerja.
Karena datang dari dasar-dasar pemikiran ini. Dengan kualitas Imtaq untuk tolok ukurnya untuk menghasilkan kualitas hidup, tidak berkelebihan orang mengatakan, bahwa renaissance Islam akan datang dari Asia Tenggara, karena di Asia Tenggara sebenarnya sudah terdapat prasarana dasar seperti di Eropa dan Amerika, dan lebih mementingkan kepada kreatifitas dan sebagainya untuk nilai tambahnya yang selama penjajahan tidak per-nah dimanfaatkan oleh Belanda, sedangkan Belanda hidup dari per-dagangan. Di situ juga timbul pertanyaan: Mengapa non-pri itu tiba-tiba menjadi konglomerat? Itu disebabkan non-pri me-mang didatangkan Belanda untuk hidup dalam nilai perda-gang-an. Dan ia sudah biasa, sudah 350 tahun begitu. Sedangkan kita men-jadi kuli yang kreasi nilainya meningkat. Cuma dalam hal peme-ra-taan Belanda berkuasa. Karena ia yang berkuasa, ia tidak mau mem-be-rikan bagian kepada kita. Akibatnya, setelah kita merdeka dan konsolidasi, merekalah yang pertama yang bisa mekar hidup dari perdagangan, dan yang menjadi unggul sebagian besar adalah non-pri. Selama ia laksanakan tugasnya sesuai de-ngan tolok-tolok ukur undang-undang, budaya, dan agama atau moral.
Kita tidak mengenal SARA, karena SARA itu a-moral. Tetapi itu-lah yang terjadi sekarang, setelah kita merdeka selama 50 tahun atau mem-bangun selama 30 tahun; kita mau benar-benar merdeka selama ribuan tahun. Saya bisa bertaruhan, 25 tahun lagi wajah skenario konglomerasi bukan lagi dari pedagang-pedagang, tetapi dari yang menghasilkan nilai tambah. Karena memang jumlah dari seluruh produk dan jasa terletak pada nilai tambahnya. Dari kacamata pembangunan inilah, ilmu pengetahuan dan teknologi sangat menentukan. Ini alasannya mengapa saya ditugaskan oleh Mandataris MPR untuk membuat pesawat terbang. Kenapa bukan membuat sepeda motor dulu? Karena, ka-lau orang membuat sepeda motor dulu lalu membuat mobil menjadi lebih hebat lagi; dari mobil membuat kereta api, lebih hebat lagi; dari kereta api membuat kapal, lebih hebat lagi; dari kapal membuat pesawat terbang, lebih hebat lagi. Tetapi kalau sekarang sudah langsung kita bisa membuat N250, tidak usah kita berdebat-debat mengenai yang lain-lain. Itu jalan pintas. Belum lagi tiap pesawat terbang yang kita beli dari dalam negeri untuk kebutuhan sendiri, berarti menghemat pengeluaran devisa. Dan tiap yang kita ekspor, mendapatkan devisa.
Dari sini bisa terlihat, bahwa umat Islam yang sangat dipengaruhi oleh tradisi Timur Tengah itu sangat dominasi dengan tradisi perdagangan, dan bukan di dalam industri. Dan untungnya Islam pernah sampai ke depan Wina. Islam pernah berkuasa di semenanjung Spanyol selama 1800 tahun. Cuma Islam itu toleran sekali. Tetapi di situ terletak kekuatan Islam, karena sangat rasional. Waktu Islam di Spanyol, agama-agama memekar, tidak ada ma-salah. Setelah Islam keluar, agama-agama dimatikan. Itu sejarah, bukan karangan. Andaikata Turki yang sudah sampai ke Wina dan Jenderal Tariq sampai ke Jabaltark (Gibraltar), Andaikata me-reka agresif berkuasa, maka tentang wajah teknologi tidak ada lagi yang mengatakan, bahwa teknologi itu tidak bisa dikuasai oleh umat Islam. Karena, tradisi Eropa bukan tradisi perdagangan, tetapi tradisi nilai tambah. Dan agama itulah, seperti tadi saya katakan, memberikan tolok-tolok ukur moral dan etika yang dibutuhkan untuk pembangunan dan pemupukan tradisi nilai tambah, supaya pembangunan mempunyai kualitas yang tinggi, dipandang dari sudut moral. Dan moral tidak lain adalah kepentingan rakyat.
Oleh karena itu, di Jeddah pada tanggal 1 Juni lalu telah didirikan suatu forum Islam internasional untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sumber daya manusia. Yang formulasi isinya disusun antara lain oleh Saudara Quraish Shihab. Dan itu diterima. Forum itu ditandatangani oleh 6 tokoh. Pertama, Presiden Bank Pembangunan Islam, Dr. Muhammad Ali; kedua, Sekretaris Jenderal Liga Islam Sedunia, Rabithah, ialah Dr. Abdullah bin Shaleh bin Ubaid; ketiga, Sekretaris Jenderal Lembaga Mukjizat al-Qur’an dan al-Sunnah dalam Iptek, Dr. Abdullah Muslim; keempat, Presiden Federasi Pendidikan Islam Internasional, Dr. Taufiq al-Sawi; kelima, Presiden Lembaga Internasional untuk Pemikiran Islam dari Amerika Serikat, Dr. Ahmad Totonji; keenam, Ketua Umum ICMI, ditandatangani oleh saya.
Saya bacakan, naskah kesepakatan Forum Islam Internasional untuk Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Sumber Daya Manusia.
Bismillahhirrahmanirrohim
Umat Islam tengah menyaksikan merekahnya fajar zaman baru, kita menyadari pentingnya pengembangan sum-ber daya manusia dan peran nyata yang dapat diembannya dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Dalam perubahan se-jarah yang sedang berlangsung, umat Islam merasa ter-pang-gil untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan cara yang terbaik, dan dapat dian-dal-kan. Dengan demikian akan tercipta pening-katan kualitas iman dan taqwa, serta keunggulan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, melalui penelitian dan penemuan ilmiah. Dengan sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki semua nilai-nilai keunggulan, umat Islam mampu memainkan peran utama dalam memajukan ilmu pengeta-huan dan tek-nologi dalam pergaulan antar bangsa, serta mengupayakan ter-ciptanya perdamaian, kemakmuran dan keadilan di dunia. Kami tidak mengutus engkau kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Untuk itu kami membulatkan tekad untuk bekerjasama, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi selaras dengan nilai-nilai Islam. Dengan ini kami mengundang semua organisasi dan lembaga Islam untuk ber-ga-bung bersama kami dalam memberikan sumbangan dan untuk setia pada tekad bersama tersebut, dengan pendirian Forum Islam Internasional untuk Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan Sumber Daya Manusia.
14 Muharram 1417, 1 Juni 1996 di Jeddah.
Alasan pembentukan forum ini sudah saya jelaskan. Yang harus kita bersyukur forum seperti ini belum pernah terjadi dalam sejarah Islam. Yang terjadi pada hari itu berlangsung secara musyawarah dan mufakat dihadiri oleh duta-duta besar OKI dan negara-negara yang di dalamnya ada umat Islamnya. Saya berceramah sebagaimana saya jelaskan tadi. Secara musyawarah dan mufakat mereka memutuskan, bah-wa ketua dari forum tersebut dan tugas ketua untuk membuat anggaran dasar, anggaran ru-mah tangga, dan mekanisme, seperti pada ICMI, diberikan kepada Bacharuddin Jusuf Habibie. Dan ditentukan bersama dalam musyawarah, tempatnya pun tidak di Timur Tengah, tetapi di Jakarta di kantor saya. Pertama kalinya dalam sejarah umat Islam, pimpinan Islam yang diakui oleh tokoh-tokoh demikian keluar dari Timur Tengah. Yang mengatakan begitu bukan saya, tetapi tokoh-tokoh orien-talis di Jerman, Eropa, juga Perdana Menteri Erbakan dan yang lain. Itu karena kredibilitas bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembangunan nasional. Karena kredibilitas bangsa Indonesia dalam Orde Baru di bawah pimpinan Mandataris MPR, dengan segala kekurangannya bisa meningkatkan kualitas hidup, walaupun masih banyak yang harus kita sempurnakan. Karena itu kita berada di sini untuk melaksanakan tugas-tugas yang tadi saya berikan.
Saya pernah mengatakan, kalau al-Qur’an merupakan per-sa-maan dari suatu model kebenaran. Orang yang bisa menyelesaikan persamaan dari model kebenaran yang tertulis dalam al-Qur’an, hanya satu, adalah nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, untuk bisa mengerti persamaan tersebut, kita ikut sertakan kajian tingkah laku dan perilaku nabi Muhammad SAW. Walau-pun itu tidak termasuk di dalam al-Qur’an. Itu secara ilmiah normal. Untuk tahu kebenaran absolut, mungkin di antara Anda sudah mampu mendekati 99,9% dari kebenaran itu Saudara tidak bisa menerjemahkan di dalam kenyataan sesuai dengan tolok-tolok ukur yang diberikan di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi, kalau ada yang bisa menerjemahkan 10%, 10% dari 99,9% hanya menghasilkan 9%. Tetapi kalau ada orang hanya 50% ia mengerti mendekati kebenaran, tetapi mampu menerjemahkan 80%, 80% dari 50% atau 40%. Lebih banyak dibanding yang pertama. Oleh karena itu, tidak berkelebihan jika di dalam pola pengembangan sumber daya manusia Indonesia yang seutuhnya itu, proses pembudayaan dan pendidikan harus berlangsung, bahu-membahu, bergandengan tangan, seirama. Oleh karena itu yang ada di sini dan duduk di dalam Wanhankamnas nanti untuk mem-per-siapkan GBHN, saya minta untuk mengamankan itu, meski sebelumnya sudah, tetapi sempurnakan.
Saya sampaikan, bahwa kredibilitas tidak diberikan kepada Habibie. B.J. Habibie tidak ada artinya, hanya manusia biasa saja seperti anda yang kebetulan tahu sedikit dengan sesuatu. Te-tapi bukankah saya tidak lain mencerminkan rakyat yang berkecimpung di seluruh bumi Indonesia dalam bidang Iptek. Seperti tadi dikatakan Saudara Quraish, bukan Habibienya yang menguasai, tetapi Habibie mencerminkan anda semua di belakangnya. Ini menghasilkan pindahnya kepemimpinan yang justru untuk mengisi kehidupan yang bernafaskan al-Qur’an dan Sunnah, juga di garis depan dan mengubah skenario yang dikatakan tadi yang 25% hanya memberikan kontribusi kurang dari 5% GDP dunia di-harapkan dapat meningkat secara wajar. Itu yang dinamakan orang-orang adanya renaissance yang justru lahir di bumi Indone-sia, dan diharapkan bisa berlangsung dengan baik.
Yang penting juga, khusus ada kaitannya dengan moral adalah, bahwa kita sudah melaksanakan amanat Forum Islam Internasional tadi. Ini ada kaitannya dengan moral sebagaimana tercermin dalam pernyataan bersama cendekiawan Indonesia yang ditandatangani 13 Agustus 1994.
Saya bacakan,
Pernyataan Bersama Cendekiawan Indonesia
Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kami mensyukuri proklamasi kemerdikaan 17 Agustus 1945 sebagai momentum kebesaran sejarah berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka sebagai bagian dari masyarakat dan bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan, bahwa kami akan terus-menerus berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang terampil dalam bidangnya dengan penguasaan dan kematangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai perwujudan tanggung jawab dalam membangun masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia serta berorientasi pada kepentingan nasional dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa sepanjang masa.
 
Pernyataan tersebut ditandatangani di Gedung Pancasila Jakarta oleh pimpinan 4 organisasi cendekiawan Indonesia, bersama dengan acara penutupan seminar nasional sumber daya manusia dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Ke-merdekaan Republik Indonesia ke-49. Pimpinan empat organisasi tersebut adalah Forum Cendekiawan Hindu Indonesia, Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia, Keluarga Cendekiawan Budhis Indonesia, dan Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia. Ada yang mewakili umat Budha, mewakili umat Hindu, mewakili umat Islam, mewakili umat Kristen, dan mewakili Katholik. Katholik tidak menandatangani karena belum rampung, tetapi diwakili oleh saksinya. Kalau skenario saya tidak seperti saya jelaskan tadi, tidak mungkin pernyataan bersama tadi keluar dan tidak mungkin lahir Forum Islam internasional dan tidak mungkin ada Dewan Riset Nasional, dan sebagainya, karena semua titik tolaknya adalah skenario tersebut; tetapi baru sekarang saya mendapatkan kehormatan dan kesempatan untuk memberikan informasi dan menjelaskan latar belakang serta alasan mengapa semuanya itu terjadi di dalam rangka seminar nasional ilmu pe-ngetahuan dan teknologi berwawasan moral.
Saya bersyukur, bahwa kita bisa berada di sini, dan sekali lagi terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya hari ini, dan kesabaran Saudara untuk mendengar uraian saya ta-di, dan input-input, dan saya minta dimaafkan jika ada kekurangan, dan menyinggung perasaan siapa saja yang ada di sini, ka-rena bukan maksud saya, maksud saya tiada lain ialah ingin le-bih menyukseskan pembangunan Indonesia yang berorientasi ke-pada kepentingan rakyat. Terima kasih.

Industri Strategis dan Industrialisasi



Industri Strategis dan Industrialisasi 

Oleh : B.J. Habibie 

Tugas Industri Strategis tidak lain adalah menjadi ujung tombak bagi industri-industri yang lain dan direncanakan akan berkembang di bumi Indonesia dalam proses industrialisasi. Strategis yang dimaksud bukanlah dalam arti militer saja, namun juga dalam arti ekonomi. Proses industralisasi yang sudah dialami negara-negara industri maju, termasuk Jepang, berlangsung lebih dari 200 tahun, sedangkan proses industrialisasi di Indonesia baru dimulai sejak masa Orde Baru. 

Apa yang terjadi sebelum masa Orde Baru tidak dapat dikategorikan dalam pengertian proses industrialisasi, tetapi hanya proses konsolidasi, yaitu proses pengontrolan dan penguasaan prasarana ekonomi belum sampai prasarana industri. Prasarana ekonomi tersebut meliputi prasarana perhubungan, pendidikan, kesehatan, yang berkaitan dengan perdagangan. Dalam konteks ini, komoditas perdagangan yang juga strategis tapi tradisional, seperti teh, lada, dan kopi, tetap penting dan diutamakan di Indonesia. Usia perdagangan komoditas ini sudah berlangsung lebih dari 200 tahun. 

Jadi, bukan proses pengontrolan dan penguasaan prasarana ekonomi semacam ini yang dimaksudkan dengan proses industrialisasi. Proses industrialisasi adalah proses mengembangkan industri untuk commodity consumption dan kapital untuk pasar dalam negeri serta untuk ekspor tanpa mengabaikan agroindustri. Agroindustri tetap merupakan aktivitas utama dan prioritas utama. Industrialisasi itu harus berkembang di atas industri agrikultur dalam arti yang seluas-luasnya. 

Dengan memiliki kesadaran tersebut, bangsa Indonesia, yang jumlah penduduknya terus bertambah, tidak mungkin bisa hidup hanya dengan nilai tambah dari agroindustri. 

Oleh sebab itu, tak ada pilihan lain bagi bangsa ini selain mengembangkan dan memantapkan kemandirian serta kemajuan agroindustri yang berorientasi pasar, baik dalam negeri atau ekspor, untuk selanjutnya melangkah setahap demi setahap menuju pada proses industrialisasi. Dalam proses industrialisasi, prioritas utama harus diberikan pada komoditas yang export-oriented dan import-substitutioned. 

Pada komoditas tersebut terdapat dua prioritas. Prioritas pertama adalah komoditas yang memanfaatkan bahan baku dari dalam negeri sendiri atau yang seminimal mungkin menggunakan bahan baku impor. Prioritas kedua adalah komoditas yang masih harus memanfaatkan bahan baku impor, namun secara sistematis bahan baku tersebut dapat disubstitusi dengan bahan baku dari dalam negeri. Industri-industri yang termasuk kategori prioritas kedua adalah yang menghasilkan komoditas yang tidak hanya berorientasi ekspor dan substitusi impor, tapi yang lebih penting lagi adalah dapat menghasilkan pertumbuhan kapital (capital growth). 

Komoditas ini dapat dipergunakan sebagai modal untuk sekurang-kurangnya mengembangkan pasar domestik dan juga kalau bisa untuk ekspor. Kalau ini sudah berhasil, prioritas berikutnya diberikan kepada commodity consumption atau apa saja yang lain, tergantung pada permintaan pasar. Berdasarkan hal tersebut, ciri khas industri strategis sebagai ujung tombak industrialisasi adalah export-oriented, import-substitution, dan capital growth. 

Diharapkan dalam proses berkembangnya industri strategis itu, bahan baku yang dibutuhkan, yang masih diimpor secara sistematis, akan disubstitusi dengan cara mengembangkan vendoor company. Jadi, nilai tambah bahan baku impor nantinya makin lama makin berkurang, karena sudah dikembangkan oleh industri-industri penunjang yang mengintegrasikan teknologi dan sistem. Industri strategis yang berjumlah sepuluh itu tidak lain merupakan industri yang mengintegrasikan teknologi dan sistem. 

Krakatau Steel (KS), 

Pindad, 

Industri Kereta Api (INKA), 

PT PAL, 

Boma Bisma Indra (BBI), 

PT INTI, 

LEN Industri, dan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), 

PT Barata, PT Dahana, pada dasarnya adalah technology and system integrated. 

Mereka mengintegrasikan sistem enjin, sistem elektornik, dan sebagainya. Setiap sistem tersebut merupakan integrator kecil, integrator lebih besar adalah produk yang dihasilkan, dan yang lebih besar lagi adalah industri itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut, kita bekerja untuk menjadikan diri kita mandiri dan mampu menghasilkan produk unggulan serta bisa diandalkan. 

Ini ditopang oleh kesadaran bahwa tidak mungkin sebuah negara atau suatu sistem ekonomi akan bisa menghasilkan produk unggulan dan produk andalan jika negara atau sistem ekonomi tersebut hanya bermain sendiri. 

Mengapa? Kalau kita membatasi diri pada kekuatan nasional saja, berarti kita membatasi atau hanya mengandalkan pada 200 juta orang, sedangkan di muka bumi ini terdapat enam milyar manusia. 

Karena itu, kerja sama internasional yang saling menguntungkan yang dinamakan sinergi atau win-win cooperation adalah vision abad yang akan datang. Globalisasi itu harus dibarengi dengan vision. 

Vision yang sudah lama kita persiapkan adalah bagaimana mekanisme untuk mengimplementasikan sinergi tersebut, karena masa depan hanya dimiliki oleh bangsa yang mampu mengadakan sinergi dengan bangsa lain. Bangsa yang mampu menyadari bahwa dari enam miliar manusia itu  sebut saja 25 persen yang potensial atau sekitar 1,5 miliar  memanfaatkan potensi yang 1,5 miliar itu. 

Kita harus mampu secara mandiri menjadikan mereka perusahaan yang sinergis, yang menghasilkan produk yang diintegrasikan secara teknologi dan sistem. 

Hal itu dapat dicapai jika kita memiliki niat atau itikad, dan juga memiliki persiapan-persiapan, baik berupa undang-undang atau peraturan pemerintah yang juga merupakan sistem yang mandiri dan  redundant .

Begitu pula penguasaan teknologi bukan saja secara teori, tapi sudah menyatu pada diri kita dengan segala konsekuensinya. Ini adalah masa depan, dan inilah pula sebabnya mengapa dalam menghadapi masalah moneter kita tidak bisa menyelesaikannya sendiri. Inilah peran dan tujuan Industri Strategis. Jika bangsa lain sudah lebih dari 200 tahun mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan sumber daya manusianya, teknologinya, sistemnya, dan pusat-pusat unggulannya serta prasarana yang menunjang integrasi tersebut; sedangkan kita, bangsa Indonesia, baru 30 tahun. 

Itu sebabnya, negara yang sudah berpengalaman 200 tahun cuma tahu rugi-laba ekonomi, sedangkan rugi-laba teknologi tidak mereka kenal, tidak ada dalam text-book mereka. Karena itu, IMF atau World Bank walapun saya yakin mereka sangat berkepentingan dengan majunya bangsa-bangsa di dunia dan saya pun yakin mereka sangat membantu Indonesia tidak mau mengenal rugi-laba teknologi, karena mereka tidak pernah berkecimpung di dalamnya. 

Ini karena mereka adalah produk dari suatu masyarakat yang telah menikmati lebih dari 200 tahun perkembangan evolusioner mekanisme tersebut. Berbeda dengan kita. Apakah kita harus berlari ke belakang mereka yang telah melewati waktu 200 tahun? Apa kita harus menunggu sampai ada yang mau datang membantu kita? Tidak. 

Kita harus mampu mengembangkan SDM kita sendiri yang diilhami oleh rakyat dan lingkungan kita, yang penguasaan ipteknya sudah dijiwai dan hanya memiliki satu sasaran: rakyat, rakyat, rakyat, kebutuhan rakyat, dan keuntungan rakyat. Inilah yang harus kita persiapkan untuk masa depan bangsa Indonesia. Inilah tugas Industri Strategis, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan kita semua. Industri Strategis sekarang usianya sudah sembilan tahun, tahun depan 10 tahun. PT IPTN sudah 22 tahun, PT PAL 15 tahun, PT LEN 8 tahun, PT INTI 22 tahun, dan PT KS 25 tahun. 

Karena itu, kita harus melihat lebih dulu bagaimana rugi-laba dari sudut teknologi, bagaimana pula kemandiriannya. Kalau kita hanya melihat rugi-laba dari sudut ekonomi saja, kita tidak perlu Industri Strategis. Berikan saja pada Krakatau Steel untuk mengontrol ekspor dan impor baja yang lebih menguntungkan. Jadi, kita tidak perlu pusing-pusing. Itu yang kita laksanakan pada tahun 50-an. Jika kita hanya melakukan perdagangan, bolehlah kalau kita hanya mengangankan rugi-laba dari sudut ekonomi. Begitu juga dengan kereta api, buat apa kita mendirikan PT INKA. Kita atur saja tanggal berapa kereta beroperasi, berapa untungnya, berapa pajaknya. Beres. 

Tapi kalau demikian, berapa yang harus kita bayar jika kelak kita kehabisan sumber daya alam, minyak, dan gas?

Kita tidak merekayasa bangsa Indonesia hanya untuk satu abad, tapi sampai dunia kiamat. 

Jadi, tidak bisa dibenarkan bahwa bangsa kita tidak punya dinamika atau kita tidak memperhatikan masalah-masalah tersebut di atas. Juga tidak bisa dibenarkan kalau kita menyerahkan semua ini pada penilaian orang lain, tidak berani mengambil inisiatif, dan tidak berani mengambil risiko. Satu hal yang harus kita sadari adalah bahwa kita tidak mengambil, tetapi memberi kepada bangsa Indonesia. Keuntungannya, insya Allah dapat dirasakan secara merata pada abad yang akan datang. Kesimpulannya, semua Industri Strategis dan industri swasta sekalipun, yang harus kita lihat pertama-tama adalah sisi rugi-laba teknologinya. Apabila mereka rugi, kita tanya mengapa sampai merugi. 

Mungkin karena terlalu banyak melakukan ekspansi atau terlalu berani mengambil inisiatif untuk mengamankan diri agar mandiri dan terus berkembang. Tetapi, alangkah indahnya jika suatu hari perusahaan tersebut mendapat laba teknologi dan laba ekonomi. Hanya saja, perlu kita ketahui bahwa hal itu tidak bisa dicapai hanya dalam satu Repelita. 

Dari kacamata inilah, kita harus membaca proses industrialisasi yang berlangsung di Indonesia, di mana ujung tombaknya ditugaskan kepada Industri Strategis. Industri Strategis merupakan katalisator yang akan terus memberikan kesempatan kepada industri-industri yang lain untuk secara mandiri berkembang, memperoleh laba teknologi, dan laba ekonomi. Karena industri swasta hidup-matinya tergantung pada rugi-laba ekonomi, maka sudah tentu dia tidak mampu mengambil risiko yang tinggi untuk melaksanakan kebijakan yang berorientasi pada laba teknologi. 

Karena itu, kita harus memikirkan untuk memberikan insentif kepada mereka yang berani mengambil risiko dalam rugi-laba teknologi, misalnya insentif perpajakan, dan insentif yang lain. Mengapa mereka diberi insentif, sedangkan mereka bukan milik rakyat? Perusahaan swasta itu, katakanlah milik si Ali, yang sudah kaya. Sekalipun si Ali kaya, ia tetap makan tiga kali dalam sehari, dan mungkin karena kolesterolnya tinggi, ia hanya makan sehari dua kali. Yang jelas, si Ali yang kaya itu, telah menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan laba ekonomi dan laba teknologi. 

Oleh karena itu, kita harus melihatnya dari kacamata yang bijak dan wajar. Tidak hanya terbatas sampai tahun 2000 atau 2002 atau 2020, tetapi secara bertahap, sampai jauh ke depan. Mengenai IPTN, sebenarnya sudah banyak diulas di media massa. Hanya, perlu dijelaskan lagi agar tidak menimbulkan salah pengertian. Pada kurva yang dimuat Harian Republika (4/2/1998) terlihat adanya Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) di IPTN. 

Konsep akumulasi PMP-nya sebagai berikut: akumulasi revenue berputar karena penjualannya meningkat. Pada 15 tahun pertama, kenaikan akumulasi investasi tidak sebanding dengan akumulasi penjualan, karena IPTN belum melampaui critical mass, belum sampai rugi-laba teknologi. 

Sepuluh atau lima tahun yang lalu masih kelihatan akumulasi investasi PMP seperti itu, sedangkan yang lain meningkat, itu tidak berarti IPTN sudah mendapat laba ekonomi, melainkan hal itu sudah mencerminkan terjadinya laba teknologi yang melaju cepat, dan insya Allah akan terjadi laba ekonomi. Bagi pesaing IPTN, jelas ini sangat menakutkan. 

Selama investasi dan revenue IPTN, LEN, dan yang lainnya masih berpacu, masih belum sampai ke critical mass, mereka (para pesaing) belum takut. 

Tapi, jika IPTN, LEN, INKA yang investasinya sudah demikian accessionic dan mulai masuk ke eksponen belanja secara eksponensial dari revenue dan turnover, maka itu berarti sinyalnya sudah melampaui critical mass. Laba teknologi, hanya soal waktu saja. Jika ditingkatkan lagi, maka akan diperoleh laba ekonomi. Ini (skenario - Red) harus kita laksanakan pada setiap industri di bumi Indonesia, dengan catatan industri swasta harus terus-menerus menciptakan laba ekonomi, kalau tidak, mereka akan bangkrut.

Industri swasta harus dibantu supaya -- dengan laba ekonominya itu -- mereka berani menanamkan kembali modalnya (reinvest) untuk melakukan integrasi teknologi dan integrasi sistem, sehingga secara sistematis dapat menciptakan laba teknologi. 

Oleh karena itu, kini industri strategis masih 100 persen dikuasai pemerintah, karena berisiko tinggi. Kalau sudah sampai waktunya, tatkala laba teknologi dan laba ekonomi sudah match maka tidak ada alasan sahamnya tidak dijual di bursa. Dan, ini bisa terjadi jika kita mempunyai integrator yang kuat dan mandiri. Kita serahkan kepada manajemen untuk menjual saham di bursa, dan kalau dijual, kita yakin harga saham dan bunga yang diberikan kepada penanam modal itu sudah melampaui penjualan. 


@ Disampaikan secara lisan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VIII DPR, tanggal 10 Februari 1998.